In vitro response of Strawberry Cultivars and Somaclones
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-,
Hamilton, B. 1995. Polyploidi. http:www.members.cox.net. Hartmann, H.T dan D.E. Kester. 1983. Plant Propagation. Prentice Hall.
New Jersey.
Hendaryono, D.P.S dan Wijayanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan.
Kanisius. Jogjakarta. Husni, A. 2005. Regenerasi Protoplas Tanaman Terung dan Ketahanan
Regeneran Terhadap Penyakit Bakteri Layu. Berita Biologi. 76:285-293.
Ishak, 1987. Tehnik Kultur Jaringan Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. Jauhariana, A.Y., 1995. Pengaruh Pemberian Kolkhisisn terhadap
Perubahan Jumlah Kromosom, Struktur Kromosom pada Stevia rheubaudina. Skripsi Fakultas Biologi UGM
Kar, M
and D.
Mishra. 1976.
Catalase, peroxidase,
and
polyphenoloxidase activities during rice leaf senescense. Plant Physiol. 57 : 315-319.
Katuuk, J.R.P. 1989. Tehnik Kultur Jaringan Dalam Mikropropagasi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. DIKTI.
Proyek Pengembangan
Lembaga Kependidikan.
Tenaga Kependidikan. Jakarta.
Kusumawati, D. 2004. Studi Keanekaragaman Genetik pada Kultivar Tomat Lycopersicon lycopersicum L. dengan Menggunakan
Metode Random Amplified Polymorphic DNA RAPD. Thesis Departemen Biologi ITB. File:F:\RAPD1.htm
Kwong, R.M., A.Q.Bui. and H.Lee. 2003. LEAFY COTYLEDON1-LIKE defines a class of regulators essential for embryo development.
The Plant Cell. 15: 5-18.
Laurssen, H., V.Kirik., P.Herrmann, and P.Misera. 1998. FUSCA3 ancodes a protein with a conserved VP1AB13-like B3 domain
which is of functional importance for the regulation of seed maturation in Arabidopsis thaliana. The Plant Journal. 15: 755-
764.
Lengkobit, M.P and N.V. Khadeeva. 2004. Variation and morphogenetic characteristics of different Stachys spesies during microclonal
propagation. Genetic. 40 7: 916-924
MacKenzie, J.L., F.E. Saade., Q.H. Le., T.E. Bureau and D.J. Schoen. 2005. Genomic Mutation in Lines Arabidopsis thaliana Exposed
to Ultraviolet-B Radiation. Genetics. 171: 715-723.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-- Madon, M., M.M. Clyde., Hashim, H., Mohd.Yusuf. Y., Mat. H and
Saratha. S. 2005. Polyploidy induction of oil palm through colchicines and oryzalin treatments. Journal of Oil Palm
Research. 17: 110-123.
Maehly, A.C and B. Chance. 1954. The assay of catalases and peroxidase. In: Methods of Biochemical Analysis. Ed. David,
G. Interscience Publishers, Inc. New York. NY. Pp. 357-445. Mantiri,F.R., S.Kurdyukov., D.P.Lohar., N.Sharopova., N.A.Saeed.,
X.D.Wang., K.A.VandenBosch, and R.J.Rose. 2008. The transription factor MtSERF1 of the ERF subfamily identified by
transcriptional profilling is required for somatic embryogenesis induced by auxin plus cytokinin in Medicago truncatula. Plant
Physiology. 146: 1622-1636.
Marcel,A.K., Jansen., R.E. Van Den Noort., M.Y.A. Tan., E.Prinsen., L.M. Lagrimini and R.N.F. Thorneley. 2001. Phenol-Oxidizing
Peroxidases Contribute to the Protection of Plants from Ultraviolet Radiation Stress. Plant Physiol. 126:1012-1023.
Mariska, I dan E.G.Lestari. 2003. Pemanfaatan Kultur In vitro untuk
Meningkatkan Keragaman Genetik Tanaman Nilam. Jurnal Litbang Pertanian. 222: 64-69.
Mathius, N.T dan Nurhaimi. 1995. Teknologi in vitro untuk Pengadaan
Benih Tanaman Perkebunan. Warta Puslit Bioteknologi. 11:2.
Nio, K.T.1989. Genetika Dasar. Jurusan Biologi FMIPA ITB. Bandung. Nuroniah, H.S., 2004. Studi Keragaan Genetik Pada TPS True Popato
Seed tanaman Kentang Solanum tuberosum.L Dengan Metoda RAPD Random Amplified Polymorphic DNA. Thesis
Departemen Biologi
ITB. File:C::\DOCUME
- 1\PLANT\LOCALS-1\tEMP\l1805Q78.
O’Brien, T.P dan Horner, H.T. 1981. The Study of Plant Structure Principles and Selected Method. Termacarphy PTY. Ltd.
Melbourne. Australia. Obute, G.C., B.C. Ndukwu and B.E. Okoli. 2006. Cytogenetic studies on
some Nigerian spesies of Solanum L. Solanaceae. African Journal of Biotechnology. 513: 1196-1199.
Prahardini, P.E.R., T.Sudaryono dan S.Purnomo. 1993. Komposisi Media dan Eksplan Untuk Inisiasi dan Proliferasi Salak Secara in vitro.
Penel. Hort. Vol 3. No.2.
RnList. 2005. Colchicine. http:www. RnList.cox.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-. Robert, A.G. and K.J.Opaka. 2003. Plasmodesmata and the control of
symplastic transport. Plant, Cell and Enviromental. 26: 103- 124.
Roux, F., C. Camilleri., S. Giancola., D. Brunnel and X. Reboud. 2005. Epistatic
Interactions Among Herbicide Resistances in Arabidopsis thaliana: The Fitness Cost of Multiresistance.
Genetics. 171: 1277-1288.
____, F., J. Gascuez and X. Reboud. 2004. The Dominance of the Herbicide Resistance Cost in Several Arabidopsis thaliana
Mutant Lines. Genetics. 166: 449-460.
Ruhland, W. 2004. The inductin in Phlox by Colchicine. J. of Plant research 113 : 219 – 225.
