golongan dengan persentase yang sama. Garis diagonal APQRST merupakan egalitarian line
atau garis kesamarataan yang menunjukkan proporsi yang sama antara jumlah penduduk dengan pendapatan sebagai percerminan keadaan
distribusi pendapatan yang merata. Garis lengkung yang menghubungkan titik- titik ABCDE dan F menunjukkan kurva lorenz dan bidang yang dibatasi oleh
kurva lorenz dengan garis kesamarataan disebut gini ratio atau koefisien gini. Distribusi pendapatan dikatakan merata sempurna apabila jumlah
persentase penduduk menerima sejumlah pendapatan dengan porsi yang sama, misalnya PQRS, di titik itu P 20 persen, penduduk menerima 20 persen
pendapatan dan seterusnya. Bila pemerataan ini tercapai maka kurva lorenz mendekati garis kesamarataan dan koefisien gini bernilai nol. Jika kurva lorenz
menjauh dari garis kesamarataan tersebut misalnya menjadi garis lengkung AGF, maka dikatakan distribusi pemerataan tidak merata sempurna, artinya pendapatan
hanya diterima oleh satu orang saja dan koefisien gini bernilai satu. Jadi koefisien gini bernilai antara nol dan satu, berdasarkan uraian itu koefisien gini mendekati
nol, dikatakan distribusi pendapatan baik dan sebaliknya bila koefisien gini mendekati satu dikatakan pendapatan tidak baik.
2.8. Kemiskinan Rumahtangga
Di Indonesia kemiskinan merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum dapat terselesaikan. Berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui
program yang dilakukan sejak dahulu dan sekarang melalui program BLT sebagai bagian dari pengurangan subsisi BBM untuk masyarakat miskin, akan
tetapi jumlah masyarakat miskin tidak kunjung berkurang secara signifikan, bahkan jumlah penduduk miskin secara nyata mengalami peningkatan. Secara
absolut jumlah penduduk Indonesia yang masih hidup dibawah garis kemiskinan pada tahun 1996 berjumlah 22.6 juta. Dalam kurun waktu 14 tahun, dari tahun
1996 sampai 2010 penduduk Indonesia yang berada dibawah garis miskin berjumlah 31 juta jiwa atau 13.3 persen. Selain itu masih banyak penduduk yang
pendapatannya hanya sedikit sekali di atas batas garis kemiskinan. Kelompok nyaris miskin sangat rawan terhadap perubahan-perubahan keadaan ekonomi
seperti kenaikan harga komoditi utama atau turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu masalah kemiskinan masih perlu diperhatikan secara
serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia Seutuhnya Arsyad, 1999.
Kemiskinan itu dapat pula bersifat multidimensional, artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak
aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta
keterampilan, aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber- sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut
termanisfestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang kurang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang
rendah. Selain itu, dimensi-dimensi kemiskinan saling berkaitan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kemajuan dan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau
kemunduran pada aspek lainnya. Dan aspek lainnya dari kemiskinan ini adalah bahwa yang miskin itu manusianya, baik secara individual maupun kolektif.
Kemiskinan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor internal, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan sehingga rendahnya tingkat upah dan gaji,
kelemahan fisik dan sikap atau perilaku. Kemiskinan juga ditimbulkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti buruknya prasarana dan sarana transportasi
sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi, rendahnya aksesibilitas terhadap modal dan kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi
yang terbatas, atau sistem kelembagaan yang kurang sesuai dengan kondisi masyarakat. Faktor tersebut secara bersama-sama akan menyebabkan masyarakat
menjadi merasa tidak berdaya. Selain faktor internal dan eksternal kemiskinan dapat juga ditimbulkan
oleh adanya kegagalan kelembagaan. Masalah kemiskinan bukan saja karena kekurangan ketersediaan bahan makanan tetapi merupakan masalah kegagalan
kelembagaan, yaitu karena tidak berjalannya proses dimana seseorang menjual barang yang dapat diproduksinya untuk dapat memperoleh sejumlah barang yang
diinginkan. Karena proses tersebut tidak berjalan, maka penduduk tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk dapat membeli semua kebutuhan
hidup mereka. Fenomena seperti ini sering ditemukan, dimana petani tetap berada dalam kondisi miskin kendati komoditi pertanian berlimpah di sekitar mereka
pada saat panen, karena mereka tidak dapat menjual hasil panen dengan harga yang baik karena adanya tengkulak, masalah ijon, dsb..
