VII. SIMULASI
KEBIJAKAN INVESTASI SEKTOR
PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN
7.1. Dampak Investasi di Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan Hasil
Pertanian terhadap Sektor Produksi, Institusi Rumahtangga, dan Faktor Produksi
Permasalahan penting yang banyak dijumpai pada daerah
PropinsiKabupaten adalah bagaimana menggerakkan sektor ekonomi yang dominan disetiap daerah. Provinsi Sulawesi Tengah memiliki sektor pertanian
yang sangat besar terutama pada sub sektor tanaman pangan dan sub sektor perkebunan, seperti terlihat pada Tabel 21 dan Tabel 22 .
Tabel 21. Luas Panen dan Produksi Tanaman Padi dan Palawija Provinsi Sulawesi Tengah, Tahun 2005 – 2008
NO. KOMODITI LUAS PANEN Ha
PRODUKSI Ton 2005
2006 2007
2008 2005
2006 2007
2008
1 Padi Sawah
168 .
869 173 .
074 195 .
715 198 .
342 701 .
239 725 .
945 837 .
426 939 .
994
2 Padi Ladang
6 .
620 6 .
004 8 .
627 8 .
564 15 .
666 13 .
831 20 .
082 23 .
204
3 Jagung
26 .
769 25 .
587 40 .
516 37 .
563 67 .
617 66 .
433 119 .
323 134 .
566
4 Kedelai
2 .
099 2 .
441 2 .
299 2 .
438 2 .
240 2 .
651 2 .
589 3 .
018
5 Kacang Tanah
6 .
347 7 .
271 7 .
312 7 .
229 9 .
201 10 .
422 10 .
808 12 .
548
6 Kacang Hijau
1 .
821 1 .
686 1 .
418 886 1 .
380 1 .
281 1 .
114 718
7 Ubi Kayu
3 .
597 3 .
762 4 .
609 3 .
770 48 .
255 52 .
791 70 .
858 63 .
331
8 Ubi Jalar
2 .
510 2 .
771 2 .
996 2 .
342 23 .
768 26 .
886 29 .
080 24 .
790
Sumber: Dinas Pertanian Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, 2008 diolah Tabel 21 menunjukkan bahwa potensi lahan pertanian yang telah
dimanfaatkan hingga Tahun 2008 telah mencapai 261 .
134 ha luas panen dengan produksi sebesar 1
. 202
. 169 ton. Namun demikian belum seluruh potensi lahan
pertanian dimanfaatkan secara optimal. Hal itu berarti peningkatan produksi
pangan masih mempunyai peluang besar untuk ditingkatkan baik melalui usaha ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi.
Perkembangan tanaman perkebunan di Sulawesi Tengah menunjukkan peningkatan yang cukup nyata dengan beberapa komoditas andalan seperti : kakao,
kelapa sawit, cengkeh, dan kelapa. Disamping itu terdapat juga beberapa komoditi potensi lainnya seperti : kopi, jambu mete dan panili, seperti terlihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Luas Panen dan Produksi Tanaman Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah, Tahun 2005 – 2008
NO. KOMODITI LUAS Ha
PRODUKSI Ton 2005
2006 2007
2008 2005
2006 2007
2008
1 Kelapa
173 .
139 171 .
704 173 .
535 174 .
210 185 .
085 187 .
296 187 .
545 188 .
300
2 Kopi
11 .
756 10 .
670 10 .
572 31 .
820 4 .
920 2 .
987 3 .
008 5 .
083
3 Cengkeh
44 .
266 43 .
628 44 .
005 ...
9 .
549 4 .
627 9 .
773 ...
4 Kapuk
1 .
162 974 1 .
169 ...
309 384 389 ...
5 Lada
1 .
314 1 .
118 1 .
595 1 .
130 197 239 228 142
6 Pala
617 598 649 675 57 43 62 71
7 Kayu Manis
9 9 9 9 1 1 1 1
8 Jambu
Mente
21 .
289 20 .
199 24 .
378 ...
3 .
879 3 .
732 4 .
355 ...
9 Kakao
168 .
607 199 .
362 206 .
482 209 .
804 145 .
354 51 .
192 179 .
682 149 .
632
10 Karet
4 .
085 4 .
085 4 .
085 4 .
086 5 .
877 5 .
886 6 .
832 5 .
900
11 Vanili
1 .
501 1 .
980 3 .
610 205 .
642 81 225 122 215 .
855
12 Kelapa sawit
48 .
334 42 .
584 42 .
270 48
. 248 112
. 016 104
. 651 137
. 480 115
. 860
13 Sagu
7 .
469 6 .
971 6
. 690
... 1
. 607 1
. 497 1
. 288
...
14 Kemiri
4 .
569 4 .
445 5
. 272
... 653 587 790
...
Sumber: Dinas Perkebunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah,2008 diolah Komoditi tanaman perkebunan yang merupakan komoditi perdagangan
mempunyai peranan strategis, karena disamping merupakan sumber penghasilan
devisa negara, juga yang lebih penting lagi adalah mencakup alur kegiatan produksinya termasuk peluang terbukanya lapangan kerja yang banyak menyerap
tenaga kerja. Komoditi perkebunan yang diusahakan di Sulawesi Tengah sampai Tahun 2007 terdiri dari 14 komoditi dengan luas areal mencapai 524
. 431 Ha
dengan produksi 531 .
555 ton, dari total luas lahan tersebut 86.81 persen dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat dan 13.19 persen oleh perkebunan besar swasta.
Tingginya potensi sektor pertanian di Sulawesi Tengah tidak diikuti oleh keberpihakan pemerintah daerah pada sektor ini, yang ditandai pengeluaran
pemerintah yang terlalu kecil terhadap sektor pertanian yakni sebesar 3 – 6 persen pertahun. Oleh karena itu perlu dilakukan simulasi peningkatan pengeluaran
pemerintah dan swasta atau lazimnya disebut dengan “investasi” sebesar 10 persen. Kebijakan ini penting dilakukan dengan melibatkan pihak swasta dengan
harapan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Simulasi dilakukan terhadap investasi pemerintah dan swasta, pada Tahun
2008 di sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian. Selain itu dilakukan simulasi pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi, perdagangan,
dan jasa restoran, dan hotel. Simulasi ini bertujuan untuk membandingkan besaran dampak dari sektor pertanian itu sendiri maupun dari sektor lainnya yang terdiri
dari output, distribusi pendapatan rumahtangga dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah dari sisi pendapatan, yaitu rataan
nilai tambah faktor produksi tenaga kerja dan modal, lazimnya disebut dengan PDRB at factor cost. Ringkasan hasil simulasi pengaruh investasi pemerintah dan
swasta terhadap transaksi neraca-neraca Sistem Neraca Sosial Ekonomi dapat diuraikan pada Tabel-Tabel berikut.
