Kerangka Teori

E. Kerangka Teori

Al-Qur’an sebagai kalamullah yang terdapat di Lauh Makhfudz dengan bentuk yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia dan tidak terbatas

dan bersifat muthlak. 59 Ketika Allah menghendaki menurunkan kalamullah kepada manusia, maka langkah awal, Allah merubah terlebih dahulu

kalamullah yang semula tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia menjadi bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia yang terbatas dan relatif yaitu dengan bahasa arab, karena al-Qur’an diturunkan kepada Nabi

Muhammad orang arab. 60 Sebagaimana Firman Allah (Q.S.al-Zukhruf/43 :3) :

Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.

59 Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’ an Qirâ ’ ah Mu ’ âshirah (selanjutnya tertulis al- Kitab Wa al-Qur ’ an ), (Damaskus : al-Ahâli Li Al-Thabâ’ah Wa al-Nasyar Wa al-Tauzî’, 1990), h. 44

60 Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’ an…, 152

Kemudian al-Qur’an tersebut diturunkan sekaligus ke Samâ’u al- Dunya (langit dunia) dengan bahasa arab yang dapat dijangkau oleh panca indra manusia. (Q.S.Yusuf/12: 2). 61 Kemudian diturunkan secara berangsur

kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril, kemudian Nabi langsung menyampaikannya kepada manusia. 62

Jadi kalamullah yang tak terbatas sebelum diubah menjadi bahasa arab, manusia tidak dapat memahaminya, kemudia setelah diubah menjadi bahasa arab juga mengandung ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât. Kemudian manusia yang terbatas mencoba menggali maksud ayat-ayat al- Qur’an tersebut dengan makna qarîb (dekat/teks/dzahir) dan makna baîd (jauh/konteks/ abstrak).

Hal ini sesuai dengan Khalid Abdurahman al-‘Ak yang mengatakan:” Dalil yang dibentuk melalui ta’wil (penafsiran) ada yang mengutamakan makna zhâhir atau makna qarîb dan ada yang mengutamakan makna tersirat

atau makna baîd.” 63 Seperti kalimat ﷲﺍ ﺪ ـﻳ

makna qarîbnya tangan Allah, tapi makna baîdnya adalah kekuasaan Allah. Munawir Sjadzali menyatakan,

Diantara para ahli dari empat madzhab, meskipun mereka banyak saling berbeda pendapat, namun terdapat semacam kesepakatan atau konsensus bahwa hukum islam terbagi dalam dua katergori; hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang menyangkut mu’amalah duniawiyah (kemasyarakatan). Dalam hal hukum yang termasuk kategori pertama tidak banyak kesempatan bagi kita untuk mempergunakan penalaran, tetapi dalam hal hukum dari kategori kedua, lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan

61 Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’ an…, 152 62 Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’ an…, 153

63 Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Ushûl al-Tafsîr Wa Qawâiduhu, (Bairut : Dâr al-Nafâis, 1986), h. 60 63 Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Ushûl al-Tafsîr Wa Qawâiduhu, (Bairut : Dâr al-Nafâis, 1986), h. 60

Berbeda dengan Quraish Shihab yang menyatakan, Bahwa ajaran yang dibebankan kewajibannya kepada seorang mukallaf ada yang bersifat pengetahuan dan ada yang bersifat pengamalan, maka ulama Islam membagi kewajiban tersebut kepada ‘aqîdah dan syarî’ah, atau dengan kata lain, ushûl dan furû’. Sesuatu

yang bersifat pengetahuan dan wajib diyakini karena berdasarkan suatu yang qath’i atau ushûl al-dîn, sedangkan yang bersifat pengamalan adalah syarî’ah. Dari sini- katanya- dapat disimpulkan, bahwa segala keyakinan yang tidak bersumber kepada sesuatu yang qath’i , bukan merupakan ushûl al-dîn, dan tidak mengakibatkan

kekufuran penganutnya, betapapun besarnya perbedaan tersebut. 65 Kemudian dia juga mengutip pendapat Mahmûd Syaltût,