Kemiskinan di Indonesia secara umum dapat juga dikatakan merupakan bentuk fenomena pertanian. Hal ini disebabkan sumber kemiskinan sebagian besar
berada di wilayah perdesaan dan sangat berhubungan dengan pola kepemilikan dan produktivitas lahan, struktur kesempatan kerja dan pasar tenaga kerja
Susilowati S., 2007. Thorbecke et al. 1993, menyatakan terdapat korelasi antara standar hidup dengan luas dan kualitas lahan yang dimiliki serta tingkat
keahlian dan pendidikan anggota rumahtangga, oleh karena itu rumahtangga yang tidak memiliki akses terhadap lahan dan keahlian serta pendidikan yang terbatas,
akan cenderung berada dalam kemiskinan sampai mereka memperoleh bantuan dan transfer dari pihak lain. Lebih Lanjut Ikhsan 2001, mengemukakan bahwa
beberapa determinan kemiskinan di daerah pedesaan adalah : Pertama, human capital endowment
yang belum memadai sehingga menyulitkan proses transformasi tenaga kerja antar sektor. Kedua, kuantitas dan kualitas infrasruktur.
Ketiga , kontribusi pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan keluarga petani
hanya berkisar 17 – 30 persen, karena luas lahan yang kecil dan curahan jam kerja yang hanya 10 hari dalam satu bulan. Keempat, faktor yang berkaitan dengan
kebijakan pemerintah. Secara sosiologis, kemiskinan juga dapat muncul sebagai akibat proses
eksploitasi terhadap penduduk miskin yang pada gilirannya menyebabkan ketergantungan dan kemiskinan. Proses eksploitasi tersebut misalnya pembayaran
yang tidak adil atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar menawar
Arif, 1990. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka kesenjangan kesejahteraan antara yang kaya dan yang miskin akan semakin melebar. Tidak
dapat dipungkiri, proses tersebut memberikan andil bagi terciptanya keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia,
sehingga masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya merupakan fenomena kemelaratan materi, tetapi telah merupakan suatu fenomena sosio cultural yang
lebih komplek.
Dalam konteks pembangunan wilayah, kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya resources endowment di suatu wilayah, yaitu lahan
yang subur, tenaga kerja yang terampil dan ketersediaan modal serta kemampuan mengelola sumberdaya tersebut. Dengan demikian perbedaan intensitas
pembangunan antar wilayah akan memunculkan permasalahan kesenjangan pendapatan income disparity atau permasalahan kemiskinan antar wilayah.
Menurut Sapuan dan Silitonga 1994, sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: 1 para petani yang
memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, 2 buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, 3 nelayan yang belum terjamah bantuan
kredit lunak pemerintah, dan 4 perambah hutan dan pengangguran. Untuk daerah perkotaan yaitu: 1 buruh kecil di pabrik-pabrik, 2 pegawai negeri atau
swasta golongan rendah, 3 pegawai harian lepas, 4 pembantu rumahtangga, 5 pedagang asongan, 6 pemulung, dan 7 pengangguran. Lebih lanjut
Prayitno et al. 1987 mengemukakan bahwa penduduk miskin dihadapkan pada kondisi yang saling kait mengkait tak berujung pangkal, yakni pendapatan rendah,
luas garapan sempit, teknologi tradisional, dan peralatan terbatas. Kemiskinan dalam satu rumahtangga petani di identikan dengan situasi
serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh simiskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada. Kemiskinan antara lain
ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan seakan-akan tidak dapat diubah, yang tercermin didalamnya lemahnya kemauan untuk maju,
rendahnya kualitas sumberdaya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan
dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Dilihat dari sisi penawaran, kemiskinan seseorang disebabkan karena penguasaan dari aset-aset produktif yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan skill yang
kurang baik dalam pengertian kualitas dan kuantitas. Petani yang menguasai aset-aset produktif dan aset produktif tersebut digunakan dalam proses produksi,
maka petani akan menerima penghasilan yang berupa sewa, upahgaji, bunga dan keuntungan, sehingga apabila penguasaan terhadap aset-aset tersebut rendah dan
tidak ikut dalam proses produksi maka pendapatan yang diterimanya juga rendah dan akhirnya kemiskinan akan terus berlangsung sampai adanya tindakan yang
dapat memotong mata rantai tersebut. Suratiyah 1994 mengemukakan kemiskinan yang dialami oleh petani
akan menyebabkan rumahtangga tidak lagi bergantung pada hasil usahataninya. Petani akan berusaha memperoleh double income dari berbagai sumber diluar
usahataninya. Semua tenaga kerja keluarga yang ada jika masih berkesempatan dan berkemampuan akan dikerahkan untuk mencari nafkah demi kelangsungan
ekonomi rumahtangga. Ukuran kemiskinan dapat dibedakan menjadi beberapa kelas.
Arsyad 1999 menggolongkan kemiskinan menjadi dua kelas, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Seseorang disebut miskin secara absolut apabila
tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau pendapatannya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum basic need seperti pangan, sandang,
papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang memiliki penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah
dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan
minimum karena kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan
saja, tetapi juga oleh iklim, tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor ekonomi lainnya. Walaupun demikian, untuk dapat hidup layak seseorang
membutuhkan barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosialnya.
Badan Pusat Statistik 1992 menggunakan ukuran konsumsi energi minimum sebanyak 2100 kilo kalori per kapita per hari dan pengeluaran minimal
untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sebagai batas miskin. Besaran tersebut disesuaikan setiap tahun menurut perubahan harga-harga barang
atau tingkat inflasi. Seseorang yang memiliki pengeluaran berada di bawah garis kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai penduduk atau rumahtangga miskin.