Tabel 23. Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Sektor Produksi di Sulawesi Tengah, Tahun 2008
Sektor Base Data
SIM 1 SIM 2
SIM 3 SIM 4
SIM 5 SIM6
SIM 7
13 Tanaman Bahan Makanan
12963133.7688 21,255.37
0.16 8,546.79
0.07 17,068.29
0.13 7,390.45
0.06 8,938.51
0.07 7,713.57
0.06 10,968.59
0.08 14
Tanaman Perkebunan 11809982.1408
4,050.69 0.03
16,973.79 0.14
13,886.80 0.12
3,861.74 0.03
4,713.03 0.04
3,999.43 0.03
6,520.79 0.06
15 Peternakan
4991417.5086 1,078.83
0.02 1,210.73
0.02 1,673.90
0.03 1,035.28
0.02 1,254.00
0.03 1,076.78
0.02 1,379.35
0.03 16
Kehutanan 2495445.2291
197.51 0.01
224.77 0.01
244.94 0.01
194.72 0.01
1,452.43 0.06
204.63 0.01
241.53 0.01
17 Perikanan
5256492.9617 1,140.97
0.02 1,291.89
0.02 1,593.15
0.03 1,122.14
0.02 1,357.82
0.03 1,166.26
0.02 3,603.23
0.07 18
Pertambangan minyak dan gas bumi
2031429.3311 161.05
0.01 196.54
0.01 257.67
0.01 2,201.75
0.11 245.38
0.01 205.41
0.01 265.97
0.01 19
Pertambangan non minyak dan penggalian
529151.7207 7.05
0.00 8.13
0.00 8.88
0.00 6.91
0.00 8.39
0.00 7.22
0.00 8.37
0.00 20
Industri makanan dan minuman
12368788.9037 6,087.36
0.05 6,895.44
0.06 20,720.10
0.17 5,984.10
0.05 7,259.97
0.06 6,205.03
0.05 10,021.57
0.08 21
Industri kulit 4214268.1750
753.34 0.02
852.49 0.02
949.02 0.02
738.44 0.02
912.84 0.02
816.96 0.02
913.90 0.02
22 Industri barang kayu, dan hasil
hutan lainnya 7000372.7924
1,353.60 0.02
1,541.04 0.02
1,686.51 0.02
1,333.23 0.02
11,223.87 0.16
1,414.38 0.02
1,627.45 0.02
23 Industri kertas dan barang
cetakan. 1716424.2875
122.29 0.01
138.73 0.01
159.11 0.01
122.78 0.01
151.77 0.01
147.70 0.01
153.44 0.01
24 Industri pupuk kimia dan
barang dari karet 4375388.5178
788.25 0.02
1,059.90 0.02
1,075.72 0.02
769.40 0.02
960.22 0.02
797.09 0.02
951.84 0.02
25 Industri semen, barang galian
bukan logam 2913169.7523
319.14 0.01
363.42 0.01
396.84 0.01
314.58 0.01
384.88 0.01
326.00 0.01
382.95 0.01
26 Industri logam dasar besi dan
baja 2559756.2231
163.19 0.01
195.44 0.01
217.47 0.01
164.73 0.01
210.13 0.01
171.95 0.01
211.56 0.01
27 Industri alat angkutan dan
industri lainnya 2731639.8882
311.64 0.01
356.44 0.01
451.36 0.02
319.74 0.01
397.11 0.01
348.90 0.01
445.03 0.02
28 Listrik dan Air bersih
4216486.5259 746.04
0.02 847.08
0.02 926.76
0.02 734.17
0.02 894.01
0.02 761.48
0.02 895.57
0.02 29
BangunanKontruksi 11124651.5937
2,545.28 0.02
2,956.01 0.03
3,200.23 0.03
2,510.96 0.02
3,081.02 0.03
2,599.66 0.02
3,045.16 0.03
30 Perdagangan
8907450.7076 2,479.41
0.03 2,797.72
0.03 6,510.32
0.07 2,363.66
0.03 4,930.22
0.06 11,358.49
0.13 6,166.77
0.07 31
Restoran dan hotel 4042956.2112
704.20 0.02
799.58 0.02
880.15 0.02
700.29 0.02
851.94 0.02
726.98 0.02
4,897.27 0.12
32 Angkutan dan Komunikasi
4968337.8675 956.22
0.02 1,125.82
0.02 1,467.30
0.03 947.73
0.02 1,330.53
0.03 1,074.97
0.02 1,382.45
0.03 33
Bank, Usaha persewaan, dan jasa perusahaan
2601270.285 277.25
0.01 336.32
0.01 394.13
0.02 270.89
0.01 362.79
0.01 324.91
0.01 372.55
0.01 34
Pemerintahan umum, pertahanan, jasa dan kegiatan
lainnya 5325391.831
1,178.90 0.02
1,405.50 0.03
1,561.27 0.03
1,168.38 0.02
1,464.98 0.03
1,265.83 0.02
1,466.12 0.03
Total Sektor Produksi 119143406.2
29,078.41 0.02
32,601.56 0.03
45,681.14 0.04
28,333.69 0.02
39,678.78 0.03
29,725.55 0.02
41,341.17 0.03
Sumber : Lampiran 10 diolah 164
Besarnya pengaruh dari peningkatan investasi di sub sektor tanaman pangan terhadap sistem neraca sosial ekonomi Sulawesi Tengah dapat diuraikan Tabel 23.
Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa peningkatan investasi pemerintah dan swasta di sub sektor tanaman pangan mengakibatkan kenaikan pada total pendapatan sektor
produksi sebesar Rp. 29 ,
078.41 juta atau rata-rata pertumbuhannya sebesar 0.024 persen SIM 1, sedangkan sub sektor perkebunan, kenaikan total sektor
produksi sebesar Rp. 32 ,
601.56 juta
atau rata-rata pertumbuhan sebesar 0.03 persen SIM 2. Secara keseluruhan simulasi kebijakan investasi sebesar 10 persen
memberi kenaikan total sektor produksi paling tinggi pada sektor industri makanan dan minuman SIM 3.
Peningkatan investasi pada sektor industri makanan dan minuman akan meningkatkan total pendapatan sektor produksi sebesar Rp. 45
, 681.14 juta atau
rata-rata pertumbuhannya sebesar 0.04 persen. Sektor jasa, restoran dan hotel serta sektor pertambangan minyak dan gas bumi berada pada urutan kedua dan ketiga
dengan masing-masing total pendapatan sektor produksi sebesar Rp. 41 ,
341.17 juta 0.03 persen dan Rp. 39
, 678.78 juta 0.02 persen. Tingginya total pendapatan
sektor produksi pada industri makanan dan minuman disebabkan karena karakteristik dari sektor tersebut yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan
sektor lainnya, yakni 1 memiliki keterkaitan yang kuat baik dengan industri hulunya maupun ke industri hilir, 2 menggunakan sumberdaya alam yang ada dan
dapat diperbaharui, 3 menampung tenaga kerja dalam jumlah besar, 4 produk agroindustri pada umumnya bersifat cukup elastis sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat yang berdampak semakin luasnya pasar khususnya pasar domestik 5 memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar
internasional maupun di pasar domestik. Menurut Austin 1992, ada empat alasan 165
industri pengolahan hasil pertanian seperti : industri makanan dan minuman, memberikan sumbangan yang sangat nyata bagi pembangunan daerah. Pertama,
industri pengolahan hasil pertanian adalah pintu untuk sektor pertanian. Industri ini melakukan transformasi bahan mentah dari pertanian termasuk transformasi produk
subsisten menjadi produk akhir untuk konsumen. Ini berarti bahwa suatu daerahnegara tidak dapat sepenuhnya menggunakan sumber daya agronomis tanpa
pengembangan industri pengolahan hasil pertanian. Disatu sisi, permintaan terhadap jasa pengolahan akan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi pertanian.
Di sisi lain, industri pengolahan tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga menimbulkan permintaan ke belakang, yaitu peningkatan permintaan jumlah dan ragam produksi
pertanian. Akibat dari permintaan ke belakang ini adalah: a petani terdorong untuk mengadopsi teknologi baru agar produktivitas meningkat, b akibat selanjutnya
produksi pertanian dan pendapatan petani meningkat, dan c memperluas pengembangan prasarana jalan, listrik, dan lain-lain.
Kedua, industri pengolahan hasil pertanian sebagai dasar sektor manufaktur. Transformasi penting lainnya dalam industri pengolahan hasil pertanian terjadi
karena permintaan terhadap makanan olahan semakin beragam seiring dengan pendapatan masyarakat dan urbanisasi yang terus meningkat. Indikator penting
lainnya tentang pentingnya industri pengolahan hasil pertanian dalam sektor manufaktur adalah kemampuan menciptakan kesempatan kerja. Ketiga, industri
pengolahan hasil pertanian menghasilkan komoditas ekspor penting. Nilai tambah produk industri pengolahan hasil pertanian cenderung lebih tinggi dari nilai tambah
produk manufaktur lainnya yang diekspor karena produk manufaktur lainnya sering tergantung pada komponen impor. Keempat, sumber penting bagi nutrisi.
