Analisa Dan Pengendalian Erosi Permukaan Pada Sub DAS Batang Angkola Di Tapanuli Selatan

(1)

ANALISA DAN PENGENDALIAN EROSI PERMUKAAN PADA

SUB DAS BATANG ANGKOLA DI TAPANULI SELATAN

TESIS

Oleh

DARWIN RANGKUTI

047004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

ANALISA DAN PENGENDALIAN EROSI PERMUKAAN PADA

SUB DAS BATANG ANGKOLA DI TAPANULI SELATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DARWIN RANGKUTI

047004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISA DAN PENGENDALIAN EROSI PERMUKAAN PADA SUB DAS BATANG ANGKOLA DI TAPANULI SELATAN

Nama Mahasiswa : Darwin Rangkuti

Nomor Pokok : 047004002

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar) Ketua

(Prof. Dr. Ir. Zulkifli Nasution, MS) Anggota

(Dr. Ir. Roesyanto, MSCE) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 23 Oktober 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar

Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. Zulkifli Nasution, MS

2. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE


(5)

ABSTRAK

Wilayah sub DAS Batang Angkola secara geografis terletak pada garis 99°10’0” - 99°30’0”99 Bujur Timur dan 1°5’0” - 1°30’0” Lintang Selatan. Luas sub DAS Batang Angkola adalah 69.735,179 hektar dan secara wilayah administratif berada di Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi 5 kecamatan yaitu: Kecamatan Padang Sidempuan, Kecamatan Padang Sidempuan Barat, Padangsidempuan Timur, Siais dan Batang Angkola.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi kehilangan tanah akibat erosi air dengan menggunakan metode USLE dan mencari alternatif tata guna lahan sebagai upaya menekan laju erosi yang terjadi.

Dalam menentukan laju erosi tahunan dengan metode USLE digunakan parameter antara lain: faktor-faktor erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kecuraman lereng (LS) dan faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi (CP).

Dari hasil penelitian diperoleh laju erosi rerata di Sub-DAS tersebut sudah sebesar 185,68 ton/ha/thn atau 10,316 mm/thn dan termasuk dalam kategori kelas erosi IV (berat). Hasil evaluasi dan identifikasi unit lahan terhadap kelas bahaya erosi aktual menunjukkan 8,19% luas sub DAS berada dalam kelas I (kategori sangat ringan), 23,24% kelas II (kategori ringan), 24,54% kelas III (kategori sedang), 36,41% kelas IV (kategori berat), dan sisanya 7,50% kelas V (kategori sangat berat).

Hasil prediksi laju sedimentasi sub DAS Batang Angkola dengan metode analisi debit sedimen melayang menunjukkan nilai debit secara umum relatif besar yaitu 129,73 ton/hari. Namun terjadi peningkatan debit sedimen di mana hasil penelitian PU Pengairan pada tahun 1997 debit sedimen masih berada pada kisaran 25.06 ton/hari sedangkan hasil penelitian ini debit sedimen sudah mencapai kisaran 129.73 (ton/hari).

Upaya arahan pengendalian yang disarankan adalah dengan merubah faktor C & P, yakni mengubah pola tanam dan jenis tanam sesuai kondisi lahan, Bila arahan pengendalian ini dilakukan maka laju erosi rerata dapat diturunkan dari 185,68 ton/ha/thn atau 10,316 mm/thn dengan kategori kelas erosi IV (berat) menjadi 93,35 ton/ha/thn atau 5.186 mm/thn dengan kategori kelas erosi III (sedang).

Untuk menjaga kelestarian lingkungan sub-DAS Batang Angkola dan menanggulangi potensi bahaya erosi yang mungkin terjadi maka perlu dilakukan langkah langkah perubahan faktor pola tanam dan jenis tanam di unit unit lahan tertentu. Langkah ini diikuti dengan tindakan mekanik seperti; pembuatan terasering, pembuatan dam pengendali alur atau dam pengendali parit serta pengolahan tanah sesuai dengan garis kontur yang ada.

Dalam pelaksanaan kegiatan ini berbagai pihak, baik individu, masyarakat, swasta dan pemerintah harus bersama sama melakukan upaya pengendalian erosi sehingga bencana alam yang timbul akibat erosi dan sedimentasi di sub DAS Batang Angkola dapat diminimalkan atau bahkan dihindari.


(6)

ABSTRACT

Stem Angkola sub watershed regions geographically located on the line 99 ° 10'0 "- 99 ° 30'0" 99 East longitude and 1 ° 5'0 "- 1 ° 30'0" south latitude. Sub-watershed Area Trunk Angkola is 69735.179 acres and administrative areas are in South Tapanuli District covers 5 districts namely: Sidempuan Padang District, West Sidempuan Padang District, East Padangsidempuan, Siais and Batang Angkola.

The purpose of this study is to analyze the potential loss of land due to water erosion using USLE and look for alternative land uses in an effort to curb erosion. In determining the annual erosion rate with the method used USLE parameters include: rainfall erosivity factors (R), soil erodibility factor (K), the length and steepness of the slope factor (LS) and crop management factors and conservation actions (CP).

The result showed the average erosion rate in sub-watershed is already amounted to 185.68 tonnes / ha / yr or 10.316 mm / yr and included in the category of erosion class IV (severe). Results evaluation and identification of land units to actual erosion danger class showed 8.19% sub-watershed area is in a class I (the category of very mild), 23.24% class II (mild category), 24.54% Class III (medium category) , 36.41% grade IV (severe category), and the remaining 7.50% class V (very severe category).

The prediction results of sediment sub watershed Trunk Angkola with floating sediment discharge analysis method showed values generally relatively large discharge of 129.73 tons / day. But an increase in sediment discharge in which the research results of Irrigation Works in 1997 discharge of sediment still in the range of 6.25 tons / day while the results of this study sediment discharge has reached the range of 129.73 (tons / day).

Efforts to control the direction that is suggested by changing the factor C & P, that is changing the cropping pattern and type of planting according to the conditions of land, When the direction of control is done then the average erosion rate can be derived from 185.68 tonnes / ha / yr or 10.316 mm / yr with erosion class category IV (severe) to 93.35 tons / ha / yr or 5186 mm / yr by erosion class category III (moderate).

To maintain the environment of sub-watershed Stem Angkola erosion and mitigate the potential hazards that may occur it is necessary to step the pace of change factors cropping pattern and type of planting in a particular land unit. This step is followed by mechanical actions such as the manufacture of terraces, dams-making flow controller or controllers trench dams and soil treatment in accordance with the existing contour lines.

In the implementation of these various parties, whether individuals, communities, private sector and government should make efforts together so that the erosion control of natural disasters caused by erosion and sedimentation in the sub watershed Trunk Angkola can be minimized or even avoided.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas pertolonganNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis

dengan judul: ANALISA DAN PENGENDALIAN EROSI PERMUKAAN PADA

SUB DAS BATANG ANGKOLA DI TAPANULI SELATAN. Tesis ini disusun

dalam rangka memenuhi tugas akhir penyelesaian program pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, nasehat, arahan dan waktu secara sabar untuk berdiskusi dengan memberikan semangat secara terus menerus sejak perencanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Zulkifli Nasution, MS dan Dr. Ir. Roesyanto, MSCE., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, waktu serta tenaga dalam berdiskusi mulai dari perencanaan penelitian sampai terselesaikannya tesis ini. 3. Prof. Alvi Syahrin, SH., MS dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc., selaku Ketua dan


(8)

Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan untuk tetap bertahan dalam menyelesaikan studi ini.

4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Drs. Chairuddin, MSc., Selaku Dosen Penguji yang telah memberikan koreksi, masukan, saran perbaikan dan semangat dalam menyelesaikan studi.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan Ibu dan Bapak dengan berlipat ganda. Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya.

Medan, Desember 2010

Darwin Rangkuti NIM. 047004002


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR TABEL………... viii

DAFTAR GAMBAR………... x

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

1.1. Latar Belakang………. 1

1.2. Batasan Masalah………... 3

1.3. Hipotesis Penelitian... 4

1.4. Tujuan Penelitian………... 4

1.5. Manfaat Penelitian………... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………... 6

2.1. Daerah Aliran Sungai...………... 6

2.2. Mekanisme Terjadinya Erosi... 7

2.3. Prediksi Laju Potensi Erosi...….. 10

2.3.1. Erosivitas Hujan (R)...……….... 11

2.3.2. Erodibilitas Tanah...……… 13

2.3.3. Faktor Panjang Lereng (L)... 15

2.3.4. Faktor Kecuraman Lereng (S)... 15

2.3.5. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)... 17

2.3.6. Faktor Tindakan Khusus Konservasi Tanah (P)... 17

2.4. Toleransi dan Klasifikasi Bahan Erosi... 21

2.5. Dampak dan Bencana Erosi... 24

2.6. Pengendalian Erosi... 25


(10)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………... 32

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 32

3.2. Bahan dan Peralatan... 32

3.3. Metode... 33

3.4. Menghitung Besarnya Kehilangan Tanah dengan Metode USLE... 35

3.5. Pemantauan Sedimentasi... 36

3.6. Pengendalian Erosi...………... 37

3.7. Arahan Penggunaan Lahan....………... 37

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 39

4.1. Prediksi Laju Erosi... 39

4.1.1. Peta Sub-DAS Batang Angkola... 39

4.1.2. Peta Poligon Thiessen... 39

4.1.3. Faktor Erosivitas Hujan (R)... 40

4.1.4. Faktor Erodibilitas Tanah (K)... 41

4.1.5. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)... 45

4.1.6. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Konservasi Lahan (P)... 45

