51
diingat-ingat dan dipertimbangkan itu. Kemudian kita menentukan sikap dan mengambil kesimpulan atau keputusanMangunhardjana, 1987: 29-30.
d. Renungan dengan Fantasi
Renungan fantasi dilaksanakan dalam keheningan batin yang mendalam menghadirkan suatu peristiwa kemudian kita hadir dalam peristiwa tersebut, masuk
dalam peristiwa itu, dan mengalami kembali secara lahiriah, inderawi, batiniah serta seluruh diri kita Mangunhardjana, 1987: 50-52.
e. Renungan Tertulis tentang Pengalaman Pribadi
Renungan ini dimulai dengan memilih salah satu pengalaman pribadi yang mau direnungkan, menguraikan secara tertulis dengan lengkap dan teliti, mengenai
pengalaman itu, pusatkan perhatian pada bagian-bagian dari pengalaman itu, jalan dan tahap-tahap pengalaman itu, orang-orang yang ada dalam pengalaman itu, perasaan-
perasaan kita dan sehubungan dengan peristiwa itu, Allah mau kita sebut apa: Bapa, Penyelamat, Penyelenggara Mangunhardjana, 1987: 53-54.
B. Pembinaan bagi Katekis
Dalam tugas perutusannya katekis memiliki tanggung jawab untuk mewartakan atau mengajar kabar gembira keselamatan, baik di paroki maupun di sekolah-sekolah.
Dengan adanya tanggung jawab tersebut maka para katekis harus secara terus-menerus mampu memperbaharui pengetehuan dan keterampilan yang ia miliki melalui
pembinaan. Lewat pembinaan tersebut para katekis diharapkan semakin mengasah pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki dan juga mempu mengikuti arus
52
perkembangan zaman yang terus berubah-ubah sehingga mampu membaca perubahan yang terjadi dengan umat atau pun siswa yang dilayani.
1. Dasar Pembinaan bagi Katekis
Katekis juga harus mendapat pembinaan agar dalam tugasnya, para katekis mampu mempertanggung jawabkan apa yang ia wartakan kepada orang lain. Seperti
yang tercantum dalam kitab hukum kanonik KHK kan. 780 berikut ini: Hendaklah para Ordinaris Wilayah berusaha agar para katekis disiapkan
dengan seharusnya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan semestinya, yakni supaya dengan memberikan pembinaan yang terus-menerus
mereka memahami dengan tepat ajaran Gereja dan mempelajari secara teoritis dan praktis norma-norma yang khas untuk disiplin pedagogis.
Berdasarkan urian tersebut maka katekis harus mendapat pembinaan yang
seharusnya secara terus-menerus baik secara teoritis maupun praktis agar para katekis memahami ajaran Gereja secara benar sehingga dapat diwartakan secara tepat. Melalui
pembinaan yang dilakukan secara terus-menerus tersebut diharapkan para katekis mempunyai keterampilan yang memadai dalam tugas pewataannya. Pembinaan tidak
hanya untuk hal-hal yang bersifat teoritis saja melainkan juga yang bersiafat praktis karena dalam tugas tentu para katekis juga banyak menemukan hal praktis yang tidak
dipelajari secara teoritis. Selain hal tersebut, pendidikan atau pembinaan bagi katekis juga harus
disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan yang ada agar para katekis mampu menjalankan tugas meraka yang semakin berat sesuai dengan perkembangan zaman,
seperti yang terdapat dalam dokumen konsili Vatikan II AG 17 berikut ini: Pada zaman kita ini hanya sedikitlah jumlah klerus untuk mewartakan Injil
kepada massa yang begitu besar, untuk menjalankan pelayanan pastoral. Maka, tugas para katekis sangat penting. Oleh karena itu, pendidikan mereka harus
53
dilaksanakan dan disesuaikan dengan kemajuan kebudayaan sedemikian rupa sehingga mereka menjadi rekan sekerja yang tangguh bagi para imam, dan
mampu menunaikan sebaik mungkin tugas mereka, yang makin bertambah sulit karena beban-beban baru yang lebih berat.