Tabel 24. Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Penerimaan Rumahtangga di Sulawesi Tengah, Tahun 2008
Sektor Base Data
SIM 1 SIM 2
SIM 3 SIM 4
SIM 5 SIM6
SIM 7
4
Buruh Tani
2 ,
303 ,
496.31 197.65
0.01 223.89
0.01 245.71
0.01 195.74
0.01 237.04
0.01 201.04
0.01 235.73
0.01
5
Pertanian Pendapatan Golongan Rendah di Desa
11 ,
967 ,
942.03 7
, 065.30
0.06 7
, 853.40
0.07 8
, 902.75
0.07 6
, 564.30
0.05 8
, 161.39
0.07 7
, 241.14
0.06 8
, 394.78
0.07
6
Pertanian Pendapatan Golongan Tinggi di Desa
11 ,
498 ,
743.15 4
, 942.37
0.04 5
, 648.54
0.05 6
, 307.63
0.05 5
, 010.85
0.04 6
, 113.57
0.05 5
, 016.18
0.04 6
, 033.51
0.05
7
Pendapatan Golongan Rendah di Desa
9 ,
237 ,
091.15 3
, 194.79
0.03 3
, 653.55
0.04 4
, 072.80
0.04 3
, 168.18
0.03 3
, 904.88
0.04 3
, 254.04
0.04 3
, 885.99
0.04
8
Pendapatan Golongan Atas di Desa
4 ,
722 ,
204.77 630.48
0.01 720.92
0.02 802.77
0.02 644.09
0.01 782.35
0.02 639.13
0.01 769.35
0.02
9
Pendapatan Golongan Rendah di Kota
18 ,
278 ,
925.08 10
, 305.69
0.06 11
, 725.26
0.06 13
, 119.08
0.07 10
, 204.98
0.06 12
, 541.43
0.07 10
, 492.39
0.06 12
, 505.22
0.07
10
Pendapatan Golongan Atas di Kota
22 ,
737 ,
341.10 16
, 013.91
0.07 18
, 187.85
0.08 20
, 383.45
0.09 15
, 747.47
0.07 19
, 395.93
0.09 16
, 318.26
0.07 19
, 403.90
0.09
Institusi Rumahtangga
80 ,
745 ,
743.61 32
, 914.94
0.04
37 ,
306.85 0.05
41 ,
805.65 0.05
32 ,
292.43 0.04
39 ,
727.92 0.05
33 ,
542.74 0.04
39 ,
791.83 0.05
Sumber : Lampiran 10 diolah
167
Selain itu dampak investasi pada sektor produksi, dapat pula dilihat pada pendapatan rumahtangga, seperti terlihat pada Tabel 24. Peningkatan investasi
pemerintah dan swasta pada ketujuh simulasi menunjukkan kenaikan pada total nilai pendapatan rumahtangga paling tinggi pada sektor industri makanan dan minuman
41 805.65 juta atau mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 0.05 persen.
Kenaikan pendapatan di distribusikan ke masing-masing golongan rumahtangga, dimana kenaikan terbesar terjadi pada rumahtangga golongan atas di kota dengan
nilai sebesar Rp 20 ,
383.45 juta atau rata-rata sebesar 0.09 persen, kenaikan terkecil
terjadi pada rumahtangga buruh tani dengan nilai sebesar Rp 245.71 juta atau
rata-rata pertumbuhannya 0.01 persen. Menurut Daryanto dan Hafidzrianda 2010, kondisi-kondisi obyektif di atas
merupakan suatu petunjuk bahwa pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah daerah ternyata tidak dapat mentransmisi surplus usaha tani kepada
rumahtangga pedesaan dan buruh tani yang berpendapatan rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan pertanian yang selama ini dijalankan di Provinsi
Sulawesi Tengah tidak mampu secara optimal menurunkan tingkat ketimpangan yang terjadi, karena yang lebih banyak menikmati hasil pembangunan tersebut
adalah masyarakat yang berpendapatan tinggi di perkotaan, bukannya petani yang berpendapatan rendah dan buruh tani di perdesaan. Meskipun demikian, situasi ini
jangan dijadikan sebagai suatu alasan bagi pemerintah daerah untuk mengabaikan sektor pertanian di masa mendatang. Kegagalan pembangunan sektor pertanian
lebih bermuara kepada kurangnya kebijakan-kebijakan yang efektif pada pembangunan sektor pertanian, sehingga tidak mampu mengarahkan hasil
pembangunan tersebut kepada rumahtangga pendapatan rendah di perdesaan dan buruh tani.
Salah satu alternatif solusi untuk perbaikan peningkatan kesejahteraan rumahtangga buruh tani dapat dilakukan melalui upaya memberi penguatan terhadap
penyediaan modal. Penguatan modal merupakan upaya memberdayakan posisi mereka sebagai unit lembaga ekonomi. Perbaikan kelembagaan merupakan solusi
lainnya untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga buruh tani. Perbaikan kelembagaan secara sederhana yang mengintegrasikan usaha sektor pertanian dan
industri pengolahan hasil pertanian dari hulu hingga hilir dalam satu wadah, dimana wadah tersebut dimiliki oleh petani. Jadi petani mengendalikan aktivitas budidaya,
pengolahan, hingga aktivitas pemasaran. Semua aktivitas ini tidak mungkin dilakukan oleh petani secara personal,
mereka harus menggabungkan diri dalam suatu wadah kerjasama antar petani, melalui wadah ini kepentingan ekonomi mereka akan terpenuhi. Wadah yang paling
baik, sebagaimana dicontohkan petani-petani di negara maju adalah koperasi, kelompok tani, dan lainnya. Melalui kelompok tani dan koperasi, diharapkan
besaran nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor pertanian dan industrinya akan mengalir kembali kepada petani.
Perubahan pendapatan dapat juga dilihat pada faktor produksi, seperti terlihat pada Tabel 25. Tabel 25 menunjukkan bahwa investasi sebesar 10 persen pada
semua simulasi SIM 1 sampai SIM 7, secara umum meningkatkan total pendapatan pada faktor produksi. Total pendapatan pada faktor produksi tertinggi pada simulasi
3 sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp. 210 ,
062.20 juta atau rata-rata pertumbuhan sebesar 0.23 persen. Simulasi sektor tersebut diikuti oleh sektor
pertambangan minyak dan gas bumi SIM 5 dan sektor jasa, restoran, dan hotel SIM 7 dengan masing-masing total pendapatan faktor produksi sebesar
Rp. 210 ,
062.20 0.23 persen dan Rp. 213
, 459.04 0.24 persen
. 169
Tabel 25. Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Faktor Produksi di Sulawesi Tengah, Tahun 2008
Sektor Base Data
SIM 1 SIM 2
SIM 3 SIM 4
SIM 5 SIM6
SIM 7
1 T.K.Penerima Upah dan Gaji
sektor pertanian
18 ,
729 ,
204.56 18
, 614.70
0.10 22
, 697.98
0.12 25
, 379.19
0.14 20
, 435.04
0.11 25
, 718.99
0.14 18
, 847.82
0.10 24
, 387.64
0.13
2 T.K.Bukan Penerima Upah dan
Gaji non sektor pertanian
9 ,
742 ,
324.98 6
, 946.18
0.07 7
, 364.78
0.08 9
, 006.12
0.09 5
, 629.72
0.06 7
, 375.72
0.08 7
, 204.44
0.07 8
, 200.11
0.08
3 Modal
61 ,
967 ,
497.57 253
, 809.37
0.41 270
, 564.09
0.44 327
, 151.91
0.53 250
, 239.00
0.40 299
, 786.33
0.48 256
, 487.84
0.41 305
, 930.02
0.49
Total Faktor Produksi
90 ,
439 ,
027.11 174
, 930.88
0.19 190
, 949.52
0.21 227
, 873.30
0.25 172
, 050.32
0.19 210
, 062.20
0.23 177
, 408.30
0.20 213
, 459.04
0.24
Sumber : Lampiran 10 diolah 170
Secara umum kebijakan investasi sebesar 10 persen pada ketujuh simulasi menghasilkan peningkatan pendapatan faktor produksi modal yang paling besar.
Hasil simulasi kebijakan investasi menunjukkan bahwa sektor industri hasil hutan SIM 4 memperoleh dampak lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor
lainnya. Diantara ketiga faktor yang digunakan dalam proses produksi sektor yang berada diluar sektor pertanian seperti : pertambangan minyak dan gas, sektor
perdagangan, sektor jasa, hotel dan restoran, faktor produksi modal memperoleh dampak yang lebih besar. Dampaknya dua kali lebih besar dari faktor produksi
tenaga kerja, ditunjukkan oleh pengganda masing-masing sebesar 0,48 persen, 0.41 persen, dan 0,49 persen.
Nilai di atas menunjukkan bahwa proses produksi pada ketiga sektor tersebut bersifat padat modal. Hal senada juga dikemukakan dari
penelitian Suratman 2004 di Kalimantan Barat yang menunjukkan bahwa kontribusi faktor modal lebih besar dari pada faktor tenaga kerja, yang berarti proses
produksinya bersifat padat modal. Proses produksi di Provinsi Sulawesi Tengah yang bersifat padat modal didukung oleh tingginya jumlah penggangguran di
Provinsi Sulawesi Tengah, seperti terlihat pada Gambar 21.
48,234 50,480
105,303 119,058
99,219
- 20,000
40,000 60,000
80,000 100,000
120,000
Pe ngan
ggu ran
r ib
u ji w
a
THN 2 00
4 THN 2
00 5
THN 2 00
6 THN 2
00 7
THN 2 00
8
Sumber : Sulawesi Tengah dalam Angka 2009 diolah Gambar 21. Perkembangan Tingkat Pengangguran di Provinsi Sulawesi Tengah,
Tahun 2004 – 2008.
