1
I  PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jumlah  penduduk  Kota  Bogor  yang  semakin  meningkat  berbanding  lurus dengan  peningkatan  volume  produksi  timbulan  sampah  yang  terus  bertambah.
Pertambahan  timbulan  sampah  yang  tidak  terkendali  terus  membutuhkan  lahan yang semakin luas untuk tempat pembuangan akhir TPA. Namun demikian, luas
lahan  kosong  di  wilayah  Kota  Bogor  sangat  terbatas  karena  adanya  kompetisi dengan tujuan penggunaan lain yang juga meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah  penduduk,  terutama  penggunaan  lahan  untuk  permukiman  penduduk. Tabel  1  menunjukkan  peningkatan  jumlah  penduduk  Kota  Bogor  yang  diikuti
dengan peningkatan jumlah timbulan sampah.
Tabel 1 .  Perbandingan  Peningkatan  Jumlah  Penduduk  dan  Jumlah  Timbulan
Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009
Sumber : Laporan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang dan BPS Kota Bogor 2010, diolah.
Berdasarkan  data  pada  Tabel  1  dapat  diketahui  bahwa  jumlah  penduduk Kota Bogor selalu mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39
persen  per  tahun,  seiring  dengan  hal  tersebut,  jumlah  timbulan  sampah  Kota Bogor  juga  terus  mengalami  peningkatan  dengan  rata-rata  kenaikan  sebesar  4
persen  setiap  tahunnya.  Hal  tersebut  menunjukkan  adanya  peningkatan  jumlah penduduk  Kota  Bogor  secara  tidak  langsung  menyebabkan  semakin  banyaknya
volume sampah kota yang dihasilkan. Area  permukiman  merupakan  daerah  penghasil  sampah  terbesar  di  Kota
Bogor.  Kontribusi  timbulan  sampah  yang  berasal  dari  permukiman  yaitu  sebesar 64  persen  dari  total  timbulan  sampah  Kota  Bogor,  sedangkan  pasar  dan  pusat
Tahun Tren Jumlah Penduduk
Tren Jumlah Timbulan Sampah Jumlah
Jiwa Persentase
Peningkatan Jumlah m
3
hari Persentase
Peningkatan 2005
892.562 -
1.985 -
2006 913.800
2,37 2.205
9,10 2007
935.700 2,39
2.210 1,60
2008 958.100
3,20 2.224
0,90 2009
981.000 2,10
2.332 4,50
Rata-rata -
2,39 2.191
4,05
2 perdagangan  merupakan  penyumbang  sampah  terbesar  kedua  dengan  kontribusi
timbulan  sampah  sebesar  20  persen  dari  total  timbulan  sampah.  Rincian  sumber timbulan sampah Kota Bogor pada Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
. Jumlah  Timbulan  Sampah  Kota  Bogor  Berdasarkan  Sumber  Penghasil Sampahnya Tahun 2009
No Sumber Penghasil
Sampah Jumlah Timbulan
Sampah Kapasitas
Terangkut Tingkat
Pelayanan m
3
m
3
1. Permukiman
1.492,00 64
805 53,97
2. Pasar
303,15 13
299 98,65
3. Pusat Perdagangan
163,20 7
161 98,65
3. Industri
163,20 7
159 97,12
4. Sapuan jalan
116,60 5
109 93,27
5. Lain-lain
93,30 4
87 92,74
Jumlah 2.332
100 1.543
69,80
Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang  Kota Bogor 2010
Berdasarkan  data  pada  Tabel  2,  dapat  diketahui  tingkat  pelayanan pengangkutan  sampah  di  Kota  Bogor  belum  optimal.  Kapasitas  sampah  yang
dapat  terangkut  hanya  sekitar  69  persen  dari  keseluruhan  wilayah  Kota  Bogor yang  memiliki  luas  111,73  km
2
dengan  jumlah  timbulan  sampah  2.332  m
3
hari. Hal  tersebut  disebabkan  oleh  keterbatasan  sebagian  akses  jalan  yang  tidak  dapat
dilalui  oleh  kendaraan  besar  seperti  dump  truk  truk  pengangkut  sampah,  serta adanya keterbatasan dalam jumlah armada kebersihan untuk menjangkau seluruh
wilayah  layanan  kebersihan  tersebut.  Jumlah  sampah  yang  terangkut  sebanyak 1.543 m
3
hari dibuang ke tempat pembuangan akhir yang terletak di Desa Galuga Kecamatan  Cibungbulang  Kabupaten  Bogor,  sedangkan  sisa  sampah  yang  tidak
terangkut diolah menjadi kompos, didaur ulang, dikubur, dibakar, dibuang ke kali dan sebagian lagi dibuang di area permukiman.