Sambrook, J., E.F.Fritzh dan T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. New York. Cold Spring Harbour
Laboratory.
Sass. J.E., 1978. Botanical Microtehbiques. 3
rd
Ed. Iowa State Colleage Press. Iwa.
Sastrapradja, S., M.Soetisna., G.Panggabean., G. Morgea., J.P Suhardjo.
A.T Sunarto. 1977. Buah – buahan . Proyek Sumber Daya Ekonomi. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Bogor.
Seagraves, K.A., Thompson, J.N., Soltis.P.S and Soltis.P.E. 1999. Multiple Origins of Polyploidy and the Geographic Structure of
Heuchera grossulariifolia. Molecular Ecology : 252-262.
Sedmak.J.J and S.E.Grossberg. 1977. A Rapid Sensitive and Versatile
Assay for Protein Using Coomassie Brilliant Blue G-250. Anal. Biochem. 79: 544-552.
Shaver, J.M., D.C. Bittel., J.M. Sellner., D.A. Frisch., D.A. Somers and B.E. Gengenbach. 1996. Single-amino acid substitutions
eliminate lysine inhition of maize dihydrodipicolinate synthase. Plant Biology. 93: 1962-1966.
Singh, A.K., M. Singh., A.K. Singh., R. Singh., S. Kumar and G. Kalloo. 2006. Genetic diversity within the genus Solanum Solanaceae
as revealed by RAPD markers. Current Science. 905: 711-716.
Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal
Dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 222: 70-78.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-
Suharsono dan Widyastuti, U. 2006. Penuntun Praktikum pelatihan Thenik Dasar Pengklonan Gen. Pusat Penelitian Sumberdaya
hayati dan Bioteknologi. IPB.
Stebbins. G.L. 1984. Polyploidy. http:www.nap.edubooks Steel.G.D dan Torrie.J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu
Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa : Sumantri, B. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Stone,S.L., S.A.Braybrook. and S.L.Paula. 2008. Arabidopsis LEAFY COTYLEDON2 induces maturation trait and auxin activity:
implications for somatic embryogenesis. Proceeding of The National Academy of Science of The USA. 105: 3151-3156.
Suntoro.H.S.1983.Metode Pewarnaan. Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Jakarta. Hlm 48, 74-75.
Widiyanto, S.N.M. 1992. Enzymatic changes in rice callus line tolerant to picolinic acid. Dissertation. Colorado State
University. USA.
Wilkins, M.B. 1992. Fisiologi Tanaman I. Terjemahan oleh M.Mulyadi,
Sutedjo dan A.G Kartasapoetra. Bumi Aksara Jakarta.
Wikipedia. 2000. Colchicine. http:www.cambridge.org.
_________2007. Kolkisin. http:id.wikipedia.orgwikikolkisin
Winnata, L. 1984. Kultur Jaringan dan Perkembangannya. Buletin
Agronomi XV12.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-
EDDS3;E;D.,V,D,E, 55;D-D,-;+,E,;E,,
Isnaini Nurwahyuni
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jl. Bioteknologi No.1 Padang Bulan,
Medan, Sumatera Utara, Indonesia. isnaininurwahyuniyahoo.co.id
Abstrak
Penggunaan teknik in vitro untuk perbanyakan tiga jenis jeruk lokal Sumatera Utara sangat penting dilakukan sebagai strategi mengatasi
kepunahannya. Jeruk lokal Sumatera Utara seperti “Jeruk Brastepu” pada masa lalu sangat dibanggakan tetapi sekarang sudah tidak dibudidayakan
karena sudah digantikan oleh jeruk madu impor yang secara ekonomi menguntungkan para petani. Penelitian ini bertujuan untuk untuk
perbanyakan jeruk lokal Sumatera Utara berkualitas baik in vitro sebagai strategi biokonservasi. Penelitian bersifat eksperimental, dengan
kombinasi perlakuan terhadap tiga jenis jeruk lokal sumatera Utara, yaitu 1 Jeruk Boci, 2 Jeruk Brastepu, dan 3 Jeruk Rimokeling dikombinasi
dengan komposisi media Murashige dan Skoog 1962 tanpa ZPT Mo, 1mgl 2,4-D M1, 1mgl BAP M2 dan 1mgl 2,4-D+1mgl BAP M3.
Tiga jeruk lokal Sumatera Utara menunjukkan perbedaan potensi keunggulan fenotif dan genetik. Setelah dikulturkan,hampir semua
kelompok perlakuan mengalami pertumbuhan kalus dengan intensitas sedang dan tinggi. Kalus bertumbuh bervariasi: 1 kalus berwarna coklat,
berair, dan tidak embriogenik, dan 2 kalus embriogenik yang berwarna hijau. Dua jenis kalus embriogenik: 1 berkembang dari kotiledon
menjadi kalus dan beregenerasi menjadi plantlet, dan 2 terbentuk dari sel-sel dari permukaan biji jeruk langsung beregenerasi menjadi planlet.
Pemberian zat pengatur tumbuh ZPT di dalam media sangat nyata berpengaruh terhadap induksi kalus tetapi tidak berpengaruh terhadap
persentase kultur membentuk kalus.
Keywords: Jeruk, Boci, Rimokeling, Brastepu, 2,4-D, BAP PENDAHULUAN
Penggunaan teknik kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan jeruk lokal Sumatera Utara sangat penting dilakukan sebagai strategi
untuk mengatasi kepunahan jeruk tersebut yang menjadi kekayaan plasmanuftah. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa jenis jeruk lokal
Sumatera Utara tidak dilestarikan lagi, dan hanya tumbuh secara
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
- kebetulan dan liar di lahan pertanian karena jenis lokal. Tiga jeruk ini
pernah menjadi andalan Sumatera Utara tetapi sudah digantikan dengan jeruk impor yang secara ekonomi menguntungkan para petani. Produk
jeruk lokal saat ini sudah tidak lagi beredar dipasaran. Diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan Jeruk lokal Brastagi akan punah.