Gambar 21 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun dari Tahun 2004 – 2008, terjadi peningkatan jumlah pengangguran. Pengangguran tertinggi
terjadi pada Tahun 2007 dengan jumlah 119 .
058 ribu jiwa, tingginya jumlah penganggur tersebut akibat dari krisis ekonomi yang dialami negara-negara Asean
termasuk Indonesia dan berdampak pula pada kondisi regional Sulawesi Tengah. Melihat jumlah penggangguran yang tinggi, maka hal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah daerah untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja adalah berupaya meningkatkan aliran investasi dan memfokuskan pengembangan pada industri
pengolahan yang berbasis pada sektor pertanian serta perbaikan infrastuktur
7.2. Dampak Investasi Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan Hasil Pertanian terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Pembangunan ekonomi hakekatnya adalah serangkaian usaha dan kebijakan
yang memiliki tujuan memeratakan distribusi pendapatan masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan memperluas hubungan
ekonomi regional. Peningkatan taraf hidup masyarakat suatu wilayah ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduk yang harus diikuti oleh
peningkatan tingkat pemerataannya, karena apabila dengan meningkatnya pendapatan perkapita tidak dibarengi dengan tingkat pemerataan berarti peningkatan
taraf hidup hanya dinikmati oleh sebagian penduduk saja. Distribusi pendapatan tidak cukup di atasi jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi dengan
harapan bahwa pendapatan nasional tersebut akan menetes kebawah, oleh karena diperlukan usaha semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah distribusi
pendapatan. Rumahtangga dalam penelitian ini didisagregasi ke dalam tujuh golongan
masing-masing : buruh tani, pertanian pendapatan rendah, pertanian pendapatan
tinggi, non pertanian pendapatan rendah, non pertanian pendapatan tinggi, perkotaan pendapatan rendah, dan perkotaan pendapatan tinggi. Kebijakan investasi di sektor
pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian akan berdampak terhadap perubahan pendapatan antar golongan rumahtangga yang selanjutnya akan
mempengaruhi distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga, seperti terlihat pada Gambar 22.
The il-Inde x
0.643 0.641
0.640 0.638
0.641 0.641
0.641 0.641
0.635 0.636
0.637 0.638
0.639 0.64
0.641 0.642
0.643 0.644
S IM DAS
AR S
IM 1
S IM
2 S
IM 3
S IM
4 S
IM 5
S IM
6 S
IM 7
S imulasi
Sumber : Lampiran 11 diolah Gambar 22. Dampak Investasi Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan Hasil
Pertanian terhadap Ketimpangan Pendapatan Rumahtangga di Provinsi Sulawesi Tengah
Penggunaan Theil-index dipandang cukup relevan karena dalam penelitian ini yang dipentingkan adalah arahnya sign, sehingga perubahan – perubahan angka
ketimpangan dari simulasi dasar base line menjadi penting untuk dibahas. Berdasarkan Gambar 22, angka ketimpangan pendapatan rumahtangga di Provinsi
Sulawesi Tengah yang berhasil dihitung dengan menggunakan Theil-index pada keseluruhan hasil simulasi kebijakan investasi dari skenario 1 sampai skenario 7
memiliki besaran 0.638 – 0.641. Jika dilihat pada Gambar 22, bahwa kebijakan dengan meningkatkan investasi di sektor industri makanan dan minuman sebesar 10
persen mampu menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan paling tinggi di Provinsi Sulawesi Tengah, walaupun penurunannya dari simulasi dasar sangat
kecil yaitu dari 0.643 menjadi 0.638. Nilai tersebut menggambarkan peningkatan investasi di sektor industri makanan dan minuman mampu mengurangi ketimpangan
distribusi pendapatan. Penurunan ketimpangan distribusi pendapatan secara drastis membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Hasil penelitian Rauf R.A. 2001,
menunjukkan bahwa angka indeks gini pada Tahun 2001 di Sulawesi Tengah sebesar 0.7, jika kita membandingkan nilai tersebut dengan Tahun 2008, memberi
arti bahwa selama tujuh tahun hanya dapat menurunkan angka indeks gini 0.057. Penelitian Hafidzrianda 2007 di Provinsi Papua, dari Tahun 1987 sampai Tahun
2003 hanya dapat menurunkan angka indeks gini sebesar 0.06, demikian juga untuk Provinsi Jawa Barat hanya dapat menurunkan angka indeks gini sebesar 0.09
diantara Tahun 1993 sampai Tahun 2003. Bahkan untuk negara Indonesia dan negara – negara Asean lainnya hanya dapat menurunkan ketimpangan pendapatan
berdasarkan angka indeks gini rata-rata berkisar antara 0.01 - 0.04 selama periode 1970an sampai dengan 1990an Tadjoedin et
. al. 2001.
Lebih lanjut menurut Hafidzrianda 2007, beberapa hal yang menyebabkan penurunan ketimpangan pendapatan sangat rendah, yakni : Pertama, perilaku
konsumsi masyarakat tidak dapat berubah cepat ketika terjadi perubahan pendapatan. Kedua, meningkatkan produktifitas membutuhkan waktu yang lama.
Ketiga , adanya keterbatasan – keterbatasan dalam metode pengukuran ketimpangan
pendapatan baik itu dengan menggunakan indeks gini, Theil-index, L-index, Wiliamson index, maupun ko-varians
. Gambar 22 menunjukkan bahwa simulasi peningkatan investasi sebesar 10
persen pada sektor industri makanan dan minuman mampu menurunkan nilai
ketimpangan pendapatan sebesar 0.638, penurunan pada simulasi tersebut paling tinggi dibandingkan dengan simulasi lainnya. Berdasarkan temuan tersebut, jika
pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menginginkan keberhasilan penurunan ketimpangan pendapatan kelompok rumahtangga, maka hal yang dilakukan adalah
meningkatkan investasi di sektor industri makanan dan minuman. Peranan sektor industri makanan dan minuman dalam mengurangi
ketimpangan pendapatan dapat pula dilihat pendapatan faktorial. Kebijakan investasi pada simulasi 3 sektor industri makanan dan minuman mampu
mengurangi terjadinyan ketimpangan pendapatan, seperti terlihat pada Gambar 23.
Theil-Index
0.13280 0.13271
0.13255 0.13277
0.13273 0.13273
0.13264 0.13268
0.13240 0.13245
0.13250 0.13255
0.13260 0.13265
0.13270 0.13275
0.13280 0.13285
S IM
D AS
AR S
IM 1 S
IM 2 S
IM 3 S
IM 4 S
IM 5 S
IM 6 S
IM 7
Simulasi
Sumber : Lampiran 11 diolah Gambar 23. Dampak Investasi Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan Hasil
Pertanian terhadap Ketimpangan Pendapatan Tenaga Kerja di Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan melihat Gambar 23, distribusi pendapatan tenaga kerja menunjukkan pola yang sama dengan hasil-hasil sebelumnya, dimana kebijakan ekonomi yang
paling efektif menurunkan kesenjangan pendapatan tenaga kerja adalah kebijakan peningkatan investasi sebesar 10 persen pada sektor industri makanan dan minuman
yang mampu menurunkan nilai ketimpangan pendapatan sebesar 0.13225,
penurunan pada simulasi tersebut paling tinggi dibandingkan dengan simulasi lainnya. Jika dihubungkan dengan tingkat pendidikan penduduk yang ada di
Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki keahlian dan dapat bekerja pada sektor industri makanan dan minuman hanya sebesar 4.62 persen. Merujuk pada data
tersebut maka peningkatan investasi tidak semata-mata diarahkan pada sektor industri makanan dan minuman semata namun perlu penyediaan sumberdaya
manusia yang siap bekerja pada sektor tersebut. Ketimpangan selanjutnya yang perlu dilihat adalah ketimpangan
pendapatan sektoral, seperti terlihat pada Gambar 24.
The il-inde x
0.37539
0.36392 0.38273
0.38278 0.38273
0.38277 0.38280
0.38287
0.35000 0.35500
0.36000 0.36500
0.37000 0.37500
0.38000 0.38500
SI M
D A
SA R
SI M 1
SI M 2
SI M 3
SI M 4
SI M 5
SI M 6
SI M 7
Simulas i
Sumber : Lampiran 11 diolah Gambar 24. Dampak Investasi Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan Hasil
Pertanian terhadap Ketimpangan Pendapatan Sektoral di Provinsi Sulawesi Tengah.