Berdasarkan  jenisnya,  umumnya  sampah  perkotaan  terdiri  dari  campuran antara sampah organik dan non organik anorganik, serta sebagian kecil sampah
beracun. Menurut data komposisi sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009, sebesar 73  persen  dari  total  sampah  Kota  Bogor  merupakan  sampah  organik  yang
sebagian besar berasal dari sampah pasar tradisional dan permukiman, dan sebesar 25 persen merupakan sampah anorganik dengan kondisi tercampur antara sampah
3 organik  dengan  sampah  anorganik.  Komposisi  sampah  organik  yang  tinggi
menunjukkan  bahwa  sektor  pertanian  atau  industri  agribisnis  memberikan kontribusi  jumlah  timbulan  sampah  yang  lebih  tinggi  dibanding  sektor  industri
lainnya di Kota Bogor. Hal tersebut disebabkan belum adanya pemilahan sampah dan  produk  pertanian  siap  jual  di  lokasi  pertanian  onfarm  sehingga
bertumpuknya sampah pertanian di lokasi akhir penjualan yang biasanya terdapat di  daerah  kota
1
.  Sebagai  ilustrasi,  sampah  kulit  Jagung,  kol,  daun  brokoli,  dan sampah pertanian lainnya banyak bertumpuk pada pasar  yang umumnya terdapat
di  daerah  Kota.  Secara  lebih  rinci  jumlah  timbulan  sampah  Kota  Bogor berdasarkan komposisinya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
. Komposisi Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009 Komposisi Sampah
2006 2007
2008 2009
Organik 1.595
1.613 1.623
1.702 73
Plastik 240
243 244
256,5 11
Kertas 131
132 133
140 6
Kayu  Bambu 21
22 22
23 1
Baju  Tekstil 22
22 22
23 1
Logam 44
44 44
46 2
Gelas 43
44 44
46 2
Karet  Kulit 43
44 44
46 2
Lain-lain 43
44 44
46 2
JUMLAH 2.185
2.210 2.224
2.332 100
Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor 2010
Saat  ini  pengelolaan  sampah  yang  dilakukan  oleh  Kota  Bogor  dan sebagian  besar  daerah  di  Indonesia  masih  menggunakan  pendekatan  yang
menitikberatkan  pada  pengelolaan  sampah  ketika  sampah  itu  dihasilkan  end  of pipe  solution
,  yaitu  sampah  dikumpulkan,  diangkut,  dan  dibuang  ke  tempat pemrosesan akhir sampah. Lokasi tempat pembuangan akhir sampah Kota Bogor
berada  di  TPA  Galuga  yang  terletak  di  Kecamatan  Cibungbulang  Kabupaten Bogor.  Jarak  TPA  ini  sekitar  25  Km  dari  pusat  kota.  Luas  lahan  TPA  Galuga
adalah  13,6  Ha  dengan  lahan  efektif  pemusnahan  sampah  seluas  9,8  ha.  Pada lokasi TPA tersedia sebuah unit pengolah sampah organik yang mengolah sampah
1
Hidayat.  Tipping  fee,  menumbuhkan  ekonomi  dari  sampah.  httpwww.sampah.biz, [diakses 8 April 2010]
4 organik  yang  berasal  dari  pasar  menjadi  kompos.  TPA  ini  bekerja  sama  dengan
Kabupaten  Bogor  dengan  sistem  pengelolaannya  menggunakan  sistem pembuangan terbuka atau lebih dikenal dengan sistem open dumping.
