Tahap Treatment Delay Ditinjau Dari Health Belief Model Pada Masyarakat Pedesaan

(1)

TAHAP TREATMENT DELAY DITINJAU DARI HEALTH

BELIEF MODEL PADA MASYARAKAT PEDESAAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

YUSTIAN SINAGA

051301143

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2008/2009


(2)

SKRIPSI

Tahapan Treatment Delay Ditinjau Dari Health Belief Model Pada Masyarakat Pedesaan

Dipersiapkan dan disusun oleh

Yustian Sinaga 051301143

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 12 Juni 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi

dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) NIP. 140 080 762

Dewan Penguji

1. Josetta M. R. T, M.si Penguji I ______________ NIP 132 255 304 merangkap sebagai pembimbing

2. Arliza J. M.si Penguji II _____________ NIP132 303 828

3. Eka Danta S. Psi, psikolog Penguji III ______________ NIP


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya ini yang berjudul:

Tahapan Treatment Delay Ditinjau Dari Health Belief Model Pada Masyarakat Pedesaan

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk meraih gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juni 2009

Yustian Sinaga NIM 051301143


(4)

Tahapan Treatment Delay Ditinjau Dari Health Belief Model Pada Masyarakat Pedesaan

Yustian dan Josetta

ABSTRAK

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Khususnya pada negara yang sedang berkembang, masalah kesehatan masih sangat perlu mengalami pembenahan dalam berbagai hal. Masalah kesehatan ini tidak hanya mencakup mengenai penyakit dan fasilitas pelayana rumah sakit atau puskesmas, namun faktor psikologis individu yang bersangkutan juga sangat perlu untuk diperhitungkan. Faktor psikologis yang dimaksud adalah persepsi individu yang bersangkutan terhadap penyakit yang ia alami.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana health belief mampu memprediksi tahapan treatment delay. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 61 orang masyarakat yang berada di kecamatan pangururan. Teknik statistik yang digunakan adalah uji non paramentrik coefficient contingency

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa health belief memiliki efek yang sangat kuat dengan tahapan treatment delay (C= 0,511) dengan signifikansi (P= 0,000).


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Chairul, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi

2. Ibu Josetta, M. R. T. M. Si, psikolog selaku Pembimbing Skripsi. Saya ucapkan terimakasih atas kesabaran serta masukan dari ibu sehingga skripsi ini dapat selesai.

3. Pak Ferry selaku dosen pembimbing akademik, terimakasih atas bimbingan dari bapak.

4. Ibu Etty dan ibu Lili Rahmwaty yang telah banyak memberikan masukan dan saran bagi terselesainya skripsi ini.

5. Orang tua saya tercinta, terimakasih atas doa dan dukungannya.

6. Kakak dan adik saya tercinta, terimakasih atas perhatian dan dukungannya. 7. Sahabat saya Verawati Silalahi yang telah mambantu saya dalam

pengambilan data dan menjadi sahabat dalam menjalani suka duka selama kuliah, saya ucapkan terimakasih.


(6)

8. Chrismes manik, dirimu adalah wanita terhebat dan terindah dalam hidupku. Terimakasih banyak atas filosofi hidupmu.

9. Teman-teman kampus yang sangat aku sayangi: lenny, juhar, hitler, arini, junias, erika, rentika, dermika, darwin, jerry dan semuanya.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Juni 2009


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan Lembar Pernyataan Abstrak

Kata Pengantar

BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar belakang masalah I. B. Perumusan masalah I. C. Tujuan penelitian I. D. Manfaat penelitian

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Treatment delay

I. A.1. Pengertian treatment delay II. A. 2. Tahapan treatment delay II.B. Health belief model

II.C. Kelompok yang menggunakan layanan kesehatan

II. D. Tahapan treatment delay ditinjau dari health belief model II. E. Hipotesa penelitian

BAB III METODE PENELITIAN III. A. Identifikasi variabel penelitian III. B. Definisi operasional

III.C.1. Tahapan treatment delay III.C.2. Health belief model


(8)

III. C. 2. Jumlah sampel penelitian III. C. 3. Teknik pengambilan sampel III. D. Metode dan alat pengumpulan data III.F. Validitas dan reliabilitas alat ukur

III.F.1. Uji validitas

III.F.2. Uji daya beda aitem III.F.3. Reliabilitas

III.G. Metode analisis data

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA


(9)

Tahapan Treatment Delay Ditinjau Dari Health Belief Model Pada Masyarakat Pedesaan

Yustian dan Josetta

ABSTRAK

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Khususnya pada negara yang sedang berkembang, masalah kesehatan masih sangat perlu mengalami pembenahan dalam berbagai hal. Masalah kesehatan ini tidak hanya mencakup mengenai penyakit dan fasilitas pelayana rumah sakit atau puskesmas, namun faktor psikologis individu yang bersangkutan juga sangat perlu untuk diperhitungkan. Faktor psikologis yang dimaksud adalah persepsi individu yang bersangkutan terhadap penyakit yang ia alami.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana health belief mampu memprediksi tahapan treatment delay. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 61 orang masyarakat yang berada di kecamatan pangururan. Teknik statistik yang digunakan adalah uji non paramentrik coefficient contingency

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa health belief memiliki efek yang sangat kuat dengan tahapan treatment delay (C= 0,511) dengan signifikansi (P= 0,000).


(10)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG MASALAH

Desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Menurut Egon.E. Begel, desa merupakan tempat pemukiman para petani, sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri yang selalu harus terlekat pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal dan suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Dengan perkataan lain suatu desa ditandai oleh keterkaitan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Mengenai lingkungan sebagai faktor penentu karakteristik desa-kota, Smith dan Zopf membedakan 3 jenis lingkungan yaitu lingkungan fisik/unorganik, lingkungan biologik/organik, lingkungan sosio kultural. Lingkungan sosial-kultural dibagi lagi menjadi tiga kategori, yakni fisik, biososial dan psikososial (dalam Rahadjo, 1999).

Secara garis besarnya dalam hal lingkungan fisik, masyarakat desa lebih langsung berhadapan dan dipengaruhi oleh lingkungan fisik dibandingkan dengan masyarakat kota. Tanah dan kekotoran yang untuk orang kota sinonim dengan bakteri, untuk orang desa bergumul dengan ”kekotoran” (lumpur) itu justru menjadi kehidupan bagi mereka (Rahadjo, 1999). Dalam hal lingkungan sosio-kultural, perbedaan antara kehidupan masyarakat desa dan kota juga terlihat jelas pada ketiga katagori lingkungan sosiokultur dalam lingkungan psikososial, kota lebih memperlihatkan bangunan-bangunan fisik yang lebih banyak dan bervariasi.


(11)

Berdasarkan lingkungan biososial, kota lebih memperhatikan komposisi ras atau kebangsaan yang beragam dibanding dengan masyarakat desa. Dalam lingkungan psikososial, lingkungan perkotaan jauh lebih kompleks dibanding dengan perdesaan.

Desa tidak jarang memberikan asosiasi yang romantik. Bagi penduduk kota yang tidak mengurangi hiruk pikuk, udara bercampur asap knalpot, siang yang membakar serta hidup yang sangat individualistis, desa merupakan firdaus yang menawarkan ketenangan, udara bersih, pohon yang rindang dan kehidupan yang sangat kekeluargaan.Tetapi asosiasi yang romantik itu akan perlahan lenyap apabila seseorang mendapat kesempatan untuk tinggal beberapa waktu didesa. Akan segera nampak bahwa sebagian besar penduduk desa di Indonesia dililit masalah yang sangat parah yakni kemiskinan (Hagul, 1992).

Selain kemiskinan masih terdapat beberapa masalah pada masyarakat perdesaan. Masalah ini dapat disederhanakan menjadi 3 bagian yaitu pendapatan yang rendah, adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya dan yang miskin, dimana yang miskin adalah mayoritas, pastisipasi rakyat yang minim dalam usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Keadaan yang demikian itu mempunyai sebab yang kompleks, namun kalau disederhanakan, maka sebab-sebab pokok adalah kurangnya pengembangan sumber daya alam, kurangnya pengembangan sumber daya manusia, kurangnya lapangan kerja dan adanya struktur masyarakat yang menghambat (Hagul, 1992).

Masalah pokok dalam pedesaan tidak hanya mencakup pada 3 bagian sebagaimana yang telah disebut diatas masalah kesehatan juga terjadi pada


(12)

masyarakat pedesaan. Masalah kesehatan dipedesaan dapat ditinjau dari dua segi, yakni hal kesehatan sendiri (substantial) dan hal penyelenggaraannya (management. Masalah kesehatan (substantial) dapat berupa berbagai jenis penyakit sedangkan masalah penyelenggaraan kesehatan meliputi masalah peningkatan, perlindungan, penemuan masalah, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada perseorangan maupun pada kesehatan masyarakat. Dari hasil penelitian masalah kesehatan yang paling sering muncul adalah penyakit-penyakit infeksi (pernafasan, perut, kulit, dan lain-lain). Penyakit-penyakit infeksi, yang satu sama lain berbeda sifat mempunyai hubungan erat dengan lingkungan hidup yang kurang sehat dan daya tahan tubuh rendah. Daya tahan tubuh yang rendah dapat terjadi karena ketidakseimbangan pemenuhan gizi dan kebutuhannya, kemajuan ekonomi dapat mendorong perbaikan gizi sehingga dapat memperkuat daya tahan. Kemajuan ekonomi juga akan mendorong perbaikan lingkungan hidup yang mengurangi kejangkitan penyakit. Rendahnya kejangkitan penyakit dan tingginya daya tahan ini dapat meningkatkan taraf kesehatan pada masyarakat (O.M.S dalam Hagul, 1999).