Angka ketimpangan pendapatan sektoral di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Theil-index adalah 0.38287 sedangkan L-index angka ketimpangannya
sebesar 0.21803 lampiran 11. Gambar 24 menunjukkan bahwa kebijakan investasi yang ditujukkan pada sektor industri makanan dan minuman serta sektor perkebunan
simulasi 3 dan simulasi 2 mampu menurunkan nilai ketimpangan pendapatan
paling tinggi, yakni 0.36392 dan 0.37539 dari nilai simulasi dasar sebesar 0.38287, sedangkan kebijakan investasi yang memberi dampak terhadap penurunan
ketimpangan pendapatan sektoral paling rendah adalah di sektor tanaman pangan. Menyimak dari seluruh keragaman angka ketimpangan pendapatan
rumahtangga, tenaga kerja, dan sektoral yang telah dijelaskan pada gambar diatas secara keseluruhan telah membuktikan bahwa kebijakan investasi pada industri
pengolahan hasil pertanian dan sektor pertanian mampu memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Sulawesi Tengah, oleh karena itu peranan
pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah adalah pengembangan industri pengolahan hasil pertanian yang didukung oleh sektor
pertanian untuk penyediaan bahan bakunya. Adanya sinergi kedua sektor tersebut akan menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang berarti sumber pendapatan
keluarga meningkat sehingga berfungsi dalam mengurangi kemiskinan.
7.3. Dampak Investasi terhadap Kemiskinan menurut Golongan Rumahtangga 7.3.1. Jumlah Rumahtangga Miskin
Formulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulasi Foster- Greer-Thorbecke FGT poverty index
Duclos et .
al., 2001. Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan poverty. 1 insiden kemiskinan
incidence of poverty, 2 kedalaman kemiskinan depth of poverty dan 3 keparahan kemiskinan severity of poverty. Insiden kemiskinan menggambarkan
persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pendapatan per kapita yang didekati dari pengeluaran konsumsi di bawah garis kemiskinan. Indeksnya
disebut head-count index yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian
kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap
orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang
miskin. Indikator kedua dalam mengukur kemiskinan adalah kedalaman kemiskinan
Depth of poverty indikator ini menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan
di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang
dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara
penduduk miskin, sedangkan indikator ketiga adalah keparahan kemiskinan Severity of poverty
yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan squared poverty
gaps . Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin
dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan poverty
severity index .
Perhitungan indeks kemiskinan masing-masing rumahtangga di Sulawesi Tengah menggunakan data rata-rata pengeluaran rumahtangga yang didasari oleh
batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. Penentuan jumlah rumahtangga yang tergolong miskin dikategorikan
sebagai rumahtangga yang memiliki pendapatan yang diproksi dari pengeluaran di bawah garis kemiskinan, karena data SUSENAS yang digunakan adalah data Tahun
2005, maka garis kemiskinan yang digunakan berdasarkan penetapan BPS Sulawesi Tengah Tahun 2005 sebesar Rp. 217
. 529 untuk wilayah kota dan Rp. 182
. 241
untuk perdesaan. Data-data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar base
data untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumahtangga
hasil dari simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Data tersebut dapat dihitung indeks kemiskinannya dengan menggunakan program analisis DAD
4.3 Distributive Analysis. Tabel 26. Simulasi Kebijakan Peningkatan Investasi terhadap Insiden Kemiskinan
No Kelompok
Rumahtangga D
as ar
Perubahan
1 2
Simulasi Kebijakan Kemiskinan Agregat
5.387
SIM 1 SIM 2
SIM 3 SIM4
SIM 5 SIM 6
SIM 7
1
Buruh Tani 16.197
-0.0060 -0,0068
-0.0049 -0.0060
-0.0061 -0.0061
-0.0055
2
Pertanian Pendapatan Golongan Rendah di
Desa 7.966
-0,0611
-0.0654
-0.0508 -0,0545
-0.0535 -0.0627
0.0541
3
Pertanian Pendapatan Golongan Tinggi di
Desa 0.00
0.0000 0.0000
0.0000 0.0000
0.0000 0.0000
0.0000
4
Pendapatan Golongan Rendah di Desa
2.463
-0.0326 -0.0371
-0.0280 -0.0337
-0.0332 -0.0328
-0.0309
5
Pendapatan Golongan Atas di Desa
0.00
0.0000 0.0000
0.0000 0.0000
0.0000 0.0000
0.0000
6
Pendapatan Golongan Rendah di Kota
4.366
-0.0543
-0.0611
-0.0464 -0.0554
-0.0551 -0.0547
-0.0511
7
Pendapatan Golongan Atas di Kota
0.961
-0.0689 -0.0773
-0.0588 -0.0694
-0.0687 -0.0695
-0.0645
Sumber : Lampiran 12 diolah
Keterangan :
1
Nilai headcount indeks sebelum dilakukan simulasi kebijakan
2
Nilai antara perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan
Data pengeluaran yang diperoleh dari data SUSENAS Tahun 2005 tersebut selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi insiden kemiskinan poverty incidence
pada setiap kelompok rumahtangga. Pada Tabel 26 disajikan nilai head-count index dasar dan hasil simulasi kebijakan pada setiap kelompok rumahtangga. Nilai head-
count index dasar menunjukkan insiden kemiskinan sebelum dilakukan simulasi
kebijakan. Angka dasar pada Tabel 26 menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap total penduduk.
Simulasi kebijakan yang dilakukan adalah peningkatan investasi sebesar 10 persen di sektor pertanian SIM 1 dan SIM 2, industri pengolahan hasil
pertanian SIM 3 dan SIM 4 dan sektor diluar kedua sektor tersebut yaitu : sektor pertambangan minyak dan gas bumi SIM 5, sektor perdagangan SIM 6, dan
sektor jasa restoran dan hotel SIM 7. Nilai head-count index berkisar antara 0.961 sampai 16.197. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan rumahtangga
berkisar antara 0.961 persen sampai 16.197 persen. Tingkat kemiskinan tertinggi terdapat pada kelompok rumahtangga buruh tani dan tingkat kemiskinan terendah
berada pada kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan. Jika dipisahkan antara rumahtangga perdesaan dan perkotaan maka rumahtangga miskin
di perdesaan antara 2.463 persen sampai 16.197 persen sedangkan perkotaan antara 0.961 sampai 4.366. Secara agregat kemiskinan dengan menggunakan batas garis
kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS Sulawesi Tengah sebesar 5.387 persen Bank Dunia 15.832 persen.
Hasil kajian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Susilowati 2007 dengan menggunakan metode yang sama skala ekivalensi diperoleh angka
kemiskinan agregat sebesar 3.92 persen, sedangkan dengan menggunakan perhitungan rata-rata pendapatan per kapita seperti yang dilakukan oleh BPS
diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar 17.30 persen. Sementara itu, dari hasil kajian Sitepu 2007 diperoleh angka kemiskinan berkisar antara 26.13 persen
rumahtangga bukan pertanian golongan atas di kota sampai 62.52 persen rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di desa. Perbedaan angka
kemiskinan pada penelitian ini dengan hasil kajian Susilowati 2007 dan Sitepu 2007 disebabkan oleh penggunaan garis kemiskinan poverty line yang berbeda.
Garis kemiskinan yang digunakan oleh Susilowati 2007 mengikuti garis
kemiskinan nasional yang dikeluarkan oleh BPS untuk tahun 2002, yaitu daerah perdesaan sebesar Rp. 96 512 per kapita per bulan, perkotaan Rp 130 499 per kapita
per bulan dan agregat Indonesia sebesar Rp. 108 889 per kapita per bulan. Adapun garis kemiskinan yang digunakan oleh Sitepu 2007 sebesar 2 US per kapita per
hari atau setara dengan Rp. 570 000 per kapita per bulan. Hasil analisis kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa
rumahtangga miskin diperdesaan antara 2.463 persen sampai 16.197 persen jauh lebih tinggi dibandingkan rumahtangga miskin perkotaan antara 0.961 sampai 4.366.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat Thorbecke et al. 1993, bahwa sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Pendapat tersebut
juga diperkuat penelitian yang dilakukan oleh Yusdja et al. 2003, yang mengemukakan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja rumahtangga miskin
bekerja di sektor pertanian perdesaan, disusul pada kegiatan di sektor perdagangan sebagai pedagang kecil 10 persen, industri rumahtangga 7 persen dan jasa
6 persen. Secara umum anggota rumahtangga miskin bekerja pada kegiatan yang
memiliki produktivitas tenaga kerja rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi.