Lebih lanjut dokumen tersebut menjelaskan, selain pendidikan tentang ajaran Katolik, Kitab Suci, katekese dan praktek pastoral, para katekis juga harus dibina
berdasarkan adat-perilaku kristiani dan selalu berusaha mengembangkan keutamaan serta kesucian hidup. Untuk selalu menyengarkan ilmu-ilmu serta keterampilan, para
katekis juga harus diberi kursus-kursus dan pertemuan pada masa-masa tertentu AG 17.
2. Tujuan Pembinaan bagi Katekis
Menurut Prasetya 2007: 55-56 ada beberapa hal perlu diperhatikan dan menjadi tujuan dari pembinaan bagi katekis. Beberapa tujuan tersebut ialah
meningkatkan hidup katekis, meningkatkan kerja sama, mewujudkan regenerasi dan kaderisasi katekis.
a. Meningkatkan Hidup Katekis
Melalui pembinaan yang dilakukan bagi para katekis, diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup seorang katekis, baik kehidupan pribadi mereka maupun
dalam tanggung jawab dan tugas perutusan mereka. Kualitas dalam tugas perutusan yang dimaksud disini misalnya motivasi hidup, spiritualitas, pengetahuan maupun
keterampilannya. Melalui pembinaan tersebut para katekis diharapkan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik dan mampu
mempertanggung jawabkan apa yang ia wartakan kepada orang lain Prasetya, 2007:
54
55. Dengan meningkatkan kualitas hidup, para katekis diharapkan juga mampu menjawab tantangan hidup yang dihadapi dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab perutusan mereka.
b. Meningkatkan Kerja Sama
Melalui pembinaan secara terus-menerus para katekis mempu membangun kerja sama yang baik, baik dengan sesama katekis, dengan pastor paroki maupun
dengan fungsionaris paroki yang lainnya. Dengan ada kerja sama tersebut diharapkan tercipta sinergi yang membuat adanya koordinasi serta komunikasi yang sehat dan
lancar sehingga mampu mengembangkan paroki secara bersama-sama Prasetya, 2007: 55-56.
c. Mewujudkan Regenerasi dan Kederisasi Katekis
Dengan adanya pembinaan maka diharapkan adanya keterbukaan dari para katekis yang senior untuk dapat menerima para katekis muda atau orang-orang yang
mau ikut ambil bagian dalam tugas katekis. Para katekis juga diharapkan dapat menerima para katekis muda yang tentu masih minim pengalaman sehingga bisa
muncul regenerasi katekis selanjutnya Prasetya, 2007: 56. Para katekis diharapkan mempu membangun kebersamaan tampa membedakan
usia, status sosial maupun ekonomi, justru dengan adanya perbedaan tersebut para katekis bisa saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Para katekis juga harus
memiliki sikap saling bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya, diharapkan ada kesetaraan dalam pembagian tugas bagi masing-masing katekis. Selain itu, sikap
keterbukaan juga sangat penting bagi para katekis. Dengan adanya sikap keterbukaan
55
maka para katekis dapat membangun komunikasi yang baik, saling menghargai dan tentu saling mementingkan kepentingan bersama Prasetya, 2007: 56-57.
3. Proses Pembinaan dan Pendidikan Ketekis
Dalam pembinaan dan pendidikan bagi para katekis, ada beberapa proses yang perlu diperhatikan dan harus dilalui oleh para katekis agar pembinaan dan pendidikan
tersebut dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Beberapa proses tersebut adalah pembinaan dan pendidikan yang tepat, adanya kesatuan dan keselarasan pribadi
katekis, kedewasaan manusiawi, kehidupan rohani yang mendalam, pendidikan mengenai ajaran Gereja, semangat pastoral, semangat missioner, sikap terhadap
Gereja, para pembina, pembinaan dan pendidikan awal, pembinaan dan pendidikan terus-menerus, sarana dan struktur pembinaan yang terus-menerus.
