Analisis Switching Value Analisis Kelayakan Bisnis Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Kota Bogor

109 skenario lainnya. Urutan kelayakan selanjutnya adalah Skenario II dengan nilai kriteria investasi yang hampir tidak berbeda jauh dengan Skenario IV, kemudian Skenario III dan Skenario I sebagai skenario pengelolaan IPST yang memiliki nilai kriteria investasi paling kecil. Sehingga badan usaha atau swasta yang realistis akan lebih memilih menjalankan proyek IPST Kota Bogor dengan mekasnisme pada Skenario IV, dimana perusahaan mendapatkan pemasukan dari retribusi masyarakat yang mendapatkan pelayanan penanganan sampah, dan melakukan pinjaman modal kepada bank minimal sebesar 50 persen sebagai investasi pada pembangunan IPST yang akan dilaksanakan.

7.5 Analisis Switching Value

Menurut pengalaman Mitran dalam melakukan pengelolaan sampah dengan model IPST, terdapat beberapa elemen yang sering berpengaruh terhadap pendapatan usaha, yaitu pendapatan selain penjualan output, dalam hal ini retribusi, kenaikan harga solar sebagai bahan bakar dalam menjalankan mesin- mesin pengolahan sampah pencacah, pengayak, mixer dan permasalahan penjualan biomasa yang tidak pasti. Oleh karena itu, pada penelitian ini, perlu dilakukan analisis switching value pada masing-masing skenario untuk mengetahui sejauh mana perubahan penurunan pendapatan retribusitipping fee, kenaikan harga solar, dan penurunan penjualan biomasa dapat ditoleransi sehingga proyek IPST dapat tetap berjalan atau layak untuk dijalankan dengan memberikan keuntungan.

7.5.1 Analisis Switching Value Pada IPST Skenario I

Skenario I dan III menetapkan tipping fee sebagai penerimaan selain dari penjualan output kompos dan sampah plastik. Hal tersebut merupakan public service yang harus dibayarkan oleh pemerintah Kota Bogor karena perusahaan telah mengelola sampah dari masyarakat yang telah membayar retribusi kepada pemerintah. Besarnya tipping fee pada penelitian ini diproyeksi sebesar Rp 100.000 ton berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah dijelaskan pada definisi operasional tentang tipping fee. Namun, besarnya tipping fee merupakan kewenangan pemerintah Kota Bogor dalam menetapkan, sehingga Skenario I dan 110 III memiliki risiko pendapatan tipping fee tidak mencapai proyeksi pada penelitian ini. Oleh karena itu, analisis switching value pada Skenario I berusaha melihat sejauh mana batas pendapatan tipping fee minimal yang harus diterima oleh pengelola IPST agar proyek IPST dapat tetap berjalan. Selain itu analisis pada skenario ini juga menghitung sejauh mana kenaikan harga solar dan penurunan penjualan biomasa dapat ditoleransi. Berdasarkan hasil analisis swtiching value yang dilakukan pada Skenario I, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Switching value Proyek IPST Skenario I No Parameter Persentase perubahan 1 Penurunan pendapatan Tipping Fee 12,215 2 Kenaikan harga Solar 63,035 3 Penurunan Penjualan Biomasa 34,35 Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa penurunan pendapatan tipping fee maksimal adalah sebesar 12,215 persen. Maka besarnya tipping fee yang harus dibayarkan oleh Pemda Kota Bogor kepada pengelola IPST minimal diatas Rp 87.715 tiap ton sampah yang dikelola. Karena pada angka tersebut NPV sama dengan 0 atau usaha tidak memberikan keuntungan. Selanjutnya kenaikan harga solar yang dapat ditoleransi oleh proyek IPST dengan Skenario I berdasarkan analisis switching value adalah 63,035 persen, jika harga bahan bakar solar saat ini adalah Rp 4.500 per liter, maka harga maksimal solar agar usaha tersebut tetap dalam kategori layak untuk dijalankan adalah Rp 7.337 per liter. Selain itu penurunan penjualan biomasa pada Skenario I memiliki batas masksimal 34,55 persen. Apabila penjualan biomasa mengalami penurunan sebesar persentase tersebut maka unit usaha IPST Skenario I masih layak untuk dijalankan, namun bila persentase penurunannya melebihi batas maksimal tersebut maka usaha tersebut menjadi tidak layak untuk dijalankan. Oleh karena itu pengelola IPST harus menjaga penjualan Biomasa agar tidak mengalami penurunan penjualan melebihi 34,55 persen atau dengan kata lain, perusahaan harus dapat menjual minimal sebanyak 886,3 Kg biomasa pada setiap periode produksi. 111