Tahun 2003, Badan Pusat Statistik BPS Pusat menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 143 455 per orang untuk rumahtangga di kota dan Rp. 108 725 per
orang untuk rumahtangga di desa sedangkan Badan Pusat Statistik BPS Tahun 2005 Sulawesi Tengah menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 217 529 per
orang untuk rumahtangga di kota dan Rp. 189 653 untuk rumahtangga di desa. Sayogyo menggunakan ukuran ekivalen beras 240 kilogram dan 360 kilogram
per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan untuk masing-masing daerah perdesaan dan daerah kota Arsyad, 1999. Standar ukuran kemiskinan seperti
disebutkan di atas terkait pengukuran kemiskinan dalam pengertian absolut. Menurut Todaro 2000, pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan
dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak. Bila pendapatan
tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin, jadi tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin
dan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis kemiskinan. Konsep ini sering
disebut dengan kemiskinan absolut yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti :
makanan, pakaian, dan perumahan guna menjamin kelangsungan hidup. Peran sektor pertanian dalam mengentaskan kemiskinan dapat bersifat tidak langsung
dan langsung. Secara tidak langsung melalui kebijakan ekonomi makro dengan berusaha mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai dan menekan inflasi
Samuelson dan Nordhaus, 1992. Hal ini cukup beralasan karena sektor pertanian sebagai bagian dari perekonomian nasional mempunyai peran yang
besar dalam menciptakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan Simatupang et al. 2001; Evenson, 1993; Otsuka, 1993. Secara langsung pembangunan
pertanian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan produktivitas total faktor.
Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan petani
secara langsung selama ini adalah melalui implementasi program-program yang langsung ditujukan kepada petani miskin. Program-program tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan permodalan petani miskin dalam mengelolah usahatani sehingga produktivitas mereka dapat meningkat. Dalam kurun waktu
10 tahun terakhir, telah diimplementasikan berbagai program pengentasan kemiskinan dalam bentuk bantuan kepada petani seperti Jaring Pengaman Sosial
JPS, dan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Terpadu, tetapi kurang berhasil mengurangi kemiskinan Yusdja et
. al. 1999; Basuno dan Rawung, 2001.
Namun apakah penambahan pendapatan yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas pertanian melalui berbagai implementasi
kebijakan pemerintah akan mampu mengurangi kemiskinan, hal ini tergantung
dari pola konsumsi dan investasi masyarakat. Jika penambahan pendapatan terjadi pada masyarakat golongan miskin dan dibelanjakan untuk barang-barang
domestik, pertumbuhan sektor pertanian akan menjadikan sektor non pertanian di perdesaan mengalami pertumbuhan. Melalui pengganda tenaga kerja hal ini
akan berdampak pada pengurangan kemiskinan. Namun apabila hasil pembangunan pertanian tersebut menghasilkan peningkatan pendapatan
bagi masyarakat golongan kaya, faktor penting yang akan mempengaruhi kemiskinan adalah kemana penambahan pendapatan tersebut dibelanjakan.
Jika berupa investasi domestik yang padat tenaga kerja, maka pertumbuhan akan terjadi dan masyarakat miskin akan memperoleh manfaat dari lapangan
kerja yang diciptakan, tetapi jika dibelanjakan untuk barang-barang impor atau diinvestasikan ke luar negeri, maka stimulus terhadap pertumbuhan akan kecil dan
tidak akan berdampak positip terhadap pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu pola distribusi peningkatan pendapatan dari stimulus awal merupakan faktor
penting bagi pertumbuhan selanjutnya dan pengurangan kemiskinan. Beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa kontribusi pembangunan
sektor pertanian terhadap pengurangan kemiskinan tergantung dari struktur pendapatan masyarakat, apakah manfaat pembangunan lebih banyak
mengarah ke masyarakat golongan kaya, atau sebaliknya ke masyarakat golongan miskin. Selain itu juga tergantung dari distribusi alokasi peningkatan
pendapatan. Pembangunan pertanian akan memiliki
kontribusi baik
bagi pertumbuhan maupun bagi pengurangan kemiskinan, jika buah dari stimulus produktivitas awal dibelanjakan lagi melalui investasi dan konsumsi
domestik pada produk-produk yang bersifat padat tenaga kerja dan rendah ketergantungannya pada impor. Selain kedua faktor tersebut,
kontribusi pertumbuhan sektor pertanian juga sangat dipengaruhi oleh ketidakmerataan penguasaan lahan Adam dan He, 1995. Dalam jangka
pendek ini besar kemungkinan pemerintah tidak lagi mampu membantu petani miskin berupa program-program secara langsung. Karena itu, pemecahan
masalah kemiskinan yang dihadapi petani terpulang kepada mereka sendiri, masyarakat, serta pemerintah daerah.
III. KERANGKA PEMIKIRAN