Aspek Hukum Dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) Pada Teh Poci Di Kota Medan.
ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) PADA TEH POCI DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh :
070200398 M. SUHAJI UTAMA
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) PADA TEH POCI DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh :
070200398 M. SUHAJI UTAMA
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
Menyetujui,
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP. 19660303 198508 1 001 Dr. Hasim Purba,S.H., M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS
NIP. 196 220 421 198 803 1004 NIP. 195 303 121 983 031 002 Ramli Siregar, SH.,M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(3)
ABSTRAK
Sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, sumber daya manusia dan management, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Pertumbuhan Bisnis Franchise di Indonesia terutama pertumbuhan bisnis pada minuman Teh Poci di Kota Medan mengalami peningkatan dan perkembangan di dalam bisnis waralaba. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana memberikan perlindungan pada investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor sering kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan klausula yang diajukan tanpa memperdulikan resiko-resiko yang dihadapi dikemudian hari.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan library research, selain itu tinjauan lapangan terhadap pemilik Teh Poci juga dilakukan untuk melakukan melakukan interview atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu perkembangan waralaba Teh Poci, Teh Poci yang memiliki ciri khas dalam minuman dengan berbagai varian rasa serta modal yang kecil untuk membuka usaha dalam berwaralaba menyebabkan timbulnya beberapa aspek seperi dampak Teh Poci terhadap waralaba lain. Penjualan Teh Poci yang dari segi biaya terjangkau dapat dinikmati semua kalangan merupakan salah satu faktor Teh Poci dapat menjadi waralaba yang semakin baik dan meningkat dalam bidang penjualan tidak hanya dari segi dan dampak tetapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak berasaskan kebebasan berkontrak membuat para pihak yang menjalankannya, Harus menjalankan segala kewajiban dan hak sebagai Produsen dan Konsumen.
Terdapat Ketentuan-ketentuan Peraturan yang memiliki hubungaan dengan
franchise adalah: Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata, Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Usaha Waralaba, Keputusan Menteri Perdagangan Nomor: 376/ Kep/XI/ 1998 Tetang Kegiatan Perdagangan, Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang-Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rasia Dagang, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba
(4)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul “ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN
WARALABA (FRANCHISE) PADA TEH POCI DI KOTA MEDAN” yang
diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan perkuliahan dan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna pada isi maupun penulisannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritikan dalam rangka penyempurnaan dan sebagai bahan perbaikan penulisan skripsi ini untuk meningkatkan kemampuan penulisan dan peningkatan kualitas lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam masa perkuliahan, khususnya periode penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan moril maupun materil ataupun semangat yang diberikan pada penulis dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang dalam serta penghargaan yang tinggi kepada :
1. Kedua orang tua yaitu ayahanda tercinta dan ibunda tercinta yang dengan ikhlas telah memberikan kasih sayang, pengertian, mendidik penulis sedari kanak-kanak sampai ke Perguruan Tinggi (Fakultas Hukum USU), dukungan moral, nasehat dan petuah, penyediaan waktu dan tenaga (moril
(5)
dan materil) semua dengan penuh kesabaran, kesemua itu tidak ternilai harganya.
2. Abang dan Adik-adik tersayang Riko Nugraha, SH., M. Agung Primadi Taris dan M. Iqbal Fauzan yang telah memberikan dorongan semangat, dukungan serta nasehat kepada penulis selama ini.
3. Seseorang yang special Fatin Soraya di dalam kehidupan saya yang telah memberikan support, doa dan kasih sayang didalam penulisan skripsi serta selalu meluangkan waktu untuk menyemangati di dalam penulisan skripsi.
4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak M. Husni, SH,M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, sebagai Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Syamsul Rizal, SH.M.Hum, sebagai Ketua Jurusan Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak Prof. Tan Kamelo, SH,MS sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak pengarahan untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan banyak pengarahan untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum sebagai Dosen Wali yang meberikan
bimbingan, saran, motivasi, bantuan agar penulis menyelesaian studi. 12. Ibu Syamsiar Yulia, SH,M.Kn sebagai dosen yang selalu menasehati saya
selama masa perkuliahan dan memberikan motivasi serta semangat kepada penulis.
(6)
13. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan perkuliahan dan bimbingan dari semester I sampai selesai.
14. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan layanan yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar. 15. Doni, Yudi, Nanda, Dearma, Fajar, Dila, Febri, yang telah menemani
penulis di masa perkuliahan yang sudah banyak membantu dan selalu menjadi yang terbaik di saat suka dan duka penulis.
16. Saudara-saudara penulis yang selalu mendukung dan selalu berharap agar cepat menyelesaikan perkuliahan.
17. Teman-teman MPMF dan PEMA periode 2009-2010 penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta semua pihak yang telah ikut membantu menyelesaikan skripsi ini.
18. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2007 yang telah memberikan motivasi penulis selama ini.
Terakhir semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung selama masa menuntut ilmu dan penyelesaian skripsi.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Medan, 28 Januari 2011 Hormat Saya
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah. ... 1
B. Perumusan Masalah. ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan. ... 4
D. Keaslian Penulisan. ... 5
E. Tinjauan Kepustakaan. ... 5
F. Metode Penulisan. ... 8
G. Sistematika Penulisan. ... 12
BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA FRANCHISE) ... 14
A. Defenisi Perjanjian Waralaba (Franchise) ... 14
B. Asas-asas dan Tujuan Perjanjian Franchise ... 18
C. Unsur-Unsur Franchise ... 29
D. Syarat-syarat Perjanjian Waralaba ... 32
E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perjanjian Franchise .. 34
(8)
BAB III ASPEK HUKUM TERHADAP MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA TEH POCI DI KOTA MEDAN. ... 41
A. Perlindungan Hukum di Bidang Sistem Pembagian Hasil
Usaha Waralaba (Franchise) Teh Poci. ... 41 B. Upaya dan Kewajiban Para Pihak Yang Terlibat dalam
Perjanjian Waralaba ... 43 C. Peraturan yang Mengatur Tentang Perjanjian Waralaba
Dalam Hukum Perdata (BW) ... 51 D. Penegakan Hukum Terhadap Waralaba (Franchise) ... 55 E. Perlindungan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian
Waralaba Teh Poci. ... 54 F. Perlindungan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian
Waralaba Teh Poci ... 57
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP ISI PERJANJIAN
WARALABA (FRANCHISE) TEH POCI ... 59 A. Latar Belakang Serta Dampak Dan Perkembangan Teh Poci
Di Kota Medan ... 59 B. Faktor-faktor Yang Mendorong Pertumbuhan Waralaba
Teh Poci ... 61 C. Akibat Yang Ditimbulkan Para Pihak Apabila Melakukan
Wanprestasi Dalam Melaksanakan Perjanjian Tersebut ... 64 D. Analisis Hukum Terhadap Isi Perjanjian Waralaba
(9)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 75
A. Kesimpulan. ... 75 B. Saran. ... 76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
ABSTRAK
Sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, sumber daya manusia dan management, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Pertumbuhan Bisnis Franchise di Indonesia terutama pertumbuhan bisnis pada minuman Teh Poci di Kota Medan mengalami peningkatan dan perkembangan di dalam bisnis waralaba. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana memberikan perlindungan pada investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor sering kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan klausula yang diajukan tanpa memperdulikan resiko-resiko yang dihadapi dikemudian hari.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan library research, selain itu tinjauan lapangan terhadap pemilik Teh Poci juga dilakukan untuk melakukan melakukan interview atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu perkembangan waralaba Teh Poci, Teh Poci yang memiliki ciri khas dalam minuman dengan berbagai varian rasa serta modal yang kecil untuk membuka usaha dalam berwaralaba menyebabkan timbulnya beberapa aspek seperi dampak Teh Poci terhadap waralaba lain. Penjualan Teh Poci yang dari segi biaya terjangkau dapat dinikmati semua kalangan merupakan salah satu faktor Teh Poci dapat menjadi waralaba yang semakin baik dan meningkat dalam bidang penjualan tidak hanya dari segi dan dampak tetapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak berasaskan kebebasan berkontrak membuat para pihak yang menjalankannya, Harus menjalankan segala kewajiban dan hak sebagai Produsen dan Konsumen.
Terdapat Ketentuan-ketentuan Peraturan yang memiliki hubungaan dengan
franchise adalah: Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata, Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tata cara Pelaksanaan Usaha Waralaba, Keputusan Menteri Perdagangan Nomor: 376/ Kep/XI/ 1998 Tetang Kegiatan Perdagangan, Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang-Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rasia Dagang, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba
(11)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya franchise merupakan suatu konsep pemasaran dalam rAngka memperluas jaringan usaha secara cepat, Sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, SDM dan managemen, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan Pihak lain.
Franchise juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk
mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan franchise. Di samping itu, fenomena yang menarik dari Tahun ke Tahun yaitu makin tumbuh suburnya Bisnis Franchise, terutama pada bidang makanan maupun minuman. Kalau di amati saat ini banyak sekali usaha baru yang sangat beranekaragam menawarkan berbagai jenis produk dan jasa, misalnya usaha makanan dan minuman yang modern. Beberapa diantara mereka membuka gerainya di pusat-pusat pertokoan atau di jalan utama di lokasi yang strategis di tengah kota. Contoh yang sangat mudah adalah usaha makanan Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Dunkin Donuts dan begitu juga sebuah minuman Teh Poci yang begitu popular di Indonesia.
Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima franchise di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise
(12)
mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima franchise asing terpaksa menutup usahanya karena nilai Rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat.1
Franchise Pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine
Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distRibutor franchise pada Tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distRibusi di AS dan Negara-Negara lain. SedAngkan di Inggris
franchise dirintis oleh J Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada
dekade 60-an. Franchise saat ini lebih didominasi oleh franchise rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada Tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restaurant cepat sajinya. Pada Tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama
(13)
di Tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi franchise sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai franchise generasi kedua. Perkembangan sistem franchise yang demikian pesat terutama di Negara asalnya, AS, menyebabkan franchise digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. SedAngkan di Inggris, berkembangnya franchise dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada Tahun 60-an. Bisnis franchise tidak mengenal diskriminasi. Pemilik franchise (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama.2
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi perhatian dalam Perjanjian franchise adalah faktor-faktor apa yang mendorong pertumbuhan Bisnis Franchise di Indonesia terutama pertumbuhan bisnis pada minuman Teh Poci di Kota Medan.
Dalam penulisan ini, secara secara garis besarnya terdapat beberapa permasalahan dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) terhadap Teh Poci, Adapun pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dampak tumbuh dan berkembangnya Teh Poci di Kota Medan?
2. Apa Faktor-Faktor yang mendorong Pertumbuhan Bisnis Minuman Teh Poci ?
2
(14)
3. Apa akibat yang timbul apabila Para Pihak melakukan Wanprestasi dalam melaksanakan Perjanjian tersebut ?
4. Bagaimana analisis substantif terhadap Perjanjian waralaba Teh Poci ? Permasalahan di atas merupakan beberapa penilaian yang tepat untuk membahas mengenai aspek Hukum dalam Perjanjian waralaba (Franchise) Pada Minuman Teh Poci yang berkembang di kota Medan.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dampak dan berkembangnya Minuman Teh Poci.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang dapat mendorong dan/atau mempengaruhi Perjanjian waralaba (Franchise) Teh Poci.
3. Untuk mengetahui akibat yang timbul apabila para Pihak melakukan wanprestasi dalam melaksanakan Perjanjian.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritis
Hasil kajian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah sehingga memberikan sumbangan bagi perkembangan di dalam Hukum Waralaba.
2. Secara Praktis
a. Sebagai suatu hal yang dapat menambah wawasan sarta pengetahuan bagi penulis mengenai aspek Hukum dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) pada Minuman Teh Poci itu sendiri yang berkembang pesat di Kota.
(15)
b. Sebagai bahan masukan, solusi serta tanggapan terhadap Perjanjian Waralaba (Franchise) tentang berkembang dan meningkatnya suatu waralaba.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan di bidang Hukum.
D. Keaslian Penulisan
Pada dasarnya, penulisan skripsi yang berjudul mengenai Aspek Hukum dalam Perjanjian Waralaba (Franchise) Pada Teh Poci di Kota Medan, pada dasarnya belum pernah di tulis sebagai skipsi. Dengan demikian, skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggung jawabkan penulis secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
Secara etimologi pengertian dari waralaba (franchise) merupakan modal izin dari satu orang kepada orang lain yang memberi hak penerima waralaba
(franchisee) untuk mengadakan bisnih di bawah nama dagang pemilik waralaba (franchisor), meliputi seluruh elemen dan/atau dasar yang dibutuhkan untuk
membuat orang yang sebelum terlatih dalam berbisnis untuk mampu menjalankan bisnis yang dikembAngkan atau dibangun oleh franchisor di bawah brand
milikinya, dan setelah detraining untuk menjalankan berdasarkan pada basic yang ditentukan sebelumnya dengan pendampingan yang berkelanjutan.3
Di samping itu pentingnya peran nama dagang dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalty sejalan namun agak berbeda disini lebih menekankan
3
(16)
pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang pemberi waralaba (franchisor) dengan kewajiban pada Pihak penerima waralaba (franchisee) untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba kaitannya dengan pemberian izin dan kewajiban pemenuhan standart dari pemberi waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.4
Istilah-istilah dalam franchise sebenarnya sudah sering digunakan dalam praktek perdagangan kata franchise ini sendiri berasal dari bahasa prancis yaitu “franchir”, yang artinya dibebaskan dari membayar upeti atau pajak karena di abad pertengahan ini memiliki hak dan kewenangan selain dari bahasa prancis Didalam suatu hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usaha yang relative baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan jasa langsung kepada konsumen sehingga menimbulkan suatu format didalam bisnis tersebut agar perkembangan dari suatu usaha atau bisnis dapat di arahkan sesuai dengan elemen-elemen yang terdapat didalam suatu franchise antara lain:
1. franchisor 2. franchisee 3. master franchise 4. elemen-elemen biaya
4
(17)
asal mula franchise juga bersal dari bahasa latin yakni francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan” yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha.5
Dengan munculnya elemen-elemen yang terdapat didalam franchise maka, timbulah suatu Hukum atau regulasi yang mengatur mengenai waralaba di Indonesia yang terdapat di PP Nomor 42 Tahun 2004 yang mengatur tentang segala kepentingan dalam berwaralaba. Di dalam pengaturan tersebut telah memiliki suatu keabsahan. Selain itu terdapat juga pengaturan lain mengenai penyelenggaraan waralaba yang diatur didalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor:31/M-DAG/PER/8/2008.6
Dalam PP 42 Tahun 2004 waralaba adalah Hak khusus yang dimiliki orang perseorangan dan/atau badan Hukum terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang/jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh Pihak lain berdasarkan Perjanjian waralaba.7
Seorang pemegang franchise biasanya tidak secara otomatis berhak menjual operasi franchisenya tetapi perlu mendapatkan persetujuan pemilik
franchise terlebih dahulu untuk menjual atau mengalihkan Perjanjian kepada
pembeli yang diusulkan sehingga aspek penerapan Hukum waralaba ini sendiri
5
Franchise bible, graha info franchise, Jakarta, 2009, hal. 7. 6
Bedasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.31/M-DAG/PER/8/2008 Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 Ayat (1): Waralaba diselenggarakan berdasarkan Perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba dan mempunyai kedudukan Hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku Hukum Indonesia.
7
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: waralaba adalah Hak khusus yang dimiliki orang perseorangan dan/atau badan Hukum terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rAngka memasarkan barang/jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh Pihak lain berdasarkan Perjanjian waralaba
(18)
mengacu kepada bentuk atas suatu Perjanjian waralaba, Perjanjian waralaba adalah suatu dokumen Hukum yang menggariskan tanggung jawab dari pemilik dan pemegang franchise, setiap pemilik franchise mempunyai bentuk Perjanjiannya sendiri yang disusun oleh pengacaranya supaya tidak merugikan pemilik dan melindunginya.8
Perjanjian yang terkandung didalam franchise memiliki suatu arti Perjanjian merupakan suatu peristiwa seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, Dari hal ini maka timbul dan terciptanya hubungan antara dua orang atau lebih yang menciptakan suatu perikatan, Dengan bentuknya Perjanjian tersebt sehingga Para Pihak wajib untuk menghormati dan melaksanakan isi Perjanjian tersebut baik secara tidak tertulis maupun yang teritulis.
9
8 Queen J Douglas, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993, hal. 45.
9
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, 2002, hal 1.
F. Metode Penulisan
a. Lokasi Penelitian
Lokasi yang ditentukan dalam melakukan penelitian skripsi ini adalah Waralaba minuman Teh Poci Kota Medan, Jl. Gajah mada samping gramedia Medan.
b. Spesifikasi Penelitian dan Metode Pendekatan 1. Spesifikasi penelitian
(19)
Spesifikasi penelitian ini adalah termasuk deskriptif10
Metode pendekatan penelitian ini mempergunakan metode pendekatan yuridis normatif dan metode kualitatif. Metode pendekatan yuridis normatif
, sebab hanya menggambarkan aspek Hukum dalam Perjanjian waralaba
2. Metode pendekatan
11
dipergunakan dengan cara melihat bahan-bahan pustaka seperti Undang-Undang dan literatur-literatur tentang pokok permasalahan yang di teliti. SedAngkan metode yuridis empiris12
Metode pendekatan secara kualitatif bermanfaat untuk melakukan analisis data secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dan mendalam dengan tidak mempergunakan analisis secara kualitatif.
diperoleh dari waralaba minuman Teh Poci dengan cara melakukan wawancara kepada franchisee atau penerima waralaba tersebut.
13
1. Pedoman Wawancara (Interview Guide)
Adapun struktur wawancara yang dilakukan penulis pada saat melakukan penelitian adalah sebagai berikut:
Pedoman yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline yang berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara.
10
Koentjaraningrat, metode-metode penelitian, artinya menggambar objek PT. Gramedia, Jakarta, 1985, hal 10
11
Ibid, hal 15 12
Ibid, 17 13
Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
(20)
2. Pembukaan (Opening)
Menciptakan atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden.