7.5.2 Analisis Switching value Pada IPST Skenario II

Skenario II dan IV menetapkan retribusi sebagai penerimaan selain dari penjualan output kompos dan sampah plastik. Hal tersebut merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat yang mendapatkan pelayanan penanganan sampah. Pada skenario ini besar biaya retribusi diproyeksi sebesar Rp 10.000KK. Nilai retribusi tersebut merupakan biaya retribusi rata-rata masyarakat sederhana disekitar pengelolaan sampah mitran. Teradapat risiko pendapatan retribusi tidak mencapai proyeksi pada penelitian ini. Salah satunya disebabkan oleh tingkat penerimaan masyarakat disekitar IPST Oleh karena itu, analisis switching value pada Skenario II bertujuan melihat sejauh mana batas tarif retribusi minimal yang harus dibayarkan masyarakat atau costumer IPST agar proyek IPST dapat tetap berjalan. Selain itu analisis pada skenario ini juga menghitung sejauh mana kenaikan harga solar dan penurunan penjualan biomasa dapat ditoleransi. Berdasarkan hasil analisis swtiching value yang dilakukan pada skenario II, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Switching Value Proyek IPST Skenario II No Parameter Persentase perubahan 1 Penurunan pendapatan Tipping Fee 38,05 2 Kenaikan harga Solar 310,98 3 Penurunan Penjualan Biomasa 100 Berdasarkan perhitungan pada Tabel 28 dapat diketahui penurunan pendapatan retribusi maksimal adalah sebesar 38,05 persen. Maka besarnya retribusi yang harus dibayarkan oleh setiap kepala keluarga atas jasa penanganan sampah kepada pengelola IPST minimal diatas Rp 6.195,- per bulan. Karena pada angka tersebut NPV sama dengan 0 atau usaha tidak memberikan keuntungan. Selanjutnya kenaikan harga solar yang dapat ditoleransi oleh proyek IPST dengan Skenario II berdasarkan analisis switching value adalah 310,98 persen, angka tersebut cukup optimistik, karena proyek IPST dengan Skenario II dapat menerima kenaikan harga solar sampai dengan tiga kali lipat dari harga saat ini. Jika harga bahan bakar solar saat ini adalah Rp 4.500 per liter, maka harga 112 maksimal solar agar usaha tersebut tetap dalam kategori layak untuk dijalankan adalah Rp 18.494 per liter. Sedangkan penurunan penjualan biomasa yang ditoleransi pada skenario ini mencapai 100 persen yang berarti tidak memiliki batas masksimal, atau dengan kata lain tanpa penjualan biomasa sekalipun proyek IPST masih layak untuk dijalankan, sebab proyek ini masih memiliki nilai bersih saat ini atau NPV positif sebesar Rp 4.403.745.834 dengan tingkat pengembalian internal atau IRR sebesar 13 persen.