Kenyataannya angkatan kerja tersebut cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yang minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain
berupa aset produktif dan permodalan. Sapuan dan Silitonga 1990, mengemukakan bahwa sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi
diantaranya sebagai berikut: 1 para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, 2 buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu
saja, 3 nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan 4
perambah hutan dan pengangguran. Adapun untuk daerah perkotaan yaitu: 1 buruh kecil di pabrik-pabrik, 2 pegawai negeri atau swasta golongan rendah, 3 pegawai
harian lepas, 4 pembantu rumahtangga, 5 pedagang asongan, 6 pemulung, dan 7 pengangguran.
Lebih lanjut menurut Suratman 2004, ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab kemiskinan rumahtangga, yaitu; pertama, pendapatan
rumahtangga relatif masih rendah sehingga semua pendapatan habis digunakan untuk konsumsi. Hampir tidak ada pendapatan yang dapat ditabung untuk maksud
pembentukan modal. kedua, tingkat pendidikan atau keterampilan mereka yang relatif rendah sehingga menyebabkan marginal product of labor MPL rendah yang
berimplikasi kepada rendahnya tingkat upah atau balas jasa yang diterima oleh tenaga kerja. Ketiga, banyak diantara mereka yang berstatus sebagai pekerja
keluarga dengan tingkat upah yang rendah. Penjelasan di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada umumnya penyebab kemiskinan rumah tangga
adalah karena rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya modal yang dimiliki sehingga hasil yang diperoleh oleh rumahtangga juga menjadi rendah
yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan itu kemudian menyebabkan rumahtangga tidak mampu meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dan kuantitas sumber daya modal. Akibatnya, mereka menganggur karena kualifikasi sumber daya manusia yang dihasilkan oleh rumahtangga ini tidak dapat
memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh pasar kerja, atau karena ketidakmampuan rumahtangga ini untuk mengembangkan usaha rumahtangga
sebagai akibat tidak tersedianya sumber daya modal, dan sebagainya. Keadaan ini mencerminkan bahwa kemiskinan rumahtangga merupakan efek sirkular dari
kemiskinan itu sendiri, kemiskinan menyebabkan kemiskinan vicious circle of poverty
. Tabel 26 menunjukkan
bahwa simulasi peningkatan investasi di sektor pertanian, sektor industri pengolahan hasil pertanian, dan sektor lainnya secara
umum mampu menurunkan tingkat kemiskinan seluruh kelompok rumahtangga baik di perdesaan maupun di perkotaan. Kelompok rumahtangga di perdesaan yang besar
mengalami penurunan rumahtangga miskin adalah kelompok rumahtangga pertanian pendapatan golongan rendah di perdesaan sedangkan rumahtangga pendapatan
tinggi di perkotaan mengalami penurunan kemiskinan yang paling besar. Jika memperhatikan keseluruhan simulasi ternyata penurunan kemiskinan di sub sektor
tanaman pangan SIM 1, industri pengolahan hasil pertanian SIM 3 dan SIM 4 dan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, sektor perdagangan, dan sektor jasa
restoran dan hotel SIM 5 sampai SIM 7, memberi dampak penurunan kemiskinan lebih rendah dibandingkan dengan simulasi pada sub sektor perkebunan SIM 2.
Peningkatan investasi di sub sektor perkebunan menyebabkan penurunan kemiskinan sebesar -0.077 persen pada rumahtangga perkotaan dan menurunkan
rumahtangga miskin perdesaan sebesar -0.065 persen. Hal yang sama juga terjadi di sektor industri pengolahan hasil pertanian.
Penurunan tingkat kemiskinan terjadi pada semua kelompok rumahtangga baik di perdesaan maupun di perkotaan. Pada simulasi 3, kelompok rumahtangga pertanian
pendapatan rendah memperoleh dampak penurunan kemiskinan terbesar diperdesaan -0.050 persen dan rumahtangga pendapatan tinggi di kota memperoleh dampak
penurunan kemiskinan terbesar di perkotaan -0.058 persen. Penurunan tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor pertambangan minyak dan gas bumi,
sektor perdagangan dan sektor jasa, restoran, dan hotel.
Bukti empiris menunjukkan bahwa sub sektor perkebunan di Provinsi Sulawesi Tengah memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan
kemiskinan, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi .
Hal tersebut didukung penelitian Rauf R.A. 2001, bahwa total pendapatan rumahtangga petani yang
memiliki tanaman kelapa-cengkeh-kakao, menghasilkan rata-rata pendapatan setiap bulannya sebesar Rp. 3
, 248.60 juta. Pendapatan petani pemilik kelapa-cengkeh-
kakao yang tinggi disebabkan ketiga komoditas tersebut mempunyai nilai ekonomi yang besar karena pangsa pasar yang terbuka luas, baik dari pasar nasional maupun
pasar internasional.
7.3.2. Kedalaman Kemiskinan Rumahtangga
Untuk menutupi kelemahan dari headcount index yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya maka dalam penelitian ini dilakukan analisis kedalaman
kemiskinan depth of poverty. Indikator ini menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini
mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut
Hasil analisis kedalaman kemiskinan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan simulasi kebijakan, angka
kedalaman kemiskinan poverty gap index berkisar antara 0.158 sampai 3.871 persen. Nilai tersebut menggambarkan rata-rata kesenjangan pendapatan pada tiap
kelompok rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin besar kedalaman kemiskinan poverty gap index menunjukkan semakin besar
kesenjangan gap pendapatan rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai poverty gap index
tertinggi terdapat pada kelompok rumahtangga buruh tani, sedangkan terkecil pada kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan.
Peningkatan investasi pada semua simulasi SIM 1 sampai SIM 7 berdampak pada penurunan indeks kedalaman kemiskinan seluruh kelompok
rumahtangga baik di perdesaan dan perkotaan dengan tingkat penurunan berkisar antara - 0.0001 persen sampai -0.0008 persen. Pengaruh terbesar pada kelompok
rumahtangga pertanian pendapatan rendah di perdesaan dan kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan.
Tabel 27. Simulasi Kebijakan Peningkatan Investasi terhadap Kedalaman Kemiskinan
No Kelompok
Rumahtangga
D as
ar Perubahan
1 2
Simulasi Kebijakan
Kemiskinan Agregat 1.179
SIM 1 SIM 2
SIM 3 SIM 4
SIM 5 SIM 6
SIM 7
1 Buruh Tani
3.871
-0.0001 -0.0001
-0.0000 -0.0001
-0.0001 -0.0001
-0.0001
2 Rumahtangga Pertanian
Pendapatan Rendah di Desa
1.752
-0.0006 -0.0007
-0.0005 -0.0005
-0.0005 -0.0006
-0.0005
3 Rumahtangga Pertanian
Pendapatan Tinggi di Desa
0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000
4 Rumahtangga Non
Pertanian Pendapatan Rendah di Desa
0.303
-0.0003 -0.0004
-0.0003 -0.0003
-0.0003 -0.0003
-0.0003
5 Rumahtangga
NonPertanian Pendapatan Tinggi di Desa
0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000
6 Rumahtangga Pendapatan
Rendah di Perkotaan
0.722
-0.0005 -0.0006
-0.0005 -0.0006
-0.0006 -0.0005
-0.0005
7 Rumahtangga Pendapatan
Tinggi di Perkotaan
0.158
-0.0007 -0.0008
-0.0006 -0.0007
-0.0007 -0.0007
-0.0006
Sumber : Lampiran 12 diolah
Keterangan :
1
Nilai poverty gap index sebelum dilakukan simulasi kebijakan
2
Nilai antara perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing – masing simulasi kebijakan.
7.3.3. Keparahan Kemiskinan Rumahtangga
Analisis keparahan kemiskinan severity of poverty terhadap peningkatan investasi pemerintah dan swasta di sektor pertanian dan industri pengolahan hasil
pertanian disajikan pada Tabel 28. Analisis keparahan kemiskinan severity of poverty
digunakan untuk menutupi kelemahan indeks kedalaman kemiskinan.
Kelemahannya adalah mengabaikan
distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Indikator ini digunakan untuk menghitung jarak yang memisahkan orang
miskin dari garis kemiskinan termasuk ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut.