Masalah kesehatan yang menonjol di daerah pedesaan adalah tingginya angka kejadian penyakit menular, kurangnya pengertian masyarakat tentang syarat hidup sehat, gizi yang buruk dan keadaan hygiene dan sanitasi yang kurang memuaskan (Hagul, 1992). Fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang didaerah pedesaan menyebabkan sebagian besar masyarakat masih sulit mendapatkan atau memperoleh pengobatan, selain itu hal penting yang mempersulit usaha pertolongan terhadap masalah kesehatan pada masyarakat desa adalah kenyataan


(13)

yang sering terjadi dimana penderita atau keluarga penderita tidak dengan segera mencari pertolongan pengobatan. Perilaku yang menunda untuk memperoleh pengobatan dari praktisi kesehatan ini disebut dengan treatment Delay (Sarafino, 2006).

Treatment delay adalah rentang waktu yang telah berlalu ketika individu mengalami simptom awal sampai individu memasuki pelayanan kesehatan dari praktisi kesehatan (Sarafino, 2006). Keadaan seperti ini merupakan keadaan yang umum di jumpai di negara-negara yang sedang berkembang khususnya di daerah pedesaan dimana tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan merupakan keadaan yang umum dijumpai. Lebih dari separuh kematian anak terjadi karena penyakit-penyakit diare, saluran nafas dan kurang gizi merupakan keadaan-keadaan yang saling memperkuat satu dengan yang lain, kondisi seperti ini tidak hanya ditimbulkan oleh fasilitas kesehatan yang kurang, tetapi juga karena penderita atau keluarga penderita tidak segera mencari pertolongan pengobatan atau disebut sebagai treatment delay (Hagul, 1992). Hal ini didukung penelitian Michael A Koenig (2007), yang menyatakan bahwa dinegara yang sedang berkembang seperti India (Bangladesh) hanya 1/3 wanita yang dengan segera mencari pertolongan praksiti kesehatan dalam menangani masalah kehamilannya dan level memperoleh perawatan kesehatan ibu hamil lebih tinggi didaerah perkotaan daripada daerah pedesaan.

Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan ini, seringkali kesalahan dan penyebabnya dikarenakan faktor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh, tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan


(14)

sebagainya. Faktor persepsi atau konsep masyarakat itu tentang sakit sering kali terabaikan, pada kenyataannya dalam masyarakat sendiri terdapat beraneka ragam konsep sehat-sakit yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep sehat sakit yang diberikan oleh pihak provider atau penyelenggara pelayanan kesehatan. Timbulnya perbedaan konsep sehat sakit yang dialami masyarakat dengan konsep sehat-sakit yang diberikan oleh pihak penyelenggara pelayanan kesehatan karena adanya persepsi sakit yang berbeda antara masyarakat dan praktisi kesehatan. Perbedaan persepsi ini berkisar antara penyakit (disease) dengan illness (rasa sakit) (Notoatmodjo, 1993).

Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing atau luka. Hal ini adalah suatu fenomena objektif yang ditandai oleh perubahan fungsi-fungsi tubuh sebagai organisme biologis, sedangkan sakit (illnes) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini merupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak. Berdasarkan batasan kedua pengertian tersebut tampak perbedaan konsep sehat sakit di dalam masyarakat. Secara objektif seseorang terkena penyakit, salah satu organ tubuhnya terganggu fungsinya, namun dia tidak merasa sakit. Kondisi ini menggambarkan seseorang mendapat serangan penyakit secara klinis tetapi orang itu sendiri tidak merasa sakit atau mungkin tidak dirasakan sebagai sakit, sehingga mereka tetap melakukan aktivitasnya sebagai mana orang sehat. Berdasarkan hal ini muncullah suatu konsep sehat masyarakat yaitu sehat adalah orang yang dapat bekerja atau menjalankan pekerjaannya sehari-hari dan konsep sakit yaitu suatu kondisi


(15)

seseorang yang sudah tidak dapat bangkit dari tempat tidur dan tidak dapat menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Masyarakat yang mendapat penyakit namun tidak merasa sakit (not perceived) akan membuat masyarakat tersebut tidak berbuat apa-apa terhadap penyakitnya termasuk menunda untuk mencari pertolongan dari praktisi kesehatan atau disebut dengan treatmen delay. Menurut Notoadmojo(1993) individu yang mengalami simtom penyakit namun tidak berbuat apa-apa terhadap penyakitnya, disebabkan karena dia merasa tidak sakit (not perceived).

. Persepsi terhadap suatu penyakit dibahas dalam health belief model. Health belief model memberikan kerangka yang menjelaskan mengapa seorang individu melakukan dan tidak melakukan perilaku sehat. Health belief model melibatkan penilaian terhadap perceived threat pada symptom yang dialami, yaitu semakin individu merasa terancam dengan simptom penyakit yang ia alami maka semakin cepat individu mencari pertolongan medis (Becker & Rosenstock dalam Sarafino,2006). Hal ini didukung oleh kasus yang menyatakan bahwa anak remaja di Atlanta tidak merasa terancam dengan resiko HIV, maka mereka selama setahun lebih tidak mencari pertolonghan dari praktisi kesehatan (NEWSRx dalam Infotrac college edition, 2004).

Seberapa besar ancaman yang dirasakan individu akan simptom penyakit yang dialaminya tergantung pada tiga faktor. Pertama, cues to action yang merupakan faktor pemicu agar individu segera mencari pelayanan kesehatan, hal ini dapat berupa nasihat dari teman atau keluarga , informasi dari media massa dan lain-lain (Sarafino, 2006). Kedua, perceived seriousness yaitu seberapa parah


(16)

individu mempersepsikan konsekuensi organik dan sosial jika individu tidak segera melakukan pengobatan medis, jika individu mempersepsikan bahwa penyakit yang dialaminya memiliki konsekuensi yang serius maka individu tersebut akan mencari pertolongan medis (Sarafino, 2006). Penelitian Analee ( dalam questia.com) mendukung pernyataan ini, dimana dalam penelitiannya ditemukan bahwa individu akan melakukan tindakan pecegahan jika individu mempersepsikan penyakit yang ia alami memiliki konsekuensi yang serius. Ketiga, perceived susceptibility yaitu individu mengevaluasi kemungkinan akan berkembangnya symptom penyakit, semakin individu merasa penyakitnya beresiko maka akan mempersepsikannya sebagai ancaman dan melakukan tindakan pengobatan ( sarafino, 2006).

Health belief model juga menyatakan bahwa individu menilai perceived benefit dan perceived barrier dalam memutuskan untuk mencari pertolongan dari praktisi kesehatan. Individu yang yakin bahwa pengobatan yang dilakukan oleh praktisi kesehatan dapat menyembuhkan atau menghentikan perkembangan dari penyakit maka akan meningkatkan kemungkinan untuk mencari pertolongan kesehatan. Penelitian membuktikan bahwa individu semakin antusias untuk mencari pengobatan jika pengobatan tersebut sangat menuntungkan bagi individu (Christine, Richard, Karen, Susan,dalam Infotac college edition, 2005). Dalam perceived barier individu akan menilai apakah pengobatan tertentu akan menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan, biaya yang mahal dan apakah sulit untuk memperolehnya (Sarafino,2006). Jumlah dari perceived benefit dan perceived barrier dikombinasikan dengan perceived threat akan menentukan


(17)

kemungkinan individu untuk mencari atau tidak mencari pertolongan dari praktisi kesehatan.

Psikolog kesehatan dan bidang lain yang mempelajari mengenai kesehatan menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu untuk tidak segara mencari pertolongan kesehatan, yaitu ide dan kepercayaan individu mengenai suatu pelayanan kesehatan (sarafino, 2006). Individu terkadang menyatakan bahwa masalah kesehatan yang dialaminya merupakan hasil dari treatment medis. Kondisi ini dapat terjadi baik akibat kesalahan praktisi kesehatan atau efek samping dari treatment sebagaimana yang dapat muncul ketika individu dioperasi atau memperoleh pengobatan. Ketidakpercayaan terhadap praktisi kesehatan ini dapat timbul karena individu khawatir atau tidak yakin dengan informasi yang diberikan praktisi kesehatan dan individu merasa bahwa praktisi kesehatan melakukan diskriminasi terhadap suatu kelompok minoritas (Sarafino, 2006).

Faktor emosi dan sosial juga mempengaruhi treatment delay. Faktor emosi dan sosial memiliki peran yang penting dalam pengambilan keputusan untuk mencari pertolongan kesehatan, dimana individu yang memiliki reaksi emosional yang kuat terhadap symptom penyakit yang dialami maka akan dapat menghambat untuk mencari pertolonganm kesehatan (Sarafino, 2006). Beberapa dapat mempersepsikan penyakit seperti kanker sebagai penyakit yang sangat serius dapat menghindari penanganan medis karena takut akan rasa sakit yang ditimbulkannya jika diberi treatment. Hasilnya, ancaman yang dialami individu tidak meningkatkan kescenderungan untuk menggunakan layanan kesehatan tetapi


(18)

justru menurunkannya. Banyak individu menyatakan bahwa mereka tidak segera mencari pertolongan kesehatan karena takut akan rasa sakit yang akan dialami ketika menjalani pengobatan (Levin, Cleland, & dar dalam sarafino, 2006), selain itu rasa malu juga dapat menghambat individu untuk mencari pertolongan kesehatan (sarafino, 2006). Hasil penelitian oleh felicity young (2002) menyatakan bahwa perasaan malu pada diri pasien dapat meningkatkan treatment delay pada diri pasien.

Faktor usia dan jenis kelamin juga berperan dalam penggunaan layanan kesehatan. Secara umum anak-anak dan orang tua lebih sering kontak dengan praktisi kesehatan daripada remaja atau orang dewasa (NCHS dalam sarafino, 2006). Anak-anak mengunjungi praktisi kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan dan juga untuk vaksinasi. Praktisi kesehatan memiliki frekuensi kontak yang jarang pada individu yang berusia kanak-kanak akhir dan dewasa awal, tetapi meningkat mulai dari usia dewasa madya dan usia tua (Sarafino, 2006). Jenis kelamin juga mempengaruhi sering atau tidaknya individu menggunakan layanan kesehatan. Penelitian membuktikan bahwa wanita lebih sering kontak dengan praktisi kesehatan daripada pria (NCHS dalam Sarafino, 2006). Selain itu juga berperan dalam penggunaan layanan kesehatan, dari hasil survey NCHS (dalam Sarafino, 2006) persentase individu yang mencari layanan kesehatan meningkat seiring dengan tingginya pendapatan, lalu individu yang memiliki pendapatan yang rendah lebih sering berada di ruang unit gawat darurat untuk memperoleh pelayanan kesehatan.