4.1.7. Peta Unit Lahan... 46

4.1.8. Laju Potensi Erosi (A)... 46

4.1.9. Batas Toleransi (T) dan Klasifikasi Bahaya Erosi... 52

4.2. Pemantauan Sedimentasi... 53

4.2.1. Debit Sedimen Melayang (Discharge of Suspended Sedimen)... 53

4.3. Pembahasan………... 54

4.3.1. Hasil Analisa Klasifikasi Bahaya Erosi... 54

4.3.2. Pemantauan Sedimentasi... 55

4.3.3. Pengendalian Erosi Permukaan... 57

4.4. Rekomendasi... 69

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………... 74

5.1. Kesimpulan………….………... 74

5.2. Saran………..………... 75

DAFTAR PUSTAKA………... 76


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Kode Struktur Tanah... 14

2.2 Kode Permeabilitas Profil Tanah…………... 14

2.3 Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K)... ... 14

2.4 Penilaian Kelas Lereng dan Faktor LS... 16

2.5 Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C) ... 18

2.6 Nilai-nilai Faktor Konservasi Tanah (P) ... 19

2.7 Perkiraan Nilai CP Berbagai Jenis Penggunaan Lahan... .. 20

2.8. Pedoman Penetapan Batas Toleransi Erosi (T) untuk Tanah-tanah di Indonesia... 23

2.9 Klasifikasi Bahaya Erosi………... 24

4.1 Zona Pengaruh Erosivitas Hujan pada Sub-DAS Batang Angkola.. 40

4.2 Jumlah Hujan Rerata Bulanan (Pm)……… 40

4.3 Hasil Hitungan Faktor Erosivitas Hujan (Rm)... 41

4.4 Zona Jenis Tanah dan Nilai Faktor Tanah Erodibilitas Tanah (K).. 41

4.5 Zona Kemiringan Lereng dan Nilai Faktor LS ... 45

4.6 Nilai Faktor C,P dan CP pada Sub-DAS Batang Angkola... 45

4.7 Resume Perhitungan Laju Erosi Bulan Januari... 50

4.8 Hasil Hitungan Analisis Laju Erosi Permukaan... 51

4.9. Resume Perhitungan Batas Toleransi dan Klasifikasi Bahaya Erosi... 52


(12)

4.10 Hasil Analisis Air di Lokasi Kp. Silaiya... 53 4.11 Debit Sedimen Suspended Load di Kampung Silaiya... 54 4.12 Hasil Evaluasi & Identifikasi Kelas Bahaya Erosi... 55 4.13 Hasil Analisis Air di Desa Sipotangniari (Batang Angkola) pada

Tahun 1997... 56 4.14 Debit Sedimen Suspended Load... 56 4.15 Penyumbang Erosi Permukaan Lahan Sub-DAS Batang Angkola.. 58 4.16 Beberapa Unit Lahan yang Kemiringan > 45% Tapi Penggunaan

Lahannya Bukan Kawasan Lindung... 60 4.17 Hasil Hitungan Erosi Pengendalian (CP Baru) ... 67


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Jenis-jenis Erosi………... 9

2.2 Bagan Alir Dampak dan Bencana Erosi... 22

3.1 Bagan Alir Penelitian... 38

4.1 Peta Sub DAS Batang Angkola... 42

4.2. Peta Thiessen Sub DAS Batang Angkola... 43

4.3. Peta Jenis Tanah Sub DAS Batang Angkola... 44

4.4. Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Batang Angkola... 47

4.5. Peta Tata Guna Lahan Sub DAS Batang Angkola... 48

4.6. Peta Unit Lahan Sub DAS Batang Angkola... 49

4.7. Grafik Analisis Laju Erosi Aktual dan Pengendalian... 68

4.8. Beberapa Tindakan Mekanis dalam Mengurangi Erosi... 71


(14)

ABSTRAK

Wilayah sub DAS Batang Angkola secara geografis terletak pada garis 99°10’0” - 99°30’0”99 Bujur Timur dan 1°5’0” - 1°30’0” Lintang Selatan. Luas sub DAS Batang Angkola adalah 69.735,179 hektar dan secara wilayah administratif berada di Kabupaten Tapanuli Selatan meliputi 5 kecamatan yaitu: Kecamatan Padang Sidempuan, Kecamatan Padang Sidempuan Barat, Padangsidempuan Timur, Siais dan Batang Angkola.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi kehilangan tanah akibat erosi air dengan menggunakan metode USLE dan mencari alternatif tata guna lahan sebagai upaya menekan laju erosi yang terjadi.

Dalam menentukan laju erosi tahunan dengan metode USLE digunakan parameter antara lain: faktor-faktor erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kecuraman lereng (LS) dan faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi (CP).

Dari hasil penelitian diperoleh laju erosi rerata di Sub-DAS tersebut sudah sebesar 185,68 ton/ha/thn atau 10,316 mm/thn dan termasuk dalam kategori kelas erosi IV (berat). Hasil evaluasi dan identifikasi unit lahan terhadap kelas bahaya erosi aktual menunjukkan 8,19% luas sub DAS berada dalam kelas I (kategori sangat ringan), 23,24% kelas II (kategori ringan), 24,54% kelas III (kategori sedang), 36,41% kelas IV (kategori berat), dan sisanya 7,50% kelas V (kategori sangat berat).

Hasil prediksi laju sedimentasi sub DAS Batang Angkola dengan metode analisi debit sedimen melayang menunjukkan nilai debit secara umum relatif besar yaitu 129,73 ton/hari. Namun terjadi peningkatan debit sedimen di mana hasil penelitian PU Pengairan pada tahun 1997 debit sedimen masih berada pada kisaran 25.06 ton/hari sedangkan hasil penelitian ini debit sedimen sudah mencapai kisaran 129.73 (ton/hari).

Upaya arahan pengendalian yang disarankan adalah dengan merubah faktor C & P, yakni mengubah pola tanam dan jenis tanam sesuai kondisi lahan, Bila arahan pengendalian ini dilakukan maka laju erosi rerata dapat diturunkan dari 185,68 ton/ha/thn atau 10,316 mm/thn dengan kategori kelas erosi IV (berat) menjadi 93,35 ton/ha/thn atau 5.186 mm/thn dengan kategori kelas erosi III (sedang).

Untuk menjaga kelestarian lingkungan sub-DAS Batang Angkola dan menanggulangi potensi bahaya erosi yang mungkin terjadi maka perlu dilakukan langkah langkah perubahan faktor pola tanam dan jenis tanam di unit unit lahan tertentu. Langkah ini diikuti dengan tindakan mekanik seperti; pembuatan terasering, pembuatan dam pengendali alur atau dam pengendali parit serta pengolahan tanah sesuai dengan garis kontur yang ada.

Dalam pelaksanaan kegiatan ini berbagai pihak, baik individu, masyarakat, swasta dan pemerintah harus bersama sama melakukan upaya pengendalian erosi sehingga bencana alam yang timbul akibat erosi dan sedimentasi di sub DAS Batang Angkola dapat diminimalkan atau bahkan dihindari.


(15)

ABSTRACT

Stem Angkola sub watershed regions geographically located on the line 99 ° 10'0 "- 99 ° 30'0" 99 East longitude and 1 ° 5'0 "- 1 ° 30'0" south latitude. Sub-watershed Area Trunk Angkola is 69735.179 acres and administrative areas are in South Tapanuli District covers 5 districts namely: Sidempuan Padang District, West Sidempuan Padang District, East Padangsidempuan, Siais and Batang Angkola.

The purpose of this study is to analyze the potential loss of land due to water erosion using USLE and look for alternative land uses in an effort to curb erosion. In determining the annual erosion rate with the method used USLE parameters include: rainfall erosivity factors (R), soil erodibility factor (K), the length and steepness of the slope factor (LS) and crop management factors and conservation actions (CP).

The result showed the average erosion rate in sub-watershed is already amounted to 185.68 tonnes / ha / yr or 10.316 mm / yr and included in the category of erosion class IV (severe). Results evaluation and identification of land units to actual erosion danger class showed 8.19% sub-watershed area is in a class I (the category of very mild), 23.24% class II (mild category), 24.54% Class III (medium category) , 36.41% grade IV (severe category), and the remaining 7.50% class V (very severe category).

The prediction results of sediment sub watershed Trunk Angkola with floating sediment discharge analysis method showed values generally relatively large discharge of 129.73 tons / day. But an increase in sediment discharge in which the research results of Irrigation Works in 1997 discharge of sediment still in the range of 6.25 tons / day while the results of this study sediment discharge has reached the range of 129.73 (tons / day).

Efforts to control the direction that is suggested by changing the factor C & P, that is changing the cropping pattern and type of planting according to the conditions of land, When the direction of control is done then the average erosion rate can be derived from 185.68 tonnes / ha / yr or 10.316 mm / yr with erosion class category IV (severe) to 93.35 tons / ha / yr or 5186 mm / yr by erosion class category III (moderate).

To maintain the environment of sub-watershed Stem Angkola erosion and mitigate the potential hazards that may occur it is necessary to step the pace of change factors cropping pattern and type of planting in a particular land unit. This step is followed by mechanical actions such as the manufacture of terraces, dams-making flow controller or controllers trench dams and soil treatment in accordance with the existing contour lines.

In the implementation of these various parties, whether individuals, communities, private sector and government should make efforts together so that the erosion control of natural disasters caused by erosion and sedimentation in the sub watershed Trunk Angkola can be minimized or even avoided.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan dan lingkungan mempunyai hubungan timbal balik. Di dalam pembangunan, manusia merupakan konsumen yang berperan aktif dalam proses pemanfaatan sumber daya alam. Manusia sangat tergantung kepada sumber daya alam sehingga kelestarian akan sumber daya alam itu sangat dipegaruhi oleh aktivitas manusia. Upaya untuk peningkatan pembangunan harus diimbangi dengan upaya mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan.

Pertambahan penduduk dan bentuk kegiatannya akan mengakibatkan bertambahnya tekanan kepada sumberdaya lahan. Sering kita menemukan daerah berbukit dan terjal yang merupakan kawasan lindung digunakan penduduk menjadi areal pertanian tanpa menggunakan masukan agroteknologi yang sesuai. Tekanan ini menyebabkan pola penggunaan lahan dan proporsi lahan untuk pertanian bertambah besar sementara wilayah kawasan lindung dan konservasi menjadi berkurang.

Perubahan penggunaan lahan ini dalam jangka pendek terlihat menguntungkan secara ekonomis karena nilai dan manfaat langsung yang diperoleh namun disisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan dengan adanya kawasan lindung/hutan yang tidak dihitung dalam pengambil kebijakan untuk merubah penggunaan lahan (Crook dan Clapp, 1988).


(17)

Perubahan ini bahkan sering melampaui daya dukung lingkungannya. Dampak yang sering terjadi adalah bertambahnya lahan kritis, meningkatnya erosi dan sedimentasi tanah serta terjadinya peningkatan intensitas banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Kejadian ini, tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat tetapi juga dapat merenggut korban jiwa.

Guna mengantisipasi permasalahan erosi dan sedimentasi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang erosi dan sedimentasi yang memfokuskan kajian mengenai analisis dan pengendalian erosi permukaan. Dengan demikian akan diprediksi berapa besar erosi dan sedimentasi saat ini (base line) dan bagaimana mengurangi besaran erosi itu melalui pengaturan penggunaan tanaman dan konservasi lahan.

Daerah Aliran Sungai yang dipilih untuk penelitian ini adalah Sub DAS Batang Angkola. Sub DAS ini merupakan salah satu anak sungai Batang Gadis yang paling besar, berada di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ketinggian 830 m di atas permukaan laut. Hulu sungai terletak di Desa Huta Ginjang (sebelah Utara Kota Padang Sidempuan) dan mengalir ke arah selatan mengikuti jalan raya dari Kota Padang Sidempuan ke Kota Penyabungan.