Terdapat dua proses pembuangan  akhir menurut Sidik et al.  1985,  yaitu open  dumping
penimbunan  secara  terbuka  dan  sanitary  landfill  pembuangan secara  sehat.  Pada  sistem  open  dumping,  sampah  ditimbun  di    areal  tertentu
tanpa  membutuhkan  tanah  penutup.  Sedangkan  pada  cara  sanitary    landfill, sampah  ditimbun  secara  berselang-seling  antara  lapisan  sampah  dan  lapisan
tanah  sebagai penutup. Pada  kenyataanya  pengelolaan  sampah  di  TPA  Galuga  masih  banyak
menimbulkan  gangguan  dan  permasalahan.  Para  ahli  lingkungan  saat  ini menilai sistem  metode  open  dumping  tidak  layak  lagi  dijalankan,  karena  dapat
memberikan  dampak  pencemaran  lingkungan  yang  cukup  serius  serta menyebabkan  penurunan  kualitas  kesehatan  masyarakat  di  sekitar  lingkungan
TPA.  Berdasarkan  penelitian  Fatimah  Tahun  2009  mengenai  analisis  kelayakan usaha pengolahan sampah menjadi pembangkit listrik tenaga sampah PLTSA di
Kota Bogor, beberapa permasalahan metode open dumping yang terdapat di TPA Galuga antara lain: a Kebutuhan lahan TPA  yang cepat meningkat akibat tidak
dilakukannya  proses  reduksi  volume  sampah  secara  efektif.  b  Berbagai permasalahan  lingkungan  dan  kesehatan,  mulai  dari  yang  teringan  seperti  bau
yang  menyengat,  gatal-gatal  hingga  potensi  sebaran  penyakit  di  daerah  sekitar TPA seperti infeksi saluran pernafasan, dan lain-lain. c Tercemarnya sumber air
warga disekitar TPA Galuga sehingga menyebabkan beberapa sawah dan empang warga  tercemar  air  lindi  air  hasil  fermentasi  sampah,  serta  pencemaran
lingkungan  lainnya  seperti  pemasanasan  global  akibat  buangan  gas  metan  yang dihasilkan oleh TPA.
Saat  ini,  Pemerintah  Indonesia  telah  melakukan  pelarangan  terhadap pengelolaan  TPA  dengan  sistem  open  dumping  yang  akan  berlaku  mulai  Tahun
2013. Peraturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang  pengelolaan  sampah  pasal  22  ayat  1,  dimana  pada  Tahun  2013  setiap
pemerintah  daerah  wajib  mengganti  TPA  sistem  open  dumping  dengan  sistem pembuangan  sehat  dan  tertutup  atau  dikenal  dengan  sanitary  landfill  untuk
5 penanganan  sampah  di  seluruh  wilayah  Indonesia.  Metode  sanitary  landfill
merupakan  salah  satu  metoda  pengolahan  sampah  terkontrol  dengan  sistem sanitasi yang baik. Sampah yang dibuang ke TPA  dipadatkan  dengan  traktor  dan
selanjutnya  ditutup  tanah.  Cara  ini  akan  menghilangkan  polusi  udara.  Pada bagian  dasar  tempat  tersebut  dilengkapi  sistem  saluran  leachate  limbah  cair
sampah.  Pada  metode  sanitary  landfill  tersebut  juga  dipasang  pipa  gas  untuk mengalirkan  gas  metan  hasil  aktivitas  penguraian  sampah  kedalam  penampung
gas. Dari  uraian  di  atas,  Kota  Bogor  memiliki  masalah  penanganan  sampah
yang  cukup  serius,  bahkan  telah  berdampak  terhadap  aspek  sosial  masyarakat. Seperti kasus yang timbul pada akhir tahun 2010, dimana masyarakat Kecamatan
Kayu  Manis  menolak  rancangan  pendirian  TPA  di  kawasan  tersebut,  sementara Pemerintah  Bogor  tidak  memiliki  pilihan  lahan  untuk  mendirikan  TPA  sanitary
landfill di  Kota  Bogor  sebagai  tempat  pembuangan  sampah  kota  yang  terus
meningkat
2