3. Isi (The Body)
Pewawancara menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan pertanyaaan lanjutan dari pedoman wawancara.
4. Penutup (The Closing)
Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah didapati dari responden.
c. Metode Pengumpulan Data dan Analisa Data 1. Jenis dan Sumber Data
Untuk terlaksananya penelitian dan penulisan ini diperlukan sejumlah data yang dikelompokkan pada :
a) Data primer, merupakan satu bentuk data yang akan diperoleh secara langsung melalui observasi terhadap objek peneliti.
b) Data sekunder, Data sekunder di dalam penelitian ini bersumber didasari : 1) Bahan Hukum primer, yaitu bahan Hukum berupa peraturan-peraturan
ketenagakerjaan.
2) Bahan Hukum sekunder, yakni bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan Hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan dengan obyek yang diteliti.
(21)
3) Bahan Huku m tersier, yakni yang memberi informasi lebih lanjut mengenai Hukum primer dan bahan Hukum sekunder seperti kamus Hukum.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi dan menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
a. Tinjauan Kepustakaan
Yakni berupa buku bacaaan yang relevan dengan penulisan skipsi ini, dengan cara membaca dan mempelajari bahan buku bacaan maupun perUndang-Undangan dan juga sumber lain yang berhububngan dengan penulisan ini dan dijadikan sebagai dasar untuk menghasilkan suatu karya ilmiah dengan sebaik-baiknya agar lebih berbobot, yang mana data-data ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).14
Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dengan maksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak bisa dilakukan melalui pendekatan lain.
b. Tinjauan Lapangan
Yakni dengan melakukan tinjauan secara langsung terhadap Pemilik maupun Pegawai Teh Poci yang berada di wilayah propinsi Sumatera Utara ( Khususnya Kota Medan) di samping itu penulis juga melakukan interview atau tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
14
Pedoman penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(22)
3. Analisis Data
Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian dan penulisan skripsi ini melalui suatu pengamatan yang teruji, guna mendapatkan gambaran tentang pemecahan masalah, pengajuan analisa sangat diperlukan, sehingga studi ini memenuhi syarat untuk dijadikan bahan masukan bagi Pihak terkait. Maka penelitian ini mempergunakan analisa kualitatif, yang dijabarkan dan disajikan lebih lanjut dalam pembahasan secara tuntas permasalahannya.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Di dalam bab ini disajikan pengantar-pengantar permasalahan pokok yang terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.
Bab II : Latar Belakang Munculnya Perjanjian Waralaba (Franchise)
Dalam ini uraikan sekilas tentang Latar Belakang Munculnya Perjanjian Waralaba (Franchise) yang terdiri dari; Defenisi Perjanjian Waralaba (Franchise), Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perjanjian Franchise, Unsur-Unsur Franchise, Syarat-syarat Perjanjian Waralaba, Faktor yang Mempengaruhi Perjanjian
(23)
Bab III : Aspek Hukum Terhadap Munculnya Perjanjian Waralaba Teh Poci di Kota Medan.
Dalam Bab ini menjelaskan tentang Aspek Hukum terhadap
Munculnya Perjanjian Waralaba Teh Poci yang terdiri atas; Perlindungan Hukum di Bidang Sistem Pembagian Hasil Usaha Waralaba (Franchise) Teh Poci, Upaya dan Kewajiban Para Pihak Yang Terlibat dalam Perjanjian Waralaba, Peraturan yang Mengatur Tentang Penjanjian Waralaba dalam Hukum Perdata (BW), Penegakan Hukum Terhadap Waralaba (Franchise), Perlindungan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian Waralaba Teh Poci, Tanggung Jawab Para Pihak Terhadap Perjanjian Waralaba.
Bab IV : Analisis Hukum Terhadap Isi Perjanjian Waralaba (Franchise) Teh Poci
Dalam Bab ini diuraikan sekilas tentang Analisis Hukum Terhadap
Isi (Substansi) Perjanjian Waralaba (Franchise) yang terdiri atas: Latar Belakang Serta Dampak dan Berkembangnya Teh Poci di Kota Medan, Faktor-faktor yang Mendorong Pertumbuhan Waralaba Teh Poci, Akibat Yang Ditimbulkan Apabila Para Pihak Melakukan Wanprestasi Dalam Melaksanakan Perjanjian Tersebut, analisis Substantif Terhadap Perjanjian Waralaba (Franchise).
(24)
BAB V : Kesimpulan Dan Saran
Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari seluruh Penulisan serta saran dan mudah-mudahan berguna bagi penulis dan pembaca.
(25)
BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)
A. Defenisi Perjanjian Waralaba (Franchise)
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan dalam Pasal 1313 Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.15
Waralaba (franchise) adalah modal izin dari satu orang kepada orang lain yang memberi hak penerima waralaba (franchisee) untuk mengadakan bisnih di bawah nama dagang pemilik waralaba (franchisor), meliputi seluruh elemen yang dibutuhkan untuk membuat orang yang sebelum terlatih dalam berbisnis untuk mampu menjalankan bisnis yang dikembAngkan atau dibangun oleh
franchisor di bawah brand miliknya, dan setelah detraining untuk menjalankan
berdasarkan pada basic yang ditentukan sebelumnya dengan pendampingan yang berkelanjutan.
Maka dapat ketahui
Franchise atau disebut juga sebagai waralaba merupakan suatu gambaran awal
para entrepreneur atau yang sering disebut sebagai wiraswastawan dapat menjalankan dan mengembAngkan suatu opersasi dalam bidang waralaba yang akan menghasilkan suatu keuntungan sesuai dengan cara pengelolaan bisnis yang sedang dijalaninya.
16
15
Subekti R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Pasal 1313, hal. 282
16
(26)
Selain itu di Indonesia terdapat dua pengaturan mengenai waralaba yang salah satunya terdapat didalam PP No 42 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (1)
menjelaskan pengertian dari waralaba yang berarti Hak khusus yang dimiliki orang perseorangan dan/atau badan Hukum terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rAngka memasarkan barang/jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh Pihak lain berdasarkan Perjanjian waralaba sedAngkan dalam Pasal 3 PP No 42 Tahun 2007 Pasal 3 megaskan bahwa salah satu kriteria waralaba adalah hak kekayaan intelektualyang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten, dan rahasia dagang.17 Waralaba juga mengandung unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, yang didalam pengertian waralaba pada black’s law dictionary yang lebih menekankan pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang franchisor (pemberi waralaba) dengan kewajiban pada Pihak franchisee (penerima waralaba) untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba akan memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.18
17
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 Pasal 1 dan Pasal 3 18
Widjaja Gunawan, Op. cit., hal. 15.
Pemberian waralaba ini didasarkan pada suatu franchise agreement, maksudnya seorang penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi
(27)
waralaba.19 Di samping mengenal kata franchise atau yang sering disebut sebagai waralaba tenyata didalam waralaba dikenal suatu istilah yang disebut sebagai mem-franchise-kan, mem-franchise-kan adalah suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distRibusi produk serta pelayanannya dengan membagi bersama standart pemasaran dan operasional sehingga pemegang franchise yang membeli suatu bisnis menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sitem teruji dan pelayanan lain yang disediakan pemilik franchise.20
Kontak awal atau membuat kontak awal dalam memulai suatu franchise merupakan Salah satu metode termudah untuk memperoleh informasi mengenai
franchise adalah dengan menjawab iklan yang menawarkan kesempatan franchise, atau pada saat mengunjungi suatu usaha yang di-franchise-kan dapat
meminta alamat franchisor (pemilik waralaba) dan yang pada umumnya permintaan akan informasi suatu franchise (waralaba) akan disambut baik oleh pemilik waralaba. Selain itu dalam mengkaji kesempatan membeli franchise (waralaba) antara pemilik dan pemegang harus bersama-sama menilai atau mencari informasi bagaimana dengan hal-hal yang menyangkut penjualan dan laba yang diharapkan dari sebuah usaha waralaba. Informasi atas suatu waralaba juga harus menjawab segi penting dari suatu proses pengkajian berupa menyadarkan bahwa pemilik franchise itu sebenarnya seorang pakar dan operator dari dua jenis bisnis, yang satu bisnis mem-franchise-kan dan yang kedua bisnis di-franchise-kan, Pemilik franchise mengoprasikan sejumlah keluarannya sendiri
19
Ibid., hal. 16. 20
Douglas J Queen, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993, hal. 4-5.