Keunggulan genetika yang dimiliki jeruk lokal Sumatera Utara masih banyak yang belum dimanfaatkan untuk peningkatan produksi dan
kualitas buah jeruk. Dengan demikian, sebelum jeruk tersebut punah maka perlu dilakukan biokonservasi. Penelitian bertujuan untuk
perbanyakan bibit jeruk lokal Sumatera Utara dengan teknik kultur jaringan.
Kultur jaringan atau teknik kultur in vitro kini sering digunakan untuk perbanyakan bibit tanaman dikotil dan sudah lama dilakukan,
terutama terhadap tanaman yang memiliki nilai ekonomi Chaturvedi, dkk 1982. Beberapa penelitian dalam kultur jaringan tanaman untuk
beberapa jenis spesies jeruk telah dilaporkan dalam beberapa publikasi ilmiah Niedz dan Evens, 2008. Regenerasi tanaman jeruk secara kultur
jaringan telah dilakukan dari bagian akar Grosser, 2000, bagian daun, bagian buku batang Costa, dkk., 2004, bakal buah Carimi, dkk., 1998
dan protoplas Das, dkk 2000. Pembentukan eksplan untuk beberapa jenis spesies jeruk telah dilakukan, misalnya yang berasal dari buku
batang dan ruas epikotil Edriss dan Burger, 1984. Peneliti lain seperti Hunt, dkk. 2001 telah berhasil membentuk tanaman jeruk transgenik
dengan menggunakan mediasi transfomasi menggunakan Agrobacterium Casanova, dkk., 2005. Usaha untuk mendapatkan tanaman jeruk manis
transgenik melalui perubahan genetis juga telah dilakukan oleh Hao, dkk., 2005, dan Li, dkk., 2007 dan diketahui bahwa faktor genetic penentu
terhadap kualitas jeruk Terol, dkk., 2008.
Tiga jenis jeruk khas Sumatera Utara tumbuh di Brastagi adalah jeruk Brasitepu, Boci, dan Rimokeling. Masih banyak lagi jeruk manis
lokal yang harus didata oleh peneliti melalui identifikasi tanaman. Jeruk Brastepu Citrus nobilis var. Brastepu dikenal dengan nama “Jeruk
Brastagi”. Jeruk Brastagi memiliki cita rasa yang sangat manis dibandingkan dengan jenis jeruk manis lokal lainnya. Di samping itu,
bentuk dan warna kulitnya sangat menarik yang disebabkan oleh faktor genetik. Berdasarkan hasil survey di lapangan, jeruk Citrus nobilis
Brastepu dan 2 jenis lainnya terkenal di masyarakat karena berfungsi ganda, yaitu sebagai penghasil buah, dan kulit buah dan daunnya juga
digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Untuk mengatasi kesulitan dalam penyediaan bibit jeruk lokal ini dilakukan secara in vitro,
melalui kultur jaringan tanaman. Bibit jeruk yang dihasilkan berkualitas baik, seragam dan jumlah banyak.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
- METODE PENELITIAN
Metode penelitian terdiri atas identifikasi dan karakterisasi tanaman dan prosedur kultur jaringan. Untuk memilih 3 jenis jeruk lokal
yang potensil di Sumatera Utara maka dilakukan identifikasi dan karakterisasi jeruk dilihat dari fenotif dan genetik. Pekerjaan kultur
jaringan terdiri dari persiapan bahan tanaman, penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan dan penanaman eksplan 3 jeruk yaitu jeruk Brastepu,
Boci, Rimokeling,. Tanaman induk sehat dan masih produktif, diambil dari Desa Bukit, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Bagian
tanaman yang diambil pucuk dari hasil okulasi untuk dijadikan sebagai sumber eksplan.
Media MS Murashige dan Skoog, 1962 lengkap , diperkeras dengan 0,8 agar digunakan dalam penelitian ini. Kondisi pH media
diatur pada pH 5.8, disterilisasi di autoklaf pada 121
o
C selama 20 menit. Media Media MS diperkaya Benzyl Amino Purin BAP 1 mgl dan 2,4
dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D 1 mgl. Pekerjaan dilakukan mengikuti prosedur Nurwahyuni dan Elimasni 2006.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian tahap awal adalah mendiskripsi 3 jeruk lokal Brastagi adalah seperti berikut ini.
Karakteristik Jeruk Boci
Jeruk boci hanya ditanam di desa Bukit, Brastagi Medan. Jeruk ini berasal dari Republik Rakyat Cina RRC beberapa puluh tahun yang
lalu. Menurut penduduk setempat jeruk ini pernah menjadi primadona di Indonesia tetapi tidak pernah disebarluaskan di daerah lain. Pada awalnya
jeruk boci banyak ditanam petani dengan keunggulan produksi tinggi 50 kgpohon pada musim panen dan buah tidak berbiji. Namun sekarang,
buah jeruk boci berbiji 2-4 per buah, biji besar, lebar dan rata-rata 25 biji kosong. Adanya biji kemungkinan disebabkan sudah terjadi
persilangan antara jeruk tersebut dengan jeruk manis yang akhir-akhir ini mendominasi lahan perkebunan jeruk di Brastagi umumnya dan desa
Bukit khususnya.
Jeruk boci yang tumbuh dan masih produktif tinggal 3 pohon. Baru-baru ini sudah dilakukan perbanyakan cepat dengan okulasi.
Regenerasi dilakukan untuk divertifikasi jeruk, yang berasal dari Brastagi khususnya. Pohon jeruk boci yang masih ada merupakan hasil
okulasi. Tinggi pohon sekitar 3 m. Percabangan banyak. Ciri-ciri morfologi jeruk boci adalah daun tunggal dengan rata-rata panjang 7 cm
dan lebar 2,5 cm , stipula yang terletak di bawah lembaran daun agak
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
- lebar dapat dilihat pada gambar kanan bawah. Buah dengan kulit
berwarna hijau muda dan orange bila matang, ukuran diameter buah 6,3-8,3, ujung dan pangkal buah rata, tebal kulit diperbatasan juring BJ
0,60-0,70 mm, tebal kulit di tengah juring 0,50-0,60 mm, buah agak sulit dikupas karena kulit menempel pada juring flavedo.