.  Ketiadaan  TPA  menjadi  permasalahan  dalam  penanganan  sampah Kota Bogor ditengah semakin tingginya jumlah produksi sampah yang dihasilkan
oleh masyarakat Kota Bogor. Di sisi lain, biaya pengelolaan sampah Kota Bogor semakin meningkat dan terbatas. Hal tersebut dicerminkan oleh peningkatan biaya
pengelolaan  per  ton  sampah  yang  dihasilkan.  Biaya  operasional  penanganan sampah kota yang sebagian besar masih disubsidi dari APBD Kota Bogor menjadi
beban  bagi  pemerintah  kota.  Pendapatan  retribusi  sampah  mulai  Tahun  2008 mengalami  peningkatan,  karena  ada  peraturan  bagi  pelanggan  PDAM,  pungutan
retribusi  sampah  Kota  Bogor  disatukan  dengan  tagihan  air  PDAM  yang dibayarkan  setiap  bulan,  sedangkan  bagi  non  pelanggan  PDAM  tetap  membayar
retribusi  melalui  sistem  penarikan  secara  langsung.  Namun  demikian,  sampai dengan  Tahun  2009  kontribusi  retribusi  terhadap  pelayanan  kebersihan  hanya
sebesar 34 persen dari total biaya operasional  yang harus dikeluarkan sebesar 17 miliar  rupiah,  sehingga  subsidi  yang  harus  dikeluarkan  dari  APBD  Kota  Bogor
sebesar  11  miliar  rupiah.  Rincian  kontribusi  retribusi  terhadap  biaya  operasional penanganan sampah Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
2
Kemana Bogor Buang Sampah? Republika, 10 Juli 2010
6
Tabel 4
. Kontribusi  Retribusi Pelayanan  Kebersihan  Terhadap  Biaya  Operasional Penanganan Sampah Kota Bogor Tahun 2005-2009
Tahun Biaya Operasional
Retribusi Subsidi APBD
Retribusi 2005
9.160.158.000 2.242.720.160
6.917.437.840 24,5
2006 15.951.432.800
2.536.788.000 13.414.644.800
16,0 2007
16.341.613.000 2.626.184.550
13.715.428.450 16,0
2008 16.500.000.000
3.260.000.000 13.240.000.000
19,7 2009
17.000.000.000 5.800.000.000
11.200.000.000 34,0
Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang 2010
Menurut  Dinas  Kebersihan  dan  Pertamanan  Kota  Bogor  2010,  biaya pengelolaan  sampah  pada  TPA  sanitary  landfill  diperkirakan  jauh  lebih  tinggi
dibandingkan  pengelolaan  sampah  pada  TPA  open  dumping  karena  diperlukan proses  pengolahan  lanjutan.  Sehingga  diperlukan  usaha  yang  harus  dilakukan
secara terpadu dengan melakukan pengurangan sampah yang masuk ke TPA mulai dari  sumber  timbulan  sampah.  Melalui  program  kerja  Dinas  Kebersihan  dan
Pertamanan  DKP  Tahun  2010,  Pemerintah  Kota  Bogor  berencana  menerapkan sebuah  model  baru  dalam  pengelolaan  sampah  kota  yaitu  dengan  penerapan
instalasi  pengolahan  sampah  terpadu  IPST,  di  beberapa  kelurahan  di  Kota Bogor.  Menurut  beberapa  referensi  pengolahan  sampah  terpadu  yang  telah
diterapkan  di  beberapa  daerah  seperti  Bekasi,  Bandung,  Yogyakarta,  dan  Solo merupakan  alternatif  sistem  pengelolaan  sampah  yang  sasarannya  tidak
berorientasi kepada pembuangan dan pemusnahan sampah secara fisik saja, tetapi berorientasi kepada daur ulang dan pemanfaatan timbulan sampah tersebut
3
. Bagi Pemerintah Kota Bogor, infrastruktur IPST di beberapa kelurahan selain bertujuan
untuk  meminimalisasi  jumlah  sampah  yang  terangkut  ke  TPA  sanitary  landfill, juga  bertujuan  meningkatkan  jangkauan  wilayah  layanan  yang  tidak  terjangkau
oleh armada kebersihan, sehingga meningkatkan kondisi kebersihan dan kesehatan di lingkungan sekitar dan mencegah pencemaran lingkungan yang semakin parah.