(19)

Demikianlah latar belakang masalah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti tahapan treatment delay ditinjau dari health belief model pada masyarakat pedesaan.

I. B. PERUMUSAN MASALAH

Secara lebih terperinci, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dengan: 1. Apa tahapan treatment delay pada masyarakat pedesaan ditinjau dari

health belief model ?

2. Pada tahapan treatment delay yang manakah paling banyak dimiliki oleh masyarakat pedesaan ?

3. Pada tahapan treatment delay yang menakah paling banyak dimiliki oleh masyarakat pedesaan jika ditinjau dari health belief model ?

I. C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Memperoleh informasi mengenai hubungan health belief model dengan tahapan treatment delay.

2. Mengetahui seberapa besar health belief model dapat memprediksi tahapan treatment delay.


(20)

I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi bagi praktisi kesehatan bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan sangat perlu diperhatikan belief masyarakat tersebut akan kesehatannya.

2. Memberikan informasi bagi masyarakat agar tidak menunda dalam mencari layanan kesehatan dari praktisi kesehatan.

3. Memberikan masukan bagi penyelenggaraan kesehatan di desa, agar tidak hanya fokus pada fasilitas kesehatan tetapi juga memperhatikan belief masyarakat sekitar akan kesehatan mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan.

I. D. 2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang Psikologi khususnya psikologi klinis.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. TREATMENT DELAY

II. A. 1. Pengertian Treatment Delay

Sarafino (2006), mendefinisikan treatment delay sebagai rentang waktu yang berlalu antara ketika seorang individu pertama sekali mengalami symptom penyakit dan ketika individu tersebut memasuki perawatan medis. Sejalan dengan pengertian tersebut Taylor (1995) menyatakan bahwa treatment delay terjadi ketika individu mengalami suatu penyakit dan membiarkannya sampai berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan menahun tanpa mencari pertolongan dari praktisi kesehatan.

II.A. 2. Tahapan Treatment Delay

Penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh safer (1979), tentang tahapan treatment delay yaitu :

a. Apraisal delay

Apraisal delay is the time person takes to interpret a symptom as an indication of illness (safer dkk, 1979).

Apraisal delay diartikan sebagai jumlah waktu yang berlalu yang digunakan individu untuk menginterpretasikan suatu simptom sebagai suatu indikasi penyakit. Pada tahap appraisal delay, pengalaman sensoris dari suatu symptom


(22)

memiliki dampak yang besar terhadap delay. Pasien akan lebih mengenali suatu simptom sebagai indikasi suatu penyakit jika mereka mengalami rasa sakit yang parah atau pendarahan daripada tidak mengalaminya

b. Illness delay

illness delay is the time taken between recognizing one is ill and deciding to seek medical attention.” (safer dkk, 1979)

Illness delay merupakan jumlah waktu yang berlalu antara mengenali bahwa seorang individu sakit dan memutuskan untuk mencari perhatian medis. Pola pikir tentang simptom yang dialami memiliki dampak yang besar terhadap illness delay. Individu memutuskan untuk mencari perhatian medis lebih cepat ketika simptom yang dialaminya baru dari pada yang sudah familiar, dan jika mereka tidak terlalu memikirkan simptom tersebut serta implikasinya.

c. Utilization delay

Utilization delay is the time after deciding to seek medical care until actually going in to use that health service”(safer dkk, 1979)

Utilization delay merupakan jumlah waktu setelah memutuskan untuk mencari perawatan medis sampai akhirnya menggunakan pelayanan medis. Persepsi benefit dan barrier merupakan hal yang penting. Delay akan semakin


(23)

singkat bagi individu yang tidak terlalu memikirkan mengenai biaya pengbatan, memiliki rasa sakit yang parah dan merasa bahwa penyakit yang mereka alami dapat disembuhkan. Penelitian membuktikan bahwa permasalahan yang tidak berhubungan dengan penyakit seperti perceraian dapat meningkatkan total treatment delay. Total treatment delay merupakan jumlah dari illness delay, appraisal delay dan utilization delay..

II. A. 4. HEALTH BELIEF MODEL

Menurut health belief model, Kemungkinan individu melakukan perilaku pencegahan atau disebut juga sebagai perilaku sehat tergantung pada dua penilaian yang dilakukan oleh individu tersebut.Penilaian ini meliputi perceived threat dan perceived benefit and barrier. Perceived threat merupakan perasaan seorang individu terhadap permasalahan kesehatan yang dialami oleh individu. Becker dan rosenstock, 1984 (dalam sarafino,2006) membagi perceived threat dalam tiga dasar yaitu :

1. Perceived seriousness

Individu mempertimbangkan seberapa parah konsekuensi organik dan sosial yang mungkin muncul jika permasalahan kesehatannya berkembang atau membiarkan penyakitnya tanpa di beri penanganan dari praktisi kesehatan. Semakin individu merasa bahwa penyakit yang ia alami itu serius maka akan semakin dipersepsikan sebagai hal yang mengancam dan melakukan tindakan pencegahan.


(24)

Individu akan mengevaluasi kemungkinan individu mengalami suatu penyakit yang semakin berkembang. Semakin individu mempersepsikan bahwa penyakit yang ia alami beresiko, maka akan membuat individu mempersepsikannya sebagai ancaman dan melakukan tindakan pengobatan.

3. Cues to action

Peringatan mengenai masalah kesehatan yang berpotensi dapat meningkatkan kecenderungan individu untuk untuk mempersepsikannya sebagai ancaman dan melakukan tindakan. Cues to action dapat memiliki beraneka macam bentuk seperti iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok, artikel di koran dan lain-lain.

Perceived benefit and barrier. Dalam perceived benefit Individu menilai keuntungan dalam memperoleh layanan kesehatan misalnya semakin sehat ketika sudah memperoleh layanan kesehatan, dan dalam perceived barrier individu menilai kerugian jika memperoleh layanan kesehatan.Kerugian yang terdapat jika individu menerima layanan kesehatan adalah: biaya, konsekuensi psikologis (misalnya, takut dikatakan semakin tua jika melakukan cek-up), pertimbangan fisik (misalnya, jarak rumah sakit yang jauh sehingga sulit untuk mencapainya


(25)

a. Usia dan jenis kelamin

Salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan adalah usia. Secara umum anak-anak dan lansia (lanjut usia) memiliki kontak yang lebih ssering dengan dokter dari pada usia remaja atau usia dewasa madya (NCHS, dalam Sarafino, 2006). Anak-anak biasanya mengunjungi praktisi kesehatan untuk vaksinasi atau pemeriksaan fisik secara keseluruhan. Praktisi memiliki kontak yang jarang mulai dari usia kanak-kanak akhir tetapi kembali meningkat pada usia madya dan lansia (lanjut usia).

Jenis kelamin juga mempengaruhi terhadap perilaku untuk mencari layanan kesehatan. Wanita memiliki peringkat yang lebih tinggi dalam hal mengunjungi praktisi kesehatan daripada pria (NCHS,2000, dalam Sarafino,2006)

b. Faktor sosiokultural

Perbedaan sosiokultural juga mempengaruhi individu dalam penggunaan layanan kesehatan.Berdasarkan penelitian yang dilakukan di amerika ditemukan bahwa persentase individu yang mencari layanan kesehatan akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan individu tersebut (NCHS, dalam Sarafino, 2006).

II. A. 5. Tahapan Treatment Delay Ditinjau Dari Health Belief Model

Menurut sarafino (2006), treatment delay adalah rentang waktu yang berlalu antara ketika seorang individu pertama sekali mengalami simptom dan


(26)

ketika individu tersebut memasuki perawatan medis. Sejalan dengan pengertian tersebut Taylor (1995) treatment delay terjadi ketika individu mengalami suatu penyakit dan membiarkannya sampai berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan menahun tanpa mencari pertolongan dari praktisi kesehatan.

Tahapan treatment delay ini terdiri dari tiga tahapan yaitu : appraisal delay, illness delay dan utilization delay. Salah satu faktor yang mempengaruhi treatment delay ini dapat dikaji berdasarkan health belief model. Menurut health belief model, seorang individu akan melakukan perilaku sehat tergantung pada dua penilaian yaitu perceived threat dan perceived benefit and barrier.

Perceived threat memiliki tiga komponen, pertama perceived seriousness, dalam perceived seriousness dikatakan bahwa semakin individu merasa bahwa penyakitnya tidak serius maka individu tersebut tidak akan mencari pertolongan kesehatan. Kedua, perceived susceptibility, menurut perceived susceptibility, semakin individu merasa bahwa ia tidak terkena suatu penyakit atau symptom penyakit tertentu maka individu tersebut tidak akan mencari pengobatan. Ketiga, cues to action, yaitu semakin individu memiliki faktor eksternal seperti keluarga, teman dll yang mendorong dirinya untuk memperoleh pengobatan maka akan semakin besar kemungkinan individu untuk mencari pertolongan pada praktisi kesehatan.

Komponen health belief yang kedua yaitu perceived benefit and barrier. Semakin seorang individu mempersepsikan bahwa perilaku berupa mencari dan memperoleh pengobatan adalah hal yang menguntungkan (perceived benefit), maka akan semakin besar kemungkinan individu untuk mencari pengobatan dan


(27)

begitu pula sebaliknya, semakin individu merasa bahwa memperoleh pengobatan adalah hal yang merugikan (perceived barrier) maka akan semakin besar kemungkinan individu untuk mencari pengobatan dari praktisi kesehatan.