(28)
yang disebut sebagai milik perusahaan atau lokasi perusahaan yang lokasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk latihan riset, Pengembangan dan keperluan
franchise lainnya sekaligus menjadi sumber pendapatannya juga.21
Suatu bisnis waralaba juga mempunyai suatu format didalam pengembangannya baik dari mulai beroprasi hingga mencapai suatu laba atau keuntungan didalamnya sehingga sebelum usaha itu dimulai biaya awal merupakan salah satu fakto utama agar bisnis franchise ini dapat beroperasi atau terjalankan. Biaya awal waralaba mempunyai prinsip yang digunakan untuk membayar suatu lisensi atau hak untuk menggunakan merek yang diwaralabakan selama jangka waktu waralaba selain itu juga digunakan sebagai hak meminjam pedoman operasional selama jangka waktu waralaba. Jumlah yang harus dikeluarkan oleh seorang franchisee (penerima waralaba) tergantung kepada seorang franchisor (pemberi waralaba) setelah pengoperasian waralaba dimulai seorang penerima waralaba harus membaya biaya selanjutnya kepada pemilik waralaba atau yang sering disebut royalty fee.22
1. Kelangsungan operasional pewaralaba dalam kaitannya dengan bimbingan berkesinambungan bagi para terwaralaba.
Besar biaya yang harus
dikeluarkan oleh penerima waralaba tergantung kepada pemberi waralaba karena pada prinsipnya ada dan digunakan untuk:
2. Pelaksanaan audit waralaba dan evaluasi bisnis yang keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bimbingan berkesinambungan
3. Penelitian dan pengembangn pengelolaan merek dan strategi pemasaran.
21
Douglas J Queen, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993, hal. 30.
22
(29)
Biasanya untuk keperluan eksekusi dari pengelolaan merek dan strategi pemasaran, franchisor memerlukan dana yang akan diambil dari dana iuran dan promosi bersama bukan dari royalty fee.23
Bahwa kebebasan berkontrak adalah salah satu Asas dari Hukum Perjanjian dan ia tidak berdiri sendiri, maknanya hanya dapat ditentukan setelah memahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan Asas-asas Hukum Perjanjian yang lain, yang secara menyeluruh Asas-asas ini merupakan pilar, tiang, pondasi dari Hukum Perjanjian.
Contoh franchise besar dan berasal dari luar Indonesia dan yang telah sukses mem-franchise-kan usahanya telah dapat dirasakan diindonesia seperti pizza hut, kfc,texas chicken, dan tidak hanya itu Indonesia sendiri sebagai Negara besar juga telah mempunyai franchise dengan omset yang cukup besar hal itu dengan munculnya suatu usaha waralaba Teh Poci yang telah di franchisekan di berbagai wilayah di Indonesia Dan khususnya di medan Teh Poci telah berkembang pesat diberbagai tempat dan wilayah seperti di jalan-jalan,sekolah,rumah makan bahkan tempat perbelanjaan di kota Medan.
B . Asas-Asas dan Prinsip-prinsip Perjanjian Franchise
Sebagaimana diketahui di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa azas sebagai berikut :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
24
23
Ibid., hal. 11. 24
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hal.40
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi Perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa”
(30)
Perjanjian ini diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu Asas yang sangat penting didalam Hukum Perjanjian, kebebasan adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak Asasi manusia.25 Hak Asasi dengan kewajiban Asasi, dengan perkataan lain bahwa didalam kebebasan terkandung tanggung jawab, didalam Hukum Perjanjian nasional Asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan perlu dipelihara sebagai modal pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang diantara para Pihak, sehingga sebuah Perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua Pihak.26
Asas kebebasan berkontrak, menyebutkan bahwa terikat pada Perjanjian yang harus dipenuhi secara moral, secara Hukum karena berada dalam suatu masyarakat yang beradab dan maju. Masyarakat seperti ini terdapat kebebasan untuk berpartisipasi dalam lalu lintas yuridis-ekonomi, untuk itu diperlukan suatu prinsip yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian dari hak-hak dan kebebasan manusia.27
25
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993.
26
Ibid
27
Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
(31)
2. Asas Konsensualisme
Kesepakatan mereka yang mengikat diri adalah esensial dari Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakan Asas konsensualisme yang menentukan adanya Perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para Pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa Perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. fakta sunt servanda (janji itu mengikat) dan menyebutkan
promisorum impledorum obligantion (kita harus memenuhi janji kita).28 Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan Asas kebebasan berkontrak dan Asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata menyebutkan semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- Undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua mengandung arti meliputi seluruh Perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-Undang.29
Seseorang yang mengadakan Perjanjian dengan Pihak lain akan menumbuhkan kepercayaan diantara Pihak, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya, tanpa adanya kepercayaan maka Perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para Pihak, 3. Asas Kepercayaan
28
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993.
29 Ibid
(32)
dengan kepercayaan, kedua Pihak mengikatkan dirinya dan Perjanjian itu mempunyai kekuatan sebagai Undang-Undang.30
Bahwa para Pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, terikatnya para Pihak pada Perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan dan kepatutan serta moral yang mengikat para Pihak.
4. Asas Kekuatan Mengikat
31
Asas ini menempatkan para Pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing Pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua Pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan.
5 . Asas Persamaan Hukum
32
Asas ini menghendaki kedua Pihak memenuhi dan melaksanakan Perjanjian, Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari Asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan Perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat 6. Asas Keseimbangan
30 Ibid 31
Ibid 32
(33)
bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.33
Perjanjian sebagai suatu figur Hukum harus mengandung kepastian Hukum Kepastian Hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat Perjanjian itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para Pihak.
7 . Asas Kepastian Hukum
34
Asas ini dituAngkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, Asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi Perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui Asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan.
8. Asas Kepatutan
35
1. Asas konsensualisme yang artinya artinya Perjanjian itu ada karena persesuaian
9. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 menyebutkan suatu Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat Perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang.
Dari seluruh asas yang tersebut di atas makan, terdapatnya Asas-asas yang termaktub di dalam sebuah Perjanjian waralaba yakni, bebagai berikut:
kehendak atau konsensus semata-mata.
33 Ibid 34
Ibid 35
(34)
2. Asas kekuatan mengikat dari Perjanjian 3. Asas kebebasan berkontrak
Dengan adanya tujuan dari waralaba sehingga peran yang penting didalam menjalankan hak dan kewajiban dari franchisor maupun franchisee maka Perjanjian waralaba harus secara tepat menggambarkan janji-janji yang dibuat dan harus adil, serta pada saat yang bersamaan menjamin bahwa ada kontrak yang cukup melindungi integritas sistem.36
36
Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba, Cakrawala, Yogyakarta, 2007, hal 23. 1.
Berdasarkan peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2007, Perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 Ayat 1. Perjanjian waralaba tidak perlu dibuat dalam bentuk akta notaris, para Pihak dapat membuat sendiri di bawah tangan dengan ketentuan KUHPerdata. Hal-hal yang diatur oleh Hukum dan Peraturan PerUndang-Undangan merupakan yang harus ditaati oleh para Pihak dalam Perjanjian waralaba, jika para Pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan Perjanjian waralaba akan tetapi, sering terjadi penyimpangan, penyimpangan menimbulkan wanprestasi, wanprestasi terjadi ketika salah satu Pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera didalam Perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu Pihak, terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan Perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan Hukum bagi Pihak yang dirugikan, yaitu Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada Pihak yang menyebabkan kerugian, kemungkinan Pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi, merupakan bentuk perlindungan Hukum yang
(35)
diberikan oleh Hukum di Indonesia.37
37
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal 96.
Sehingga tujuan dari adanya suatu Perjanjian waralaba merupakan aspek perlindungan atau memberikan perlindungan Hukum kepada para Pihak dari perbuatan merugikan Pihak lain, hal ini dikarenakan Perjanjian tersebut dapat menjadi dasar Hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan Hukum bagi para Pihak yang terlibat dalam sistem waralaba, jika salah satu Pihak melanggar isi Perjanjian, maka Pihak lain dapat menuntut Pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan Hukum yang berlaku.
Pada dasarnya Franchisee adalah sebuah Perjanjian mengenai metode pendistRibusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistRibusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu dan usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap waralaba, sebagai imbalannya penerima waralaba membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty sehingga dalam sistem waralaba terdapat tiga komponen yaitu :
1. Franchisor, yaitu Pihak yang memiliki sistem atau cara-cara dalam berbisnis 2. Franchisee, yaitu Pihak yang membeli waralaba atau sistem dari pemberi
waralaba (franchisor)sehingga memiliki hak untuk mejalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembAngkan oleh pemberi waralaba
(36)
3. Franchise, yaitu sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada
franchisee.38
3. Masing-masing Pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk beberapa Negara dijadikan syarat, untuk mendapatkan nasihat dari ahli Hukum yang kompeten, mengenai isi dari Perjanjian tersebut dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.
Di dalam Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat, adapun syarat- syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan kerjasama sebaiknya tertuang dalam suatu Perjanjian waralaba yang disahkan secara Hukum
2. Kesepakatan kerjasama ini menjelaskan secara rinci segala hak, kewajiban dan tugas dari Franchisor dan Franchisee
39
Setiap Perjanjian waralaba dikembangkan secara khusus dan tidak meniru Perjanjian yang dibuat dalam konteks/faktor yang berbedadengan kata lain
Sehingga dengan adanya syarat-syarat yang berlaku didalam suatu Perjanjian waralaba dapat ditarik kesimpulan terdapat tiga prinsip dari suatu Perjanjian waralaba yakni:
1) Harus jujur dan jelas
2) Tiap Pasal dalam Perjanjian harus adil
3) Isi dari Perjanjian dapat dipaksakan berdasarkan Hukum
38
Supriadi, Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam, Konsep Bisnis Waralaba
Franchising), excellent group, pmiikomfaksyahum.wordpress.com, edisi sabtu, 24 april 2010. di
akses pada tanggal 18 januari 2011 39
Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Cetakan Kedua, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 80.