Model  IPST  merupakan  paradigma  baru  dalam  pengelolaan  sampah sekaligus  dunia  usaha  khususnya  agribisnis.  Model  ini  memiliki  konsep  daur
ulang  sampah  atau  dikenal  dengan  konsep  3R  reduce  reuse  recycle,  yang
3
httpwww.wargahijau.org,  Model  Pengelolaan  Sampah  Kota,  [diakses  tanggal  20 Desember 2010
7 merupakan  konsep  pengolahan  sampah  yang  tidak  hanya  memandang  sampah
sebagai barang yang tidak bernilai, tetapi sebaliknya, memandang sampah sebagai potensi  yang  memiliki  nilai  dan  manfaat.  Output  yang  dihasilkan  dalam  sebuah
IPST yaitu pupuk organik, dan bahan baku plastik bekas yang merupakan produk yang  memiliki  nilai  ekonomis  value  added  dalam  sektor  pertanian  dan  non
pertanian.  Dengan  demikian  IPST  memiliki  potensi  bisnis  yang  baik  terutama pada sektor agribisnis sebagai penyedia input pertanian berupa pupuk organik jika
dikelola dengan tepat. Menurut  kajian  Departemen  Pertanian  Indonesia  pada  Tahun  2008,
Kebutuhan  pupuk  organik  untuk  memperbaiki  kerusakan  lahan  pertanian  di Indonesia  saat  ini  sangat  besar.  Total  kebutuhan  pupuk  organik  nasional  Tahun
2010  adalah  sekitar  30  juta  tontahun.  Hal  tersebut  belum  diimbangi  dengan jumlah  industri  pupuk  organik  yang  berkembang  di  Indonesia.  Perhitungan
tersebut  berdasarkan  luas  panen  padi  nasional  sekitar  12  juta  hatahun,  setiap hektar memerlukan pupuk organik rata-rata 2 ton. Sehingga diperlukan 24 juta ton
pupuk  organik.  Sebanyak  6  juta  ton  kebutuhan  pupuk  organik  digunakan  untuk memenuhi kebutuhan pengembangan SRI System Of Rice Intensification organik
sekitar  10  persen  dari  luas  tanam  padi,  yaitu  seluas  1,2  juta  ha  dengan  dosis pemupukan  organik  mencapai  5  tonha  diawalnya.  Untuk  memenuhi  kebutuhan
pupuk  organik  nasional  sebesar  30  juta  tontahun  tersebut  diperlukan  rumah kompos  30.000  unit  dengan  kapasitas  masing-masing  1000  ton  pupuk  organik
tahun. Namun pada saat ini karena keterbatasan anggaran, Kementerian Pertanian baru  bisa  memenuhi  sebagian  kecil  dari  kebutuhan  tersebut
4
.  Dari  data  proyeksi kebutuhan pupuk organik tersebut terdapat kesenjangan  yang cukup besar antara
kebutuhan  dan  ketersediaan  pupuk  organik  di  Indonesia.  Hal  tersebut menunjukkan  bahwa  terdapat  peluang  usaha  yang  cukup  prospektif  dalam
penyediaan kebutuhan pupuk organik di Indonesia. Permintaan pupuk organik juga diperkirakan  akan meningkat pada sektor
perkebunan.  Menurut  data  Direktorat  Jendral  Perkebunan  2009  proyeksi kebutuhan pupuk Urea, Superphos dan KCl pada subsektor perkebunan dari tahun
ke  tahun  semakin  menurun,  sebaliknya  kebutuhan  pupuk  organik  dan  pupuk
4
http: www.deptan.go.idproyeksi
kebutuhan  pupuk  sektor  pertanian  2010-2014, [diakses 22 Juli 2010]
8 majemuk  NPK  semakin  meningkat  rata-rata  5  persen  per  tahun.  Tabel  5
menunjukkan data proyeksi kebutuhan pupuk pada sektor perkebunan Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2015.
