2. Wajib
9
Bagi orang yang sudah siap untuk melangsungkan pernikahan dan dia khawatir manakala tidak menikah
dia akan terjebak pada perzinaan
maka pernikahan baginya adalah wajib. sebab
menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan zina adalah hukumnya wajib
sementara untuk mencegah perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan jalan menikah. Karena itu
hukum menikah adalah wajib. 3. Makruh
Seseorang yang dianggap makruh untuk melakukan pernikahan adalah seseorang yang belum pantas untuk menikah
belum mempunyai keinginan melangsungkan pernikahan serta belum memiliki bekal yang mapan untuk
melangsungkan pernikahan. 4. Haram
Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tanggasehingga apabila melangsungkan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
10
5. Mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan
juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
9
Sayyid Sabiq Fikih Sunnah Jilid 3 Jakarta: Cakrawala Publishing 2011, h.208-209.
10
Abdul Rahman Ghazaly Fikih Munakahat Jakarta: Kencana 2003h. 18-21.
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hukum perkawinan yang terakhir ini diperselisihkan oleh ulama fikih. Menurut ulama
Mazhab Syafi’i
perkawinan bagi lelaki itu adalah mubah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan mereka:
11
a. Pada umumnyanas yang berbicara dalam masalah perkawinan senantiasa menggunakan kata al-hill halal
yang mengandung makna mubah seperti dalam surah An-Nisa ayat 24. Menurut mereka
al-hill tidak bisa diartikan wajib atau sunnah.
b. Nikah menurut mereka termasuk jenis amalan yang bersifat duniawi. Oleh karena itu
perkawinan tersebut dilangsungkan baik oleh muslim maupun non muslim. Di samping itu
mereka mengatakan bahwa perkawinan pada prinsipnya merupakan penyaluran naluri seksual; ini merupakan perbuatan
yang alami. Karena itu kawin sama saja dengan makan dan minum yang
bersifat mubah. Adapun ulama Mazhab Az-Zahiri berpendapat
wajib hukumnya bagi lelaki yang tidak khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan zina
apabila tidak kawin dan juga tidak akan menganiaya istrinya jika ia kawin. Mereka mengemukakan beberapa alasan:
11
“Nikah” dalam Abdul Azis Dahlandkked.Ensiklopedi Hukum Islam vol. 1 Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve
1997 h. 1331.
a. Nas yang menuntut perkawinan di atas Surah An-Nisa: 3 mengandung perintah untuk kawin bagi laki-laki seperti ini. Menurut ulama Mazhab
Az-Zahiri tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa kalimat al- amr dalam ayat tersebut tidak wajib. Oleh karena itu perkawinan bagi
lelaki seperti ini termasuk dalam perintah wajib yang dikandung nas. b. Seorang lelaki meskipun dalam keadaan stabil tidak khawatir akan berbuat
zina tetapi suatu saat tetap dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam
perbuatan zina apabila tidak kawin.
C. Rukun dan Syarat
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaanibadah,dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Rukun
perkawinan merupakan masalah yang serius dikalangan para ulama karena perbedaan pendapat diantara mereka.Perbedaan itu pun terjadi dalam menentukan
mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi, sebagian ulama menyebut sebagai rukun dan ulama yang lain menyebut sebagai syarat.
12
Terlepas dari perbedaan tersebut, jumhur ulama telah menyepakati bahwa
rukun perkawinan itu terdiri atas:
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. 2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3. Adanya dua orang saksi.
12
Abdul Rahman Ghazaly Fikih Munakahat h. 45.
4. Sighat akad nikah
yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau akilnya dari pihak wanita
dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan ibadah tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu. Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama
yaitu
13
: 1. Calon pengantin laki-laki: beragama Islam, laki-laki, tidak sedang berihram
hajiumroh, tidak mempunyai istri empat, termasuk isteri yang masih dalam menjalani
„iddah talak raj’i, tidak dipaksa, tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai perempuan, termasuk isteri yang masih dalam
menjalani „iddah talak raj’i. 2. Calon isteri syarat-syaratnya: beragama Islam atau Ahli Kitab, jelas
perempuan, tidak sedang berihramhajiumroh , belum pernah disumpah li’an
oleh calon suami, tidak bersuami atau tidak sedang menjalani masa „iddah
oleh lelaki lain dan bukan mahram calon suami. 3. Wali syarat-syaratnya: beragam Islam, sudah baligh dewasa, laki-laki,
berakal, tidak fasiq, tidak mahjur bissafah dicabut hak kewajibannya dan tidak rusak pikiran sebab terlalu tua atau sebab lainnya.
13
Abdul Rahman Ghazaly Fikih Munakahath.46-49.
4. Dua orang saksi laki-laki, syarat-syaratnya: Memahami arti kalimat ijab dan qabul.
14
AdapunUU Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan
yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau
rukun perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 yang keseluruhan rukun tersebut
mengikuti fiqh Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.
15
Menurut Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan dinyatakan dalam pasal 6 tentang syarat perkawinan dalam ayat berikut:
16
1 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3 Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
14
Zahry Hamid Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia Yogyakarta: Bina Cipta 1978 h. 24-28.
15
Amir Syarifuddin
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia “Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
” Jakarta: Prenada Media 2007 h. 61.
16
Badan Penasihatan Dan Pelestarian Perkawinan BP4 Provinsi DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, Jakarta: BP4 Provinsi DKI Jakarta, 1977 , h. 12-14.
4 Dalamhal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, yaitu
orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya. 5 Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalalm
ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut, dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini. 6 Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Kemudian dalam Pasal 17 ayat 1 disebutkan: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Sembilan belas tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 enam belas tahun.
D. Pernikahan Dini
1. Pengertian Pernikahan Dini Pernikahan Dini adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu
calon mempelai atau keduanya yang belum memenuhi syarat umur yang