Beberapa penelitian mengungkap bahwa ketika individu tidak merasa terancam dengan penyakit yang ia alami maka ia dapat membiarkan penyakit tersebut hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (NEWSRx dalam infotac college edition, 2004). Penelitian lain membuktikan bahwa individu semakin antusias untuk mencari pengobatan jika pengobatan tersebut sangat menuntungkan bagi individu (Christine, Richard, karen, susan,dalam infotac college edition, 2005).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya menyangkut permasalahan fasilitas kesehatan dan managementnya namun hal yang terpenting adalah persepsi masyarakat itu sendiri terhadap penyakitnya. Ketika masyarakat mempersepsikan bahwa penyakit yang ia alami adalah hal yang biasa-biasa saja atau tidak mengancam dirinya, atau bahkan memperoleh pengobatan adalah suatu hal yang merugikan, maka tidak bergunalah semua fasilitas dan management yang sudah dibuat.


(28)

Hipotesa dalam penelitian ini yaitu terdapat pengaruh health belief terhadap tahapan treatment delay.


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (HADI, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat korelasional untuk melihat bagaimana pengaruh health belief model terhadap tahapan treatment delay pada masyarakat pedesaan.

Jenis penelitian korelasional bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel. Hubungan antara dua variabel ini dapat bersifat positif atau negatif. Hubungan yang bersifat positif artinya, semakin tinggi nilai satu variabel maka semakin tinggi pula nilai varibel yang lain dan sebaliknya semakin rendah nilai satu variabel maka semakin rendah pula nilai variabel yang lain. Hubungan negatif artinya, semakin tinggi nilai satu variabel maka semakin rendah nilai variabel yang lain dan sebaliknya semakin rendah nilai satu variabel maka semakin tinggi nilai variabel yang lain (Goodwin, 2005).

Korelasi antara dua variabel biasanya orang segara menarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara kedua varibel tersebut. Kesimpulan semacam itu kerap kali tidak benar, sebab tidak semua korelasi menunjukkan sebab akibat (Hadi, 2000). Hal ini didukung oleh Goodwinn (2005) yang menyatakan bahwa jika terdapat hubungan antara dua variabel misalnya varibel A dan B, ada kemungkinan A mempengaruhi B, tetapi juga terdapat kemungkinan


(30)

B mempengaruhi A. Goodwinn juga menyatakan bahwa dalam penelitian korelasional tidak ada hubungan sebab akibat, sehingga tidak ada variabel tergantung dan variabel bebas, tetapi criterion varible dan predictor varible.

III. B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel penelitian yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Predictor variable : health belief

2. Crierion varible : tahapan treatment delay

III. C. DEFENISI OPERASIONAL III.C. 1. Tahapan Treatment Delay

Treatment delay merupakan jumlah waktu yang dibutuhkan individu mulai dari ketika individu mengalami suatu simptom penyakit sampai memasuki atau memperoleh pelayanan medis. Tahapan treatment delay terdiri dari tiga tahapan yaitu appraisal delay, illness delay, utilization delay.

Definisi operasional masing-masing tahapan adalah sebagai berikut : 1. Apraisal delay, yaitu banyaknya waktu yang dibutuhkan individu untuk

menilai apakah dirinya sakit atau tidak

2. Illnes delay, merupakan jumlah waktu yang dibutuhkan individu untuk menilai apakah ia membutuhkan perawatan dari professional dibidang kesehatan misalnya dokter.


(31)

3. Utilization delay, jumlah waktu yang dibutuhkan mulai dari memutuskan untuk memperoleh pengobatan sampai benar-benar menunjungi rumah sakit, puskesmas atau klinik untuk memperoleh pengobatan.

Skala tahapan treatmen delay ini akan diberikan secara bertahap, mulai dari skala apraisal delay kemudian illness delay lalu utilization delay. Skala pertama yang diberikan yaitu skala appraisal delay, jika dari hasil skala ini ternyata individu tersebut mengalaminya maka individu tersebut tidak mengalami treatment delay, namun jika ia mengalami appraisal delay maka ia diberikan lagi skala kedua yaitu illness delay, jika ia tidak mengalami illness delay berarti individu tersebut verada pada tahap pertama, namun jika ia mengalami illness delay maka individu diberikan lagi skala utilization delay. Jika individu tidak mengalami utilization delay mak ia berada pada tahapan kedua, namun jika ia mengalami utilization delay berarti ia berada pada tahap yang ketiga.

III. C. 2. Health Belief Model

Menurut health belief model, individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung pada perceived threat dan perceived benefit and barrier. Perceived threat ditentukan oleh tiga faktor yaitu perceived threat, perceived susceptibility dan cues to action.

Definisi masing-masing faktor adalah sebagai berikut :

1. Perceived seriousness yaitu persepsi individu akan seberapa parah konsekuensi organik atau fisik yang terjadi jika individu tidak


(32)

2. Perceived susceptibility, Menyangkut evaluasi individu tentang apakah dirinya sedang mengalami suatu penyakit dan apakah suatu penyakit sedang berkembang dalam dirinya.

3. Cues to action, merupakan cues yang memicu individu untuk melakukan suatu tindakan pencegahan seperti penyakit artis idola, artikel.

Definisi perceived benefit and barrier adalah sebagai berikut :

1. Perceived benefit, evaluasi individu tentang seberapa baik aktifitas yang diharapkan untuk mengurangi resiko atau mengurangi dampak symptom yang dialami.

2. perceived barrier. Evaluasi individu tentang seberapa sulit tindakan yang diharapkan untuk dilakukan seperti biaya, rasa sakit yang dialami ketika pengobatan

III. D. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL III. D. 1. Populasi dan Sampel


(33)

Populasi dan sampel yang dipakai merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan (Hadi, 2000). Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan Pangururan.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki penulis maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi dinamakan sampel. Sampel adalah satu bagian pengamatan yang dipilih dari sebuah populasi (William, 1990).

Subjek penelitian menurut azwar (2001) adalah sumber utama data penelitian , yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitasnya. Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Individu yang bertempat tinggal di kecamatan Pangururan.

2. Usia minimal 21 tahun. Merupakan usia dimana seseorang sudah mengambil tanggung jawab akan tindakannya ( Hurlock, 1999).

III. D. 2. Jumlah Sampel Penelitian

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Sedangkan menurut Siegel (1994) tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian.


(34)

Kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel. Azwar (2001) menyatakan tidak ada angka yang dikatakandengan pasti, secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel lebihdari 60 orang sudah cukup banyak. Jumlah total sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 61 orang.

III. D. 3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwati, 1994). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling.

Incidental sampling adalah pemilihan sampel atas dasar kebetulan responden berada pada tempat yang sama pada saat penelitian sedang berlangsung. Pada teknik ini, tidak semua individu dalam populasi diberi peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel, tetapi hanya dan kemudahan dijumpainya sampel yang disesuaikan dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000). Pemilihan penggunaan teknik ini dengan pertimbangan kurangnya data lengkap mengenai jumlah dan keadaan masyarakat pedesaan di kecamatan Medan tuntungan, lebih efektif dan efisien serta praktis. Skala dibagikan pada subjek setelah terlebih dahulu diketahui apakah subjek memenuhi karakteristik untuk dijadikan sampel atau tidak.


(35)

III. E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan angket dan skala psikologis. Metode pengambilan data dengan angket mengungkap data-data faktual dan kebenaran yang duketahui oleh subjek. Pertanyaan dalam angket berupa pertanyaan langsung yang terarah kepada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Metode angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap data mengenai usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan , Status sosial ekonomi.

Metode skala digunakan untuk mengungkap konstrak atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu. Pada skala psikologis pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek, biasanya individu tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa yang diungkap oleh pertanyaan tersebut (azwar, 2007).

III. E. 1. Skala Health Belief

Skala health belief yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek health belief yang dikemukakan oleh Sarafino (2006). Skala ini terdiri dari dua dimensi yaitu perceived threat yang terbagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: perceived seriousness, perceived susceptibility dan cues to action. Dimensi yang kedua yaitu perceived benefit and barrier.


(36)

Skala ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-4, bobot penilaian untuk pernyataan SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala nilai-nilai utama pekerjaan sosial yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Cara penilaian pada skala health belief pada masyarakat pedesaan Skor

Bentuk pernyataan

SS S TS STS

Favorable 4 3 2 1

Unfavorable 1 2 3 4

Butir-butir aitem skala health belief disusun berdasarkan dimensi health belief yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dengan blue print pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Blueprint skala health belief pada saat uji coba

Dimensi health belief Fav unfav jlh %

Perceived seriousness 10, 11, 18, 19, 11

1, 2, 27 8 28,57% Perceived threat

Perceived suscebtibility 20, 21, 7 22, 8, 26, 15, 16


(37)

Cues to action 5, 6, 9, 14 _ 4 14,29% Perceived benefit & barrier 4, 12, 23, 25 3, 13, 17,

24

8 28,57%

Jumlah 16 12 28 100%

III. E. 2. Skala Tahapan Treatment Delay

Skala tahapan treatment delay yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek health tahapan treatment delay yang dikemukakan oleh Sarafino (2006). Skala ini terdiri dari tiga bagian yaitu skala tahap pertama yaitu appraisal delay, skala tahapan kedua yaitu illness delay dan skala tahapan yang ketiga yaitu utilization delay.

Skala ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-4, bobot penilaian untuk pernyataan SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala nilai-nilai utama pekerjaan sosial yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Cara penilaian pada skala tahapan treatment delay pada masyarakat pedesaan


(38)

SS S TS STS

Favorable 4 3 2 1

Unfavorable 1 2 3 4

Butir-butir aitem skala tahapan treatment delay disusun berdasarkan dimensi tahapan treatment delay yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dengan blue print masing-masing tahap pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Blueprint skala tahap pertama (appraisal delay) pada masyarakat pedesaan

Nomor jlh %

Ciri-ciri

Fav unfav Simptom penyakit yang dialami bukan

suatu masalah yang serius

3, 11 2,10 4 26,66%

Merasa sakit jika simptom penyakit yang dialami membuat individu tidak dapat beraktivitas.