Tabel 28. Simulasi Kebijakan Peningkatan Investasi terhadap Keparahan Kemiskinan
No Kelompok
Rumahtangga
D as
ar Perubahan
1 2
Simulasi Kebijakan
Kemiskinan Agregat 0.0388
SIM 1 SIM 2
SIM 3 SIM 4
SIM 5 SIM 6
SIM 7
1 Buruh Tani
1.375
-0.0001 -0.0001
-0.0001 -0.0001
-0.0001 -0.0001
-0.0001
2 Rumahtangga Pertanian
Pendapatan Rendah di Desa
0.555
-0.0012 -0.0013
-0.0010 -0.0011
-0.0011 -0.0013
-0.0011
3 Rumahtangga Pertanian
Pendapatan Tinggi di Desa
0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000
4 Rumahtangga Non
Pertanian Pendapatan Rendah di Desa
0.076
-0.0006 -0.0007
-0.0006 -0.0007
-0.0007 -0.0007
-0.0006
5 Rumahtangga
NonPertanian Pendapatan Tinggi di Desa
0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000
6 Rumahtangga Pendapatan
Rendah di Perkotaan
0.176
-0.0010 -0.0012
-0.0009 -0.0011
-0.0011 -0.0011
-0.0010
7 Rumahtangga Pendapatan
Tinggi di Perkotaan
0.038
-0.0013 -0.0015
-0.0012 -0.0014
-0.0014 -0.0014
-0.0013
Sumber : Lampiran 12 diolah
Keterangan :
1
Nilai severity of poverty sebelum dilakukan simulasi kebijakan
2
Nilai antara perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing – masing simulasi kebijakan.
Tabel 28 menunjukkan bahwa nilai dasar sebelum dilakukan simulasi kebijakan indeks keparahan kemiskinan berkisar antara 0.038 persen sampai 1.373
persen. severity of poverty index tertinggi terdapat pada kelompok rumahtangga buruh tani, sedangkan terkecil pada kelompok rumahtangga golongan atas di
perkotaan. Jika dibandingkan keparahan kemiskinan antara perdesaan dan perkotaan terlihat bahwa rumahtangga buruh tani memiliki nilai keparahan
kemiskinan paling tinggi di perdesaan 1.375 persen sedangkan rumahtangga
golongan rendah di perkotaan memiliki nilai keparahan kemiskinan paling tinggi yakni 0.038 persen.
Peningkatan investasi pada semua simulasi berpengaruh terhadap penurunan indeks keparahan kemiskinan pada kelompok rumahtangga perdesaan dan kelompok
rumahtangga golongan rendah di perkotaan. Hasil simulasi tersebut menunjukkan penurunan indeks keparahan kemiskinan severity of poverty pada semua kelompok
rumahtangga baik di perdesaan maupun di perkotaan.
7.4. Peranan Investasi dalam Mempengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan Rumahtangga
Ketimpangan distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga di Sulawesi
Tengah Tahun 2008 berada pada tingkat distribusi pendapatan dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang tidak merata. Ketimpangan distribusi pendapatan
yang dikemukakan di atas ditunjukkan pula oleh nilai multiplier secara sektoral. Sektor industri pengolahan hasil pertanian menghasilkan pengganda lebih besar
dibandingkan sektor pertanian terutama pada institusi rumahtangga. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pengembangan sektor industri pengolahan hasil pertanian akan
memberikan peningkatan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan pengembangan yang dilakukan ke sektor pertanian. Kelompok rumahtangga buruh
tani memiliki nilai pengganda terendah baik di sektor pertanian maupun sektor industri pengolahan hasil pertanian, artinya bahwa pengembangan sektor pertanian
dan industri pengolahan hasil pertanian belum memberikan peningkatan pendapatan bagi rumahtangga buruh tani. Jika memperhatikan efek pengganda pada sektor
pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian terdapat keterkaitan yang erat terutama pada sub sektor tanaman pangan dan sektor industri makanan dan
minuman.
Secara rinci ketimpangan distribusi pendapatan dapat dilihat dari analisis jalurnya. Sektor pertanian dan sektor industri pengolahan hasil pertanian memiliki
efek pancaran yang berbeda terhadap tujuan akhir yaitu institusi rumahtangga. Sektor pertanian mengarah kepada rumahtangga pertanian berpendapatan rendah di
desa dengan melalui faktor produksi tenaga kerja bukan penerima upah nonpertanian sedangkan ketiga sektor yang masuk dalam industri pengolahan hasil pertanian
memiliki efek pengganda yang berbeda untuk masing-masing rumahtangga. Industri makanan dan minuman, efek pengganda paling tinggi terdapat pada rumahtangga
nonpertanian pendapatan tinggi di perdesaan dengan melalui faktor produksi tenaga kerja pertanian. Industri kulit memiliki efek pengganda paling tinggi dirumahtangga
pendapatan tinggi di perkotaan dengan melalui faktor produksi tenaga kerja pertanian dan industri hasil hutan memiliki efek pengganda paling tinggi pada
rumahtangga pertanian pendapatan tinggi di perdesaan. Djaimi 2006 mengemukakan untuk mewujudkan distribusi pendapatan
yang merata, beberapa hal yang dilakukan 1 menempatkan prioritas yang lebih tinggi di perdesaan akan menghasilkan kondisi ekonomi yang lebih baik yakni
output yang lebih besar. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di perdesaan
dan mayoritas dari mereka berada dalam kemiskinan. Konsekuensinya, untuk mengatasi masalah kesenjangan kesejahteraan antara desa dan kota, pembangunan
wilayah perdesaan perlu mendapat prioritas. 2 direkomendasikan strategi industrialisasi yang menempatkan prioritas yang tinggi di perdesaan adalah industri
yang terkait erat dengan pertanian, yakni industri pengolahan hasil pertanian 3 masalah melebarnya kesenjangan kesejahteraan antara kelompok rumahtangga
berpendapatan tinggi dan rumahtangga berpendapatan rendah hanya dapat di atasi dengan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin.
Mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah, maka hal penting yang dilakukan adalah meningkatkan investasi
terutama pada sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian. Berdasarkan simulasi peningkatan investasi di sektor pertanian, sektor industri pengolahan hasil
pertanian, dan sektor lainnya secara umum mampu menurunkan tingkat kemiskinan seluruh kelompok rumahtangga baik di perdesaan maupun di perkotaan. Kelompok
rumahtangga di perdesaan yang paling besar mengalami penurunan rumahtangga miskin adalah kelompok rumahtangga pertanian pendapatan golongan rendah
di perdesaan sedangkan di perkotaan, rumahtangga pendapatan tinggi mengalami penurunan kemiskinan yang paling besar. Jika memperhatikan keseluruhan simulasi
ternyata penurunan kemiskinan di sub sektor tanaman pangan SIM 1, industri pengolahan hasil pertanian SIM 3 dan SIM 4 dan sektor pertambangan minyak dan
gas bumi, sektor perdagangan, dan sektor jasa restoran dan hotel SIM 5 sampai SIM 7, memberi dampak penurunan kemiskinan lebih rendah dibandingkan dengan
simulasi pada sub sektor perkebunan. Peningkatan investasi di sub sektor perkebunan dapat menurunkan kemiskinan sebesar -0.077 persen pada rumahtangga
perkotaan dan menurunkan rumahtangga perdesaan sebesar -0.065 persen. Menurut Ginting 2006, salah satu alternatif solusi untuk perbaikan
kesejahteraan rumah tangga buruh tani dan rumah tangga golongan rendah di pedesaan, dalam jangka pendek dapat dilakukan melalui pengeluaran pemerintah
ke rumah tangga yang kurang mampu, karena dengan kebijakan ini dapat menambah perubahan pendapatan rumah tangga dan sekaligus pertumbuhan ekonomi atau
kebijakan pro poor growth. Dalam jangka panjang, strategi pengentasan kemiskinan tidak hanya cukup dengan bantuan pemerintah, tetapi harus dikaitkan dengan
peranan investasi untuk meningkatkan usaha ekonomi produktif, perbaikan
infrastruktur vital di pedesaan, akses terhadap faktor produksi dan teknologi baru, dan sebagainya. Tanpa perbaikan infrastruktur ini maka alokasi dana proses produksi
menjadi tidak efisien karena biaya per unit menjadi sangat mahal, begitu juga tanpa peningkatan usaha ekonomi maka tidak akan menciptakan penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan pendapatan rumah tangga miskin Peningkatan usaha ekonomi produktif yang perlu dilakukan di Provinsi
Sulawesi Tengah adalah melalui pengembangan sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian secara bersama-sama, dengan dukungan infrastruktur
yang baik dan akses faktor produksi yang mudah. Menurut Tanjung 2010, industri pengolahan hasil pertanian merupakan satu kunci revitalisasi sektor pertanian dan
juga dapat menciptakan stabilitas harga hasil usahatani dan peningkatan nilai tambah produk. Pentingnya pengembangan industri pengolahan hasil pertanian didasarkan
dari hasil simulasi peningkatan investasi sebesar 10 persen pada sektor pertanian, industri pengolahan hasil pertanian, dan sektor lainnya menunjukkan bahwa sektor
industri makanan dan minuman memiliki dampak tertinggi terhadap perubahan sektor produksi, pendapatan rumahtangga dan faktor produksi. Temuan ini
mengindikasikan bahwa sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan yang sangat besar.
