Pengertian dan Hakikat Yajña

71 Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti mengatur peredaran alam semesta beserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan makhluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi makhluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. Jadi untuk dapat hidup harmonis dan berkembang dengan baik, manusia hendaknya melaksanakan yajña, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yajña yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia. yajña adalah suatu perbuatan atau persembahan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawa-Nya. Tujuan dari yajña itu adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat manusia beserta makhluk hidup yang lainnya. Ada lima bentuk yajña yang patut dilakukan oleh umat sedharma dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan keharmonisan hidup ini yang dikenal dengan Panca yajña. Adapun bagian- bagian dari Panca Yajña adalah Dewa Yajña, Pitra Yajña, Rsi Yajña, Manusa Yajña, dan Bhuta Yajña.

B. Yajña dalam Mahabharata dan Masa Kini

Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan Yajña Sarpa yang sangat besar, dihadiri seluruh rakyat dan undangan yang terdiri atas raja-raja terhormat dari negeri tetangga. Bukan itu saja, undangan yang datang juga dari para pertapa suci yang berasal dari hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara besar yang mengambil tingkatan utamaning utama. Menjelang puncak pelaksanaan yajña, datanglah seorang brahmana suci dari hutan ikut memberikan doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu. Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, Brahmana Utama ini sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor. Seperti biasanya, setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat-lezat dalam jumlah yang tidak terhingga. Begitu juga kepada Brahmana Utama ini diberikan suguhan makanan yang enak-enak. Begitu dihidangkan makanan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utama langsung melahap hidangan tersebut dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah penyelenggara yajña besar tersebut. Begitu melihat caranya sang Brahmana Utama menyantap makanan secara tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil mencela. “Kasihan Brahmana Buku Guru Kelas XI SMASMK 72 Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesa-gesa,”kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi mencela Sang Brahmana Utama cukup jauh, karena kesaktian dari brahmana ini, maka apa yang diucapkan oleh Drupadi didengarkannya secara jelas. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut. Di dalam ajaran agama Hindu, diajarkan bahwa apabila kita melakukan tindakan mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama, pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya.

C. Syarat-syarat dan Aturan dalam Pelaksanaan Yajña

Syarat pelaksanaan yajña secara berkualitas. Disebutkan dalam kitab suci Bhagavad Gita bab XVII sloka 11, 12 dan 13 menyebutkan, ada tiga tingkatan pengorbanan persembahan suci yajña dipandang dari segi kualitasnya: Pertama Tamasika yajña, yaitu yajña tanpa memperhatikan petunjuk-petunjuk sastra Veda. Kedua, Rajasika yajña, yaitu yajña yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dan bersifat pamer. Ketiga, Satwika yajña, yaitu yajña yang dilakukan kebalikan dari tamasika dan rajasika yajña. Dari uraian di atas, yajña yang satwika-lah yang dilaksanakan, karena telah memenuhi paling tidak tujuh syarat berikut. 1. Sradha, artinya, pelaksanaan yajña hendaknya dengan keyakinan penuh, yaitu diyakini kebenarannya yang bersifat mutlak. Yajna tidak akan membawa dampak spiritual kalau tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Tanpa keyakinan yang mantap, lambang atau simbol yang terdapat dalam upakara hanya akan berarti sebagai pajangan keindahan belaka tanpa arti. Bhima memandang perintah guru Drona untuk mencari Tirtha Kamandhalu sebagai suatu yajña. Dijalaninya dengan keyakinan yang mantap, tanpa keraguan, tidak memikirkan segala akibatnya. Dengan keyakinannya itu akhirnya Bhima berhasil mendapatkan Tirtha kamandhalu. 2. Lascarya, artinya: suatu pengorbanan persembahan besar atau kecil, sedikit ataupun banyak dari ukuran materi hendaknya dengan penuh keikhlasan. Orang yang pikirannya masih diselimuti keragu-raguan melaksanakan yajña tidak akan mendapatkan anugerah dari Hyang Widhi. Dewi Kunti, ibu dari Panca Pandawa