1, 12 13 3 20%

Tidak tahu bahwa simptom yang dialami adalah penyakit

6, 15 5, 8 4 26,66% Appraisal

delay

Butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa symptom yang dialami adalah suatu penyakit.

4, 9, 7

14 4 26,66%


(39)

Tabel 5. Blueprint skala tahap kedua (illness delay) pada masyarakat pedesaan Nomor

Ciri-ciri

Fav Unfav

Jlh %

Penyakit yang dialami tidak membutuhkan penanganan dokter atau praktisi kesehatan

1, 10 9, 11 4 33,3%

Penyakit yang diderita dapat sembuh tanpa pertolongan praktisi kesehatan.

3, 8, 12 5 4 33,3% Illness

delay

Tidak yakin Praktisi

kesehatan dapat menyembuhkan penyakit

yang dialami.

4, 6, 7 2 4 33,3%

Jumlah 8 4 12 100%

Tabel 6. Blueprint tahapan ketiga (utilization delay) pada masyarakat pedesaan


(40)

Fav Unfav Menunda untuk pergi berobat

meskipun sudah memutuskan untuk berobat

1, 8 5, 12 4 33,3%

Tidak pergi berobat karena jarak rumah sakit atau pusat kesehatan yang jauh.

6, 10 3, 9 4 33,3% Utilization

delay

Tidak mau pergi berobat karena rasa malu, rasa sakit dan biaya.

4, 7, 11

2 4 33,3%

Jumlah 7 5 12 100%

III. F. UJI COBA ALAT UKUR

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian sangat menentukan keakuaratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes ini (Azwar, 2001)

Peneliti akan melakukan uji coba pada keempat skala terhadap sejumlah responden, dengan tujuan memperoleh alat ukur yang valid dan reliabel. Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari try out preliminer adalah sebagai berikut :


(41)

2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik, ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati (dihindari) atau hanya menimbulkan jawaban-jawaban dangkal.

4. Menambah aitem yang sangat perlu ataupun meniadakan aitem yang ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.

III. F. 1. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk menguji coba alat ukur dalam menjalankan fungsinya. Dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan tujuan : pertama, seberapa jauh alat ukur skala tahapan treatment delay dan health belief dapat mengukur atau mengungkap dengan tepat pada masyarakat pedesaan. Kedua, seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya (Azwar, 1997).

validitas yang digunakan adalah validitas isi atau content validity yaitu sejauh mana suatu tes yang merupakan seperangkat pernyataan, dilihat dari isinya benar-benar mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Hadi, 2000). Didalam pelaksanaannya, content validity dilakukan dengan menggunakan profesional judgment yaitu pertimbangan dosen pembimbing.


(42)

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2001).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi pearson product moment. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisian korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks diskriminasi aitem (Azwar, 2001). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian yaitu skala tahapan treatment delay dan skala health belief model.

III. F. 3. Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat reliabilitas alat ukur yang menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 1997)


(43)

Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan reliabilitas konsistensi internal yaitu single triel administration dimana skala psikologi hanya diberikan satu kali pada kelompok individu sebagi subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 1997). Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien alpha cronbach. Analisa data diperoleh melalui program spss version 15.0 for windows.

III. F. 4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Penyebaran skala untuk uji coba terhadap alat ukur penelitian yaitu dilaksanakan mulai tanggal 9 maret 2009 sebanyak masing-masing 100 skala untuk skala health belief, skala tahap satu, skala tahap dua dan skala tahap tiga. Skala yang berhasil kembali ada sebanyak 95 skala.

III.G.1 Skala Health Belief

Hasil uji coba skala Health belief menunjukkan reliabilitas alpha sebesar 0,5475, dengan nilai rxy aitem bergerak dari -0,3863 sampai 0,4433. Menurut???, untuk jumlah sampel 95 orang, maka aitem dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan dengan nilai korelasi minimal 0,165.

Jumlah aitem pada skala health belief yang diujicobakan adalah 28 aitem, dan dari aitem-aitem tersebut terdapat 16 aitem yang memiliki daya diskriminasi yang tinggi dengan nilai rxy >0,165.

Tabel 7. Distribusi aitem-aitem skala health belief setelah uji coba


(44)

Fav Unfav

Perceived threat Perceived seriousness 18, 28 1 3 18,75% Perceived

susceptibility

7, 20 15, 16, 26

5 31,25%

Cues to action 6, 14 2 12,5%

Perceived benefit & barrier 12, 4, 23, 25

17, 24 6 37,5%

Total 10 6 16 100%

Setelah melakukan pengguguran aitem maka koefisien alpha menjadi 0, 7630 dengan nilai rxy aitem bergerak dari 0, 2273 sampai 0,5029. Kemudian peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Pada tabel, aitem-aitem merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk skala penelitian

Tabel 8. Distribusi aitem-aitem skala health belief yang digunakan pada penelitian Nomor

Aspek

Fav Unfav

Jlh %

Perceived threat Perceived seriousness 1, 10, 16 3 18,75% Perceived

susceptibility

4, 11 7, 8, 15 5 31,25%

Cues to action 3 6 2 12,5%

Perceived benefit & barrier 2, 5, 12, 14


(45)

Total 10 6 16 100%

III. G. 2. Skala Tahapan Treatment Delay

Uji coba juga dilakukan pada skala tahapan treatment delay. Skala tahapan treatment delay terdiri dari tiga bagian yaitu skala tahap satu, dua dan tiga. Masing-masing skala diuji coba. Skala tahap pertama yaitu appraisal delay menunjukkan reliabilitas alpha sebesar 0,6678, dengan nilai rxy aitem bergerak dari -0,1985 sampai 0,4856. Skala tahap dua yaitu illness delay memiliki reliabilitas alpha sebesar 0, 8365, dengan nilai rxy bergerak dari 0, 3403 sampai 0, 6505 dan skala tahap tiga yaitu utilization delay memiliki nilai reliabilitas alpha sebesar 0, 8049 dengan rxy 0, 2668 sampai 0, 5394. Menurut???, untuk jumlah sampel 95 orang, maka aitem dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan dengan nilai korelasi minimal 0,165.

Jumlah aitem pada skala tahapan treatment delay yang pertama yaitu appraisal delay yang diujicobakan adalah 15 aitem, dan dari aitem-aitem tersebut terdapat 11 aitem yang memiliki daya diskriminasi yang tinggi dengan nilai rxy ≥0,165. Skala tahap kedua (illness delay) yang diujicobakan yaitu 12 dan semua aitem tersebut memiliki rxy lebih besar dari 0, 165, begitu juga dengan skala tahap tiga

(utilization delay) 12 aitem yang diujicobakan semuanya lulus. Skala tahap dua dan tiga memiliki distribusi skor yang sama setelah dilakukan uji coba, begitu juga pada saat penelitian dilapangan. Hal ini terjadi karena taka satupun aitem dari skala dua dan tiga


(46)

yang gugur, berbeda dengan skala tahap satu yang memiliki empat aitem yang gugur. Berikut distribusi skala tahap satu (appraisal delay) setelah dilakukan uji coba.

Tabel 9. Distribusi skala tahap satu (appraisal delay) setelah dilakukan uji coba

Nomor Jlh %

Ciri-ciri

Fav unfav Simptom penyakit yang dialami bukan

suatu masalah yang serius

3, 11 10 3 27,27%

Merasa sakit jika simptom penyakit yang dialami membuat individu tidak dapat beraktivitas.

12 1 9,01%

Tidak tahu bahwa simptom yang dialami adalah penyakit

6, 15 5, 8 4 36,36% Appraisal

delay

Butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa symptom yang dialami adalah suatu penyakit.

4, 7, 9

3 27,27%

Jumlah 7 3 11 100%

Setelah melakukan pengguguran empat buah aitem pada skala tahap satu maka koefisien alpha menjadi 0,7634 dengan nilai rxy aitem bergerak dari 0, 2005 sampai 0,5462. Kemudian peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Pada


(47)

tabel, aitem-aitem merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk skala penelitian

Tabel 10. Distribusi aitem skala tahap satu (appraisal delay) yang digunakan pada saat penelitian

Nomor Jlh %

Ciri-ciri

Fav unfav Simptom penyakit yang dialami bukan

suatu masalah yang serius

1, 9 8 3 27,27%

Merasa sakit jika simptom penyakit yang dialami membuat individu tidak dapat beraktivitas.

5 1 9,01%

Tidak tahu bahwa simptom yang dialami adalah penyakit

4, 11 3, 6 4 36,36% Appraisal

delay

Butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa symptom yang dialami adalah suatu penyakit.

2, 7, 10

3 27,27%

Jumlah 8 3 11 100%

III. H. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Adapun ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan data.


(48)

III. H. 1. Tahap Persiapan Penelitian

Dalam tahap persiapan, yang dilakukan peneliti adalah : 1. Penyusunan aitem Alat Ukur

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa skala health belief yang disusun berdasarkan aspek health belief yang dikemukakan oleh Sarafino (2006).

2. Uji Coba Alat Ukur

Setelah alat ukur selesai disusun, maka selanjutnya yang dilakukan adalah mendiskusikan aitem untuk melihat validitasnya, dimana validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah content validity yang menggunakan professional judgment. Setelah itu dilakukan uji coba, uji coba ini dilakukan pada 100 orang mahasiswa yang berasal dari daerah pedesaan yang dilakukan pada tanggal 9 maret 2009. Dari 100 skala yang disebarkan yang kembali sebanyak 95 skala.

3. Penyusunan Alat Ukur Penelitian

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang diberikan kepada 100 orang mahasiswa, peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala penelitian dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS for windows 15.0 version. Aitem-aitem yang sahih kemudian disajikan dalam skala penelitian dan kemudian penelitian lebih lanjut dengan menghitung koefisien alpha.


