81 sedangkan sisanya adalah sampah non organik. Maka, dalam penelitian ini, jumlah
sampah  yang  ada  pada  sepuluh  lokasi  dilakukan  penghitungan  rata-rata,  yaitu berasarkan  data  yang  ada  pada  demplot  DKP  dan  pengalaman  Mitran  dalam
melakukan pengelolaan sampah, sehingga diasumsikan dalam satu hari IPST akan mengolah  sampah  permukiman  yang  terdiri  dari  30  persen  sampah  organik,  50
persen  sampah  plastik,  dan  sisanya  residu  yang  sebagian  digunakan  untuk biomasa.
Sepuluh  IPST  pada  tahun  pertama  diharapkan  mampu  mereduksi  jumlah sampah  Kota  Bogor  sebesar  150  m
3
perharinya  atau  sekitar  38  persen  dari  total sampah  yang  tidak  tertangani  dan  tidak  terangkut  ke  TPA.  Sehingga  keberadaan
IPST dapat meningkatkan persentase sampah tertangani Kota Bogor dari 1.543 m
3
perhari menjadi sebesar 1.843 m
3
atau meningkat menjadi 82,5 persen.
6.3 Aspek Manajemen dan Hukum
Pada  penelitian  mengenai  analisis  model  penanganan  sampah  kota  bogor dengan  penerapan  IPST  ini  dikaji  pula  aspek  manajemen  atau  kelembagaan
pengelolaan  sampah  Kota  Bogor  terutama  yang  berkaitan  dengan  pelaksanaan IPST yang akan didirikan. Aspek ini menjelaskan bagaimana dapat diatur dan oleh
siapa dapat dilakukan operasi dari pengelolaan sampah Kota Bogor. Pada  pengelolaan  IPST  direncanakan  akan  bekerjasama  dengan  pihak
ketiga  atau  badan  usaha  tertentu.  Sehingga,  jenis  kelembagaan  yang  akan diterapkan  pada  pengelolaan  IPST  adalah  Scavanger  operation,  yaitu  sebuah
organisasi  kerja  dimana  badan-badan  swasta  tertentu  atau  perorangan  diberi  ijin untuk  mengelola  sampah  dalam  suatu  arealokasi  yang  telah  ditetapkan.  Bentuk
organisasi  ini  sangat  cocok  untuk  kota-kota  besar  dimana  banyak  perusahaan- perusahaan atau perorangan diberikan kesempatan untuk turut serta tetapi dengan
kontrol  dan  pengawasan  yang  ketat  oleh  petugas  dinas  kota.  Hal  tersebut sebagaimana  tercantum  dalam  Pasal  6  tentang  kewajiban  dan  kewenangan
pemerintah, ayat g, UU. No 18 Tahun 2008, bahwa pemerintah wajib melakukan koordinasi  antarlembaga  pemerintah,  masyarakat,  dan  dunia  usaha  agar  terdapat
keterpaduan dalam pengelolaan sampah. Dalam  pelaksanaannya  sangat  penting  diperhatikan  bahwa  kontrol  sangat
perlu  sehingga  pengumpulan  yang  dilakukan  sesuai  dengan  maksud-maksud
82 pengolahannya  tanpa  melupakan  segi  pelayanan.  Jenis  kelembagaan  ini  telah
diterapkan Dinas Kebersihan Kota Jakarta, dimana saat ini hampir seluruh sektor pengelolaan  kebersihan  dilakukan  oleh  pihak  ketiga  dengan  kontrol  yang  ketat
dari  pemerintah,  mulai  dari  pengangkutan  sampai  kepada  pengolahan  sampah  di TPA  Bantar  Gebang.  Hal  serupa  juga  diterapkan  oleh  Pemerintah  Kota  Batam
dalam hal pengelolaan sampah Kota dan pengolahan sampah di TPA Kota Batam mulai tahun 2004 sampai dengan penelitian ini dilakukan.
Konsekuensi  dari  pola  organisasi  Scavenger  operation  adalah  adanya pemindahan  alokasi  dana  retribusi  yang  seharusnya  masuk  kas  pemerintah
menjadi  hak  swasta  yang  melakukan  pengelolaan  sampah  sebagai  tambahan operasional, namun hal tersebut masih dalam kontrol pemerintah sebagai regulator
untuk  menentukan  batasan  retribusi  yang  layak  tanpa  menambah  beban masyarakat.
Dalam penelitian ini, diasumsikan terdapat sebuah unit usaha penanganan sampah  waste  management  milik  swasta  yang  akan  membantu  Bidang
Kebersihan  DKP  Kota  Bogor  dalam  hal  penanganan  sampah  kota  khususnya pelaksana  teknis  IPST  yaitu  PT  X.  PT  X  berada  di  bawah  koordinasi  DKP  Kota
Bogor  tepatnya  di  bawah  Bidang  Kebersihan.  Diperlukan  seksi  khusus  pada bidang  kebersihan  untuk  fokus  dalam  mengelola  PT  X  yang  bertanggung  jawab
langsung kepada Kepala Bidang Kabid Kebersihan DKP yaitu bidang kemitraan. Kegiatan  operasional  IPST  membutuhkan  SDM  sesuai  dengan  keahlian
dalam  menjalankan  perusahaan.  Dengan  asumsi  sepuluh  IPST  berjalan  optimal, maka kebutuhan tenaga kerja  proyek IPST dapat dilihat pada lampiran 1.