Karakteristik Jeruk Madu
Jeruk madu hanya ditumbuhkan beberapa pohon saja di desa Bukit, Brastagi. Tanaman Boci mempunyai tinggi antara 7-8 meter dan
berbuah jarang. Jeruk ini tidak dikomersialkan lagi karena keberadaannya semakin langka seperti 2 jenis jeruk lainnya.
Pohon jeruk madu yang masih ada merupakan hasil okulasi. Pohon cukup tinggi. Percabangan banyak. Ciri-ciri morfologi jeruk madu
adalah daun tunggal dengan rata-rata panjang 14 cm dan lebar 5 cm , stipula yang terletak di bawah lembaran daun tidak ada dapat dilihat pada
gambar kanan bawah. Buah dengan kulit berwarna hijau muda dan orange bila matang, ukuran diameter buah 6,8-8,5, ujung dan pangkal
buah rata, tebal kulit diperbatasan juring BJ 0,50-0,65 mm, tebal kulit di tengah juring 0,50-0,55 mm, buah agak sulit dikupas karena kulit
menempel pada juring flavedo.Buah jeruk madu sangat jarang bijinya yaitu berkisar 3-5.
Karakteristik Jeruk Brastepu
Pohon jeruk brastepu yang masih ada merupakan hasil okulasi. Tinggi pohon sekitar 12-15 m. Percabangan banyak. Ciri-ciri morfologi
jeruk adalah daun tunggal dengan rata-rata panjang 7 cm dan lebar 2,5 cm , stipula yang terletak di bawah lembaran daun tidak berkembangan
dapat dilihat pada gambar kanan bawah. Buah dengan kulit berwarna hijau muda dan orange bila matang, ukuran diameter buah 7.1-9,3,
ujung dan pangkal buah rata, tebal kulit diperbatasan juring BJ 0,30- 0,50 mm, tebal kulit di tengah juring 0,25-0,40 mm, buah agak sulit
dikupas karena kulit menempel pada juring flavedo.
Tiga jenis jeruk digunakan pucuk dari tanaman hasil okulasi untuk dikulturkan. Kalus yang dihasilkan dari kotiledon mempunyai
tekstur yang hampir sama yaitu dengan calon tunas pada permukaannya. Gambar kalus pada 3 jenis jeruk dapat dilihat dibawah ini.
Kalus yang tumbuh dibuat preparat awetan untuk mengetahui tipe morfogenik dari kalus tersebut. Kalus didominasi oleh sel-sel
parenkim yang aktif membelah. Pada permukaan gumpalan kalus terdapat tonjolan atau nodul yang berpotensi untuk beregenerasi atau
beroganogenesis.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-
Gambar 1: Tekstur kalus dari kiri-kanan kultur pucuk jeruk Rimokeling, Boci dan Brastepu
Gambar 2. Anatomi kalus dari kultur pucuk jeruk Brastepu, nodul ditunjukkan oleh tanda panah
Kultur yang menghasilkan planlet dan atau kalus dilakukan pengukuran 6 peubahparameter pengamatan dan dihitung rasio tunas dan
akar sehingga jumlah peubah 7. Hasil kultur jaringan sering kali tidak konsisten. Suatu eksplan yang ditumbuhkan pada beberapa media yang
sama sebagai ulangan seringkali menghasilkan pertumbuhan kultur ataupun tipe regenerasi yang berbeda. Satu kultur dapat menghasilkan
kalus embriogenik dan planlet sedangkan yang lain tidak dmikian. Bila di dalam kultur dihasilkan planlet yang banyak maka ukurannya dapat
bervariasi. Planlet dengan ukuran tinggi tunas sekitar 5 cm dan akar serta percabangan akar yang baik dapat diaklimatisasi secara bertahap. Planlet
yang masih kecil dengan akar yang tidak proporsional perlu dibesarkan dengan disubkultur.
Hasil kultur menunjukkan bahwa rataan berat kultur berbeda nyata antar perlakuan. Berat kultur tertinggi pada setiap jenis jeruk
terdapat pada perlakuan KM32,4-D 1 mgl dan BAP 1 mgl sedangkan berat tertinggi dari semua kultur
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-+
Tabel 1: Rataan Berat Kultur, Rataan Jumlah Embriosomatik, Rataan Jumlah
Planlet, Rataan Jumlah Daun , Rataan Tinggi Tunas Dan Rataan Rasio Tunas dan Akar Pada Tiga Jenis Jeruk Langka Brastagi
1.Berat Kulturg Jeruk Boci
Jeruk Rimokeling Jeruk Brastepu
KM0 0,38abc
0,00b 0,10e
KM1 0,14c
0,70a 0,14cde
KM2 0,80abc
0,24a 0,20bc
KM3 1,29ab
1,67a 0,38a
2.Rataan Jumlah Embriosomatik botol
KM0 0,00
0,0 0,00
KM1 4,60
2,2 3,60
KM2 6,80
6,4 4,60
KM3 33,20
3,2 4,60
3.Rataan Jumlah Planletbotol
KM0 0,00
2,40a 1,00b
KM1 0,00
0,00d 1,00b
KM2 0,40
0,40d 1,40ab
KM3 0,60
1,00bc 2,40ab
4.Rataan Jumlah Daun Jeruk Boci
Jeruk Rimokeling Jeruk Brastepu
KM0 0,00
2,40a 1,00c
KM1 0,00
0,00d 1,00c
KM2 0,40
0,40d 1,40b
KM3 0,60
1,00bc 2,40b
5.Rataan Tinggi Tunas KM0
0,00 3,38a
0,9e KM1
0,00 0,00c
1,18de KM2
1,20 1,52bcd
1,68cd KM3
2,00 1,28cd
3,3ab 6.Rataan Rasio Tunas
dan Akar KM0
0,000 27,27c
45,80a KM1
0,000 0,00d
0,00b KM2
1,640 152,50b
61,00a KM3
1,647 397,5a
159,00a
Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan signifikasi 5
Adalah jeruk Rimokeling pada perlakuan KM3 dan pada media yang sama, berat kultur jeruk Brastepu terrendah. Kombinasi 2,4-D dan
BAP baik untuk mendapatkan berat kultur yang tinggi dibandingkan