(49)

Setelah diperoleh data dari skala Health belief dan tahapan treatment delay, maka dilaksanakan penelitian pada masyarakat yang berada di kecamatan pangururan.

Pengambilan data dilakukan dengan memberikan alat ukur berupa skala Health belief dan tiga skala tahapan treatment delay. Khusus untuk skala tahapan treatment delay, skala diberikan secara bertahap. Pertama sekali diberikan skala tahap satu jika skor yang diperoleh individu tinggi yaitu lebih besar atau sama dengan 30,5 maka ia termasuk dalam treatment delay tahap satu, akan tetapi jika skor yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan 24,5 maka ia diberikan skala tahap kedua. Pada skala tahap dua, jika individu memiliki skor lebih besar atau sama dengan 33 maka ia termasuk dalam delay tahap dua, namun jika skor yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan 27 maka diberikan lagi skala tahap tiga. Skala tahap tiga memiliki skor yang tergolong tinggi jika skor yang diperoleh lebih besar atau sama denagn 33 dan tergolong rendah jika skor lebih kecil atau sama dengan 27. Individu yang memilii skor tinggi pada tahap tiga maka ia mengalami delay tahap tiga, namun jika skor yang diperoleh tergolong rendah mak individu yang bersangkutan tidak mengalami treatment delay. Penggolongan skor tinggi dan rendah pada skala tahapan treatment delay dihitung dengan aturan jika skor (X) lebih besar atau sama dengan mean ditambah tiga maka tergolong tinggi dan jika X lebih kecil atau sama dengan mean dikurang tiga (Azwar, 2000). Pengambilan data dilakukan mulai tanggal 15-19 maret 2009 Skala diberikan kepada 61 orang masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan.


(50)

III. H. 3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari alat ukur, tahap selanjutnya adalah pengolahan data dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS for windows 15.0 version. Semua data di hitung dengan menggunakan teknik koefisien kontingensi.

III. I. METODE ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisa statistik. Pertimbangan penggunaan analisa statistik dalam penelitian ini adalah karena statistik memiliki tiga ciri pokok:

1. Statistik bekerja dengan menggunakan angka-angka 2. Statistik bersifat objektif

3. Statistik bersifat universal, dalm arti dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi, 2000)

Hadi (2000) menyatakan bahwa penelitian korelasional bertujuan untuk menganalisis hubungan antara dua variabel. Penelitian korelasional juga dapat digunakan untuk melihat seberapa besar satu variabel dapat memprediksi variabel lain (Goodwinn, 2005). Hubungan health belief model dengan tahapan treatment delay dianalisis dengan menggunakan pearson product moment dan untuk mengetahui sejauhmana health belief model dapat memprediksi tahapan treatment delay digunakan analisa koefisien kontingensi. Teknik ini digunakan karena data yang diperoleh dari skala tahapan treatment delay yang merupakan variabel tergantung berskala kategorik. Semua data-data yang diperoleh akan diolah dngan menggunakan spss 15.0 for windows.


(51)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisa data penelitian yang sesuai dengan pertanyaan penelitian yang akan dijawab pada penelitian ini maupun analisa tambahan terhadap data yang ada.

IV. A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Subyek penelitian berjumlah 61 orang. Melalui skala yang disebarkan ke subjek, didapat gambaran subjek penelitian menurut usia, jenis kelamin, dan pekerjaan

IV. A. 1. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 11. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Presentase

20-40 Tahun 32 52,45%

40-65 Tahun 27 44,26%

>65 tahun 2 3,29%


(52)

Berdasarkan tabel dan diagram di atas dapat dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek penelitian dengan usia berkisar antara 20-40 tahun tahun yaitu sebanyak 32 orang (52,45%), Sedangkan subjek penelitian dengan usia berkisar 40-65 tahun yaitu sebanyak 27 orang (44,26%), dan yang paling sedikit yaitu yang berada pada rentang usia yang lebih besar dari 65 tahun yaitu sebanyak 2 orang (3,29%).

IV. A. 2. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 12.Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi persentase

Pria 20 32.78%

Wanita 41 67,22%

Total 61 100%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek penelitian dengan jenis kelamin wanita yaitu sebanyak 41 orang (67,22%). Sedangkan subjek penelitian dengan jenis kelamin pria yaitu sebanyak 20 orang (32,78%).


(53)

IV. A. 3. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan pekerjaan, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 13.Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi Persentase

Petani 38 62.2%

Wiraswasta 7 11.4%

Ibu RT 6 9,8%

PNS 10 16,6%

Total 61 100%

Berdasarkan tabel dan diagram di atas dapat dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek penelitian yang memiliki pekerjaan petani yaitu sebanyak 38 orang (62,2%). PNS sebanyak 10 orang (16,6%), wiraswasta 7 orang(11,4%), dan yang paling sedikit yaitu ibu RT dengan jumlah 6 orang (9,8%).

IV. B. HASIL PENELITIAN

Berikut ini dipaparkan mengenai hasil penelitian yang meliputi hasil uji asumsi dan hasil utama penelitian. Uji asumsi terdiri dari uji normalitas yang berguna untuk mengetahui apakah data variable penelitian yaitu health belief terdisstribusi secara normal, dalam penelitian ini varibel yang kedua yaitu tahapan treatment delay tidak dilakukan uji normalitas karena data yang diperoleh dari skala tahapan treatment delay adalah data ordinal, dan selanjutnya dilakukan uji


(54)

linearitas yang berguna untuk mengetahui apakah data variabel health belief berkorelasi secara linear terhadap data varibel tahapan treatment delay.

IV. B. 1. HASIL UJI ASUMSI IV. B. 1. 1. Uji Normalitas

Uji normalitas sebaran pada skala health belief menggunakan metode statistik one sample kolmogorov-smirnov test. Data dapat dikatakan terdistribusi normal jika memiliki nilai p > 0,05. Hasil uji normalitas diperoleh nilai p = 0,952, maka p > 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyebarannya adalah normal. Pada data tahapan treatment delay tidak dilakukan uji normalitas, hal ini tidak dilakukan karena data yang diperoleh dari skala tahapan treatment delay yaitu skala nominal.

Tabel 14. one sample kolmogorov smirnov

Health belief

N

Kolmogorov-smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

61 0,517 0,952

IV. B. 2. Hasil Utama Penelitian IV. B. 2. 1. Uji Korelasi

Berikut ini akan dijelaskan mengenai hasil pengolahan data mengenai hubungan antara variabel healt belief dengan tahapan treatment delay dengan cara menghitung koefisien korelasi antara kedua variabel tersebut. Metode


(55)

yang dipilih untuk mencari korelasi antara health belief dengan tahapan treatment delay adalah uji contingency coefficient dengan bantuan spss for windows versi 15.0. Hasil perhitungan menyatakan bahwa korelasi r = 0,646 dengan nilai signifikansi 0,000. Hal ini berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara health belief dengan tahapan treatment delay pada masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan.

Tabel 14. hasil contingency coefficient

Symmetric Measures

IV. B. 3. Hasil Tambahan

IV. B. 3. 1. Kategorisasi Data Penelitian

Berdasarkan deskripsi data penelitian dapat dilakukan pengelompokan yang mengacu pada criteria kategorisasi. Azwar (2000) menyatakan bahwa kategorisasi ini didasarkan pada asumsi bahwa skor subjek penelitian terdistribusu normal. Kriterianya terbagi atas tiga kategori yaitu : tinggi, sedang, dan rendah.

Tabel 15. Kriteria kategorisasi data health belief.

Variabel kriteria jenjang kriteria (µ + 1,0 SD) ≤ X Tinggi

Health belief (µ - 1,0 SD) ≤ X < (µ + 1,0 Sedang

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,511 ,000


(56)

SD)

X < (µ - 1,0 SD) Rendah

Dalam penelitian ini peneliti mengkategorikan data penelitian berdasarkan mean hipotetik dan mean empiric. Mean hipotetik untuk melihat posisi relative individu berdasarkan mean empirik untuk melihat posisi relatif individu berdasarkan norma idealnya skala, sedangkan mean empiric berguna utuk melihat posisi relative individu berdasarkan norma skor dari subyek penelitian. Deskripsi data penelitian health belief dapat dilihat pada table dibawah ini :

Tabel 16. Deskripsi data penelitian health belief

Variabel Skor empiric Skor hipotetik

Min Max Mean SD Min Max Mean Sd Health

belief 26,00 59,00 43,704 7,358 16 64 40 8

Berdasarkan skor hipotetik maka Health belief pada masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan, maka sesuai dengan tabel di atas diperoleh penggolongan Health belief pada masyarakat pedesaan di kecamatan pangururan, serta frekuensi dalam setiap kategori.


(57)

Tabel 17. Hasil Kategorisasi Skor Health belief berdasarkan skor hipotetik Variabel Rentang Skor Frekuensi Persentase

(%)

Kategorisasi

x < 32 5 orang 8,2 % Rendah 32 ≤ x < 48 36 orang 59,01 % Sedang Health

belief 48 ≤ x 20 orang 32,79 % Tinggi

Jumlah 61 orang 100 %

Tabel menunjukkan bahwa jumlah subjek yang memiliki Healt belief dalam kategori rendah sebanyak 5 orang (8,2%), kategori sedang sebanyak 36 orang (59,01%) dan kategoti tinggi sebanyak 20 orang (32,79%).

Dikaji berdasarkan skor empirik, maka skor Health belief pada masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan, dapat digolongkan sebagai berikut

Tabel 18. Hasil Kategorisasi Skor Health belief berdasarkan skor empirik Variabel Rentang Skor Frekuensi Persentase

(%)

Kategorisasi

x < 36,346 9 orang 14,75 % Rendah 36,346 ≤ x < 51,062 42 orang 68,85 % Sedang Health

belief 51,062 x 10 orang 16,4 % Tinggi


(58)

Tabel menunjukkan bahwa jumlah subjek yang memiliki Health belief dalam kategori rendah sebanyak 9 orang (14,75%), kategori sedang sebanyak 42 orang (68,85%) dan kategori tinggi sebanyak 10 orang (16,4%).

