diletakkan dalam paragraf pertama dan bahan yang kepentingannya berkurang ditempatkan dalam setiap paragraf berikutnya.
36
5. Pelabelan analisis berita. Dalam banyak hal reporter, kolumnis, dan
editor tidak berbuat seakan-akan objektif, mereka hanya memberi label laporan demikian dengan komentar atau analisis berita.
37
Maksud berbagai strategi diatas bukanlah untuk mencapai objektivitas, tetapi merupakan rasional yang praktis yang digunakan oleh
jurnalis untuk menyesuaikan diri dengan tekanan organisasi seperti deadline dan perintah untuk menghindari tuntutan atas dasar fitnah, dan
untuk memberikan jawaban dalam menghadapi teguran dari atas. Tuchman dalam bukunya Objectivity as Strategic Ritual,
mengemukakan bahwa prosedur berita yang ditampakkan sebagai sifat formal kisah berita dan surat kabar ini sebenarnya adalah strategi yang
digunakan oleh wartawan untuk melindungi diri terhadap dan untuk meletakkan tuntutan profesional agar bersikap objektif.
38
d. Konflik
Seperti dalam setiap operasi berskala besar, organisasi berita terdiri atas jaringan orang, setiap orang memiliki minat, aspirasi, tujuan,
kebutuhan, dan hasrat sendiri. Terkadang hubungan interpersonal bekerja sama, adakalanya juga bertentangan bahkan menuai konflik.
36
Ibid, h.256.
37
Ibid, h.256.
38
Ibid, h.256.
Sebagai pegawai organisasi berita, reporter, editor, redaktur, dan yang lain tidak selalu sepakat dengan kebijakan organisasi. seorang
reporter bisa saja merasa terkekang oleh editor yang tidak memperbolehkan jurnalis menginterpretasikan peristiwa. Sampai pada
tingkat timbulnya konflik yang relatif kecil karena kebijakan organisasi dalam pengangkatan pegawai dan dalam sosialisasi. Harus adanya
konformitas organisasi terhadap norma kebijakan dengan memberi peluang kepada reporter untuk membentuk peran sendiri di dalam
organisasi. Misalnya, dengan menawarkan tugas yang bergengsi, menghadiahkan promosi dan memberikan kenaikan gaji.
Singkat kata, hubungan personel berita di dalam organisasi benar- benar sama politisnya dengan peristiwa yang dilaporkan oleh jurnalis.
Untuk melangsungkan bisnis produksi berita, atasan dan bawahan menegosiasikan cara menanggulangi perselisihan internal organisasi.
e. Ekonomi Organisasi
Masuknya faktor ekonomi dalam pembuatan berita, melihat kenyataan bahwa organisasi berita adalah usaha ekonomi yang
menghidupi diri terutama melalui penjualan produk dan periklanan. Menurut Sigal dalam Dan Nimmo menunjukkan bahwa motif laba paling
banyak mempengaruhi pembuatan berita jika laba paling sedikit.
39
Demikian, faktor ekonomi memainkan peran penting dalam berbagai jenis
39
Ibid, h.256.
kepentingan khusus yang diwakili dalam pemilikan dan operasional media.
Tiap surat kabar yang sampai ke tangan pembaca merupakan hasil dari rangkaian seleksi akhir dan lengkap dari berita-berita yang pantas
dicetak, dalam keadaan apa dicetak, berapa banyak ruangan kolom yang ditempatinya, dan apa tekanan misi yang dimiliki masing-masing koran.
40
Keuletan wartawan dalam mencari berita, pemimpin redaksi maupun redaktur yang cakap dalam memilah milih berita apa yang pantas
untuk dijadikan topik atau isu saat ini, bahkan editor sekalipun, yang memberikan pengaruh terhadap pengemasan berita. Pada akhirnya, hal-hal
tersebut yang mempengaruhi politik redaksi media Menurut Lipmann demikian ini tidak mungkin dapat terjadi jika
tanpa adanya pembakuan gaya koran, tanpa stereotip, tanpa penilaian rutin, tanpa menyederhanakan seluk-beluk yang ruwet, maka editor akan
kehabisan tenaga karena keasyikan. Redaksi akhir mempunyai ukuran definitif yang harus siaga di setiap saat. Jumlah halaman terbatas, tidak
boleh melebihi kuota. Maka liputan tentang masalahpun terseleksi. Dan tiap tulisan jumlah hurufnya tertentu. Semuanya harus serba cepat, tangkas
dan tepat. Itulah konsekuensi sebuah harian.
41
40
Walter Lipmann, Opini Umum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, h.337.
41
Ibid, h.337.