Pertama , dalam masalah akidah, penetapnnya haruslah menggunakan argumentasi yang bersifat qath’i. Kedua, hal-hal yang tidak bersifat qath’i, dan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, tidak dapat dianggap sebagai masalah akidah, dan tidak pula pendapat satu kelompok tertentu dalam masalah tersebut merupakan pendapat yang pasti benar, sedangkan yang lainnya salah. Ketiga, kitab-kitab yang membahas teologi tidak semata-mata berisi masalah-masalah yang diwajibkan oleh agama untuk dianut, tetapi juga berisi disamping hal- hal tersebut, beberapa teori ilmiah yang argumentasi-argumentasinya saling bertentangan sehingga teori-teori tersebut merupakan ijtihad

para ulama. 66 Kemudian dia juga mengutip pendapat Isa Mannun,

Ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan argumentasi yang pasti dan menyakinkan dan yang diterima berdasarkan tawâtur, serta dari generasi kegenarasi sejak masa Nabi saw, sehingga pengetahuan tentang hal tersebut telah demikian populer, atau yang disebut dengan istilah al- ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah . Penolakan terhadap masalah- masalah tersebut mengakibatkan kekufuran. Dan ketetapan-ketetapan agama yang disepakati oleh ulama-ulama (ijma’), walaupun ketetapan- ketapan tersebut belum populer. Yanng menolak hal ini ada yang

menilainya kafir dan ada pula yang menilainya fasiq. 67

64 Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : PT.Temprint, 1995), h. 92 65 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 354

67 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 355 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 356

Jadi ukuran boleh menggunakan nalar akal terhadap penafsiran ayat- ayat al-Qur’an berbeda antara Munawir Sjadzali dan Muhammad Quraish Shihab, karena Munawir Sjadzali melihat dari sisi materinya (akidah atau mu’amalah), sedangkan Muhammad Quraish Shihab dari sisi argumentasinya (qath’i atau zhanninya).

Muahammad Quraish Shihab selanjutnya menyatakan, Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan

menetapkan ajaran hidupnya, serta agama yang dianutnya. Tetapi kebebasan ini bukan berarti kebebasan memilih ajaran-ajaran agama pilihnnya itu, mana yang dianut dan mana yang ditolak. Karena Tuhan tidak menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka memilih yang dianggap-nya sesuai dan menolak yang tidak sesuai. Agama pilihan adalah satu paket, penolakan terhadap satu bagian mengakibatkan penolakan terhadap keseluruhan paket tersebut. (Q.S.al-Baqarah/2:85). Dalam hal ini, agama Islam tidak memberikan kepada seorang muslim kebebasan memilih dari keragaman pendapat yang berkembang dalam bidang ushûl al-dîn, karena masalahnya sudah demikian jelas dan pasti. Kebebasan memilih hanya diberikan dalam

bidang furû’ karena argumentasinya bersifat zhanni. 68 Sedangkan Ibrahim Hosen menyatakan,

Mengenai al-qur’an yang dapat kita baca dan kita dengarkan itu adalah kalâm lafdhi yang menunjukkan kepada kalâm nafsi. Atas dasar ini maka hukum islam itu sangat luas sekali yang hanya diketahui melalui dalil, baik dalil-dalil yang disepakati kehujjahannya maupun dalil-dalil yang diper-selisihkan kehujjahannya. Atas dasar itu pula dapat diketahui bahwa hukum itu bersifah qadîm dan hanya Allahlah yang berhak menetapkan hukum. Dengan demikian maka tergambarlah bagi kita bahwa yang kita cari itu adalah hukum Allah. Jelas hal ini sangat sulit, karena hukum Allah adalah khithâb-Nya yang berupa kalâm nafsi yang tidak bersuara dan tidak berhuruf yang tidak dapat kita cerna dan kita gambarkan, yang diluar jangkauan manusia. Untuk mengetahui hal tersebut hendaklah kita mengetahui bahwa kalâmullah itu mempunyai dua indikasi. Pertama, indikasi lafdhi dan kedua, indikasi ma’nawi. Indikasi lafdhi yaitu al-Qur’an dan indikasi ma’nawi adalah hadis, ijma, qiyas dan dalil-dalil lain. Dari sini dapat diketahui