7.5.3 Analisis Switching Value Pada IPST Skenario III

Skenario III memiliki kesamaan dengan Skenario I yaitu menggunakan mekanisme tipping fee sebagai penerimaan selain dari penjualan output kompos dan sampah plastik. Namun, sebagian modal berasal dari pinjaman bank, oleh karena itu tingkat diskonto yang digunakan menggunakan rataan tertimbang sebesar 10,5 persen. Hal tersebut mengakibatkan proyek IPST dengan Skenario III memiliki tingkat sensitivitas tersendiri yang akan berbeda dengan Skenario I. Analisis switching value pada skenario ini akan menunjukkan sejauh mana batas perubahan penurunan tipping fee yang masih dapat ditoleransi pada usaha ini sehingga proyek IPST dapat tetap berjalan. Selain itu analisis pada skenario ini juga menghitung sejauh mana kenaikan harga solar dan penurunan penjualan biomasa dapat ditoleransi. Berdasarkan hasil analisis swtiching value yang dilakukan pada Skenario III, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Switching value Proyek IPST Skenario III No Parameter Persentase perubahan 1 Penurunan pendapatan Tipping Fee 5,6 2 Kenaikan harga Solar 28,5 3 Penurunan Penjualan Biomasa 15,74 Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 29 dapat diketahui penurunan pendapatan tipping fee maksimal adalah sebesar 5,6 persen. Maka besarnya tipping fee yang harus dibayarkan oleh Pemda Kota Bogor kepada pengelola IPST minimal diatas Rp 94.400 tiap ton sampah yang dikelola. Karena pada angka 113 tersebut menunjukkan nilai IRR sama dengan discount rate yaitu 10,5 persen. Hal tersebut menunjukkan usaha tidak memiliki kemampuan mengembalikan pinjaman dengan bunga sebesar 14 persen pertahun karena usaha tidak memberikan keuntungan. Selanjutnya kenaikan harga solar yang dapat ditoleransi oleh proyek IPST dengan Skenario III berdasarkan analisis switching value adalah 28,5 persen. Maka, jika harga bahan bakar solar saat ini adalah Rp 4.500 per liter, kenaikan harga maksimal solar agar usaha tersebut tetap dalam kategori layak untuk dijalankan adalah Rp 5.783 per liter. Sedangkan penurunan penjualan biomasa pada Skenario III memiliki batas masksimal 15,74 persen. Sehingga, apabila penjualan biomasa mengalami penurunan sebesar persentase tersebut maka unit usaha IPST Skenario I masih layak untuk dijalankan, namun bila persentase penurunannya melebihi batas maksimal tersebut maka usaha tersebut menjadi tidak layak untuk dijalankan. Oleh karena itu pengelola IPST harus menjaga penjualan Biomasa agar tidak mengalami penurunan penjualan melebihi 15,74 persen atau dengan kata lain, perusahaan harus dapat menjual minimal sebanyak 1137,51 kg biomasa pada setiap periode produksi.

7.5.4 Analisis Switching value Pada IPST Skenario IV

Skenario IV memiliki kesamaan dengan Skenario II yaitu menggunakan mekanisme retribusi sebagai penerimaan selain dari penjualan output kompos dan sampah plastik. Namun, sebagian modal berasal dari pinjaman bank, oleh karena itu tingkat diskonto yang digunakan menggunakan rataan tertimbang sebesar 10,5 persen. Hal tersebut mengakibatkan proyek IPST dengan Skenario IV memiliki tingkat sensitivitas tersendiri yang akan berbeda dengan Skenario II. Analisis switching value pada skenario ini akan menunjukkan sejauh mana batas perubahan penurunan retribusi yang masih dapat ditoleransi pada usaha ini sehingga proyek IPST dapat tetap berjalan. Selain itu analisis switching value pada skenario ini juga menghitung sejauh mana kenaikan harga solar dan penurunan penjualan biomasa dapat ditoleransi. Berdasarkan hasil analisis swtiching value yang dilakukan pada Skenario IV, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 30. 114 Tabel 30. Switching Value Proyek IPST Skenario IV No Parameter Persentase perubahan 1 Penurunan pendapatan Tipping Fee 33,8 2 Kenaikan harga Solar 259 3 Penurunan Penjualan Biomasa 100 Beradasarkan data pada Tabel 30 dapat diketahui penurunan pendapatan retribusi maksimal adalah sebesar 33,8 persen. Maka besarnya retribusi yang harus dibayarkan oleh setiap kepala keluarga atas jasa penanganan sampah kepada pengelola IPST minimal diatas Rp 6.620 per bulan. Jika tarif retribusi dibawah itu, atau pendapatan retribusi berkurang lebih 33,8 persen, maka proyek IPST menjadi tidak layak untuk dijalankan oleh swasta. Sedangkan kenaikan harga solar yang dapat ditoleransi oleh proyek IPST dengan Skenario IV berdasarkan analisis switching value adalah 259 persen, angka tersebut cukup optimistik, karena proyek IPST dengan Skenario IV dapat menerima kenaikan harga solar hampir tiga kali lipat dari harga saat ini. Jika harga bahan bakar solar saat ini adalah Rp 4.500 per liter, maka harga maksimal solar agar usaha tersebut tetap dalam kategori layak untuk dijalankan adalah Rp 16.155 per liter. Sedangkan penurunan penjualan biomasa yang ditoleransi pada skenario ini mencapai 100 persen yang berarti tidak memiliki batas masksimal. Dengan kata lain jika terjadi risiko biomasa tidak terjual sama sekali pada suatu periode, proyek IPST masih layak untuk dijalankan, sebab proyek ini masih memiliki nilai bersih saat ini atau NPV positif sebesar Rp 5.516.875.423 dengan tingkat pengembalian internal atau IRR sebesar 12 persen.

7.6. Perbandingan Analisis Switching Value dari Keempat Skenario