Pemilihan Sub DAS ini didasarkan beberapa pertimbangan, antara lain (i) Sub DAS Batang Angkola memiliki suatu peran dan fungsi yang sangat strategis yaitu sebagai penopang perekonomian dan fungsi ekologis (lingkungan) terutama wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dan sekitarnya; (ii) kondisi sungai utama yang bermuara ke sungai Batang Gadis tampak keruh yang mengindikasikan relatif tingginya tingkat


(18)

erosi yang terjadi dan berdampak pada tingginya kandungan bahan padatan tersuspensi (sedimen melayang/suspended sedimen) sehingga pengendalian erosi dan sedimentasi menjadi prioritas penanganan pengelolaan Sub Das Batang Angkola.

1.2. Batasan Masalah

Daerah aliran sungai merupakan satu sistem ekologi yang kompleks yang terdiri dari berbagai komponen. Salah satu komponennya adalah terjadinya erosi. Namun dalam kaitannya dengan tingkat erosi saja, ada banyak jenis jenis erosi yang terjadi. Beberapa diantaranya adalah erosi permukaan (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion), dan erosi pinggir sungai (stream bank erosion) (Foth, 1990).

Analisis prediksi erosi dalam kajian ini dibatasi pada masalah potensi laju erosi yang terjadi pada permukaan lahan, atas dasar karena kajian erosi merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks (terutama dalam hal ketersediaan data) sehingga untuk menghitung dan memprediksi erosi digunakan dengan metode pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation).

Oleh karena erosi yang diteliti merupakan erosi permukaan maka pengukuran sedimentasinya yang dilakukan adalah pengukuran sedimen yang melayang (suspended sedimen). Sedangkan pengendalian erosi berdasarkan pada kondisi per unit lahan yang sesuai menurut pengelolaannya (faktor pengolahan tanaman atau tindakan konservasi).


(19)

1.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan maka dirumuskan beberapa hipotesis, antara lain:

1. Penggunaan lahan saat ini menyebabkan tingginya tingkat erosi permukaan di Sub DAS Batang Angkola.

2. Kekeruhan air di sungai Batang Angkola mengindikasikan tingkat sedimentasi yang besar di Sub DAS Batang Angkola.

3. Mengendalikan erosi dan sedimentasi dengan cara perubahan pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi akan menurunkan besaran erosi dan sedimentasi yang terjadi.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian erosi dan sedimentasi pada Sub-DAS Batang Angkola adalah:

1. Untuk mengetahui laju erosi permukaan pada Sub-DAS Batang Angkola. 2. Untuk mengetahui besarnya laju sedimentasi pada Sub-DAS Batang Angkola.

3. Untuk mengidentifikasi tingkatan bahaya erosi satuan-satuan unit lahan pada Sub DAS Batang Angkola.

4. Untuk mengendalikan laju erosi permukaan dan menetapkan rancangan kegiatan rehabilitasi lahan pada Sub-DAS Batang Angkola.


(20)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian erosi dan sedimentasi pada Sub-DAS Batang Angkola di antaranya sebagai berikut:

1. Tersedianya data mengenai laju erosi tanah, laju sedimentasi yang terjadi pada Sub-DAS Batang Angkola.

2. Tersedianya rancangan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan pada Sub-DAS Batang Angkola.

3. Sebagai bahan masukan dan acuan bagi instansi terkait (Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan) dalam menentukan kebijakan yang menyangkut rencana pengelolaan dan pelestarian kawasan pada Sub-DAS Batang Angkola.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menyimpan, menampung dan mengalirkan air curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke laut atau danau (Manan, 1978).

Menurut Budhiyono dan Murdhiyono (1982), DAS merupakan ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan iklim). Interaksi yang ada dinyatakan dalam bentuk keseimbangan input dan output air serta sedimen yang dikeluarkan.

DAS mempunyai ciri-ciri luas dan bentuk daerah, keadaan topografi, kepadatan drainase, geologi dan elevasi rata-rata DAS (Subarkah, 1980). Sedangkan keadaan fisik daerah aliran sungai dipengaruhi oleh tiga parameter yaitu tanah, vegetasi dan sungai.

Faktor tanah meliputi luas DAS, topografi, jenis tanah, penggunaan tanah, kadar air tanah dan kemampuan tanah menyerap air. Sedangkan vegetasi meliputi jenis tanaman, kapasitas pengambilan air oleh tanaman, luasan hutan dan kemampuan tanaman mengendalikan air. Sungai meliputi luas penampang sungai, debit air sungai dan kapasitas penampungan sungai.


(22)

Vegetasi menahan sebahagian hujan yang jatuh, sebahagiannya lagi jatuh di permukaan tanah. Jika kapasitas intersepsi, infiltrasi dan bagian yang cekung telah

terpenuhi, maka akan terjadi proses aliran permukaan yang menyebabkan erosi (Subarkah, 1980).

Menurut Sosrodarsono dan Tekeda (1982), bahwa bentuk daerah aliran sungai terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. DAS berbentuk bulu burung mempunyai debit banjir yang kecil, karena waktu tiba banjir berbeda-beda dan banjir berlangsung agak lama.

b. DAS yang berbentuk radial, mempunyai debit banjir yang besar di dekat pertemuan anak-anak sungainya.

c. DAS yang berbentuk paralel, banjir akan terjadi di daerah sebelah hilir titik pertemuan sungai.

2.2. Mekanisme Terjadi Erosi

Proses terjadinya erosi pada permukaan lahan, umumnya disebabkan oleh faktor-faktor iklim (intensitas curah hujan), tanah, topografi, vegetasi dan faktor pengolah tanah. Curah hujan yang jatuh langsung atau tidak langsung dapat mengikis permukaan tanah yang secara perlahan dengan pertambahan waktu dan akumulasi intensitas hujan akan mendatangkan erosi (Kironoto, 2003).

Erosi kulit/permukaan (sheet erosion) yang terjadi ketika lapis tipis permukaan tanah terkikis oleh kombinasi air hujan dan air larian (runoff), berawal dari adanya tenaga kinetik air hujan yang menyebabkan lepasnya partikel-partikel


(23)

tanah dan bersama-sama dengan pengendapan sedimen (hasil erosi) di atas permukaan tanah, menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori-pori tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah (Asdak, 1995).

Umumnya daerah-daerah di Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi dan fenomena ini akan mempengaruhi kondisi alam itu sendiri, seperti halnya hujan merupakan salah satu faktor terpenting menyebabkan terjadinya erosi (Dirjen Pengairan, 1997).

Adapun faktor-faktor penyebab erosi (Asdak, 1995) adalah: 1. Iklim : intensitas hujan dan lama angin

2. Tanah : erodibilitas (kemampuan dan ketahanan tanah) 3. Topografi : panjang dan kemiringan lereng

4. Vegetasi : macam dan kemampuan penutup lahan

Ditinjau dari mekanisme terjadi erosi yang berbeda antara satu dengan lainnya maka bentuk-bentuk erosi yang dipercepat (accelerated erosion) oleh faktor-faktor di atas faktor-faktor di atas bersama dengan faktor campur tangan manusia terhadap lahan, maka erosi ini dibedakan menjadi empat jenis, di samping adanya erosi yang terjadi secara alamiah (normal erosion), seperti yang terlihat dalam skema berikut ini:


(24)

Berdasarkan batasan masalah sebelumnya, penelitian ini hanya menguraikan sebatas masalah erosi kulit/permukaan (sheet erosion). Adapun proses terjadinya erosi permukaan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hujan menimpa permukaan lahan.

2. Energi jatuhnya titik hujan menyebabkan terlepasnya butir-butir tanah, dan energi ini tergantung pada ukuran dan kecepatan jatuhnya tetesan hujan. 3. Terlepasnya butiran tanah sangat tergantung pada stabilitas tanah tersebut

yang sangat dipengaruhi oleh tingkatan struktur tanah, kandungan bahan organik, persentase clay, silt, pasir dan sebagainya.

4. Air hujan yang jatuh akan meresap kedalam tanah (infiltrasi), sebagian lain akan mengalir sebagai aliran permukaan, yang sangat tergantung pada

EROSI (Erosion)

Erosi yang Dipercepat (Accelerated Erosion)

Erosi secara Alamiah (Normal Erosion)

Erosi Permukaan (Sheet Erosion)

Erosi Alur (Riil Erosion)

Erosi Parit (Gully Erosion)

Erosi Tebing Sungai (Stream Bank Erosion)


(25)

kapasitas infiltrasi tanah, di mana kapasitas infiltrasi tergantung pada permeabilitas dan keadaan permukaan tanah tersebut.

5. Aliran permukaan akan membawa butiran-butiran tanah yang terlepas dan juga mengikis butiran-butiran tanah yang dilewatinya.

6. Akibatnya akan terjadi erosi permukaan, jika ketahanan tanah terhadap erosi (soil erosion) pada seluruh permukaan sama dan selanjutnya akan terjadi erosi alur (rill erosion) jika ketahanan tanah terhadap erosi pada permukaan tidak seragam.

2.3. Prediksi Laju Potensi Erosi

Untuk memprediksi laju potensi erosi adalah sangat diperlukan dan merupakan alat untuk menilai apakah suatu program atau tindakan konservasi tanah telah berhasil atau belum dalam mengurangi erosi yang terjadi pada suatu bidang tanah (lahan) atau pada suatu daerah aliran sungai (DAS).

Dalam penelitian ini, untuk memprediksi laju potensi erosi suatu luasan permukaan lahan dilakukan dengan metode pendekatan parametric “The Universal

Soil Loss Equation” (USLE), yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965,

1978). USLE merupakan suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) dan erosi alur (gully erosion) pada suatu keadaan lahan tertentu (B.A. Kirono, 2003).

Parameter-parameter utama yang mempengaruhi laju erosi dalam metode pendekatan USLE sesuai dengan persamaan berikut:


(26)

A = R K L S C P ... (2.1) dengan : A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/thn)

R = faktor curah hujan (erosivitas hujan) K = faktor erodibilitas tanah

L = faktor panjang lereng S = faktor kecuraman lereng

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah 2.3.1. Erosivitas Hujan (R)

Pengaruh iklim terhadap erosi dinyatakan dengan faktor erosivitas hujan melalui intensitas dan distribusinya, yang pada analisis ini menggunakan data masukan hujan dari stasiun (cathment rainfall) yang berpengaruh pada Sub-DAS Batang Angkola. Besaran hujan diperoleh dengan merata-ratakan hujan titik (point rainfall), dengan cara analisis rata-rata aljabar (main arithmetic method), cara polygon Thiessen (Thiessen polygon) dan dengan cara Isohiet (Isohyet method).