68 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 357 68 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 357

banyak manusia. 69 Pendapat Ibrahim Hosen sama dengan Muhammad Quraish Shihab,

karena dia membagi hukum Islam kepada dua yaitu syarî’ah/ushûl yang biasa disebut dengan hukum qath’i atau dengan kata lain yaitu mâ’ulima minaddin bi al-dharurah dan hukum fiqh/furû yang biasa disebut hukum zhanni.

Apabila kita menemukan ayat-ayat al-qur’an yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum maka ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu saja, tetapi berlaku secara umum. Ini ditujukan kepada setiap kasus yang mempunyai

persamaan dengan kasus tersebut. 70 Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas

ulama yang menayatakan ﺐﺒﺴ ـﻟﺍ ﺹﻮﺼﲞ ﻻ ﻆﻔﻠﻟﺍ ﻡﻮﻤﻌﺑ ﺓﱪﻌﻟﺍ , artinya penafsiran

ayat al-qur’an berdasarkan teks ayat, bukan dilihat dari latar belakang turun ayat. 71

Dalam memahami kaidah diatas, yang perlu diingat ialah bahwa sebab turunnya ayat pada hakikatnya hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat al-qur’an, namun cakupannya

tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat. 72 Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi petunjuk segala zaman, bila

memahaminya hanya berlaku dalam satu kasus, tidak berlaku umum. Oleh karena itu, menurut hemat penulis seorang mufassir yang akan menafsirkan al-

69 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta :LPPI IIQ, 1987), h. 6 70 Abdurahman Dahlan, Penafsiran al-Qur ’ an …, h. 91 71 Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyân Fî Ulûm al-Qur ’ an , (Cairo : Dâr al-Shâbuni, 1999),

h. 27 72 Abdul Rahman Dahlan,Penafsiran Al-Qur'an…, h. 91

Qur’an harus berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber utama untuk mengkaji ajaran Islam dan hadis Nabi saw. Sebagai sumber kedua setelah al- Qur’an, karena salah satu fungsi hadis adalah untuk menjelaskan maksud ayat- ayat al-Qur’an.

Namun ada pendapat ulama yang jumlahnya minoritas menyebutkan ﻆ ـﻔﻠﻟﺍ ﻡﻮﻤﻌﺑ ﻻ ﺐﺒﺴﻟﺍ ﺹﻮﺼﲞ ﺓﱪﻌﻟﺍ artinya penafsiran ayat al-Qur’an berdasarkan latar belakang turunnya ayat, bukan hanya dilihat dari teks ayat. 73

Pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur (mayoritas) ulama di atas. Pendapat ini menggunakan pendekatan maqâsid al-syarî’ah (tujuan dari penerapan hukum islam) yang antara lain melihatnya dari segi mashlahah mursalah . Oleh karena itu, apabila ada pertentangan antara nash dan nalar akal, maka nash diabaikan dan diambil nalar akal. Dengan demikian asbâb al- nuzûl merupakan patokan utama dari teori ini.

Hal ini dapat dilihat pada pendapat tim penulis Paramadina yang menulis buku berjudul Fiqih Lintas Agama menggunakan pendekatan maqâshid al-syarî'ah yang mengutip pendapat al-Syathibi.

Menurutnya dalam syariat terdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara lain hukum, tujuan umum, dalil, dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa syariat tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting yaitu tujuan-tujuan utama (maqâshid al-syarî'ah)… dan inti dari maqâshid al-syarî’ah adalah kemaslahatan, yang didefinisikan sebagai mengambil yang bermanfaat dan menghindari yang rusak (jalb al-manâfi wadar'u al-mafâsid)… Selanjutnya dia menegaskan, bahwa agama tidak hanya memuat yang menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-taabbudi), tetapi juga membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahah al-

âmmah) 74 .