(37)
Perjanjian yang dibuat berdasarkan suatu kebebasan didalam pembuatan Perjanjiannya sehingga menyebabkan Sebab Perjanjian waralaba dikembAngkan secara khusus dan tidak meniru Perjanjian yang dibuat dalam konteks/faktor yang berbeda.
Adapun hal-hal yang mempengaruhi dari gambaran di atas bahwa pripsip-prinsip di atas menyebabkan terjadinya suatu hak dan kewajiban antara pemberi waralaba dan penerima waralaba yaitu Sebelum membuat Perjanjian tertulis tersebut frenchisor atau pemberi waralaba wajib menyampaikan keterangan tertulis secara benar kepada frenchisee atau penerima waralaba, mengenai hal-hal berikut:
1. Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba selama-lamanya dua Tahun terakhir 2. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
menjadi objek waralaba
3. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima waralaba
4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba
5. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba
6. Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan dan Perjanjian waralaba.
7. Hal-hal lain yang perlu diketahui oleh penerima waralaba dalam rAngka pelaksanaan Perjanjian waralaba (Pasal 5 keputusan menteri perindustrian
(38)
dan perdagangan nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba).40
Standar operasi baku adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi bisnis yang akan dikembAngkan dengan sistem waralaba. Jadi jangan pelit bikin ketentuan yang nanti akan di bakukan menjadi standar operasi, dengan menerapkan standar operasi baku, diharapkan dimanapun lokasi domisili pelanggan, mereka akan dapat menikmati kualitas produk dan pelayanan yang sama. Contoh bisnis waralaba KFC, Karyawan terlihat sangat professional, bahkan seolah-olah mereka itu menguasai semua bidang kerjanya dan sangat Dengan kata lain selain syarat yang tertuang didalam Perjanjian waralaba maka Membangun dan mengembAngkan bisnis dengan system waralaba, akan menguatkan syarat yang tercantum didalam franchise :
a. Membuat ciri khas usaha
Inilah yang membedakan antara bisnis waralaba dengan bisnis lainnya. Bisnis waralaba harus memenuhi syarat utama adanya ciri khas usaha. Ciri khas usaha ini adalah suatu keunggulan atau perbedaan yang membedakan antara bisnis yang miliki dengan bisnis milik orang lain. Adanya ciri khas ini, bisnis tidak mudah ditiru oleh pemilik usaha lain dan justru ciri khas tersebut mampu menciptakan ketergantungan konsumen terhadap produk atau bisnis. Ciri khas bisa terdapat pada produknya, system manajemennya, cara penjualan dan pelayanan, penataan produk dan pada cara distRibusinya.
b. Membuat standar operasi baku
40
(39)
menikmati pekerjaannya sehingga terlihat ikhlas melayani pelanggan, dan yang melihat berdecak kagum dan puas atas pelayanannya, itulah hasil dari standar operasi yang diberlakukan perusahaan. Perusahaan memberlakukan standar operasi yang sudah dibakukan, sehingga dimanapun ada gerai KFC, pasti produk dan pelayanannya sama.
c. Membuat HaKI-nya (Hak atas Kekayaan Intelektual)
Bisnis waralaba memerlukan HaKI untuk melindungi ciri khas bisnisnya, ada empat hak atas kekayaan intelektual yang terdapat bisnis waralaba yang melindungi pemilik haknya, atas bisnis waralaba yaitu merek, hak cipta, paten, rahasia dagang yang harus didaftar ke direktorat Jenderal hak atas kekayaan intelektual departemen Hukum dan hak Asasi manusia.
d. Membuat Cara Duplikasi yang mudah dan praktis
Cara duplikasi yang mudah dan praktis adalah mudah diajarkan dan diaplikasikan atau mudah dilaksanakan sehingga franchisee yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh franchisor. Jangan buru-buru mewaralabakan bisnis kalau belum dapat membuat cara duplikasi yang mudah dan praktis.
e. Membuat keuntungan yang bertumbuh
Keuntungan yang bertumbuh pada bisnis waralaba membuktikan bahwa : 1) Bisnis waralaba tersebut sehat, karena sisi finansialnya kuat
(40)
2) Manajemen nya telah teruji profesionalisme dan etos kerjanya, sehingga mampu menjamin franchisee memperoleh haknya untuk mendapat keuntungan dari bisnis waralaba
3) Bisnis tersebut telah diterima dan diinginkan oleh masyarakat f. Menciptakan supporting management berkelanjutan
Franchisor memberikan dukungan manajerial (supporting management)
kepada franchisee selama masa kontrak, tujuannya supaya franchisee dapat berbisnis dengan lancar dan menguntungkan. Franchisor harus memberikan
supporting management karena franchisor lebih berpengalaman daripada franchisee dalam menjalankan bisnis waralaba.
g. Membuat Prospektus Bisnis
Menjual bisnis waralaba kepada calon franchisee maka diperlukan marketing tools yang dinamakan prospectus bisnis waralaba.
h. Membuat kontrak/ Perjanjian waralaba
Membangun dan mengembAngkan bisnis dengan cara menjual sistem waralaba diperlukan sebuah sarana yang akan mengamankan hubungan kerjasama antar keduanya yaitu kontrak/Perjanjian waralaba.41
Sebagaimana diketahui bahwa hal-hal yang terkandung didalam suatu
franchise (waralaba) mencakup bagian-bagian tertentu salah satunya Perjanjian
timbal balik merupakan Perjanjian yang didalamnya masing-masing Pihak
C. Unsur-Unsur Franchise
41
Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Franchise, Media Pressindo, Jakarta, 2009, hal. 30-98.
(41)
menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik.42 Royalti fee yang merupakan uang yang didapat
franchisor karena franchisee nggunakan merek dagangnya milik franchisor ini
dilindungi oleh Undang-Undang dan menurut ketentuan Undang-Undang yang berlaku merek tersebut dimiliki oleh pemegang haknya.43
42
Adapun unsur-unsur yang dimiliki atas kutipan di atas adalah sebagai berikut:
a. Waralaba merupakan Perjanjian timbal balik antara franchisor dan
franchisee.
b. Franchisee berkewajiban membayar fee kepada franchisor.
c. Franchisee diizinkan menjual dan mendistRibusikan barang atau jasa
franchisor menurut cara yang telah ditentukan franchisor atau mengikut i
metode bisnis yang dimiliki franchisor.
d. Franchisee menggunakan merek nama perusahaan atau juga simbol-simbol komersial franchisor.
Selain itu Unsur Perjanjian waralaba telah dijelaskan sebagai berikut: a. Adanya dua Pihak yaitu franchisor dan franchisee, Franchisor sebagai Pihak
yang memberikan bisnis waralaba dan franchisee merupakan Pihak yang menerima bisnis waralaba.
b. Adanya penawaran dalam bentuk paket usaha dari franchisor
januari 2011 43
Ekotama suryono, jurus jitu memilih bisnis franchise, citra media, Yogyakarta, 2010, hal. 81-82.
(42)
c. Adanya kerjasama dalam bentuk pengelolaan unit usaha antara franchisor dan franchisee.
d. Dipunyai unit usaha tertentu (outlet) oleh Pihak franchisee yang akan memanfaatkan paket usaha milik franchisor.
e. Terdapat Perjanjian tertulis berupa Perjanjian baku antara franchisor dan
franchisee.44
Perjanjian waralaba akan tetapi, sering terjadi penyimpangan, penyimpangan menimbulkan wanprestasi, wanprestasi terjadi ketika salah satu Pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera didalam Perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu Pihak, terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan Perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan Hukum bagi Pihak yang dirugikan, yaitu Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada Pihak yang menyebabkan
Berdasarkan peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2007, Perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 Ayat 1. Perjanjian waralaba tidak perlu dibuat dalam bentuk akta notaris, para Pihak dapat membuat sendiri di bawah tangan dengan ketentuan KUHPerdata. menyebutkan hal-hal yang diatur oleh Hukum dan Peraturan PerUndang-Undangan merupakan yang harus ditaati oleh para Pihak dalam Perjanjian waralaba, jika para Pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan
44
(43)
kerugian, kemungkinan Pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi, merupakan bentuk perlindungan Hukum yang diberikan oleh Hukum di Indonesia.45
Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para Pihak dalam Perjanjian waralaba, wanprestasi dari Pihak franchisee dapat berbentuk tidak membayar biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang dilakukan franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem waralaba dan lain-lain. Wanprestasi dari Pihak franchisor dapat berbentuk tidak memberikan fasilitas sehingga sistem waralaba tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak mau membantu franchisee dalam kesulitan yang dihadapi ketika melakukan usaha waralaba dan lain-lain.46
d. Suatu sebab atau causa yang halal
Dengan penjelasan atas hal-hal di atas maka unsur-unsur yang terdapat didalam waralaba dapat dipenuhi dan dilaksanakan sesuai aturan-aturan yang berlaku sehingga Pihak-Pihak yang melaksankan franchise dapat menjalankan usahanya dengan baik.