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-, dengan penggunaan zat tumbuh tersebut satu persatu yaitu KM1 2,4-D 1
mgl atau KM2 BAP 1 mgl. Sementara itu, jumlah embriosomatik terbanyak pada KM3, jeruk
Boci; KM2, jeruk Rimokeling ; KM2 dan KM3, jeruk Brastepu. Namun hasil secara keseluruhan perlakuan pada parameter ini tidak berbeda
nyata. Parameter yang lain yaitu Rataan Jumlah Planlet, Rataan Jumlah
Daun, Rataan Tinggi Tunas, Rataan Rasio Tunas dan Akar pada jeruk Boci menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan, sedangkan pada
2 jeruk lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata. KESIMPULAN
Tiga jeruk langka dari Brastagi sudah didiskripsi dan berhasil dikulturkan dengan kultur jaringan. Eksplan pucuk tiga jenis jeruk
tersebut pada umumnya membentuk kalus dan planlet. Berat kultur tertinggi 1,67 g pada jeruk Rimokeling; 1,29 g pada jeruk Boci dan 0,38 g
pada jeruk Brastepu yang semuanya ditumbuhkan pada media KM3. Parameter lainnya jumlah embriosomatik tidak terdapat perbedaan yang
nyata pada tiga jeruk yang diteliti sedangkan Jumlah Planlet, Jumlah Daun, Tinggi Tunas, Rasio Tunas dan Akar tidak berbeda pada jeruk
Boci tetapi berbeda nyata pada 2 jenis jeruk lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bove, J., dan Morel, G., 1957, La culture de tissus de citrus, Revue
Gen. Bot. 64: 1-6
Carimi, F.; Pasquale, F.D., dan Crescimanno, F.G., 1995, Somatic
embryogenesis in Citrus from styles culture, Plant Science 105: 81-86.
Casanova, E.; Trillas, M.I.; Moysset, M. dan Vainstein, A., 2005, Influence of rol genes in floriculture,
Biotechnology Advances 231
: 3-39.
Chaturvedi, H.C.; Sharma, A.K.; Sharma, M., dan Prasad, R.N., 1982, Morphogenesis, micropropagation and germplasm preservation
of some economic plants by tissue cultures. In: Plant Tissue Culture, A.Fugiwara, eds, Maruzen, Tokyo, P.687-688.
Costa, M.G.C.; Alves, V.S.; Lani, E.R.G; Mosquim, P.R.; Carvalho, C.R., dan. Otoni, W. C
.,
2004, Morphogenic gradients of adventitious bud and shoot regeneration in epicotyl explants of
Citrus, Scientia Horticulturae 1001-4
: 63-74
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-- Das, A.; Paul, A.K. dan Chaudhuri, S., 2000, Micropropagation of
sweet orange, Citrus sinensis Osbeck. for the development of nucellar seedlings, Indian Journal of Experimental Biology 38:
269-272.
Edriss, M.H., dan Burger, D.W., 1984, In Vitro propagation of troyer
citrange from epicotyl segment, Scientia Horticulturae 23: 159- 162.
Grosser, J.W., dan Chandler, J.L., 2000, Somatic hybridization of high yield, cold-hardy and disease resistant parents for citrus rootstock
improvement, Journal Horticultural Science Biotechnology 75: 641-644.
Grosser, J.W.; Gmitter, F.G.; Tusa, N.; Recupero, G.R., dan Cucinotta, P., 1996, Further evidence of a cybridization requirement for
plant regeneration from citrus leaf protoplasts following somatic fusion, Plant Cell Reports 15: 672-676.
Hao, Y.J.; Cheng, Y.J, dan Deng, X.X., 2005, Stable maintenance and expression of a foreign gene in transgenic pear shoots retrieved
from in vitro conservation, Journal of Plant Physiology 1622
: 237-243.
Hunt, P.W.; Watts, R.A.; Trevaskis, B.; Llewelyn, D.J.; Burnell, J.; Dennis, E.S. dan Peacock, W.J., 2001, Expression and
evolution of functionally distinct haemoglobin genes in plants, Plant Molecular Biology 47: 677-692.
Li, W., Song, Q., Brlansky, R.H., dan Hartung, JH., 2007, Genetic diversity of citrus bacterial canker pathogens preserved in
herbarium specimens, Proc Natl Acad Sci U S A 10447: 18427– 18432
Murashige, T., dan Skoog, F., 1962, A revised media for rapid grouth
and bioassay with tobacco tissue culture, Physiol. Plant. 15: 473- 496.
Niedz, R.P., dan Evens, T.J. 2008, The effects of nitrogen and potassium nutrition on the growth of nonembryogenic and
embryogenic tissue of sweet orange Citrus sinensis L. Osbeck, BMC Plant Biol. 8: 126-131
Nurwahyuni, I. dan Elimasni, 2006, Pertumbuhan dan Perkembangan Kultur Jaringan Kemenyan Sumatrana Styrax benzoin Dryander
Jurnal Biologi Sumatera 12: 12-18
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-. Nurwahyuni, I., 2003, Kultur jaringan daun jeruk manis Citrus sinensis
Brasitepu untuk mikropropagasi, Jurnal Sain Indonesia 241: 17-20.
Nurwahyuni, I., dan Elimasni, 2010, Optimalisasi Teknik In Vitro Untuk Perbanyakan
Jeruk Berkualitas
Baik Sebagai
Strategi Biokonservasi Jeruk Lokal Sumatera Utara, Laporan Penelitian,
FMIPA USU Medan. Nurwahyuni, I., dan Tjondronegoro, P., 1994, Induksi kalus dan
regenerasi tanaman Dioscorea composita Hemls, Hayati 1: 15-17.