Berdasarkan pekerjaannya, pada penelitian ini membagi kelompok subjek penelitian dalam empat bagian yaitu: petani, wiraswasta, ibu rumah tangga dan PNS (pegawai negeri sipil). Berikut jumlah subjek yang memiliki health belief kategori tinggi, sedang dan rendah serta tahapan treatment delay ditinjau dari empat kelompok pekerjaan tersebut dan jenis kelamin.

Tabel 19. Kategori health belief dan tahap treatment delay ditinjau dari pekerjaan & JK

Jumlah Jenis kelamin

Variable kategori

Petani Wiraswasta Ibu RT

PNS Pria Wanita

tinggi 12 2 1 5 6 13

sedang 21 5 5 5 12 25

Health belief

rendah 5 - - - 2 3

Aparaisal delay

15 1 1 2 5 14

Illness delay

6 - 1 1 4 4

Utilization delay

4 - - 1 2 3

Tahap treatment delay


(59)

mengalami treatment delay

Berdasarkan tabel dapat kita lihat bahwa pada kelompok petani presentase health belief mulai dari tinggi, sedang dan rendah adalah 31,6 %, 55,26%, 13,15%. Dapat kita simpulkan bahwa sebahagian besar masyarakt pedesaan yang berada di kecamatan pangururan memilki health belief yang sedang, artinya masyarakat tersebut sudah menyadari akn resiko penyakit yang ia derita, namun mereka masih belum mau untuk pergi untuk melakukan pengobatan pada praktisi kesehatan. Pada kelompok wiraswasta, health belief tinggi sebanyak 28,6% dan sedang 72,4%, kondisi seperti ini menunjukakan fenomena yang sama dengan kelompok masyarakat petani, tetapi tak ada dari kelompok ini yang memiliki health belief yang rendah, yang berarti bahwa dari kelompok ini tak satupun yang menganggap remeh penyakitnya dan merasa bahwa pengobatan akan lebih membawa dampak positif dari pada tidak melakukan pengobatan. Pada kelompok ibu rumah tangga 16,7% tinggi dan 83,3% sedang, hal ini menunjukkan fenomena yang sama dengan kelompok wiraswasta, dan kelompok yang terakhir yaitu PNS 50% tergolong tinggi dan 50% sedang.

Penyebaran jumlah individu pada masing-masing tahap berdasarkan empat kelompok tersebut, dapat kita lihat bahwa dari 38 kelompok petani sebanyak 15 orang (39, 47%) tergolong dalam tahap satu, presentase ini merupakan presentase terbesar pada kelompok masyarakat petani. Hal ini berarti bahwa sebahagian besar


(60)

masyarakat petani tersebut masih belum mengetahui bahwa mereka sedang mengalami suatu penyakit, dimana kondisi seperti inilah yang sangat memicu individu untuk tidak segera pergi ke praktisi kesehatan untuk mencari pertolongan kesehatan. Pada kelompok wiraswasta, dari 7 individu 6 individu tergolong dalam kategori tahapn yang keempat yaitu tidak mengalami treatment delay, sama halnya dengan kelompok ibu rumah tangga dan PNS.

Dikaji berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok wanita, 48% wanita tidak mengalami treatment delay. Pada kelompok pria, 45% tidak mengalami treatment delay. Berdasarkan health belief, sebahagian besar wanita berada pada kategori sedang yaitu 61% dan sama halnya dengan pria yaitu 60% berada pada kategori health belief sedang. Dari 20 pria, 6 atau 30% berada pada kategori tinggi, dan dari 41 wanita 13 atau 31,7% berada pada golongan health belief tinggi, berdasarkan persentase ini dapat kita simpulkan bahwa pada sampel penelitian ini wanita memiliki health belief yang sedikit lebih tinggi daripada pria. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pada sampel penelitian ini wanita lebih responsive terhadap kondisi kesehatannya daripada pria.

V. DISKUSI

Masalah kesehatan merupan masalah yang sangat penting untuk diperhatikan pada masyarakat pedesaan, masalah kesehatan yang paling sering muncul yaitu masalah penyakit menular dan tingkat sanitasi yang tidak memuaskan (Peter, 1992). Terdapat beberapa hambatan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat yang ada di daerah pedesaan tersebut yaitu fasilitas yang


(61)

kurang, pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai kesehatan dan yang paling utama adalah perilaku yang tidak segera mencari pertolongan kesehatan pada praktisi kesehatan. Perilaku menunda inilah yang disebut treatment delay.

Penelitian ini telah membuktukan bahwa treatment delay berkorelasi positif dengan health belief seseorang (C=0,511). Hal ini berarti bahwa semakin seorang individu mempersepsikan bahwa ia terancam (perceived threat) oleh penyakit yang ia alami dan dampak positif dalam melakukan pengobatan lebih besar daripada dampak negatifnya (perceived benefit outweigh the perceived barrier) maka akan meningkat pula perilaku individu untuk mencari pengobatan dari praktisi lesehatan.

Koefisien kontingensi tidak hanya dapat digunakan untuk melihat hubungan antara dua buah variabel, tetapi juga dapat gigunakan untuk melihat effect size (Sprinthall, 2003). Nilai maksimum koefisien kontingensi untuk jumlah sel 4 adalah 0, 87 dan nilai C yang diperoleh dari penelitian ini adalah 0, 511. Dapat disimpulkan bahwa health belief memiliki efek yang sangat besar terhadap tahapan treatment delay. Sarafino (2006) dalam bukunya Health psychology, menyatakan bahwa seseorang tidak mau pergi berobat ke praktisi kesehatan karena individu tersebut tidak percaya kepada praktisi tersebut, merasa bahwa pengobatan hanya akan memperparah kondisi kesehatannya, kondisi seperti inilah yang akan dapat membuat individu mempersepsikan bahwa keuntungan dalam melakukan pengobatan lebih kecil daripada kerugiannya (perceived benefit and barrier) sehingga individu tersebut mengurungkan niatnya untuk mencari pengobatan ke praktisi kesehatan. Symptom penyakit seperti rasa sakit sangat


(62)

mempengaruhi perceived threat seseorang, dimana rasa sakit seringkali dibuat sebagai acuan terhadap parah tidaknya suatu penyakit (Sarafino, 2006), ketika individu tidak merasakan rasa sakit (pain) maka individu tersebut mengasumsikan bahwa penyakitnya tidak parah (perceived threat yang rendah) dan kondisi seperti ini juga akan membuat individu untuk tidak segera mencari pertolongan kepada praktisi kesehatan. Hal ini semakin diperkuat oleh penelitian Becker & Rosenstock, 1979 (dalam Sarafino, 2006) yang menyatakan bahwa faktor-faktor dalam health belief yaitu perceived threat dan perceived benefit & barrier dapat mempengaruhi seberapa cepat seorang individu untuk mencari pertolongan kesehatan kepada praktisi kesehatan.

Berdasarkan jenis pekerjaannya dapat kita lihat bahwa hanya kelompok petani yang berada pada pada golongan health belief rendah, berbeda dengan kelompok wiraswasta, ibu rumah tangga dan PNS yang hanya berada pada kategori tinggi dan sedang. Begitu juga tahapan treatment delay, persentase terbesar (39, 47%) jatuh pada kelompok petani. Berdasarkan jenis kelamin, wanita memiliki persentase yang lebih tinggi untuk kategori health belief tinggi dan persentase lebih tinggi untuk kelompok yang tidak mengalami treatment delay (48% & 31, 7%). Fenomena ini sejalan dengan Sarafino (2006) dalam bukunya health psychology.Beliau menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi individu dan jenis kelamin dapat memberikan sumbangsih terhadap keinginan untuk pergi melakukan pengobatan, ia menyatakan bahwa wanita lebih sering pergi mencari atau berkonsultasi mengenai masalah kesehatanya daripada pria, begitu juga


(63)

dengan kondisi sosial ekonomi, semakin rendah penghasilan seseorang maka akan semakin menghambat keinginannya untuk melakukan pengobatan.


(64)

BAB V Kesimpulan

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan, diskusi dan saran-saran sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Pada bagian pertama akan diuraikan kesimpulan dari penelitian ini yang akan dilanjutkan dengan diskusi mengenai hasil penelitian yang diperoleh. Pada bagian akhir akan dikemukakan saran-saran praktis dan metodologis yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian yang akan datang yang berhubungan dengan penelitian ini.

V. A. KESIMPULAN

Berikut ini peneliti akan memaparkan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pengolahan dan analisa data.

1. Dari penelitian ini diperoleh bahwa sebanyak 8,2% masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan memiliki health belief yang tergolong rendah. Selanjutnya, yang memiliki health belief yang tergolong sedang ada sebanyak 59,01%, dan terakhir 32,79% memiliki health belief yang tergolong tinggi. berdasarkan data di atas maka secara umum pekerja sosial memiliki health belief yang tergolong sedang. Hal ini berarti bahwa masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan sudah memiliki kepedulian yang cukup terhadap kondisi kesehatannya. 2. Berdasarkan data korelasi antara health belief dengan tahapan treatment


(65)

V. B SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan tahapan treatment delay ditinjau dari health belief

V. B. 1. Saran Metodologis

Hasil penelitian ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang disesuaikan dengan tujuan utama penelitian yang ingin melihat tahapan treatment delay ditinjau dari heath belief pada masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan, maka untuk memperkaya data hasil penelitian, pengambilan data dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan meliputi kawasan pelosok yang ada di daerah sumatera utara. Ini dilakukan agar hasil penelitian dapat di generalisasikan ke populasi yang lebih luas, tidak hanya di daerah kecamatan Pangururan saja.