a. Perlu Pembinaan dan Pendidikan yang Tepat
Perlu adanya pembinaan dan pendidikan yang berkualitas bagi para katekis. Sangat penting untuk diadakan pembinaan dan pendidikan yang tepat bagi para
katekis, baik pembinaan dan pendidikan umum maupun pembinaan dan pendidikan secara khusus. Pembinaan dan pendidikan umum misalnya dalam pengertian bahwa
seluruh watak dan kepribadian para katekis perlu dikembangkan. Pembinaan secara khusus misalnya mewartakan sabda Allah, memimpin umat, memimpin doa-doa
liturgi, membantu mereka yang membutuhkan pelayanan rohani atau pun bantuan material dalam berbagai cara. Selain itu pendidikan bagi para katekis perlu disesuaikan
dengan perkembangan dan kebutuhan zaman agar para katekis dapat selalu memperbaharui diri dan pengetahuannya secara terus-menerus CEP, 1997: 43-44.
56
b. Kesatuan dan Keselarasan Pribadi Katekis
Para katekis selain sebagai warga Gereja, mereka juga merupakan warga masyarakat. Agar dapat mewujudkan kesatuan dan keselarasan dalam diri atau pribadi
seseorang, perlu terlebih dahulu diatasi berbagai hambatan, seperti temperamen, intelektual atau emosional dan membangun pola hidup yang teratur CEP, 1997: 44.
Katekis sebagai manusia biasa, tentu memiliki kekurangan yang dapat menjadi hambatan bagi diriya untuk dapat mewujudkan kesatuan dan keselarasan dalam
dirinya. Namun melalui proses pendampingan dan pendidikan maka para katekis diharapkan mampu mengatasi hambatan tersebut.
c. Kedewasaan Manusiawi
Katekis diharapkan mempunyai kepribadian yang matang sebagai manusia sesuai dengan perannya yang penuh tanggung jawab dalam komunitas gerejawi. Yang
menjadi pertimbangan dari pembinaan dan pendidikan para katekis akan dibangun atas dasar kemampuan manusiawi yang telah ada dalam diri seseorang. Kemudian hanya
dikembangkan secara lebih lanjut dengan menambahkan keterampilan-keterampilan yang perlu dalam menjalakan tugas pelayanannya CEP, 1997: 45.
d. Kehidupan Rohani yang Mendalam
Katekis sebagai orang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik iman, tentu harus mempunyai kehidupan rohani yang mendalam. Kehidupan
rohani katekis harus berdasar dengan iman dan cinta akan Yesus Kristus. Beberapa hal yang perlu dilaksanakan oleh para katekis untuk melatih hidup rohani antara lain
menghadiri Ekaristi secara teratur, menghayati Liturgi, melaksanakan ibadat harian,
57
meditasi setiap hari, doa pribadi, sering menerima sakramen pengampunan dosa dan ikut dalam retret rohani. Melalui kegiatan tersebut para katekis akan memperkaya
kehidupan batin dan mencapai kedewasaan rohani CEP, 1997: 45-48.
e. Pendidikan Mengenai Ajaran Gereja
Pembinaan dan pendidikan bagi katekis perlu diberikan tentang ajaran Gereja karena hal tersebut merupakan kebutuhan bagi pendidikan katekis karena para katekis
perlu memahami hakikat ajaran Kristen sebelum mengajarkannya kembali kepada orang lain CEP, 1997: 48-51.
f. Semangat Pastoral
Pembinaan dan pendidikan bagi para katekis perlu juga diberikan materi atau pengetahuan mengenai latihan yang berhubungan dengan fungsi kenabian, imamat dan
gerejawi dari kaum awam yang telah terbaptis. “Kualitas yang perlu dikembangkan untuk tugas ini adalah semangat tanggung jawab pastoral dan kepemimpinan; sikap
murah hati, dinamis dan kreatif; persekutuan gerejawi dan ketaatan kepada pastor ”
CEP, 1997: 51-52.
g. Semangat Misioner
Dalam pembinaan dan pendidikan katekis perlu diperhatikan dimensi missioner kerena hal tersebut merupakan bagian hakiki dari identitas dan karya seorang katekis.