Terol, J., Naranjo, M.A., Ollitrault, P., dan Talon, M., 2008, Development of genomic resources for Citrus clementina:
Characterization of three deep-coverage BAC libraries and analysis of 46,000 BAC end sequences, BMC Genomics. 9: 423-
429.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-
FDE,D.,5,,,,-,,-EDL ,E;+.;L,E,,+,5,;
YV6:D:A-[6
M.M.B. Damanik, Bintang, dan Andrifan Dwi Prabowo
Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU Medan Jl. Prof. A. Sofyan No 3 Kampus USU, Medan 20155
email: bintangsitorusymail.com; 081264879000; 081370053835
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian terak baja terhadap P-tersedia dan pertumbuhan tanaman jagung Zea mays L.
pada Andisol asal Tongkoh. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca serta di laboratorium kimia dan kesuburan tanah, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap Non Faktorial dengan faktor
perlakuannya adalah terak baja T yang terdiri dari 5 taraf dosis g5kg BTKO : 1. T0 0, 2. T1 25, 3. T2 50, 4. 75, dan 5. 100 dengan 3
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan pemberian terak baja setelah inkubasi selama 60 hari berpengaruh sangat nyata terhadap pH tanah
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap P-tersedia dan retensi P. Pada akhir vegetatif pemberian terak baja berpengaruh sangat nyata terhadap
pH tanah, P-tersedia, bobot kering tajuk tanaman dan serapan P tanaman serta berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar tanaman tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap retensi P. Kata kunci: Terak baja, Andisol, Jagung
PENDAHULUAN
Terak baja adalah hasil sampingan dari pabrik baja yang menggunakan bijih-bijih besi sebagai bahan utama. Terak yang terdapat
pada proses peleburan bijih-bijih besi diambil, kemudian digiling halus dan diayak dengan ayakan ukuran 100 mesh, sehingga bahan ini
merupakan tepung halus yang dapat disebarkan untuk digunakan sebagai pupuk. Pupuk ini biasa dikenal dengan nama Thomas Meal atau Thomas
Phosphate Hasibuan, 2009.
Menurut Roy et al, 2006 terak baja merupakan produk dari industri baja. Rumus kimianya adalah [CaO
5
P
2
O
5
SiO
2
] yang
mengandung 10-18 P
2
O
5
, 35 CaO, 2-10 MgO, dan 10 Fe. Terak baja dapat digunakan sebagai pupuk dan pembenah tanah karena
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
- mengandung kapur dan menyediakan hara P. Terak baja sangat keras
namun demikian sangat mungkin digunakan untuk pertanian bila diaplikasikan dalam bentuk tepung halus.
Menurut Teakle dan Boyle dalam Muhali 1980 senyawa fosfat dan terak baja umumnya dianggap sebagai garam rangkap dari kalsium
dan silika. Rumus kimia dari terak baja adalah CaOP
2
O
5
SiO
2
yang mengandung 12-20 P
2
O
5
. Selain itu masih mengandung unsur-unsur hara lain seperti : 40-50 CaO, 5-10 SiO
2
, 12-16 FeO+Fe
2
O
3
, 5- 10 MnO dan 2-3 MgO. Kebanyakan dari terak baja saat ini
mengandung 1 P
2
O
5
. Selain itu, masih banyak mengandung unsur hara sekunder seperti magnesium 6,5 Mg, bahan kapur 24 Ca,
unsur hara mikro khususnya Fe 26 Fe, Mnbatu kawimangan 1,2 , Zn 0,1 dan B0,06 Charles, 2004. Di Inggris terak baja itu ternyata
sudah di perdagangkan dengan merek dagang super slag basic. Bahan ini dapat memberikan 4 manfaat, yaitu
Tony 2009 : 1 sebagai sumber
hara P, 2 sebagai sumber bahan kapur, 3 sumber unsur hara mikro penting dan 4 untuk membebaskan P yang terfiksasi, selanjutnya
menurut Tony bahwa bahan ini meningkatkan 50 P
2
O
5
dari pada TSP. Selain itu, bahan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan unsur
hara lain, seperti Ca, Mg, S, Mn,Cu, Mo, Co, Se, Fe dan Zn. Andisol merupakan tanah yang mengandung bahan organik dan
lempung clay tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika, alumina atau hidroxida-besi. Kejenuhan basa rendah, kadar P rendah karena
teretensi serta mengandung C dan N yang tinggi tetapi nisbah CN rendah Olsen, 1954 dalam Darmawijaya, 1992. Luas Andisol di Indonesia
meliputi 5,39 juta ha 2,9 dari luas daratan, terdapat luas di Sumatera Utara 1,06 juta ha, Jawa Timur 0,73 juta ha, Jawa Barat 0,50 juta ha,
Jawa Tengah 0,45 juta ha dan Maluku 0,32 juta ha Musa dkk, 2006.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menambahkan bahan silika yang dapat
membebaskan P. Bahan yang mengandung silika sekaligus hara P adalah terak baja yang merupakan produk dari besi kasar yang diharapkan dapat
meningkatkan ketersediaan P dan menurunkan retensi P.