Tabel  5
.  Proyeksi  Kebutuhan  Beberapa  Jenis  Pupuk  pada  Sektor  Perkebunan Tahun 2010-2015
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan 2009
Selain  di  sektor  pertanian,  kebutuhan  pupuk  organik  juga  tinggi  pada sektor  non  pertanian,  yaitu  dalam  upaya  mereklamasi  lahan  yang  rusak  akibat
tercemar  oleh  kegiatan  tambang.  Salah  satunya  adalah  reklamasi  lahan pertambangan  batu  bara.  Kebutuhan  pupuk  organik  yang  digunakan  pada
reklamasi  lahan  tambang  bervariasi  karena  tergantung  pada  kondisi  lahan  yang tercemar,  yaitu  mulai  dari  2,5  ton  sampai  dengan  5  ton  per  hektar  lahan
5
. Meningkatnya  usaha  pertambangan  batu  bara  di  Indonesia  menjadi  indikasi
meningkatnya  kebutuhan  pupuk  organik  dalam  kegiatan  reklamasi  lahan pertambangan,  namun  belum  ada  angka  pasti  kebutuhan  pupuk  organik  pada
sektor  pertambangan.  Namun  demikian,  hal  tersebut  merupakan  salah  satu peluang pasar dalam usaha pupuk organik.
Output  potensial  lain  yang  dihasilkan  oleh  IPST  adalah  plastik  bekas. Berdasarkan data pada Tabel 3, limbah plastik merupakan jenis sampah anorganik
yang  paling  banyak  terbuang  begitu  saja  di  Kota  Bogor,  padahal  semua  pabrik plastik daur ulang recycling membutuhkan plastik-plastik bekas sampah plastik
baik dari kelompok film grade plastik daun maupun dari non-film grade plastik keras. Plastik-plastik tersebut sebagai bahan utama atau campuran untuk diproses
5
Diktat perencanaan tambang terbuka, Prinsip-Prinsip Reklamasi Tambang, Unisba, 12- 22 Juli 2004,
Jenis Pupuk
Kebutuhan Per Tahun Proyeksi Ton 2010
2011 2012
2013 2014
2015 Urea
2.560.214  2.447.115  2.330.955  2.211.657  2.089.146  1.964.151 Superphos
1.745.060  1.707.793  1.582.829  1.498.904  1.413.128  1.325.457 ZA
350.966 357.985
365.144 372.448
379.897 387.496
NPK 5.809.476  5.809.476  6.298.483  6.801.331  7.262.028  7.797.241
Organik 1.489.796  1.517.401  1.548.363  1.581.660  1.616.327  1.665.162
KCL 2.060.791  1.969.754  1.876.306  1.780.285  1.681.679  1.578.133
9 daur  ulang  menjadi  biji  plastik,  sehingga  dikenal  dengan  nama  biji  plastik  daur
ulang. Hal ini hanya untuk membedakan dengan biji plastik original atau asli. Saat ini biji plastik asli sebagian besar masih diimpor, sehingga harganya cukup mahal.
Selain itu harga biji plastik original juga mengikuti harga dolar dan harga minyak dunia
6
.  Maka  biji  plastik  daur  ulang  dapat  menjadi  suatu  alternatif  karena memiliki harga yang sangat kompetitif sehingga dapat menjadi bisnis yang cukup
prospektif.
1.2 Perumusan Masalah