D. Syarat-Syarat Perjanjian Waralaba
Syarat sah Perjanjian sehingga berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: a. sepakat mereka mengikatkan dirinya.
b. cakap untuk membuat perikatan c. suatu hal tertentu
45 Ibid 46
(44)
Kesepakatan Kerjasama dalam Waralaba Dalam Perjanjian tentang waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kesepakatan kerjasama sebaiknya tertuang dalam suatu Perjanjian waralaba yang disahkan secara Hukum.
2. Kesepakatan kerjasama ini menjelaskan secara rinci segala hak, kewajiban dan tugas dari pengwaralaba (franchisor) dan pewaralaba (franchisee).
3. Masing-masing Pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk beberapa Negara dijadikan syarat, untuk mendapatkan nasihat dari ahli Hukum yang kompeten, mengenai isi dari Perjanjian tersebut dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.
Berdasarkan pengertian tersebut terdapat perbuatan Hukum antara
franchisor dan franchisee sehingga menimbulkan Perjanjian. Selain hal di atas
salah satu hal yang menjelasakan atas syarat dari suatu Perjanjian waralaba adalah penerima waralaba utama wajib memberitahukan secara tertulis dokumen autentik kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima waralaba utama memiliki hak atau izin membuat Perjanjian waralaba lanjutan dari pemberi waralaba. Maka dengan demikian didalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, telah ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam Perjanjian waralaba atau frenchise yang saling berkesinambungan dengan syarat yang terdapat didalam suatu Perjanjian waralaba adalah sebagai berikut:
(45)
1. Nama, alamat dan tempat kedudukan persahaan masing-masing Pihak 2. Nama dan jabatan masing-masing Pihak yang berwenang menandatangani
Perjanjian.
3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distRibusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
4. Wilayah pemasaran
5. Jangka waktu Perjanjian dan tata cara perpanjangan Perjanjian serta syarat-syarat perpanjangan Perjanjian
6. Cara penyelesaian perselisihan
Dengan demikian mengenai prinsip atas suatu Perjanjian waralaba dapat diketahui dari berbagai aspek yang ada dan dapat dilihat dari berbagai sisi yang menjadikan franchise (waralaba) menjadi suatu awal yang baik atas suatu bisnis dengan dasar-dasar dan pemahaman yang baik, tidak hanya itu franchise dengan prinsipnya juga mengikat kedua belah Pihak antara franchisor maupun franchisee didalam suatu Perjanjian yang dibuat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi Pihak yang terikat.47
Di Indonesia masalah hak milik intellektual dalam beberapa aspek sudah diatur lewat Undang-Undang hak cipta, Undang-Undang hak patent, dan
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perjanjian Franchise
47 Ibid
(46)
Undang-Undang perindustrian. Begitu juga UU Merek yang meskipun memerlukan revisi cukup memberi perlindungan Hukum pemilik hak intelektual. Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memberikan perlindungan pada investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor serig kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan klausula yang diajukan.48
Franchisor hampir tak memiliki resiko yang langsung, sementara franchisee selain berhadapan dengan resiko investasi, resiko persaingan,
kesalahan manajemen, dan pangsa pasar, juga harus membayar royalty. Belum lagi menghadapi resiko perlakukan tak adil berupa mekanisme kontrol yang berlebihan, pencabutan franchise atau memberikannya kepada pengusaha lain. Apabila belum ada perangkat Hukum yang mengatur tentang franchise di Indonesia, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui kontrak franchise yang dibuat Pihak-Pihak yang terlibat karena didalam KUHPerdata yang sekarang berlaku, secara tegas mengakui bahwa Perjanjian yang disepakati oleh beberapa Pihak, mengikat mereka sebagai Hukum.49
Kemudian darai pada itu diberbagai Negara Perjanjian waralaba bisa berbeda karena adanya perbedaan Hukum, namun Perjanjian waralaba harus dibuat secara komprehensif dan memuat ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba (franchisor dan franchisee) sehingga dalam Perjanjian waralaba yang merupakan salah satu aspek perlindungan Hukum kepada para Pihak dari perbuatan merugikan Pihak lain, hal
48
januari 2011 49
(47)
ini dikarenakan Perjanjian tersebut dapat menjadi dasar Hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan Hukum bagi para Pihak yang terlibat dalam sistem waralaba, jika salah satu Pihak melanggar isi Perjanjian, maka Pihak lain dapat menuntut Pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan Hukum yang berlaku dan pewaralabaan menyebutkan Perjanjian waralaba adalah suatu Perjanjian yang mendokumentasikan hubungan Hukum tentang kewajiban yang ada antara
franchisor dan franchisee.50
5. Jangka waktu Perjanjian dan tata cara perpanjangan Perjanjian serta syarat-syarat perpanjangan Perjanjian
Sehingga dari penjelasan di atas terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dari Perjanjian waralaba adalah Maka dengan demikian didalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, telah ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam Perjanjian waralaba atau frenchise yang saling berkesinambungan dengan syarat yang terdapat didalam suatu Perjanjian waralaba adalah sebagai berikut:
1. Nama, alamat dan tempat kedudukan persahaan masing-masing Pihak
2. Nama dan jabatan masing-masing Pihak yang berwenang menandatangani Perjanjian
3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distRibusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
4. Wilayah pemasaran
50
(48)
6. Cara penyelesaian perselisihan.51
5. Konfirmasi Pihak independen.
Selain itu aplikasi didalam suatu Perjanjian waralaba juga merupakan suatu faktor penting didalam menjalankan suatu franchise. Aplikasinya Perjanjian waralaba dapat dibagi yakni:
1. Perjanjian dari masing-masing Pihak, Sebelum dan sesudah Perjanjian 2. Perincian peraturan yang harus ditaati
3. Perincian penyediaan barang didalam Perjanjian
4. Perjanjian berakhir bila unit dari waralaba diberi oleh Pihak lain tanpa sepengetahuan penerima waralaba
52
Keseluruhan unsur yang tercantum sebagai pokok dari suatu perjanjan
franchise (waralaba) telah memenuhi syarat minimal dari segi Hukum dan
memenuhi kriteria sebagai Perjanjian yang sudah baik dan memberikan perlindungan terhadap franchisor dan franchise secara seimbang adapun bisnis
franchise telah berkembang di indonesia, namun peraturan perUndang-Undangan
Dengan adanya hal-hal di atas faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu Perjanjian waralaba dapat terlaksana dengan baik dan hasil atas suatu Perjanjian tersebut dapat memberikan kenyamanan didalam menjalankan suatu
franchise antara pemberi waralaba dan penerima waralaba.
F. Kedudukan Hukum Terhadap Perjanjian Franchise
51
Adrian Sutedi, loc. Cit. 52
(49)
yang mengatur tentang hal itu secara khusus belum ada. Peraturan perUndang-Undangan yang memiliki hubungaan dengan franchise adalah sebagai berikut: 1. Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1338
KUHPerdata menganut sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan Hukum diberikan kebebasan untuk menentukan Perjanjian baik yang sudah dikenal didalam KUHPerdata. Di samping itu, yang menjadi dasar Hukum dalam pengembangan franchise di indonesia adalah Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya Perjanjian, yaitu kesepakatan kedua belah Pihak, cakap untuk melakukan perbuatan Hukum, adanya objek tertentu dan adanya kausa yang halal.
2. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba. Peraturan pemerintah ini terdiri atas 11 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah ini meliputi pengertian waralaba, para Pihak dalam Perjanjian waralaba, keterangan-keterangan yang harus disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dan bentuk Perjanjiannya.
3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Usaha Waralaba. Keputusan Menteri ini terdiri atas 8 bab dan 26 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam keputusan menteri ini meliputi: pengertian umum, bentuk Perjanjiannya, kewajiban pendaftaran, dan kewenanangan penerbitan surat tanda pendaftaran usaha waralaba, persyaratan waralaba, pelaporan, sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
(50)
4. Keputusan Menteri Perdagangan Nomor: 376/ Kep/XI/ 1998 Tetang Kegiatan Perdagangan. Keputusan Menteri Perdagangan ini telah memungkinkan perusahaan asing dalam status penanaman modal asing dapat melakukan penjualan hasi lproduksinya didalam negeri sampai pada tingkat pengecer dengan mendirikan perusahaan patungan antara perusahaan asing di bidang produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur.
Dengan keputusan tersebut franchisor yang memproduksi barang dapat melakukan hubungan langsung dengan pengecernya, para pengecer tersebut adalah para franchisee. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran
Usaha Waralaba telah ditentukan bentuk franchise atau Perjanjian waralaba yaitu bentuknya tertulis. Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku Hukum Indonesia.