Jagung merupakan tanaman pangan utama dan digunakan sebagai tanaman indikator dalam penelitian pertanian. Hal yang harus
diperhatikan tentang tanah sebagai syarat yang baik untuk pertanaman jagung antara lain adalah AAK, 1991 : a. pH tanah netral atau
mendekati netral diperlukan untuk pertumbuhan optimal pada tanaman jagung yakni berkisar antara pH 5,5-6,5, b. tanah dan tempat pertanaman
hendaknya memperoleh sinar dan udara yang cukup, c. drainase yang baik akan membantu usaha pengendalian pencucian tanah, selanjutnya
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
- ada hubungannya dengan keasaman tanah dan d. pada kesuburan tanah
yang tinggi akan membantu dalam penyediaan hara. Penelitian ini menggunakan terak baja basic slag yang
didasarkan pada laju peningkatan produksi pabrik baja di Indonesia yang telah mengalami kemajuan. Sejalan dengan kemajuan tersebut, hasil
buangan dari pabrik tentu juga akan mengalami peningkatan. Jika terak baja tidak ditangani secara tepat maka akan menimbulkan dampak yang
negatif terhadap lingkungan. Pemanfaatan bahan tersebut sebagai sumber hara P diharapkan dapat membantu permasalahan menumpuknya limbah
sampingan pabrik yang dapat member keuntungan. Terak baja yang mengandung bahan silika diharapkan juga mampu melepaskan P yang
teretensi oleh ion Al pada Andisol sehingga mampu menyumbangkan hara P dalam tanah dan meningkatkan basa dalam tanah yang berperan
meningkatkan pH tanah dan pertumbuhan tanaman jagung Zea mays L. pada Andisol.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di rumah kaca dan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut dan dimulai pada Oktober 2009-April 2010. Bahan yang digunakan adalah
tanah Andisol asal Tongkoh pada koordinat N 03 12’25” dan E
098 32’30” ketinggian 1457 m dari permukaan laut. Terak baja, pupuk
Urea, SP-36 dan KCl sebagai pupuk dasar dan bibit tanaman jagung sebagai tanaman indikator.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Non Faktorial, menggunakan terak baja T dalam 5 taraf dosis yaitu T0 = 0
tonha 0 g5 kg BTKO; T1 = 10 tonha 25 g5 kg BTKO; T2 = 20 tonha 50 g5 kg BTKO; T3 = 30 tonha 75 g5 kg BTKO dan T4 = 40
tonha 100 g5 kg BTKO dengan 3 ulangan sehingga ada unit percobaan 15 unit percobaan.
Analisis tanah awal dilakukan terhadap pH H
2
O 1:2,5, P tersedia ppm, P retensi , tekstur tanah, dan C-organik tanah. Analisis
akhir dilakukan pada tanah yang telah diinkubasi selama 60 hari setelah perlakuan dan diakhir masa vegetative tanaman. Parameter tanah yang
diukur adalah pH tanah dengan metode elektrometri; P-tersedia ppm dengan metode Bray II; P-retensi dengan metode Black More. Untuk
tanaman dilakukan pengukuran terhadap Bobot kering tajuk tanaman g; Bobot kering akar tanaman g dan Serapan P tanaman mgtanaman
pada akhir vegetatif.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-
HASIL DAN PEMBAHASAN pH Andisol dan P-Tersedia ppm Tanah Setelah Inkubasi
Hasil sidik ragam menunjukkan pemberian terak baja berpengaruh sangat nyata terhadap pH Andisol setelah inkubasi.
Perlakuan terak berpengaruh tidak nyata terhadap P-tersedia Andisol setelah inkubasi namun berpengaruh sangat nyata terhadap P-tersedia
Andisol pada akhir vegetatif. Uji beda rataan pemberian terak baja terhadap pH Andisol dan P-tersedia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1: Uji beda rataan pemberian terak baja terhadap pH dan P-tersedia Tanah
Andisol
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji BNJ pada taraf 1 A, B,
C... dan 5 a, b, c, ....
Perlakuan terak baja nyata meningkatkan pH tanah Andisol namun antara taraf perlakuan tidak ada perbedaan yang sangat nyata.
Perlakuan taraf T1 dan T2 tidak berbeda nyata terhadap kontrol dan nilai pH tertinggi 5.87 terdapat pada perlakuan T3 yang menggunakan dosis
terak tertinggi 30 ton ha.
Tidak seperti pH, ternyata P-tersedia Andisol tidak nyata peningkatannya oleh semua taraf perlakuan walau telah mengalami
inkubasi 60 hari, hal yang sama terjadi pada perlakuan kontrol yang tidak mendapat terak baja.
P-tersedia tanah pada akhir vegetatif berbeda sangat nyata oleh perlakuan dan tanpa perlakuan terak baja ke dalam tanah Andisol, namun
diantara taraf perlakuan tidak ada perbedaan yang nyata. Ketersedian fosfor tertinggi 38.62 ppm terdapat pada perlakuan T0 0 ton ha dan
yang terendah 5.62 ppm pada taraf T1 10 ton ha.
Retensi P Andisol Setelah Inkubasi
Pemberian terak baja berpengaruh tidak nyata terhadap retensi P Andisol setelah inkubasi maupun setelah masa vegetatif. Rataan
pemberian terak baja terhadap retensi P Andisol disajikan pada Tabel 2.
Perlakuan Terak Baja
pH Tanah setelah inkubasi
P-Tersedia Tanah Andisol Setelah inkubasi
...ppm... Pada Akhir Vegetatif
…ppm…. T0 0 ton ha
5.43 B b 6.74
38.62 A a T1 10 ton ha
5.71 AB a 7.73
5.62 B b T2 20 ton ha
5.66 AB ab 10.10
11.47 B b T3 30 ton ha
5.87 A a 6.74
7.73 B b T4 40 ton ha
5.86 A a 4.37
6.74 B b
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-
Tabel 2: Rataan pemberian terak baja terhadap retensi P Andisol setelah inkubasi
dan akhir vegetatif Perlakuan
Terak Baja Retensi P Andisol
Setelah Inkubasi Akhir Vegetatif
T0 0 ton ha 80.83
64.47 T1 10 ton ha
73.00 67.13
T2 20 ton ha 73.13
68.83 T3 30 ton ha
77.97 72.27
T4 40 ton ha 61.97
65.57
Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar Tanaman g
Sidik ragam menunjukkan pemberian terak baja berpengaruh sangat nyata dan nyata masing-masing terhadap bobot kering tajuk dan
akar tanaman. Uji beda rataan pemberian terak baja terhadap bobot kering tanaman jagung disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3: Uji beda rataan pemberian terak baja terhadap bobot kering tajuk dan
akar tanaman jagung Perlakuan
Terak Baja Rataan Bobot Kering
Tajuk Tanaman … g ….
Akar Tanaman … g ….