(66)

V. B. 2. Saran Praktis

Saran dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu saran terhadap masyarakat pedesaan dan kepada praktisi kesehatan yang berada di kecamatan pangururan:

1. Masyarakat pedesaan yang berada di kecamatan pangururan agar tidak terlalu menyederhanakan kondisi kesehatannya. Karena akan berdampak terhadap keinginan mereka untuk pergi berobat ke praktisi kesehatan. 2. Para praktisi kesehatan khususnya yang berada di daerah kecamatan

pangururan agar memberikan pengarahan mengenai kesehatan masyarakat yang akan dapat mengubah cara pandang serta membuat masyarakat lebih aware terhadap kesehatannya sehingga tidak menunda untuk segera pergi berobat ke praktisi kesehatan.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, s. (1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Azwar, s. (2000). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Azwar, s, (2001). Metodology research. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Cavanaugh, J.C. & Kail, R.V. (2000). Human Development: A Live Span view. Australia: Wadswoth.

Dimatteo, M, Robin. (1991). The psychology of health, illness, and medical care. USA: Wadsworth.

Furlong, Naney. (2000). Research method & statistics.Orlando. USA: Harcourt brace & company

Goodwinn, james. (2005). Research in Psychology Methods and design. USA: John Wiley and sons, Inc.

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi research (jilid 1-4). Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Hagul, peter. (1992). Pembangunan desa dan lembaga swadaya masyarakat. Jakarta: Rajawali press.

Hines, William. (1990). Probabilita dan statistik dalam ilmu rekayasa dan manajemen. Yakarta: UI press.

Kerlinger, N. Fred. (2000). Foundation of behavioral research (4th ed). USA: Harcourt college publishers


(68)

Notoatmodjo, soekidjo. (1993). Pengantar pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku kesehatan. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Siegel, Sidney. (1956). Nonparametric Statistics for the behavioral sciences.Newyork: McGRAW-HILL BOOK COMPANY

Unson, G. Christine. (2005). Osteoporosis medications used by older African-American women: effects of socioeconomic status and psychosocial factors.

http://infotrac-college.thomsonlearning.com/itw/infomark/674/235/11198196w16/pur. Tanggal akses 21 november 2008.

Sajogyo, pudjiwati. (1995). Sosiologi pedesaan (jilid1). Yogyakarta: Gajah Mada University press.

Sarafino, P, Edward. (2006). Health psychology (5th ed). USA: John wiley & sons.

Taylor, E. Shelley. (2003). Health Psychology (5th ed). USA: Mcgraw-hill companies.

Young, Felicity. (2002). Embarrassment: patients can feel embarrassed during consultations and this could even lead to adverse clinical outcome, for instance if patients delay seeking treatment. Felicity Young offers some ideas to help put patients at ease. http://infotrac-college.thomsonlearning.com/itw/infomark/674/235/11198196w16/pur. Tanggal akses 22 november 2008.


(69)

Lampiran

Lampiran 4. Hasil uji coba skala appraisal delay

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Mean Std Dev Cases

1. VAR00001 2,9895 ,8055 95,0 2. VAR00002 2,9684 ,7916 95,0 3. VAR00003 2,0105 ,8055 95,0 4. VAR00004 2,1579 ,6243 95,0 5. VAR00005 1,8737 ,6563 95,0 6. VAR00006 1,9263 ,6230 95,0 7. VAR00007 2,0842 ,8208 95,0 8. VAR00008 2,1158 ,6975 95,0 9. VAR00009 2,1368 ,6936 95,0 10. VAR00010 1,6526 ,6149 95,0 11. VAR00011 2,4105 ,7219 95,0 12. VAR00012 2,2105 ,7565 95,0 13. VAR00013 2,1158 ,7700 95,0 14. VAR00014 1,5895 ,6101 95,0 15. VAR00015 2,3684 ,6367 95,0 16. VAR00016 2,3684 ,6532 95,0

N of Cases = 95,0

N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables Scale 34,9789 22,0634 4,6972 16

Item Means Mean Minimum Maximum Range Max/Min Variance

2,1862 1,5895 2,9895 1,4000 1,8808 ,1490

Item Variances Mean Minimum Maximum Range Max/Min Variance

,5027 ,3722 ,6737 ,3015 1,8099 ,0120

Inter-item

Covariances Mean Minimum Maximum Range Max/Min Variance

,0584 ,1705 ,3735 ,5440 -2,1898 ,0081


(1)

VAR00001

3,75 3,50 3,25 3,00 2,75 2,50 2,25 2,00 1,75 20

10

0

Std. Dev = ,46 Mean = 2,73 N = 61,00

Lampiran 10. Skala health belief

SS : Sangat sesuai S : Sesuai

TS : Tidak sesuai

STS : Sangat tidak sesuai

NO Pernyataan STS TS S SS

1 Saya tidak menganggap remeh penyakit yang saya alami.

STS TS S SS

2 Tidak ada yang lebih penting daripada hidup sehat. STS TS S SS 3 Nasihat dokter dapat memicu saya untuk menjaga

kesehatan saya

STS TS S SS

4 Saya tahu bahwa saya dapat sakit kapan saja STS TS S SS 5 Kesehatan adalah segala-galanya bagi saya. STS TS S SS


(2)

6 Apapum yang dikatakan orang lain tentang penyakit saya, hak itu tidak mempengaruhi saya untuk pergi berobat

STS TS S SS

7 Saya tidak akan terkena penyakit yang serius seperti orang lain.

STS TS S SS

8 Penyakit dapat menyerang siapa saja, kecuali saya. STS TS S SS 9 Pergi berobat ke puskesmas atau rumah sakit tidak

memberikan keuntungan bagi saya

STS TS S SS

10 Penyakit yang saya alami akan parah jika tidak diobati olah dokter

STS TS S SS

11 Saya rasa,saya mudah diserang suatu penyakit. STS TS S SS 12 Walaupun jarak rumah sakit jauh, saya tetap pergi

berobat kesana

STS TS S SS

13 Hidup sehat merupakan hal yang tidak terlalu mempengaruhi kebahagiaan hidup saya.

STS TS S SS

14 Biaya yang mahal tidak menghentikan saya untuk pergi berobat

STS TS S SS

15 Saya tidak mudah sakit STS TS S SS

16 penyakit yang saya alami dapat menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan jika tidak segera diobati


(3)

Lampiran 12. Skala tahap appraisal delay

No Pernyataan STS TS S SS

1 Penyakit yang saya alami saat ini, menurut saya adalah masalah yang serius

STS TS S SS

2 Saya mengabaikan penyakit saya STS TS S SS 3 Butuh watu berhari-hari, agar saya tahu bahwa saya

sedang sakit

STS TS S SS

4 Saya tahu bahwa setiap penyakit yang pernah saya alami perlu diperhatikan

STS TS S SS

5 Saya tidak tahu bahwa saya sedang sakit STS TS S SS 6 Saya baru menyadari bahwa saya sakit ketika

penyakit yang saya alami sudah parah.

STS TS S SS

7 Saya tahu bahwa rasa sakit seperti pusing-pusing adalah masalah yang perlu untuk diperhatikan

STS TS S SS

8 Saya membiarkan rasa sakit yang saya alami selama berhari-hari

STS TS S SS

9 Semua jenis penyakit, sangat perlu untuk diperhatikan

STS TS S SS

10 Menurut saya penyakit yang saya alami saat ini adalah hal yang biasa.

STS TS S SS

11 Saya baru menyadari bahwa saya sedang sakit ketika saya tidak dapat lagi melakukan aktifitas

STS TS S SS

12 Saya paham bahwa simptom yang saya alami bukan suatu penyakit

STS TS S SS

13 Saya paham bahwa simptom yang saya alami bukan suatu penyakit


(4)

Lampiran 13. Skala illness delay

NO Pernyataan STS TS S SS

1 Saya jarang memeriksakan penyakit yang saya alami ke puskesmas atau rumah sakit terdekat 2 Saya yakin bahwa penyakit yang saya alami

dapat disembuhkan oleh dokter.

3 Saya tidak perlu berobat ke puskesmas karena penyakit yang saya alami sekarang dapat sembuh dengan sendirinya.

4 Menurut saya tidak berguna jika pergi ke rumah sakit atau puskesmas untuk berobat. 5 Agar sehat, saya selalu pergi beerobat ke

puskesmas atau rumah sakit

6 Tidak perlu berobat ke puskesmas atau rumah sakit.

7 Dokter tidak mampu menyembuhkan penyakit yang saya alami.


(5)

puskesmas atau rumah sakit

9 Saya sering pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan penyakit yang say alami.

10 Penyakit yang saya alami tidak perlu diperiksa oleh dokter

11 Ketika saya merasa tidak enak badan, saya langsung berobat ke puskesmas atau rumah sakit terdekat

12 Menurut saya tidak perlu pergi berobat ke puskesmas atau rumah sakit

Lampiran 14. Skala utilization delay

NO Pernyataan STS TS S SS

1 Saya sering menunda untuk pergi berobat

2 Tidak perlu malu untuk memeriksakan diri ke rumah sakit


(6)

saya tetap pergi untu memeriksakan kondisi kesehatan saya

4 Biaya yang mahal membuat saya tidak mau untuk pergi berobat.

5 Ketika saya rasa bahwa saya harus berobat maka saya langsung pergi ke rumah sakit atau puskesmas untuk berobat

6 Saya jarang pergi ke rumah sakit atau puskesmas karena lokasinya yang jauh

7 Rasa sakit ketika berobat ke rumah sakit membuat saya takut untuk berobat.

8 Saya malas untuk pergi ke puskesmas atau rumah sakit untuk berobat

9 Jauh dekatnya rumah sakit tidak mempengaruhi saya untuk berobat kesana

10 Jarak yang jauh membuat saya malas untuk pergi pergi berobat ke rumah sakit.

11 Saya malu jika dokter mengetahui penyakit yang saya derita

12 Supaya saya sehat maka saya harus pergi berobat ke puskesmas.