Langkah yang perlu dilakukan untuk mendukung dan mewujudkan sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian yang tangguh di masa mendatang
dan mempercepat tujuan pembangunan ekonomi. Pertama, penciptaan lapangan kerja yang bersifat labor intensif. Menurut Djaimi 2006, dengan
menumbuhkembangkan sektor ini diiringi dengan aktivitas peningkatan sumberdaya manusia melalui kegiatan pelatihan general training dan spesific training tidak
hanya akan mengatasi masalah pengganguran, namun juga dapat meningkatkan
kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan di Indonesia dari aspek perolehan nilai tambah. Sitepu et
. al. 2007, mengemukakan meningkatnya keterampilan
sumberdaya manusia akan mendorong sebagian industri untuk berproduksi lebih efisien sehingga mampu menghasilkan barang yang lebih murah, yang pada
gilirannya harga menjadi lebih murah, sehingga konsumsi masyarakat mengalami peningkatan. Kariyasa 2006, mengemukakan kuantitas dan kualitas sumberdaya
manusia sangat menentukan pembangunan ekonomi. Pendapatan yang diperoleh dari kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia akan menciptakan permintaan berbagai
macam barang dan jasa, selanjutnya akan direspon melalui pasokan oleh pihak-pihak lain, atau dengan kata lain akan tercipta pasar di dalam negeri, dan inilah yang
memungkinkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karenanya, perluasan penciptaan lapangan kerja yang bersifat labor intensif harus merupakan
strategi pokok di dalam proses pembangunan dan dapat pula dikatakan bahwa tenagakerja mempunyai dua fungsi yakni, 1 sebagai sumberdaya untuk
menjalankan proses produksi dan distribusi barang dan jasa. 2 sebagai sarana untuk menimbulkan dan mengembangkan pasar. Kedua fungsi ini merupakan dua
syarat yang sama mutlaknya bagi suksesnya pembangunan. Kedua
, aksesbilitas terhadap permodalan kepada rumahtangga yang bekerja pada sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian. Kelemahan selama ini
dirasakan terhadap aksesbilitas permodalan karena keterbatasan informasi dan hambatan birokrasi. Padahal dalam proses produksi, faktor produksi tenaga kerja
dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain seperti : modal, digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dengan kata lain, jika terjadi proses produksi, maka
akan ada penggunaan tenagakerja yang berarti akan tercipta kesempatan kerja,
sedangkan proses produksi umumnya memerlukan modal yang diperoleh melalui investasi.
Ketiga , tersedianya bahan baku sektor pertanian yang digunakan oleh
industri pengolahan hasil pertanian baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, karena tanpa peningkatan output atau produktivitas di sektor pertanian, sektor
industri tidak dapat meningkatkan outputnya atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai. Tambunan 2003, mengemukakan bahwa eskpansi dari sektor-sektor
ekonomi non pertanian sangat tergantung pada produk-produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk kelangsungan pertumbuhan suplay makanan, tetapi juga
untuk penyediaan bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi di sektor-sektor non pertanian. Oleh karena itu pertanian memainkan peranan penting dalam
pertumbuhan output di sektor industri. Berdasarkan uraian di atas maka sektor pertanian dan industri pengolahan
hasil pertanian dipandang sebagai transmisi yang paling baik untuk menciptakan kaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke belakang dari investasi baru akan
memunculkan peluang investasi lainnya dalam sektor input. Keterkaitan ke depan menciptakan kesempatan investasi baru yang menggunakan output dari proses
terdahulu menjadi input pada proses berikutnya. Dengan pengembangan sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian akan menciptakan kesempatan
kerja baru di sektor pertanian karena bahan baku yang digunakan oleh industri pengolahan hasil pertanian berada di perdesaan. Meningkatnya pendapatan
masyarakat akan meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk industri pengolahan hasil pertanian sehingga meningkatkan output. Akhirnya meningkatnya
distribusi pendapatan, menurunnya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan merupakan indikator peningkatan perekonomian wilayah Sulawesi Tengah.
VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab terdahulu maka kesimpulan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Efek pengganda pada sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian terdapat keterkaitan yang erat terutama pada sub sektor tanaman pangan dan
sektor industri makanan dan minuman. Penerapan strategi industrialisasi
berbasis industri pengolahan, terutama yang terkait erat dengan sektor pertanian perlu diarahkan untuk mewujudkan perekonomian daerah yang tangguh
di masa mendatang 2. Efek pancaran yang paling besar dari analisis jalur struktural sektor pertanian
terdapat pada rumahtangga pertanian berpendapatan rendah. Efek tersebut memberi arti bahwa rumahtangga di Provinsi Sulawesi Tengah dalam
mengelolah usahataninya mengandalkan tenaga kerja yang berasal dari rumahtangga itu sendiri. Namun berbeda dengan efek pancaran jalur struktural
pada sektor industri pengolahan hasil pertanian. Industri makanan dan minuman, efek pengganda paling tinggi terdapat pada rumahtangga
nonpertanian pendapatan tinggi di perdesaan, Industri kulit memiliki efek pengganda paling tinggi dirumahtangga pendapatan tinggi di perkotaan,
industri hasil hutan memiliki efek pengganda paling tinggi pada rumahtangga pertanian pendapatan tinggi di perdesaan.
3. Proses produksi yang dilakukan di Provinsi Sulawesi Tengah bersifat padat modal. Sifat faktor produksi tersebut didukung pula oleh tingginya jumlah
pengangguran.
4. Sektor industri makanan dan minuman mampu menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga, ketimpangan pendapatan sektoral, dan
ketimpangan pendapatan tenaga kerja paling tinggi dibandingkan sub sektor lainnya.
5. Peningkatan investasi di sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian, secara umum mampu menurunkan tingkat kemiskinan seluruh
kelompok rumahtangga baik di perdesaan maupun di perkotaan. Rumahtangga yang mengalami penurunan kemiskinan paling tinggi adalah rumahtangga
golongan rendah di perdesaan dan rumahtangga pendapatan tinggi di perkotaan.
6. Peningkatan investasi di sub sektor perkebunan memberi dampak penurunan kemiskinan rumahtangga paling tinggi dibandingkan dengan peningkatan
investasi pada sektor lainnya.
8.2. Implikasi Kebijakan
Upaya untuk meningkatkan kinerja perekonomian Sulawesi Tengah, dengan merujuk dari hasil penelitian ini maka beberapa kebijakan yang dipandang
penting dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu : 1. Kebijakan peningkatan investasi pada semua sub sektor pertanian dan industri
pengolahan hasil pertanian yang besar akan memberikan pengaruh positif terhadap output, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Oleh
karena itu, upaya peningkatan investasi oleh pemerintah dan swasta terus ditingkatkan.
2. Kebijakan membentuk formula yang tepat untuk meningkatkan partisipasi dan memberdayakan masyarakat dalam proses pembangunan, sehingga memberi
dampak pada peningkatan pendapatan bagi semua golongan rumahtangga terutama pada rumahtangga buruh tani dan pertanian pendapatan rendah
di perdesaan. 3. Kebijakan pengembangan industri pengolahan hasil pertanian dengan ditopang
bahan baku sektor pertanian lokal perlu dikembangkan. Industri tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan
contohnya : industri bawang goreng khas palu dan kerajinan khas eboni. 4. Kebijakan akses permodalan dan penerapan teknologi pada rumahtangga buruh
tani dan rumahtangga berpendapatan rendah sehingga dengan kebijakan tersebut dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan rumahtangga dan
kemiskinan. 5. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia yang mampu beradaptasi dan
mengaplikasikan teknologi untuk sektor yang memerlukan keterampilan tertentu, dengan harapan terjadinya substitusi dari proses produksi padat modal
capital intensive menjadi proses produksi yang padat tenaga kerja labor intensive sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran dan meningkatkan
pendapatan rumahtangga.
8.3. Saran
1. Untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini dipandang perlu melakukan penelitian lanjutan. Penelitian dengan menggunakan model SNSE dengan
melakukan disagregasi terhadap masing-masing pengeluaran pemerintah terhadap sektor pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian sehingga
dapat diketahui peranan masing-masing pengeluaran pemerintah.