T0 0 ton ha 4.83 B c
1.33 ab T1 10 ton ha
9.43 AB bc 1.23 b
T2 20 ton ha 15.70 A ab
3.33 a T3 30 ton ha
16.93 A a 3.03 ab
T4 40 ton ha 17.53 A a
3.00 ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata dengan uji BNJ pada taraf 1 A, B, C... dan 5 a, b, c, ....
Bobot kering tajuk tanaman jagung tertinggi diperoleh pada dosis terak tertinggi T4 17.53 g yang berbeda nyata terhadap perlakuan
kontrol saja T0; 4.83 g, tetapi tidak berbeda nyata terhadap semua taraf perlakuan lain. Bobot tajuk terendah terdapat pada perlakuan tanpa
pemberian terak baja kontrol 4.83 g. Sementara bobot kering akar tertinggi terdapat pada perlakuan T2 3.33 g yang berbeda nyata
terhadap perlakuan T1 1.23 g, tetapi tidak berbeda nyata terhadap perlakuan T3 3.03 g, T4 3.00 g dan T0 1.33 g.
Serapan P-Tanaman mgtanaman
Pemberian terak baja berpengaruh sangat nyata terhadap serapan P-tanaman jagung. Hasil uji beda rataan pemberian terak baja terhadap
serapan P-tanaman disajikan pada Tabel 4.
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
- Serapan P-tanaman terendah terdapat pada perlakuan tanpa terak
baja kontrol dan tidak berbeda dengan T1 pada taraf 1. Serapan fosfor tertinggi sebesar 1.6527 mgtanaman terdapat pada perlakuan T4 yakni
taraf pemberian terak baja terbesar 40 ton ha.
Tabel 4: Uji beda rataan pemberian terak baja terhadap serapan P-tanaman jagung.
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji BNJ pada taraf 1 A, B, C ... dan
5 a, b, c, ....
Pembahasan
Pemberian terak baja sangat nyata meningkatkan pH tanah andisol dari perlakuan kontrol dibandingkan perlakuan T3 dan T4.
Peningkatan pH ini disebabkan oleh bahan terak baja yang mengandung Si dan Ca. Diketahui bahwa silikat mempunyai peranan dalam menaikkan
pH tanah. Ion Si berperan menekan aktivitas ion Al, dimana diketahui ion Al merupakan penyebab utama kemasaman pada tanah Andisol. Selain
itu, kandungan terak baja juga mengandung kalsium yang juga dapat menaikkan pH tanah. Teakle dan Boyle dalam Muhali 1980
menyatakan bahwa senyawa fosfat dan terak baja umumnya dianggap sebagai garam rangkap dari kalsium dan silikat. Kalsium merupakan basa
kuat yang berperan dalam menaikkan pH tanah melalui reaksi hidrolisis : Ca
2+
+ OH
-
CaOH
2
. P-tersedia Andisol tidak nyata meningkat oleh pemberian terak
baja walau telah diinkubasi selama 60 hari. Hal ini dapat disebabkan fosfor yang ada pada terak baja belum tersedia pada masa inkubasi. Terak
baja yang mengandung kadar CaO yang tinggi yakni sebesar 30.12 diduga juga menjadi penyebab P tersedia rendah karena terfiksasi oleh
kalsium, ditandai dengan peningkatan pH pada tanah. Damanik dkk, 2010 menyatakan bahwa pada pH mendekati 6, fosfat mulai difiksasi
oleh kalsium. Pemberian pupuk dasar fosfor ke tanah dalam jumlah rendah atau tidak optimal juga mengakibatkan hara fosfor ditanah masih
rendah. P-tersedia Andisol pada akhir vegetatif berbeda nyata namun diantara taraf perlakuan sesungguhnya tidak ada perbedaan. Pada
perlakuan kontrol justru ditemukan kadar fosfor tertinggi. Ini dapat
Perlakuan Rataan Serapan P-Tanaman
...mgtanaman... T0 0 ton ha
0.4371 B c T1 10 ton ha
0.8572 AB bc T2 20 ton ha
1.3766 A ab T3 30 ton ha
1.4393 A ab T4 40 ton ha
1.6527 A a
+,-..0123430+,-,.,+012,+5
-+ dijelaskan dari pertumbuhan tanaman, tanaman jagung pada perlakuan
kontrol mempunyai bobot kering tanaman dan serapan fosfor terendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberi terak baja. Jika bobot kering
tanaman dan serapan hara tinggi maka hara yang tersedia didalam tanah akan menurun dan begitu pula sebaliknya.
Bobot kering tanaman meningkat nyata dengan pemberian terak baja. Terlihat hubungan antara bobot kering tajuk yang meningkat selaras
dengan ketersediaan P dengan peningkatan taraf pemberian terak baja ke dalam tanah. Peningkatan serapan P tanaman ini ditandai oleh semakin
menurunnya nilai P-tersedia ditanah yang diberi perlakuan terak baja pada akhir vegetatif dan meningkatnya bobot kering tajuk tanaman.
Tisdale et al, 1985 yang menyatakan bahwa fungsi P bagi tanaman antara lain untuk mendorong pertumbuhan tanaman. Kekurangan unsur P
umumnya menyebabkan volume jaringan tanaman menjadi lebih kecil. KESIMPULAN
1.
Terak baja berpengaruh sangat nyata meningkatan pH Andisol, P- tersedia tanah setelah masa vegetatif, serapan P tanaman dan bobot
kering tajuk tanaman serta nyata meningkatkan bobot kering akar tanaman.
2.
Terak baja berpengaruh tidak nyata terhadap P-tersedia tanah setelah inkubasi dan retensi P pada Andisol
Saran
Terak baja sebagai limbah atau hasil sampingan dari pabrik baja dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk meningkatkan ketersedian
hara P tanah Andisol dengan demikian penggunaan pupuk P dapat dihemat. Namun penelitian ini perlu ditindak lanjuti untuk melihat
efektifitas terak baja sebagai alternatif pengganti pupuk fosfat. DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1991. Jagung. Kanisius, Yogyakarta.
Charles, C. Mitchell. 2004. Whats New about Basic Slag. Department of
Agronomy and Soils, Auburn University, Alabana. Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin., dan H. Hanum.