73 Muhammad Abdul Azhim al-Zarqâni, Manâhilu al- ‘ Irfân Fî Ulûm al-Qur ’ an, (Bairut :Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 75

74 Nurcholish Majid et. al., Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.VI., h. 10.

Sejalan dengan kaidah di atas, Zuhairin Misrawi memberi kata pengantar pada buku karya Verdiansyah mengatakan,

Manakala melihat perkembangan pemikiran keagamaan di atas, sejatinya diupayakan langkah progresif guna melahirkan tafsir keagamaan yang dapat menjawab kebutuhan kontekstual, terutama menyangkut pembebasan masyarakat dari ketertindasan dan pencerahan dari dogmatisme. Tafsir atas teks-teks suci sejatinya tidak hanya dalam bingkai pembenaran terhadap teks atau pembelaan pada Tuhan semata, melainkan harus menyentuh persoalan persoalan riil dalam masyarakat, seperti pembebasan dari kemiskinan, pendidikan, pembusukan politik,

dan segala bentuk penindasan. 75 Tafsir emansipatoris juga sejalan dengan kaidah di atas, maka tafsirnya

tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan. Dalam tafsir emansipatoris, analisis sosial merupakan alat bantu guna memahami problem-problem sentral kemanusiaan. Ini disadari, karena agama dalam tataran sosiologi antropologis merupakan proses akulturasi dengan budaya. Di satu sisi agama membentuk budaya, tapi disisi lain budaya juga

membentuk agama. 76 Untuk itu perlu pemetaan dalam menganalisis pemikiran atau

penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-ayat jender dalam Tafsir Al-Mishbah. Oleh karena itu penulis berpendapat, orang yang memahami al- Qur’an berangkat dari qath’i dan zhanni, maka dalam penafsiran ayat-ayat al-

Qur’an dia cenderung pada tekstual, dan sebaliknya orang yang memahami al- Qur’an berangkat dari akidah dan mu’amalah, maka dalam penafsiran ayat- ayat al-Qur’an dia cenderung menafsirkan ayat al-Qur’an secara kontekstual.

Kemudian perlu juga dalam analisis data ini menggunakan metodologi tafsir yaitu :

75 Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (selajutnya tertulis Islam Emansipatoris) (Jakarta: P3M, 2004), h. xxiii 75 Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (selajutnya tertulis Islam Emansipatoris) (Jakarta: P3M, 2004), h. xxiii

susunan al-Qur'an. 77

b. Metode tahlili, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam al-Qur'an, mulai dari mengemukakan arti kosakata, munasabah antar ayat, antar surat,

asbâb al-nuzûl 78 , makna mufradât (kosa kata), dan lainnya.

c. Metode maudlu'iy. Metode ini mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur'an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus serta hubungan persoalan- persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya. Dengan demikian semua persoalan tersebut kait-mengkait bagaikan satu persoalan, sebagaimana metode yang ditempuh oleh Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat al-Qur'an kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh ayat-ayat tersebut

sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya. 79

d. Metode Muqâran (komparasi), yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Yang termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-

76 Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris…, xxiii 77 Abdu al-Hay al-Farmawi, al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu'i (selanjutnya tertulis Tafsir

Maudhu ’ i ) (Mesir: al-Hadhârah al-Arabiyah, 1977), h. 43 78 Abdu al-Hay al-Farmawi, Tafsir al-Maudhû'i…, h. 24

79 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur ’ an… , h. 117

Qur'an dengan hadis-hadis Nabi saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran

ayat-ayat al-Qur'an. 80 Kerangka teori di atas akan dirujuk sebagai pisau analisis dalam

memaknai penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.