Dalam kajian ini dipilih menggunakan cara polygon Thiessen, untuk memberikan bobot tertentu pada masing-masing hujan, sebagai fungsi jarak antar stasiun. Tata cara hitungan hujan rata-rata Sub-DAS Batang Angkola dengan polygon thiessen sebagai berikut:

a. Seluruh pos hujan dihubungkan dengan garis lurus, yang akan membentuk jaring-jaring segitiga.

b. Pada jaring segitiga yang terbentuk, masing-masing ditarik garis sumbunya dan semua garis sumbu akan membentuk polygon.


(27)

c. Luasan daerah dengan hujan yang mewakilinya oleh satu stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis polygon tersebut, atau dengan batas DAS.

d. Luasan daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksi.

Adapun hujan rata-rata DAS dari polygon Thiessen dapat menggunakan persamaan (Sri Harto Br, 2000):

Pd = Pi ... (2.2)

 = Ai/A

dengan Pd = hujan rata-rata DAS (mm)

Pi = hujan masing-masing stasiun (mm)

= koefisien Thiessen

Ai = luas masing-masing polygon (km2 atau Ha) A = luas DAS (km2)

Persamaan USLE (2.1) menetapakan bahwa nilai R yang merupakan daya perusak hujan (erosivitas hujan) tahunan dapat dihitung dari data curah yang didapat dari stasiun curah hujan otomatik atau dari data penangkar curah hujan biasa. Erosivitas hujan merupakan fungsi dari energi kinetik (E) total hujan dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit dengan satuan (ton/ha/cm hujan), yang dihitung dengan persamaan:

E = 210 + 89 log i ... (2.3) dengan : E = energi kinetik (ton/ha/cm hujan)

i = intensitas hujan (cm/jam)

Menurut Wischmeier faktor R dapat juga ditentukan dengan persamaan:


(28)

dengan : E = energi kinetiK (ton/ha/cm hujan)

i = intensitas hujan maksimum selama 30 menit(cm/jam)

Metode pendekatan Bols (1978), menghitung EI30 dengan menggunakan data

hujan harian, hari hujan dan hujan bulanan yang terbatas pada daerah Pulau Jawa dan Madura, dengan formulasi sebagai persamaan berikut:

(a). Rd = 2,467 (Pd)2/0,02727Pd+0,725 ... (2.5) Di mana: Rd = erosivitas hujan harian

Pd = curah hujan harian (cm)

(b). Rm = 6,119 (Pm)1,21(HH)-0,47(Pmax)0.53 ... (2.6)

Di mana: Rm = erosivitas hujan bulanan Pm = curah hujan harian (cm)

HH = hari hujan dalam satu bulan (hari)

P max = hujan harian maximum bulan yang bersangkutan (cm)

(c). Apabila data hujan harian maksimum pada bulan yang akan dihitung erosivitasnya tidak ada, hanya tersedia data hujan bulanan maka dapat digunakan persamaan:

Rm = 2,21 (Pm)1.36(2.7) ... (2.7) 2.3.2. Erodibilitas Tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah ialah kemampuan/ketahanan partikel tanah terhadap pengelupasan dan pemindahan tanah akibat energi kinetik hujan. Nilai erodibilitas tanah tergantung pada topografi, kemiringan lereng dan akibat perlakuan manusia, juga ditentukan oleh pengaruh tekstur tanah, stabilitas agregat, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan non organik tanah. Nilai K dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:


(29)

dengan : M = persentase fraksi pasir sangat halus dan debu (diameter 0,10-0,05 mm dan 0,05-0,02 mm) x (100-persentase fraksi lempung),

a = persentase bahan organic,

b = kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah c = kelas permeabilitas profil tanah

Tabel 2.1. Kode Struktur Tanah

Kelas Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Kode (b)

Granular sangat halus ( 1mm) Granuler halus (1-2mm) Granuler sedang sampai kasar

Berbentuk blok, blocky, plat dan massif

1 2 3 4

Sumber: B.A Kironoto, 2003

Tabel 2.2. Kode Permeabilitas Profil Tanah

Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode (c)

Sangat lambat Lambat

Lambat sampai sedang Sedang

Sedang sampai cepat Cepat

0,50

0,50 – 2,00 2,00 – 6,30 6,30 – 12,70 12,70 – 25,40

25,40

6 5 4 3 2 1

Sumber: B.A Kironoto, 2003

Untuk beberapa jenis tanah di Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas RLKT, Departemen Kehutunan, nilai K dapat diperoleh sesuai dengan Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3. Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K)

No Jenis Tanah Nilai K

1 2 3 4 5 6 7 8

Latosol coklat kemerahan dan litosol Latosol kuning kemerahan dan litosol Komplek mediteran dan litosol Latosol kuning kemerahan Grumusol Alluvial Regosol Latosol 0,43 0,36 0,46 0,56 0,20 0,47 0,40 0,31


(30)

2.3.3. Faktor Panjang Lereng (L)

Panjang lereng diukur dari suatu tempat pada permukaan tanah di mana erosi mulai terjadi sampai pada tempat di mana terjadi pengendapan (oleh karena

berkurangnya kecuraman lereng), atau sampai pada tempat di mana aliran air di permukaan tanah masuk ke dalam saluran. Nilai L dinyatakan seperti persamaan

berikut (Asdak, Hand Book, 1995):

L = (X/22,10)m ... (2.9) Di mana: L = faktor panjang kemiringan lereng tanah (m)

X = panjang lereng (m)

m = konstanta, tergantung dari kemiringan tanah dengan: m = 0,2; kemiringan lereng  1%

m = 0,3; kemiringan lereng  1% sampai dengan  3% m = 0,4; kemiringan lereng  3 % sampai dengan  5% m = 0,5; kemiringan lereng  5%

2.3.4. Faktor Kecuraman Lereng (S)

Apabila kecuraman lereng S bertambah, maka erosi akan meningkat lebih besar jika dibandingkan dengan aliran permukaan. Kecuraman lereng dinyatakan dengan sudut lereng atau persen, dan nilai faktor S menurut persamaan USLE adalah (Asdak, 1995):

S = 65,42 Sin2+4,56Sin+0,065 ... (2.10) dengan  adalah sudut lereng (derajat), dan jika dipergunakan kecuraman lereng dalam (persen), maka persamaan faktor S menjadi:

S = 0,43 + 0,30 s + 0,043 s2/6,613 ……….. (2.11)


(31)

S = 0,065 + 0,045 s + 0,0065 s2 ……… (2.12)

dengan: s adalah kecuraman lereng dalam (persen).

Di dalam praktek lapangan nilai L dan S sering dihitung sekaligus berupa faktor LS dan untuk suatu bidang tanah dapat dihitung dengan persamaan:

LS = (X/22,10)m(0,065+4,56Sin+65,41 Sin2 ... (2.14) Atau

LS = (X/22,10)m(0,065+4,56 s + 65,41 s2 ……….. (2.15)

dengan: m = konstanta seperti dalam persamaan (2.8)

= sudut kemiringan lereng tanah (derajat)

s = kemiringan lereng tanah (persen)

Untuk nilai s = 9 persen, digunakan nilai m=0.5, sehingga diperoleh persamaan: LS =  X (0,0138+0,00965 s + 0,00138 s2) ... (2.16) dengan X = panjang lereng (m),

s = kecuraman lereng (persen)

Departemen Kehutanan memberikan Nilai Faktor Kemiringan Lereng, yang ditetapkan berdasarkan kelas lereng, seperti dalam Tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4. Penilaian Kelas Lereng dan Faktor LS

Kelas Lereng Kemiringan Lereng Nilai LS

I II III IV V

0-8 8-15 15-25 25-40

40

0,40 1,40 3,10 6,80 9,50


(32)

2.3.5. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Faktor pengelolaan tanaman merupakan rasio tanah yang tererosi pada suatu jenis tanaman terhadap tanah yang tererosi pada kondisi permukaan lahan yang sama tetapi tanpa pengelohan tanaman. Besarnya faktor C dapat diperhitungkan dari jenis tata guna lahannya (Asdak, 1995). Untuk beberapa macam penggunaan lahan, nilai faktor C (pengelolaan tanaman) disesuaikan menurut Tabel 2.5.

2.3.6. Faktor Tindakan Khusus Konservasi Tanah (P)

Adanya tindakan pengendalian laju erosi (pengelolaan) secara mekanis, seperti penanaman mengikuti faktor C, strip cropping, dan pembuatan teras adalah merupakan nilai dari faktor P. Penentuan nilai faktor P seperti halnya faktor C. Faktor P adalah perbandingan antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu pada petak standar terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah menurut arah lereng.


(33)

Tabel 2.5. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

No Macam Penggunaan Nilai Faktor C

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Tanah terbuka/tanpa tanaman Sawah Tegalan Ubikayu Jagung Kedelai Kentang Kacang tanah Padi Tebu Pisang

Akar wangi (sereh wangi) Rumput bede (tahun pertama) Rumput bede (tahun kedua) Kopi dengan penutup tanah buruk Talas

Kebun campuran: kerapatan tinggi Kerapatan sedang

Kerapatan rendah Perladangan

Hutan alam: serasah banyak Serasah kurang

Hutan produksi: tebang habis Tebang pilih

Semak belukar/padang rumput Ubi kayu + kedelai

Ubi kayu + kacang tanah Padi – sorgum

Padi – kedelai

Kacang tanah + gude (tanaman polongan) Kacang tanah + kacang tunggak

Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha Padi + mulsa jerami 4 ton/ha

Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman Alang-alang murni subur

1,00 0,01 0,70 0,80 0,70 0,399 0,40 0,20 0,561 0,20 0,60 0,40 0,287 0,002 0,20 0,85 0,10 0,20 0,50 0,40 0,001 0,005 0,50 0,20 0,30 0,181 0,195 0,345 0,417 0,495 0,571 0,049 0,096 0,128 0,259 0,377 0,079 0,357 0,001 Sumber: B.A. Kironoto, 2003


(34)

Adapun nilai P untuk beberapa tindakan konservasi sesuai pada Tabel 2.6. Menurut Abdurrachman (1984) penilaian faktor P lebih mudah bila digabungkan dengan faktor C menjadi CP, nilai faktor ini untuk beberapa jenis penggunaan lahan telah ditentukan berdasarkan penelitian di pulau Jawa, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Nilai-nilai Faktor Konservasi Tanah (P)

No Tindakan Khusus Konservasi Tanah Nilai P

1

2 3

4 5

Teras bangku : Konstruksi baik Konstruksi sedang

Konstruksi kurang baik Teras tradisional baik

Teras guludan : kacang tanah+kedelai Strip tanaman rumput (padang rumput)

Pengolahan tanah & penanaman sesuai garis kontur:

Kemiringan 0-8% Kemiringan 9-20% Kemiringan  20%

Tanpa tidandakan konservasi

Reboisasi dengan penutup tanah pada tahun awal

0.040 0.150 0.350 0.400 0.105 0.400 0.500 0.750 0.900 1.000 0.300

Sumber: B.A. Kironoto, 2003

Dalam keadaan tanah terbuka tanpa tanaman dan tanpa tindakan konservasi khusus, persamaan USLE menjadi:

A = R K L S ………..(2.16)

Oleh karena pengaruh tanaman dan tindakan konservasi terhadap erosi tidak ada, maka nilai C dan P masing-masing sama dengan satu dan persamaan (2.16) memprediksi besarnya “erosi potensial” yang akan terjadi pada sebidang tanah.