C. Konstruksi Sosial Realitas Berita
Istilah konstruksi atas realitas sosial social consturction of reality menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann melalui
bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Tretise in the Sociological of Knowledge. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan
interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
42
Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Pada tahap pertama, eksternalisasi yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dunia baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Tahap kedua,
objektivasi yaitu hasil yang telah dicapai baik secara mental maupun fisik dari eksternalisasi yang telah dilakukan manusia. Eksternalisasi menghasilkan realitas
objektif yang bisa jadi akan menghadapi manusia itu sendiri. Ketiga, internalisasi yaitu proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian
rupa sehingga subjektif induvidu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat.
43
Demikian, bagi Berger realitas tidak dibentuk secara ilmiah tetapi ia dikonstruksi. Dengan pemahaman yang seperti inilah yang menjadikan realitas
42
Burhan Bungin S.Sos., M.Si, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann, Jakarta: Kencana, 2011, h.13.
43
Mubarok dan Made Dwi Adnjani, “Konstruksi Pemberitaan Media Tentang Negara Islam Indonesia: Ana
lisis Framing Republika dan Kompas”, Jurnal Ilmiah Komunikasi Makna, Vol 3 No.1, h.27.
berwajah ganda atau plural. Karena setiap orang dapat memiliki pandangan
berbeda-beda terhadap realitas yang sama.
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui
bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semisekunder.
44
Media massa mengkonstruksi realitas menggunakan teks. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks tersebut. Bahasa menjadi elemen
paling utama dalam membuat suatu produk jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang ingin disampaikan pers dapat direalisasikan.
45
Menurut Hamad dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat
konseptual dan alat narasi. Keberadaan bahasa diungkapkan Hamad tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa
menentukan gambaran citra yang akan dimunculkan dalam benak khalayak.
46
D. Berita 1.
Definisi Berita
Berita menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Menurut Dean Lyle
44
Burhan Bungin S.Sos., M.Si, Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta: Kencana, 2011, h.193.
45
Dalam Skripsi Desy Mauliza mahasiswi Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta dengan judul “Analisis Framing Pemberitaan Kampanye Terbuka Pemilukada DKI 2012.
46
Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, dkk, Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama di Media Massa, Jakarta: ISAC, 2001, h.14.
Spencer dalam Suhirman, berita adalah suatu kejadian atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian dari pembaca. Adapun pengertian
berita yang lebih sempurna menurut William S. Maulsby bahwa berita dapatlah didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak
memihak dari fakta-fakta yang nempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca surat kabar yang memuat berita
tersebut.
47
Berita berasal dari kata new baru dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Dalam hal ini segala hal yang baru merupakan bahan informasi bagi
semua orang yang memerlukannya. Dengan kata lain, semua hal yang baru merupakan bahan informasi yang dapat disampaikan kepada orang lain dalam
bentuk berita news..
48
Secara etimologis istilah berita dalam bahasa Indonesia mendekati istilah bericht en dalam bahasa Belanda. Besar kemungkinan kedua istilah
itu berketurunan mengingat Indonesia lama dijajah Belanda. Dalam bahasa Belanda istilah bericht en dijelaskan sebagai mededeling pengumuman
yang beakar kata dari mede delen dengan sinonim pada bekend maken memberitahukan,
mengumumkan, membuat
terkenal dan
vertelen menceritakan atau memberitahukan. Sedangkan Departemen Pendidikan RI
membakukan istilah berita dengan pengertian sebagai laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Juga berita disamakan maknanya dengan
47
Imam Suhirman, Menjadi Jurnalis Masa Depan, Bandung: Dimensi Publisher, 2005, h. 1.
48
Kustadi Suhandang, Pengantar jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk,dan Kode Etik,
Bandung: Nuansa, 2004, h. 102-103.
kabar dan informasi resmi, yang berarti penerangan, keterangan atau pemberitahuan.
49
M. Lyle Spencer dalam bukunya News Writing menyebutkan, berita merupakan kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian
sebagian besar pembaca.
50
Sedangkan, Menurut Sumadiria, berita adalah laporan mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting
bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, Tv, atau media online internet.
51
Berita bukan merupakan cerminan situasi dan kondisi sosial, akan tetapi laporan dari aspek yang menonjolkan diri. Semakin banyak celah yang
memungkinkan kejadian dapat ditentukan sebelumnya, diungkapkan secara objektif, diukur, diberi nama, semakin banyaklah kemungkinan berita.
52
Berbeda halnya dengan pengertian berita yang dimaksud oleh Lipmann. Lipmann merefleksikan berita sama halnya dengan penentuan agenda media,
yang kemudian kita kenal dengan agenda setting pada media massa.
Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan peristiwa atau fakta arti riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia
adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.
53
49
Kustadi Suhandang, Pengantar jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk,dan Kode Etik, Bandung: Nuansa, 2004, h. 103.
50
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008, h.132.
51
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006, h.65.
52
Walter Lipmann, Opini Umum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, h. 325.
53
Tommy Suprapto, Politik Redaksi Berita: Menguak Latar Belakang Teks Berita Media, Jakarta: Pustaka Kaiswaran, 2010, h.14