Dengan keadaan demikian menyebabkan kedudukan Hukum dalam Perjanjian waralaba seimbang antara Pihak yang satu dengan yang lain (franchisor dan franchisee) dengan dasar pertimbangan-pertimbangan Hukum yang berlaku dan sesuai dengan waralaba (franchise) perikatan yang dibuat merupakan suatu perikatan kebebasan berkontrak yang semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya, semua mengandung arti meliputi seluruh Perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak
(51)
dikenal sebagai Undang-Undang, Perjanjian franchise merupakan Perjanjian yang namanya tidak dikenal didalam Undang-Undang namun diatur didalam Pasal 1338 KUHPerdata dan merupakan landasan Hukum didalam membuat suatu Perjanjiannya.53
53
(52)
BAB III
ASPEK HUKUM TERHADAP MUNCULNYA PERJANJIAN WARALABA TEH POCI DI KOTA MEDAN
A. Perlindungan Hukum di Bidang Sistem Pembagian Hasil Usaha Waralaba (Franchise) Teh Poci
Didalam Perjanjian waralaba Teh Poci bahwa perlindungan Hukum dalam bidang pembagian hasil usaha dijelaskan didalam Pasal 1 yang menyebutkan Pihak Pertama wajib memberikan perAngkat usaha Teh Poci kepada Pihak kedua apabila Pihak kedua telah membayar atau menginvestasikan uang sebesar Rp. 3.500.000,- kepada Pihak Pertama sebagai tanda bahwa Perjanjian sah dan mengikat apabila adanya pembayaran investasi yang dilakukan Pihak kedua kepada Pihak Pertama. Adapun yang menjadi hak dari Pihak Pertama pada saat telah dilakukan pembayaran adalah yang tercantum didalam Pasal 3 Ayat 3b yang berbunyi :
Atas penerimaan investasi tersebut, Pihak Pertama akan menyerahkan perAngkat usaha Teh Poci kepada Pihak kedua yang meliputi:
1. 1 unit meja counter es Teh Poci 2. 1 unit mesin seal es Teh Poci
Pada Pasal 3 Ayat 3c juga dijelaskan bahwa Pihak kedua selaku penerima waralaba besedia menyediakan dan menanggung biaya untuk memperoleh tempat counter penjualan termasuk menanggung biaya sewa dan listrik Pihak Pertama harus mengetahui lokasi usaha yang dijalankan oleh Pihak kedua.
(53)
Pasal 3 Ayat 3d dijelaskan bahwa Pihak kedua menyediakan karyawan baik SPG/SPB dan menanggung gaji tersebut tanpa melibatkan Pihak Pertama didalamnya bahkan tidak mencampuri uang yang telah diberikan oleh Pihak kedua kepada Pihak Pertama uang tersebut telah dijelaskan pada Perjanjian yang telah dijelaskan di atas.
Pasal 5 dijelaskan bahwa apabila Pihak kedua akan melajutkan kontrak yang telah berakhir maka wajib membayar biaya atas penggunaan merek cap poci sebesar Rp. 500.000,- kepada Pihak Pertama.
Dapat di ketahui bahwa didalam seluruh isi Perjanjian teh cap poci yang memuat mengenai pembagian hasil usaha waralaba Teh Poci keseluruhan yang tercantum di atas merupakan kewajiban dari Pihak kedua untuk memenuhi syarat-syarat serta menjalakan usaha Teh Poci dengan biaya-biaya yang telah ditetapkan didalam isi Perjanjian di atas kemudian diluar dari isi Perjanjian mengenai pembagian usaha menjadi hak dari Pihak kedua untuk mendapatkan keuntungan dari konsumen dengan tidak ada pengaturan cara penjualan atau penetapan harga yang ditawarkan oleh Pihak kedua kepada konsumen didalam Perjanjian waralaba Teh Poci.
Apabila terjadi suatu pelanggaran atas suatu ketentuan yang berlaku didalam menjalankan usaha Teh Poci baik dari segi pembagian hasil usaha maupun diluar pembagian hasil usaha selama memuat atau tercantum didalam Perjanjian maka perlindungan Hukum yang diberikan adalah terdapat dalam Pasal 7 Ayat 2 Perjanjian waralaba Teh Poci yang berbunyi:
(54)
Apabila Pihak kedua melanggar salah satu ketentuan dalam Perjanjian ini, jika dapat diperbaiki, Pihak kedua wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut dalam waktu 15 (Lima belas) Hari setelah adanya pemberitahuan tertulis dari Pihak Pertama, atau Pihak Pertama dapat mengakhiri Perjanjian ini efektif 30 (tiga puluh) Hari setelah pemberitahuan tertulis tersebut diterima oleh Pihak kedua dan atas pengakhiran tersebut Pihak Pertama berhak untuk mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) dari Pihak kedua.
Perlidungan Hukum yang tercantum didalam Perjanjian waralaba Teh Poci ini dapat dilihat juga berpedoman atau memiliki dasar Hukum didalam Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah Pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang -Undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
B. Upaya dan Kewajiban Para Pihak Yang Terlibat dalam Perjanjian Waralaba
Dalam menjalankan suatu Perjanjian yang telah dibuat maka upaya yang dijalankan dengan mengikuti semua aturan-aturan yang berlaku didalam Perjanjian tersebut, adapun aturan-aturan yang termaktub yang harus dijalankan oleh Pihak kedua sesuai surat pernyataan yang dibuat oleh Pihak Pertama untuk disetujui oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut:
(55)
1. Tidak akan membuka counter es Teh Poci dengan memindahkan counter dari satu tempat ketempat lain/ mobile counter (mengikuti event) seperti aturan yang telah ditetapkan oleh PT. Gunung Slamat
2. Bila disatu tempat sudah ada counter Teh Poci maka saya dengan sadar tidak akan membuka counter Teh Poci ditempat tersebut dengan minimal jarak 300 M (tiga Ratus meter)
3. Bila saya memindahkan counter Teh Poci, saya akan mengkoordinasikan kepada Pihak PT. Gunung Slamat dan akan membuat form pindah tempat yang sudah disediakan oleh PT. Gunung Slamat
4. Tidak akan mendisplay (memajang) produk selain produk Teh Poci di atas meja counter Teh Poci
5. Tidak akan menggunakan gula biang (Gula Sintesis) sebagai pemanis es Teh Poci yang dijual dan mengikuti petunjuk dan komposisi pembuatan Teh Poci yang telah dibuat PT. Gunung Slamat
Sehingga didalam pelaksanaannya usaha yang dijalan dapat berjalan dengan baik sesuai aturan maupun prosedur yang berlaku dari masing-masing Pihak, walaupun diketahui bahwa upaya-upaya yang dilakukan lebih berperan serta kepada Pihak Pertama sebagai pemberi waralaba sebagai pemberi hak dan kewajiban di samping itu Pihak kedua atau disebut penerima waralaba memiliki hak atas penjualan sehingga mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari konsumen sedangkan kewajiban harus dijalankan sesuai dengan prosedur Hukum sesuai Perjanjian yang dibuat. Maka upaya Hukum dalam suatu Perjanjian waralaba dapat terjalankan.
(56)
Kewajiban yang harus dijalankan oleh para Pihak didalam suatu Perjanjian berdasarkan kesepakan kedua belah Pihak, kewajiban-kewajiban yang terdapat didalam Perjanjian waralaba Teh Poci sesuai dengan analisis yang telah disebutkan di atas adalah:
1. Kewajiban pemberi waralaba atau Pihak Pertama adalah:
a. Pihak Pertama memberikan penggunaan merek kepada Pihak kedua setelah melakukan kesepakatan dalam Perjanjian waralaba Teh Poci
b. Pihak Pertama memberikan perangkat usaha es Teh Poci kepada Pihak kedua setelah Pihak kedua menyerahkan investasi dana sebesar Rp. 3.500.000,- (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) kepada Pihak Pertama, alat-alat penjualan yang diberikan Pihak Pertama kepada Pihak kedua berupa 1 unit meja counter es Teh Poci, 1 unit mesin seal es Teh Poci
c. Pihak Pertama memberikan standart pembuatan es Teh Poci kepada Pihak kedua
d. Pihak Pertama wajib memberikan bahan baku dan sarana lain kepada Pihak kedua sesuai dengan Perjanjian yang berlaku
e. Pihak Pertama memberikan jangka waktu kepada Pihak kedua atas masa Perjanjian waralaba Teh Poci yang dibuat
f. Pihak Pertama dapat mencabut hak atas uasaha waralaba Teh Poci apabila dalam jangka waktu satu Minggu Pihak kedua tidak memperpanjang Perjanjian yang berlaku setelah Perjanjian itu berakhir
(57)
g. Pihak Pertama wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pihak kedua apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan Pihak Pertama didalam Perjanjian waralaba Teh Poci
h. Apabila terdapat kesalahan atau perselisihan maka Pihak Pertama menyelesaikan masalah tersebut kepada Pihak kedua melalui jalan musyawarah dan mufakat. Dan apabila tidak ditemukannya jalan mufakat maka Pihak Pertama akan menempuh jalur Hukum Pihak Pertama berdomisili
2. Kewajiban penerima waralaba atau Pihak kedua
a. Pihak kedua menyepakati dengan Pihak Pertama agar terjadi Perjanjian kerjasama penjualan es Teh Poci
b. Pihak kedua wajib mebayar dana investasi sebesar Rp. 3. 500.000,- (Tiga Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) kepada Pihak Pertama sebagai pembelian atas perAngkat usaha es Teh Poci dan pemakaian merek Teh Poci
c. Pihak kedua wajib menanggung biaya tempat penjualan es Teh Poci termasuk biaya sewa dan listrik tanpa melibatkan Pihak Pertama sesuai ketentuan yang berlaku didalam Perjanjian Teh Poci
d. Pihak kedua wajib menggunakan bahan baku dan sarana lain yang ditentukan oleh Pihak Pertama
e. Pihak kedua wajib bertanggung jawab apabila ada tuntutan dari konsumen akibat adanya kelalaian tanpa melibatkan Pihak Pertama
f. Pihak Pertama harus menggunakan pendingin untuk menyimpan es teh tidak lebih dari 12 jam sesuai aturan yang diberi oleh Pihak Pertama dikarenakan berpengaruh terhadap kualitas dari es Teh Poci.