(35)

Sedangkan “erosi actual” yaitu erosi yang sebenarnya terjadi untuk sebidang

tanah yang mempunyai tanaman, baik dengan atau tanpa tindakan konservasi, dapat diperoleh dengan memasukkan semua faktor ke dalam persamaan (2.1).

Tabel 2.7. Perkiraan Nilai CP Berbagai Jenis Penggunaan Lahan

Konservasi dan Pengelolaan Tanaman Nilai CP

Hutan :

a. tak terganggu

b. tanpa tumbuhan bawah, dengan serasah c. tanpa tumbuhan bawah, tanpa serasah Semak/belukar:

a. tak terganggu b. sebagian berumput Kebun:

a. Kebun talon b. Kebun pekarangan Perkebunan:

a. penutupan tanah sempurna b. penutupan tanah sebagian Perumputan:

a. penutupan tanah sempurna

b. penutupan tanah sebahagian, ditumbuhi alang-alang c. alang-alang

d. serai wangi Tanaman pertanian: a. umbi-umbian b. biji-bijian c. kacang-kacangan d. campuran e. padi irigasi Perladangan:

a. 1 tahun tanam, 1 tahun bera b. 1 tahun tanam, 2 tahun bera Pertanian dan konservasi: a. mulsa

b. teras bangku c. contour cropping

0.01 0.05 0.50 0.01 0.10 0.02 0.20 0.01 0.07 0.01 0.02 0.06 0.65 0.51 0.51 0.36 0.43 0.02 0.28 0.19 0.14 0.04 0.14 Sumber: B.A. Kironoto, 2003


(36)

2.4. Toleransi dan Klasifikasi Bahaya Erosi 2.4.1. Toleransi Erosi

Untuk mencegah terjadinya erosi sampai batas maksimum yang diijinkan disebut dengan tolerasi erosi dan dimaksudkan untuk mengetahui besarnya erosi yang mungkin masih dapat diimbangi dengan tindakan atau perlakuan manusia yang dapat membantu lajunya pembentukan tanah, sehingga besarnya erosi selalu di bawah laju pembentukan tanah (B.A. Kironoto, 2003).


(37)

Erosi yang dipercepat (accelerated erosion) masih dapat dianggap aman, jika tidak melewati suatu batas toleransi kehilangan tanah (Rusdianto, 2002). Besarnya

Erosi

Berkurannya vegetasi Penutup atau pelindung tanah

Memperbesar aliran permukaan (surface runoff)

Mengurangi tingkat kesuburan tanah

Memperkecil infiltrasi (resapan air kedalam tanah)

Sedimen luruh dan Banjir Bandang

Memperbesar debit sungai

Aliran Sedimen

Pendangkalan waduk, sungai, muara dan

saluran irigasi SEDIMENTASI

Memperkecil kapasitas

tampungan pengaliran alur sungai BANJIR Pengupasan lapisan

Tanah

Gambar 2.2. Bagan Alir Dampak dan Bencana Erosi


(38)

batas toleransi erosi untuk masing-masing jenis tanah yang berbeda, dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim dan lain-lain. Mengacu pada

kriteria yang digunakan Rusdianto (2002), batas toleransi erosi tanah-tanah di Indonesia sesuai dengan Tabel 2.8. Kriteria dalam penetapan batas toleransi erosi

adalah kedalaman efektif lapisan (solum) tanah dan laju permeabilitas.

Batas nilai toleransi erosi untuk tanah-tanah yang memiliki solum dangkal nilainya kecil bahkan nol, maka pada tanah tersebut tidak boleh terjadi erosi, sedangkan untuk tanah yang memiliki lapisan dalam dan permeabilitas cepat, nilai batas erosinya lebih tinggi. Kedalaman efektif lapisan tanah adalah kedalaman yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus akar.

Tabel 2.8. Pedoman Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) untuk Tanah- tanah di Indonesia

No Sifat Tanah dan Subtratum Nilai T

(mm/tahun)

1. Tanah sangat dangkal di atas batuan 0,0

2. Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk (tidak

terkonsolidasi) 0,4

3. Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 0,8

4. Tanah dengan kedalaman sedang diatas bahan telah

melapuk 1,2

5. Tanah dalam dengan lapisan bawah yang kedap air di atas

bahan yang telah melapuk 1,4

6. Tanah dalam dengan lapisan bawah memiliki

permeabilitas lambat, di atas bahan yang telah melapuk 1,6 7. Tanah dalam dengan lapisan bawah memiliki

permeabilitas sedang di atas bahan yang telah melapuk 2,0 8. Tanah dalam dengan lapisan bawah yang memiliki

permeabilitas cepat di atas bahan yang telah melapuk 2,5


(39)

Adapun kriteria kedalam tanah adalah, bila tanah mempunyai lapisan dengan kedalaman  90 cm dinyatakan tanah bersolum dalam, 50 -  90 cm tanah bersolum sedang, 25 -  50 cm tanah bersolum dangkal dan apabila  25 cm dinyatakan sebagai tanah bersolum sangat dangkal.

2.4.2. Klasifikasi Bahaya Erosi

Klasifikasi bahaya erosi ini dapat memberikan gambaran, apakah tingkat erosi yang terjadi pada suatu lahan ataupun DAS sudah termasuk dalam tingkatan yang membahayakan atau belum, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.9 berikut:

Tabel 2.9. Klasifikasi Bahaya Erosi

Kelas Bahaya Erosi Tanah Hilang

(ton/ha/tahun)

Keterangan

I  15 Sangat Ringan

II 15-60 Ringan

III 60-180 Sedang

IV 180-480 Berat

V  480 Sangat Berat

Sumber: B.A. Kironoto, 2003

Jadi jika besarnya erosi yang terjadi dari hasil perhitungan USLE lebih besar dari nilai T, maka faktor C dan P atau keduanya harus diubah. Yaitu dengan mengubah jenis tanaman dan pola tanam dan/atau dengan tindakan konservasi tanah, dengan demikian sehingga nilai hasil erosi, A  T.

2.5. Dampak dan Bencana Erosi

Pada kenyataannya bahwa kerusakan akibat erosi yang ditimbulkan oleh pengaruh kegiatan manusia lebih besar dari pada kerusakan akibat erosi yang


(40)

disebabkan oleh kekuatan alam. Maka dapat dipastikan bahwa selama manusia belum mengetahui dan menyadari bahaya yang ditimbulkan erosi, seperti tidak akan ada artinya segala usaha yang dilakukan untuk menanggulangi erosi dengan cara-cara lain (PU. Pengairan, 1997).

Masalah erosi dan sedimentasi sangat erat hubungannya dan pengaruh masing-masing dapat saling memberatkan. Dalam skala khusus dampak yang ditimbulkan oleh erosi adalah terhadap kerusakan permukaan lahan (tanah) seperti menurunkan permeabilitas tanah, hilangnya unsur hara ataupun berkurangnya infiltrasi air permukaan kedalam tanah. Pada sisi lain secara umum dampak yang ditimbulkan oleh erosi permukaan merupakan awal dari proses terjadinya sedimen melalui aliran sedimen dari permukaan lahan yang telah terkikis. Hal ini akan berpengaruh pada kapasitas tampungan sungai, waduk akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian bagi manusia dan lingkungan jika terjadi banjir.

2.6. Pengendalian Erosi

Suatu tindakan dan kesadaran mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadinya dan meluasnya erosi permukaan. Menurut Chay Asdak (2002) berikut ini adalah beberapa tuntunan praktis tentang cara melakukan pencegahan erosi:

1. Menghindarkan praktek bercocok tanam yang bersifat menurunkan permeabilitas tanah.


(41)

2. Mengusahakan agar permukaan tanah sedapat mungkin dilindungi oleh vegetasi berumput atau semak selama dan serapat mungkin.

3. Menghindari pembalakan hutan dan penggembalaan ternak berlebihan di daerah dengan kemiringan lereng terjal.

4. Merencanakan dengan baik pembuatan jalan di daerah rawan erosi/tanah longsor sehingga aliran air permukaan tidak mengalir ke selokan-selokan di tempat rawan tersebut.

5. Menerapkan teknik-teknik pengendali erosi pada lahan pertanian, dan mengusahakan peningkatan laju infiltrasi.

Suatu tindakan pengendalian erosi dengan metode konservasi tanah dapat dilaksanakan dengan manfaat langsung dengan memahami proses dan mekanisme terjadinya erosi. Teknik-teknik konservasi bertujuan dan dirancang untuk:

1. Mencegah erosi percikan akibat curahan air hujan langsung atau melalui air lolos. 2. Meningkatkan kekasaran permukaan tanah untuk menurunkan kecepatan aliran

air permukaan.

3. Memperpendek panjang lereng dan mengurangi kemiringan lereng, dan dengan demikian, mereduksi kekuatan aliran air permukaan.

4. Memperbesar laju infiltrasi air hujan sehingga dapat memperkecil jumlah dan kecepatan air larian.

5. Mencegah terkonsentrasinya aliran air permukaan membentuk saluran-saluran air yang kondusif terhadap terbentuknya erosi parit.


(42)

Untuk mencegah dan mengendalikan erosi permukaan ini, harus sesuai dengan kondisi lahan yang ditinjau dan memakai ketetapan-ketetapan dalam persamaan USLE terutama dalam hal faktor C (pengelolaan tanaman) dan faktor P (tindakan khusus konservasi tanah).