Para katekis harus diajari berbagai karya kerasulan misi kaum awam baik secara teoritis maupun praktis, yang mencakup beberapa unsur misalnya hadir secara aktif
dalam masyarakat; mewartakan dengan lantang kebenaran tentang Tuhan dan Putra-
58
Nya Yesus Kristus; menemui pengikut agama-agama lain dalam semangat keterbukaan dan dialog; memperkenal katekumen dan misteri keselamatan; membangun komunitas
dan membantu mempersiapkan para calon untuk menerima sakramen pembaptisan dan sakramen-sakramen inisiasi Kristen lainnya; sambil tergantung kepada pastor dan
bekerja sama dengan umat lainnya CEP, 1997: 52-53.
h. Sikap terhadap Gereja
Kegiatan kerasulan para katekis tidak bersifat pribadi atau terpisah, tetapi selalu dilaksanakan dalam persekutuan dengan Gereja lokal dan universal. Para katekis diutus
oleh pastor dan para katekis melakukan tugas mereka berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Gereja. Dalam pembinaan dan pendidikan mengenai sikap terhadap
Gereja, harus ditekankan bagi para katekis tentang sikap ketaatan apostolik terhadap pastor dalam semangat iman dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain pada
semua tingkat CEP, 1997: 54-55.
i. Para Pembina
Pada pembinaan dan pendidikan bagi para katekis, hal yang sangat penting adalah para pembina yang cocok serta memadai, mereka adalah semua orang yang
terlibat dalam pembinaan dan pendidikan bagi para katekis. Namun, perlu diyakinkan kepada para katekis bahwa yang menjadi pembina utama adalah Kristus sendiri
melalui Roh Kudus. “Para katekis sendiri dianggap sebagai para pembina, dalam pengertian bahwa mereka bertanggug jawab atas perkembangan batin mereka sendiri
melalui sikap tanggap mereka terhadap Tuhan”. Dalam arti yang sempit, para pembina adalah orang-orang yang ditunjuk dan diatur oleh Gereja untuk mendidik dan melatih
59
para katekis. Para pembinaan ini juga harus memiliki pengetahuan yang cukup serta memilik kedalaman hidup rohani agar dapat menjadi teladan CEP, 1997: 55-56.
j. Pembinaan dan Pendidikan Awal
Dalam periode pembinaan dan pendidikan awal atau dasar bagi para katekis memiliki perbedaan dari setiap Gereja karena disesuaikan dengan kebutuhan dan
situasi Gereja setempat. Namun tetap perlu memenuhi beberapa kriteria, misalnya pengenalan calondikenal secara pribadi dalam lingkungan budayanya; perhatian
terhadap keadaan Gereja dan masyarakat setempat; pendekatan langkah demi langkah; metode yang teratur dan lengkap mempertimbangkan situasi misi dan pedagogi;
calon harus dibantu untuk menyusun suatu rencana hidup; perlu ada dialog pribadi terus-menerus antara calon dan pembina; komunitas Kristen dimana katekis hidup dan
bekerja akan juga mempunyai sumbangan besar bagi pembinaan mereka CEP, 1997: 56-57.
k. Pembinaan dan Pendidikan Terus-menerus
Bagi para katekis perlu diadakan pembinaan dan pendidikan secara terus- menerus karena “kenyataan bahwa pribadi manusia tidak pernah berhenti berkembang
dari dalam, hakikat dinamis dari sakramen pembaptisan dan penguatan, proses pertobatan terus-menerus dan pertumbuhan dalam cinta apostolik, perubahan dalam
kebudayaan, perkembangan masyarakat dan pembaharuan terus-menerus metode pengajran”. Pembinaan dan pendidikan bagi para katekis menjadi menjadi tanggung
jawab semua pihak, baik dari paroki, keuskupan maupun komunitas-komunitas yang ada CEP, 1997: 57-58.
60
l. Sarana dan Struktur Pembinaan Terus-menerus
Pembinaan dan pendidikan bagi para katekis perlu juga didukung oleh sarana yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan pembinaan dan pendidikan para katekis.
Keuskupan tempat dimana sekolah kateketik bernaung mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan buku, materi audiovisual dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan
dalam pendidikan katekis. Para pembinaan dan pendidikan katekis perlu memperhatikan dan memperioritaskan sarana yang berhasil guna CEP, 1997: 59-61.
C. Spiritualitas Katekis