Total  kebutuhan  tenaga  kerja  untuk  10  IPST  yang  akan  diaplikasikan  di Kota  Bogor  adalah  206  pekerja,  dengan  sembilan  bidang  pekerjaan,  yaitu  :  1
Kepala IPST sebanyak satu orang, 2 Penanggung jawab PJ lokasi sebanyak 10 orang, 3 Pengangkut sampah sebanyak 60 orang, 4 Tenaga teknis dan operator
sebanyak  120  orang,  5    Teknisi  mesin  sebanyak  5  orang,  6  Pemasaran sebanyak  2  orang,  7  Supir  sebanyak  5  orang,  8  Administrasi  Keuangan  dan
Umum, serta 9 Manajemen SDM sebanyak 1 orang. Struktural organisasi PT X dibuat  untuk  memudahkan  menjalankan  operasional  IPST  dapat  dilihat  pada
Gambar 7.
83
Gambar 7. Struktur Organisasi PT X
Sumber : Mitran dan Hasil Olahan Penulis
Orientasi  pengelolaan  dengan  basis  kegiatan  di  TPS  yang  dimodifikasi menjadi  tempat  kegiatan  pengelolaan  sampah  sekaligus  tempat  usaha  setidaknya
membutuhkan  tenaga  kerja  yang  memiliki  motivasi  dan  dedikasi  yang  tinggi dalam  menciptakan  lingkungan  yang  bersih  dan  kegiatan  usaha  yang
berkesinambungan  serta  memberi  nilai  tambah  ekonomi.  Oleh  karena  itu pengalokasian  tenaga  kerja  harus  dilakukan  secara  efisien  dan  efektif  dimana
penempatan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan harus sesuai dengan beban kerja,  sehingga  diperlukan  motivasi  dan  dorongan  yang  tinggi  agar  dapat
memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Kajian kebutuhan tenaga kerja PT X  harus  sesuai  dengan  deskripsi  tugas  pada  masing-masing  jabatan.  Tingkat
pendidikan  untuk  Kepala  IPST  dan  Pemasaran  adalah  sarjana  yang  memahami pengelolaan  IPST  dan  ilmu  pemasaran.  Kualifikasi  tenaga  Adminstrasi  adalah
SMA,  Sedangkan  untuk  tenaga  teknisi  sampai  kepada  mekanik  tidak  bergantung kepada  tingkat  pendidikan,  melainkan  lebih  menekankan  kepada  keterampilan
secara teknis. Proyek  IPST  membutuhkan  biaya  investasi  yang  tinggi.  Selain  itu,  biaya
operasional  dalam  pengolahan  sampah  di  IPST  juga  bernilai  mahal.  jika  hanya mengandalkan  Income  perusahaan  melalui  penjualan  output  kompos  dan  sampah
Kepala DKP
SDM
Administrasi dan Keuangan
Kepala IPST Kabid Kebersihan
Pemasaran
Teknisi dan Operator Pengangkut Sampah
PJ Lokasi Supir dan
Teknisi Mesin
84 plastik untuk menutupi biaya operasional dapat menyebabkan IPST menjadi beban
bagi  swasta,  hal  tersebut  karena  tidak  seimbangnya  biaya  pemasukan  dengan operasional IPST. Oleh karena itu alternatif mekanisme pemasukan tambahan agar
IPST Kota  Bogor tetap  dapat beroperasi  adalah  melalui pemasukan dari retribusi sampah dengan mekanisme baru, yaitu daerah yang mendapatkan pelayanan IPST
diharuskan  membayar  retribusi  yang  besarnya  disesuaikan  untuk  membiayai operasional IPST pada daerah masing-masing. Selain dengan mekanisme retribusi,
usaha  ini  juga  dapat  berjalan  dengan  adanya  pembayaran  tipping  fee  dari pemerintah  sebagai  biaya  public  service  yang  dibayarkan  pemerintah  kepada
pengelola IPST atau PT X untuk meringankan beban biaya operasional pada usaha pengolahan  sampah.  Pembahasan  mengenai  retribusi  dan  tipping  fee  lebih
mendalam dikaji pada arus manfaat bagian analisis finansial .
Dalam aspek hukum, pengadaan  IPST merupakan salah satu rekomendasi dalam  UU  No  18  Tahun  2008,  khususnya  Pasal  6g  tentang  kewajiban  dan
kewenangan  pemerintah,  bahwa  pemerintah  wajib  melakukan  koordinasi  antar lembaga  pemerintah,  masyarakat,  dan  dunia  usaha  agar  terdapat  keterpaduan
dalam  pengelolaan  sampah.  Sehingga  hal  tersebut  merupakan  landasan  hukum dalam  pendirian  IPST  yang  dikelola  oleh  swasta  atau  badan  usaha.  Badan  usaha
yang  akan  digunakan  pada  pengelolaan  IPST  sebaiknya  memiliki  kekuatan hukum,  sehingga  hal  tersebut  akan  memudahkan  dalam  akses  peminjaman  dana
kepada  bank  atau  pihak  lainnya.  Selain  itu,  dasar  hukum  pada  pengelolaan  IPST diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat
menjalin jaringan kerjasama networking dengan pihak lain.
6.4. Aspek Lingkungan, dan Sosial Ekonomi.