Pengendalian erosi dapat dilakukan dengan menurunkan nilai C dan P. Pada prinsipnya harus diketahui keadaan tataguna lahan (eksisting) dan peruntukan lahan terhadap suatu kawasan fungsional. Adapun kriteria penentuan status kawasan menurut Departemen Kehutanan adalah sebagai berikut ini (Asdak, 2002)

a. Kawasan Lindung

Suatu lahan dengan faktor fisiknya memenuhi kriteria salah satu atau beberapa syarat di bawah ini:

1. Mempunyai kemiringan lereng > 45%.

2. Tanah dengan klasifikasi sangat peka terhadap erosi dan mempunyai kemiringan lereng > 15%.

3. Merupakan jalur pengaman aliran sungai, sekurang-kurangnya 100 m di kiri-kanan alur sungai.

4. Merupakan pelindung mata air, yaitu 200 m dari pusat mata air. 5. Berada pada ketinggian ≥ 2000 dpl.


(43)

b. Kawasan Penyangga

Suatu lahan dengan memenuhi kriteria umum sebagai berikut:

1. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara ekonomis.

2. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga.

3. Tidak merugikan dari segi ekologi/lingkungan hidup.

c. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan

Suatu lahan yang sesuai untuk dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (tanaman perkebunan dan tanaman industri). Selain itu areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga.

d. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim

Suatu lahan dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan serta terletak di tanah milik, tanah adat, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman semusim.

Dalam kajian ini dengan mengacu pada kriteria di atas, arahan penggunaan lahan didasarkan pada Arahan Penggunaan Lahan dari Balai DAS Serayu Opak Departemen Kehutanan Yogyakarta. Singkatan atau inisial kawasan untuk penggunaan lahan adalah sebagai berikut:

A = kawasan lindung

B = kawasan penyangga


(44)

D = kawasan budidaya tanaman semusim.

T3 = penyempurnaan teras dengan penanaman kakao, kopi, atau rumput. L8 = pengaturan drainase, saluran, jalan dan halaman.

V2b = pola tanam tumpang gilir (crop rotation) tembakau dengan, jagung, kacang tanah + mulsa sisa tanaman.

V3 = hutan produksi terbatas.

V5a = hutan rakyat dengan jenis tanaman pokok albizia, mahoni, sengon, jati dan murbei.

V6a = kebun campuran dengan tanaman pokok kakao, kopi, kelapa, cengkeh. V6b = agroforestry dengan jenis tanaman pokok albizia, mahoni, sengon, dan

jati.

KC = kebun campuran, TG: tegalan, SB: semak belukar, HT: hutan, SI: sawah beririgasi, ST: sawah tadah hujan, PK: pemukiman/kampung, ke: kelapa, ch: cengkeh, kl: ketela, sgn: sengon, mli: melinjo, ps: pisang, dr: durian, jt: jati, ar: aren, km:kayu manis, kp: kapulaga, pan: panili, tb: tebu, rb: rambutan, jb: jambu, kle: kedele, bw: bawang, kk: kakao, kt:kentang, jg: jagung, jh:jahe, cb: cabai.

2.7. Sedimentasi

2.7.1. Pengertian Sedimentasi

Sedimentasi biasanya digambarkan sebagai partikel pada yang digerakkan oleh fluida (Chow, 1964), sedangkan menurut Manan (1979), sedimentasi adalah


(45)

proses pengendapan dari bahan organik dan nonorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air. Pada DAS, partikel dan unsur hara yang larut dalam aliran permukaan, akan mengalir ke sungai dan teluk sehingga terjadi pendangkalan.

Shen (1971), mengemukakan bahwa partikel sedimen diangkut oleh aliran air dengan salah satu atau kombinasi dari mekanisme pengangkutan yang terdiri atas:

1. Perayapan (surface creep), di mana partikel sedimen bergerak menggelinding (rolling) atau menggeser (slidding) di atas dasar sungai.

2. Saltasi (saltation), di mana partikel sedimen bergerak dengan melompat lompat (leaping) di atas dasar sungai dan ada kalanya berhenti (resting) kemudian melompat lagi.

3. Suspensi (suspended), di mana partikel sedimen selama bergerak didukung oleh fluida di sekitarnya (supported) sehingga tidak bersentuhan dengan dasar sungai.

Sedimen di mana partikelnya bergerak melayang dalam air yang dibawa oleh aliran air yang dibawa oleh aliran air disebut suspended load atau muatan melayang. Sedimen yang digerakkan partikel partikelnya dengan cara menggelinding, bergeser dan melompat disebut bed load atau muatan dasar.

Batas yang jelas antara keduanya sukar sekali, secara umum tinggi maksimum bed load dari dasar sungai berada 2 atau 3 kali diameter partikelnya. Menurut Linsley

et al. (1988), berdasarkan asalnya sedimen terdiri dari atas dua bagian, yaitu:

1. Angkutan sedimen dasar (bed material transport), di mana asal materialnya dari saluran sendiri sehingga dapat terdiri dari bed load dan suspended load.


(46)

2. Muatan hanyutan (wash load), di mana materialnya didatangkan dari sumber sumber luar saluran (erosi) dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan keadaan setempat. Umumnya wash load sebagai suspended load.

2.7.2. Karakteristik Sedimen

Beberapa hal yang menunjukkan karakteristik sedimen, yaitu ukuran partikel dan kecepatan jatuh dari sedimen. Ukuran partikel dan pola penyebarannya adalah

penting dalam analisa sedimen. Penyebaran sedimen di sungai, apakah bergerak di dasar sungai atau merupakan suspense. Kecepatan jatuh partikel juga berperan

penting dalam menentukan ukuran maupun posisi partikel di sungai (Shen, 1979). Pergerakan partikel sedimen di sungai dipengaruhi oleh gaya gravitasi, gaya tahanan air dan gaya akibat pergerakan air.

Klasifikasi ukuran sedimen direkomendasikan oleh sub Komisi Teknologi Sedimen, Komisi Dinamika Sungai, Persatuan Ahli Geofisika Amerika Serikat, menjadi 6 kelas (Yuswadi, 1982) sebagai berikut:

1. Batu, diameter lebih besar dari 250 mm. 2. Kerakal, diameter 64 mm sampai 250 mm. 3. Kerikil, diameter 2 mm sampai 64 mm. 4. Pasir, diameter 62 µm sampai 200 µm. 5. Debu, diameter 62 µm sampai 200 µm. 6. Liat, diameter 62 µm sampai 200 µm.


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sub DAS Batang Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah sub DAS Batang Angkola secara geografis terletak pada garis 99°10’0” - 99°30’0”99 Bujur Timur dan 1°5’0” - 1°30’0” Lintang Selatan dengan

ketinggian 830 m di atas permukaan laut.

Hulu sungai terletak di Desa Huta Ginjang (sebelah Utara Padang Sidempuan) dan mengalir ke arah selatan mengikuti jalan raya dari Kota Padang Sidempuan ke Kota Penyabungan. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2005 s.d Mei 2006.

3.2. Bahan dan Peralatan

Bahan yang dipergunakan adalah data-data primer dan sekunder serta beberapa peta sebagai berikut:

1. Data Curah Hujan.

2. Peta Sub-DAS Batang Angkola. 3. Peta topografi.

4. Peta Jenis Tanah. 5. Peta Penggunaan Lahan.

Sedangkan peralatan yang diperlukan selama penelitian, yaitu: 1. Suspended sediment sampler.

2. Kertas filter oven pengering. 3. Peralatan menggambar. 4. Kalkulator.


(48)

6. Peralatan tulis-menulis.

3.3. Metode

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap studi secara terpisah, yang pertama ialah menghitung laju erosi dengan metode USLE dan perhitungan sedimentasi yang terjadi. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:

a. Pembuatan Peta Sub-DAS Batang Angkola

Peta Sub-DAS Batang Angkola diproses melalui bantuan program ArcGIS

untuk mendapatkan koordinat rupa bumi dengan skala peta DAS yang sesuai, kemudian diperoleh luasan sub DAS yang diperlukan (lihat Gambar 3.1).

b. Perhitungan Faktor Erosivitas Hujan (R)

Faktor erosivitas hujan (R) dimulai dengan menghitung jumlah stasiun hujan yang berpengaruh pada Sub-DAS Batang Angkola.

c. Pembuatan Peta Poligon Thiessen

Untuk mengetahui sejauhmana besarnya pengaruh dari pada masing-masing stasiun curah hujan pada sub DAS dibuat dengan peta polygon Thiessen, karena cara ini dipandang cukup baik dalam memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang diwakili (Harto, 1993).

Semua stasiun hujan dihubungkan dengan garis lurus, sehingga terbentuk segitiga. Kemudian segitiga ditarik garis sumbu yang membagi sisi tersebut sama panjang. Luas daerah yang dipengaruhi oleh masing-masing stasiun hujan adalah luas daerah yang dibatasi oleh garis sumbu dan batas DAS.


(49)

d. Penentuan Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Dalam kajian ini penentuan nilai faktor erodibilitas tanah (K) ditentukan berdasarkan peta penyebaran jenis tanah yang terdapat pada Sub-DAS Batang Angkola.

e. Penentuan Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Dengan menggunakan data pada peta kemiringan lereng, faktor kemiringan lereng (LS) dapat ditentukan.

f. Penentuan Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Konservasi Lahan

Nilai faktor C dan P disesuaikan dari peta tataguna lahan, hasil pengamatan dilapangan serta hasil koordinasi dengan dinas terkait.

g. Pembuatan Peta Unit Lahan

Pembuatan peta Unit Lahan dibuat berdasarkan dengan urutan berikut:

 Menumpangtindihkan (overlay) peta erodibilitas tanah, peta polygon thiessen, dan peta panjang dan kemiringan lereng di atas peta tataguna lahan.

 Hasil overlay adalah unit lahan yang lebih kecil dan masing-masing luasan unit lahan diberi nomor untuk memudahkan dalam analisis selanjutnya.

 Proses pembuatan dan perhitungan luas peta unit lahan dengan bantuan software ArcGIS.


(50)

3.4. Menghitung Besarnya Kehilangan Tanah dengan Metode USLE Beberapa tahapan dalam analisis ini adalah:

a. Perhitungan Laju Erosi, dilakukan pada masing-masing unit lahan dari sub DAS dengan metode pendekatan USLE dengan persamaan berikut:

A = R K L S C P

dengan : A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/thn) R = faktor curah hujan (erosivitas hujan) K = faktor erodibilitas tanah

L = faktor panjang lereng S = faktor kecuraman lereng

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah

Hasil hitungan dibuatkan dalam bentuk tabel bulanan dari Januari s.d Desember. Laju erosi pertahunnya diperoleh dengan menjumlahkan laju erosi setiap bulannya. Perhitungan erosi dilakukan dengan menggunakan Program

Microsoft Excel.

a. Peninjauan Batas Toleransi Erosi (T), diperoleh dari hasil perhitungan laju erosi per tahun per unit lahan (ton/ha/thn), kemudian dengan jenis, sifat dan keadaan tanah unit lahan yang seragam yang mengacu pada Tabel 2.1 sehingga besarnya erosi maksimum yang diizinkan (T) dapat diketahui.

b. Penentuan Klasifikasi Bahaya Erosi, dilakukan dengan membandingkan total tanah yang hilang (tererosi) ter tahun pada masing-masing unit lahan, dengan Tabel 2.2, sehingga diketahui klasifikasi bahaya erosinya.