(58)
g. Pihak kedua wajib menjalankan usaha Teh Poci tanpa adanya usaha lain yang sejenis di counter tempat penjualan es Teh Poci sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh Pihak Pertama
h. Pihak kedua wajib menjalankan usha es Teh Poci tanpa meminjamkan atau menyewakan perlengkapan es Teh Poci kepada Pihak ketiga
i. Pihak kedua wajib menginformasikan kepada Pihak Pertama apabila akan memindahkan tempat usaha Teh Poci dengan mendapatkan persetujan tertulis dari Pihak Pertama
j. Pihak kedua wajib mengganti kerusakan atau pergantian suku cadang selama jangka waktu Perjanjian sesuai dengan aturan yang berlaku didalam Perjanjian Teh Poci
k. Pihak kedua wajib membayar biaya atas penggunaan merek cap poci sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) apabila ingin memperpanjang Perjanjian Teh Poci
l. Pihak kewajiban wajib mencabut segala atribut merek Teh Poci apabila Perjanjian telah berakhir selambat-lambatnya 1 Minggu sejak Perjanjian berakhir
m. Pihak kedua wajib memperbaiki apabila terjadi pelanggaran yang telah dibuat selama 15 (Lima Belas) Hari setelah adanya pemberitahuan tertulis dari Pihak Pertama
n. Pihak kedua wajib mengganti kerugian sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) apabila Pihak Pertama mengakhiri Perjanjian karena terjadi pelanggaran dari Pihak Pertama dan dikarenakan tidak adanya tanggapan dari
(1)
waralaba adalah mengambil tindakan yang menjadi salah satu hak dari penerima waralaba sesuai dengan isi Perjanjian yang berlaku.
Pasal 8 Ayat (1) Perjanjian ini beserta seluruh hak dan kewajiban para Pihak didalamnya tunduk kepada dan ditafsirkan berdasarkan Hukum dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Pasal 8 Ayat (2) apabila dalam Perjanjian kerjasama kedua belah Pihak mengalami suatu permasalahan atau perselisihan, maka kedua belah Pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut secara musyawarah dan mufakat. Pasal 8 Ayat (3) dan apabila jalan musyawarah dari kedua belah Pihak tidak ada kesepakatan, maka penyelesaian dapat ditempuh melalui jalur Hukum pada domisili Hukum Pihak Pertama dikantor pengadilan Negeri Medan
Bahwa dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12 / M-Dag/PER/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, dalam Pasal 6 point g tentang isi dari Perjanjian waralaba, dalam Pasal 6 tersebut mengatur mengenai cara penyelesaian perselisihan. Namun cara penyelesaian perselisihan tersebut, merupakan kesepakatan dari kedua belah Pihak dalam Perjanjian. Pasal terakhir didalam Perjanjian waralaba Teh Poci ini penyelesaian atas suatu masalah berdasarkan domisili Pihak Pertama menggunakan 2 jalur yaitu yang Pertama jalur musyawarah rasa kekeluargaan yang dimiliki oleh kedua belah Pihak untuk menyelesaikan suatu masalah dilakukan dengan kata lain ini merupakan suatu jalur non litigasi sedangkan jalur kedua adalah memalui jalur litigasi apabila jalur non litigasi tidak terlaksana maka jalur terakhir yang digunakan adalah jalur litigasi atau melaui jalur Hukum pengadilan sesuai domisili Pihak Pertama.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis dalam Perjanjian waralaba Teh Poci dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1. Dampak berkembangnya berpengaruh terhadap bisnis-bisnis lain diluar waralaba Teh Poci sehingga secara ekonomi waralaba Teh Poci dapat menyaingi waralaba sejenisnya dengan banyaknya gerai-gerai penjualan Teh Poci di Indonesia dan khususnya di kota Medan membuktikan bahwa Teh Poci merupakan waralaba yang sukses dan baik dalam perjalanandan perkembangannya, serta peraturan-peraturan yang memuat mengenai waralaba menjadikan Teh Poci menjadi waralaba yang memiliki sistem Hukum yang baik, walaupun belum ada Undang-Undang khusus yang mengatur tentang Waralaba sendiri.
2. Faktor yang mendorong pertumbuhan Teh Poci dari segi penjualan yang menyebabkan Teh Poci semakin meningkat adalah harga yang terjangkau menyebabkan Teh Poci dapat dinikmati semua kalangan sedangkan dari segi franchisee (penerima waralaba) atau yang lebih dikenal sebagai penjual Teh Poci merupakan suatu produk waralaba minuman yang menawarkan modal murah dibandingkan waralaba yang lain. perkembangan waralaba Teh Poci juga berkembang karena selalu mempertahankan cita rasa, kualitas, dan keunggulan management didalam proses penjualannya.
(3)
3. Akibat yang timbul apabila para Pihak melakukan wanprestasi yang di dalam suatu Perjanjian waralaba Teh Poci menjelaskan apabila salah satu Pihak melanggar ketentuan yang berlaku dari segi pembiayaan, hak dan kewajiban, maupun lokasi waralaba maka Perjanjian yang telah di sepakati dapat berakhir 4. Analisis dari Perjanjian waralaba meliputi mengenai isi dari Perjanjian Teh
Poci, Perjanjian Teh Poci memiliki segala ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan waralaba serta sanksi yang diberikan kepada para Pihak yang tidak menjalankan segala ketentuan yang berlaku, Perjanjian tersebut mejadi suatu pedoman agar waralaba Teh Poci tetap dapat berjalan dengan baik di dalam sistem Hukum maupun segi penjualannya.
B. Saran
Dengan melihat perkembangan dan kemajuan waralaba di zaman sekarang kiranya pemerintah mampu memberikan suatu pengaturan Hukum mengenai waralaba yang lebih baik dikhawatirkan adanya masalah-masalah yang ditimbulkan dari Perjanjian waralaba yang hanya mengikat para Pihak juga PP No 42 Tahun 2007 mengenai waralaba yang hanya mempunyai peraturan yang bersifat lebih rendah didalam peraturan Perundang-Undangan dibandingkan dengan Undang-Undang yang merupakan suatu peraturan yang tertinggi didalam hierarkinya diharapkan agar kiranya peraturan mengenai waralaba yang sekarang ini dapat dikodifikasi menjadi suatu peraturan yang lebih tinggi lagi sesuai hierarki Perundang-Undangan di Indonesia.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta 2008.
Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba, Cakrawala, Yogyakarta, 2007. Douglas J Queen, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media
Komputindo, Jakarta, 1993.
Koentjaraningrat, metode-metode penelitian, artinya menggambar objek PT. Gramedia, Jakarta, 1985.
Ekotama suryono, jurus jitu memilih bisnis franchise, citra media, Yogyakarta, 2010.
Franchise Bible, Graha info franchise, Jakarta, 2009.
Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996.
Gunawan Widjaja, hukum waralaba, Jakarta.
______________, Lisensi atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Cetakan Kedua, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Hadi Setia Tunggal, Dasar-Dasar Perwaralabaan, Harvindo, Jakarta, 2006. Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, CV. Utama, Bandung 2003. Joseph Mancuso & Donald Boroian, Pedoman Membeli dan Mengelola
Franchise, Delapratasa, Jakarta, 1995.
Juajir Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005. ______________, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan.
(5)
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modern Di Era Global, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
P. Lindawati S. Sewu, Franchise, Pola bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. 2004, Bandung.
Pedoman penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Queen J Douglas, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993.
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Bardin, Bandung, 1999. Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, 2007, Rineka Cipta,
Jakarta, 2007.
Subekti R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Pasal 1313.
________, Hukum Perjanjian, Jakarta, 2002.
Supriadi, Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam, Konsep Bisnis Waralaba (Franchising), excellent group, pmiikomfaksyahum.wordpress.com, sabtu, 24 april 2010
Suryono Ekotama, Cara Gampang Bikin Franchise, Media Pressindo, Jakarta, 2009.
V. Winarto, Pengembangan Waralaba (Franchise) di Indonesia, aspek Hukum dan Non Hukum, Makalah dalam Seminar Aspek-aspek hukum tentang Franchising oleh Ikadin cabang, 1993. Surabaya.
Widjaja Gunawan. Lisensi atau Waralaba, Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
B. INTERNET
18 januari 2011
januari 2011
(6)
tanggal 18 januari 2011
januari 2011
C. UNDANG-UNDANG
Peraturan Menteri Perdagangan No.31/M-DAG/PER/8/2008 Pasal 5 ayat 1 Tentang Penyelenggaraan Waralaba
Pemerintah No 42 Tahun 2007 pasal 1 ayat (1) tentang pengertian waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 pasal 1 dan pasal 3 Subekti, kitab undang-undang hukum perdata, pradnya paramita, jakarata, 1992. Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993.
Subekti R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Pasal 1313.