(51)

3.5. Pemantauan Sedimentasi

Pengambilan contoh/sampel sedimen dilakukan pada di lokasi Kp. Silaiya yang ada di Sub-DAS Batang Angkola di Laboratorium Bapedaldasu.

Selanjutnya parameter-parameter yang diukur untuk keperluan dalam analisis ini, yaitu konsentrasi sedimen melayang/concentration of suspended sedimen Cs (mg/l) dan debit sedimen melayang/discharge of suspended sedimen Qs (gr/detik).

Beberapa tahapan untuk menentukan nilai-nilai Cs, dan Qs menggunakan rumusan sebagai berikut:

a. Analisis Beban Endapan Layang (BEL) dilakukan dengan cara penentuan konsentrasi yang dihitung dengan memakai persamaan sebagai berikut (Chow, 1964):

V G G Cs 2 1

Cs = konsentrasi sedimen (mg/liter)

G2= berat sedimen dan kertas filter dalam kondisi kering (mg) G1= berat kertas filter (mg)

V = volume contoh sedimen (liter)

b. Prediksi laju sedimentasi dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan debit sedimen Qs (gram/detik) sebagai berikut Adapun persamaan umum hubungan keeratan antara Q dan Qs (Gregory and Walling, 1976) yaitu:

Qs = Q Cs

Qs = debit sedimen air sungai (gram/detik) Q = debit limpasan air sungai (m3/detik)


(52)

3.6. Pengendalian Erosi

Tahapan yang dilakukan adalah dengan menghitung erosi dengan metode USLE dengan persamaan A = R K L S C P namun dengan mengubah faktor C dan P atau CP sekaligus. Faktor C dilakukan melalui perubahan pengelolaan tanaman, sedangkan faktor P dengan mengupayakan perubahan pada tindakan konservasi tanah (mekanis). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan nilai laju erosi A (ton/ha/thn).

3.7. Arahan Penggunaan Lahan

Arahan ini ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara penetapan hutan (kawasan lindung), hutan produksi (kawasan penyangga), kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan budidaya tanaman semusim. Kriteria dan tata cara dimaksud adalah berkaitan dengan karakteristik fisik DAS.


(53)

Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian

Pengolahan Data Erosi:

Peta Sub-Das, Tata guna lahan, Unit lahan Peta panjang/Kecuraman lereng

Peta Poligon Thiessen Data hujan/stasiun

Mulai

Pengumpulan Data & Survei

Penetapan Faktor R, K, LS, C dan P

Laju Erosi Aktual A (ton/ha/thn) (Kelas Bahaya Erosi)

Evaluasi Unit Lahan: a. Batas Toleransi Erosi b. Kelas Bahaya Erosi

Arahan Penggunaan/ Penilaian Unit Lahan Arahan Perubahan Nilai

Faktor C & P

Pengendalian Laju Erosi

Rekomendasi

SELESAI Analisis Laju Erosi dengan

Persamaan USLE: A = R K L S C P Pengukuran & Analisis Debit

Sedimentasi Qsi = k x c x Q


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Prediksi Laju Erosi

4.1.1. Peta Sub-DAS Batang Angkola

Dari Peta Sub-DAS Batang Angkola dalam Gambar 4.1, diketahui luasan lahan lokasi penelitian adalah 69.735,179 hektar. Luasan Sub-DAS Batang Angkola meliputi 5 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan antara lain: Kecamatan Padang Sidempuan, Kecamatan Padang Sidempuan Barat, Padangsidempuan Timur, Siais dan Batang Angkola.

4.1.2. Peta Poligon Thiessen

Dalam Peta Poligon Thiessen ini dapat disajikan pengaruh Faktor Erositivas Hujan (R) yang berada dalam sub-DAS (Gambar 4.2). Peta ini dibuat berdasarkan data curah hujan dari 4 (empat) pos hujan yang berada wilayah/sekitar sub DAS Batang Angkola. Pos pos hujan tersebut antara lain: Padang Balangka, Pijar Koling, Huta Holbung dan Marpinggan.

Data yang digunakan untuk membuat Peta Poligon Theissen merupakan data curah hujan bulanan masing-masing pos tersebut selama 10 tahun. Ditinjau dari curah hujan di stasiun hujan dalam peta tersebut, maka luasan lahan sub-DAS digolongkan dalam 4 (empat) zona seperti dalam tabel berikut:


(55)

Tabel 4.1. Zona Pengaruh Erosivitas Hujan pada Sub-DAS Batang Angkola

Zona Stasiun Hujan Luas Luas (%)

I Padang Balangka 33102.58 47.46

II Pijar Koling 14339.08 20.56

III Huta Holbung 10145.01 14.55

IV Marpinggan 12148.51 17.42

Sumber: Hasil Hitungan Soft-Map Info

4.1.3. Faktor Erosivitas Hujan (R)

Data curah hujan menunjukkan bahwa curah hujan maksimum yang terjadi adalah bulan Nopember sebesar 34.5 cm di Stasiun Marpinggan, curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni sebesar 6.1 cm di Stasiun Padang Balangka.

Nilai rerata curah hujan disajikan pada Tabel 4.2 dan nilai Faktor Erosivitas Hujan (Rm) diberikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.2. Jumlah Hujan Rerata Bulanan (Pm)

No Sta. Hujan

Jumlah Hujan Rerata Bulanan (cm/Bulan)

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

1 P Balangka 15.6 11.3 20.6 17.9 11.7 6.1 10.1 10.3 15.3 19.5 24.7 23.8

2 Pijar Koling 17.0 12.3 19.7 21.8 14.7 9.8 11.4 15.0 19.5 20.0 27.4 18.4

3 Huta Holbung 13.3 13.0 18.1 16.3 11.5 6.7 14.5 19.1 13.4 21.9 19.6 20.0

4 Marpinggan 22.7 14.9 22.9 26.7 19.5 14.6 17.6 22.0 27.0 29.3 34.5 27.6

Untuk menghitung erosivitas bulanan digunakan Metode pendekatan Bols (1978) dengan perhitungan I30 menggunakan data hujan bulanan sehingga


(56)

Tabel 4.3. Hasil Hitungan Faktor Erosivitas Hujan (Rm)

No Sta. Hujan

Jumlah Hujan Rerata Bulanan (cm/bulan)

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

1 P. Balangka 92 60 135 112 63 26 51 53 90 126 173 165

2 Pijar Koling 104 67 127 146 86 49 60 88 125 130 199 116 3 Huta Holbung 74 72 113 99 61 29 84 122 75 147 127 130 4 Marpinggan 155 87 156 193 125 85 109 148 196 219 273 201

4.1.4. Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Jenis-jenis tanah yang terdapat pada lahan Sub-DAS Batang Angkola adalah 6 jenis, yaitu tanah Aluvial Coklat Kelabu, Hidromorfik Kelabu, Latosol Coklat, Latosol Coklat Kemerahan, Podsolik Merah Kekuningan & Coklat dan Regosol.

Dari Tabel 4.4 diperoleh nilai faktor erodibilitas tanah. Peta faktor Erodibilitas Tanah (K) dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Tabel 4.4. Zona Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Zona Jenis Tanah Nilai K Luas (Ha) Luas (%)

1 Aluvial Coklat Kelabu 0.47 30761.52 44.11

2 Hidromorfik Kelabu 0.20 3730.90 5.35

3 Latosol Coklat 0.23 5272.45 7.56

4 Latosol Coklat Kemerahan 0.43 19770.04 28.35

5 Podsolik merah kekuningan & Coklat 0.32 7602.27 10.90


(57)

(58)

(59)

(60)

4.1.5. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Nilai-nilai faktor LS pada lahan Sub-DAS Batang Angkola berdasarkan kemiringan lereng yang dihasilkan pada peta LS (lihat Gambar 4.4) dan disesuaikan dengan Tabel 4.4. Nilai LS yang diperoleh ditampilkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Zona Kemiringan Lereng dan Nilai Faktor LS

Zona Kemiringan Lereng (%) Nilai LS Luas (Ha) Luas (Ha)

I 0 - 8 0.40 11775.11 16.89

II 9 - 15 1.40 1288.11 1.85

III 16 - 25 3.10 13870.62 19.89

IV 26 - 40 6.80 4602.43 6.60

V >40 9.50 38198.91 54.77

Sumber: BPN Kab. Tapanuli Selatan dan Hitungan Software map-Info

4.1.6. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) dan Konservasi Lahan (P)

Keadaan tataguna lahan pada Sub-DAS Batang Angkola dapat dilihat pada Gambar 4.5. Tataguna lahan yang terlihat adalah hutan, kebun, semak belukar, sawah, kebun campuran dan pemukiman. Nilai faktor C, P dan CP diberikan dalam Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Nilai Faktor C, P dan CP pada Sub-DAS Batang Angkola

Tata Guna Lahan

Nilai

C P CP

Hutan 0.01

Hutan Log 0.50

Hutan Sekunder 0.05

Karet 0.50 0.150 0.08


(61)

Kelapa Sawit

0.32 0.150 0.05

Pemukiman 0.20

Pinus 0.05

Salak 0.07

Sawah 0.10 0.150 0.02

Semak Belukar 0.30 1.00 0.30

4.1.7. Peta Unit Lahan

Pembuatan peta unit lahan dilakukan dengan memakai program ArcGIS. Peta unit lahan yang diperoleh adalah hasil tumpang tindih (overlay) antara Peta Polygon Thiessen, Peta Erodibilitas Tanah (K), Peta Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) terhadap Peta Tata Guna Lahan.

Jumlah Unit lahan yang diperoleh adalah sebanyak 2180 unit lahan dengan luas total sebesar 69735.179 Ha. Peta unit lahan dapat dilihat pada Gambar 4.6. 4.1.8. Laju Potensi Erosi (A)

Perhitungan laju potensi erosi (A) diperoleh dengan perkalian nilai faktor-faktor parameter USLE (A=R K LS CP) pada masing-masing unit lahan dari setiap bulannya (Januari s.d Desember). Hasil perhitungan laju erosi (eksisting) disajikan dalam Tabel 4.7.


(62)

(63)

(64)

(65)

Tabel 4.7. Resume Perhitungan Laju Erosi Bulan Januari

No UL Unit Lahan Luas (Ha) Rm K LS

Laju Erosi Aktual (Eksisting)

C P CP A

(Ton/Ha/Bln) A=(Ton/Bln)

1 Hutan 256.99 155 0.23 9.50 0.010 3.387 870.35

101 Kebun Campuran 10.90 155 0.23 3.10 0.55 0.150 0.083 9.117 99.36

200 Kebun Campuran 64.44 155 0.43 3.10 0.55 0.150 0.083 17.046 1098.42

300 Kebun Campuran 138.44 155 0.23 3.10 0.55 0.150 0.083 9.117 1262.27

600 Sawah 0.09 155 0.43 0.40 0.10 0.150 0.015 0.400 0.04

700 Hutan Sekunder 70.58 155 0.43 6.80 0.050 22.661 1599.49

800 Pemukiman 0.04 155 0.43 0.40 0.200 5.332 0.23

1000 Kebun Campuran 0.05 155 0.47 9.50 0.55 0.150 0.083 57.096 2.85

1401 Hutan 0.18 92 0.47 9.50 0.010 4.108 0.74

1500 Hutan 0.02 92 0.2 0.40 0.010 0.074 0.00

1600 Semak Belukar 18.85 104 0.47 0.40 0.3 1.0 0.300 5.866 110.55

1700 Hutan Sekunder 1.60 74 0.47 9.50 0.050 16.521 26.45

1930 Kebun Campuran 10.92 74 0.47 9.50 0.55 0.150 0.083 27.259 297.54

1974 Hutan Sekunder 5.88 74 0.14 9.50 0.050 4.921 28.92

2006 Hutan 43.76 74 0.47 9.50 0.010 3.304 144.58

2092 Hutan 0.02 74 0.14 9.50 0.010 0.984 0.02

2180 Kebun Campuran 0.32 74 0.14 9.50 0.55 0.150 0.083 8.120 2.58 Jumlah 69735.179 1014356.56 Catatan:

Perhitungan selengkapnya laju erosi bulan Januari dapat dilihat pada Lampiran 1

Dari hasil hitungan analisis laju erosi permukaan di atas, diketahui erosi permukaan yang terbesar terjadi pada bulan Nopember sebesar 1.449 mm/bulan sedangkan erosi permukaan yang terkecil terjadi pada bulan Juni sebesar 0.385 mm/bulan.


(66)

Perhitungan tersebut (Tabel 4.8) diperoleh laju erosi permukaan (A) rata-rata yang terjadi pada Sub-DAS Batang Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 185.68 Ton/Ha/Thn.

Tabel 4.8. Hasil Hitungan Analisis Laju Erosi Permukaan

No Bulan Luas Unit Lahan

(Hektar)

Erosi (A)

(Ton/Bulan) (mm/Bulan)

1 Januari 69735.179 1013514.16 0.807

2 Februari 69735.179 630760.33 0.502

3 Maret 69735.179 1175956.32 0.936

4 April 69735.179 1282415.56 1.021

5 Mei 69735.179 798174.25 0.635

6 Juni 69735.179 483470.15 0.385

7 Juli 69735.179 707704.94 0.563

8 Agustus 69735.179 943789.03 0.751

9 September 69735.179 1198899.17 0.954

10 Oktober 69735.179 1455043.32 1.158

11 Nopember 69735.179 1820698.85 1.449

12 Desember 69735.179 1427578.10 1.136

A (Ton/tahun) 12938004.17

A (Ton/Ha/tahun) 185.68

A (mm/tahun) 10.298

Sesuai dengan Tabel 2.9, sub-DAS Batang Angkola dapat diklasifikasikan kedalam kelas bahaya erosi kelas IV (berat) karena memiliki A sebesar 185.68


(1)

Konsep penanganan erosi dengan skala prioritas untuk sub DAS Batang Angkola sangat diperlukan dan harus didahului penanganannya dengan evaluasi dan indentifikasi dari unit unit lahan maupun kawasan yang paling rawan dan sangat rentan terjadinya erosi.

Ketersediaan dana, sumber daya manusia, sarana pendukung, kebijakan pemerintah, maupun partisipasi segala lapisan masyarakat dan organisasi non pemerintah sangat diharapkan dalam menciptakan suatu program penanganan dan pengelolaan terpadu terhadap bahaya erosi.

Hal lain yang perlu diperhatikan kembali yaitu tentang aspek tata ruang dan konservasi lahan terhadap pengelolaan lahan hutan log dan kebun campuran. Tindakan konservasi dan pengelolaan tanaman yang benar harus dilaksanakan secara cermat dan berkesinambungan, karena masih terdapat beberapa kawasan rawan erosi dan jenis tanaman yang belum sesuai peruntukkannya dengan kondisi lahan maupun kawasan yang dikelola.

Untuk mendukung keberhasilan pengelolaan erosi, sesuai dengan usulan konsep yang direncanakan, ada beberapa hal yang dirasakan cukup penting yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan, antara lain:


(2)

rekomendasi tentang cara cara pembuatan bangunan bangunan pengendali erosi, saluran pembuangan air (drainase), cara bercocok tanam, pola dan jenis tanamannya.

3. Dalam hal konservasi, dinas terkait dapat memberikan informasi lokasi yang perlu dibuat terasering, bangunan pengendali, drainase, reboisasi, dan penghijauan. Tanaman keras yang sesuai untuk keperluan reboisasi (Subagyono, 2003) antara lain; pohon jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling (Dalbergia latifolia), kayu putih (Melaleuca), rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan tanaman penghijauan antara lain; karet (Hevea braziliensis), cengkeh (Augenia aromatica), kayu manis (Cinnamumum spp), jambu mente (Anacardium accidentale), durian (Durio zibethenus), dan nangka (Artocarpus intergra).

4. Khusus untuk pengendalian erosi sercara praktis perlu juga disampaikan kepada para pengelola lahan untuk menunjang operasional di lapangan antara lain, penggunaan/pemilihan bibit tanaman yang sesuai kondisi lahan, waktu bercocok tanam dan waktu pemberian pupuk.

5. Aspek hukum, yaitu adanya peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan pengelolaan DAS.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisis maupun evaluasi data primer maupun sekunder yang digunakan dalam studi ini dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:

1. Laju erosi permukaan lahan pada Sub-DAS Batang Angkola dengan metode pendekatan USLE dalam rentang waktu tahun 1996-2004, laju erosi potensial yang terjadi adalah sebesar 185,68 ton/ha/thn atau 10,316 mm/thn dan termasuk dalam kategori kelas erosi IV (berat).

2. Debit sedimen melayang sebesar 129,73 ton/hari, hal ini menunjukkan nilai debit yang terjadi relatif besar.

3. Evaluasi dan identifikasi unit lahan terhadap kelas bahaya erosi aktual menunjukkan 8,19% luas sub DAS berada dalam kelas I (kategori sangat ringan), 23,24% kelas II (kategori ringan), 24,54% kelas III (kategori sedang), 36,41% kelas IV (kategori berat), dan sisanya 7,50% kelas V (kategori sangat berat). 4. Dengan mengubah dan menurunkan nilai faktor C dan P dalam persamaan USLE,

laju erosi permukaan pada Sub-DAS Batang Angkola dapat ditekan/diturunkan menjadi sebesar 5.186 mm/tahun atau setara dengan 93.35 ton/ha/tahun dan kelas


(4)

5.2. Saran

1. Mengingat relatif besarnya laju erosi tanah dan hasil sedimen yang terjadi pada Sub DAS Batang Angkola yang dapat mengancam terhadap percepatan pendangkalan dan kehidupan ekosistem perairan pada Batang Angkola, maka disarankan perlu diupayakan tindakan pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan.

2. Pelaksanaan kegiatan pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan pada Sub DAS Batang Angkola, disarankan memperhatikan urutan prioritas satuan lahan berdasarkan tingkatan kekritisan lahan pada masing-masing Sub DASnya, agar efisien dan efektif dalam pemanfaatan dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.

3. Kegiatan rehabilitasi lahan disarankan mengikuti petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan sesuai hasil penelitian ini dengan mengupayakan partisipasi masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lainnya.

4. Diperlukan dukungan Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan terhadap upaya tindakan pengendalian laju erosi tanah dan penanganan rehabilitasi lahan pada Sub DAS Batang Angkola.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. G. Kartasapoetra. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Abdulrachman A., A. Abunyamin dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan Tanah dan Tanaman untuk Usaha Konservasi, Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air, Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

B.A. Kironoto. 2003. Hydraulics of Sedimen Transport, Diktat Kuliah MPBA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Chow, V. T. 1964. Hand Book of Applied Hydrologi. Mc Graw Hill Book Co. Inc. New York.

De Boot & Gariels. 1978. Assesment of Erosion, Jhon Wiley & Sons, Great Britain. Linsley, R. K., M. A. Kohler and L. H. Paulhus. 1988. Hidrology for Enginerss.

International Edition. Mc Graw Hill Book Company. New York.

Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Indonesia.

Morgan, R.P.C. 1986. Soil Erosion and Conservation, Longman Sei, and Tech. Essex. England.

PU. Pengairan. 1996. Pengendalian Erosi dan Sedimentasi, Proyek Pengembangan Teknik Sabo, Departemen PU-Dirjen Pengairan, Yogyakarta.

Rahim, S.E. 2000. Pengendalaian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup, PT. Bumi Aksara, Jakarta.


(6)

Subarkah, I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air, Pradnya Paramita, Bandung.

Schwab. 1976. Elementry Soil and Water Enginering, Jhon Wiley & Son, New York. Shen, H. W. 1979. Introduction Flow Resistance, Sediment Transport, Chapter 1,

Modeling of Rivers, New York.

Sosrodarsono, S. dan T. Takeda. 1982. Hidrologi untuk Pengairan, Pradnya Paramita, Bandung.

Sri Harto BR. 1993. Analisa Hidrologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supli E. R. 2000. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Hidup, PT. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Suresh, R. 2000. Soil and Water Conservation Enginering, Standard Publishers Distribution, New Delhi.

Wani, H. U. 1988. Konservasi Tanah di Indonesia Suatu Rekaan Analisa, Rajawali Pers, Jakarta.

Yamin, M. 2003. Kajian Erosi dan Pengendaliannya pada Lahan Sub-DAS Cikundul Kabupaten Cianjur, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yusnadi. 1982. Pendugaan Erosi dengan Formula USLE dan Analisis Sediment Transport di DAS Cilutung, Skripsi, Jurusan Mekanisasi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.