Analisis kadar minyak tidak tersalut Shahidi dan Wanasundara 1997;

15 Lampiran 3. Meskipun kandungan β-karotennya menurun, minyak sawit degumming memiliki bilangan peroksida yang rendah dan memungkinkan terhambatnya kerusakan β-karoten selama penyimpanan. Selain itu, kadar asam lemak bebas minyak sawit masih di bawah standar SNI 01-0016-1998 sehingga masih layak digunakan untuk bahan baku mikroenkapsulat.

B. Pembuatan Mikroenkapsulat Minyak Sawit

Setelah menghasilkan minyak sawit hasil degumming, penelitian utama dimulai dengan pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dengan tiga metode, yaitu teknik koaservasi, pengeringan lapis tipis, dan penyerapan SiO 2 . Diagram alir ketiga metode dapat dilihat pada Lampiran 2. Mikroenkapsulat minyak sawit yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. 1. Teknik Koaservasi Metode pertama yang digunakan untuk pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit adalah teknik koaservasi pemisahan fase kompleks. Secara garis besar, metode ini terdiri dari 3 bagian, yaitu pembentukan tiga fase kimia yang tak tercampurkan, yaitu fase cairan pembawa, fase bahan inti, dan fase bahan penyalut; pencampuran bahan penyalut cair pada bahan inti; dan pengerasan penyalut Mustikawati 1998. Penyalut yang digunakan adalah gelatin sebagai sumber muatan positif dan gum arab sebagai sumber muatan negatif. Emulsi minyak sawit dan bahan penyalut yang dihasilkan diatur pH-nya hingga mencapai 4,0, yaitu di bawah titik isoelektrik gelatin. Di bawah titik isoelektriknya, gelatin bermuatan positif sedangkan gum arab akan bermuatan negatif. Dari perbedaan muatan tersebut, gum arab yang telah membentuk emulsi dengan minyak sawit akan menarik gelatin yang bermuatan berlawanan membentuk lapisan dinding yang menyelimuti minyak sawit Efendi 1994. Penambahan formaldehida sebagai crosslinking agent berfungsi untuk memperkeras dinding mikroenkapsulat yang telah terbentuk sehingga bersifat irreversible dan mendenaturasikan kompleks protein-gum arab dan mengikat inti lebih permanen Elisabeth 1992. Menurut Zuidam dan Nedovic 2010, penambahan crosslinking agent merupakan tahap opsional, terutama karena mikroenkapsulat yang dihasilkan akan dikeringkan dengan metode freeze-drying. Akan tetapi, berdasarkan penelitian Siow dan Ong 2013, mikroenkapsulat yang dibuat tanpa penambahan crosslinking agent lebih mudah mengalami kebocoran dibandingkan yang ditambahkan crosslinking agent. Hal ini menyebabkan rendahnya rendemen dan efisiensi mikroenkapsulat yang diperoleh. Agar dinding mikroenkapsulat semakin kuat, suhu emulsi diturunkan sampai 5 o C dan pH-nya dinaikkan menjadi 9,0. Terakhir, dilakukan sentrifugasi dan pencucian untuk memisahkan sisa bahan penyalut yang tidak bereaksi sekaligus mencuci sisa formaldehida. Pengerasan mikroenkapsulat dilakukan dengan freeze-dryer agar kandungan β-karoten dalam mikroenkapsulat tidak rusak akibat suhu tinggi. Pembuatan mikroenkapsulat minyak sawit dengan metode ini telah dilakukan oleh Efendi 1994 dan Syamsiah 1996, sementara Mustikawati 1998 membuat mikroenkapsulat minyak ikan dengan metode ini. Mikroenkapsulat yang diperoleh dengan metode ini memiliki bentuk yang sama persis dengan yang didokumentasikan oleh Syamsiah 1996, yaitu berbentuk 16 gumpalan seperti jelly yang porous atau seperti spons yang kenyal karena adanya penambahan gelatin dan dikeringkan dengan freeze-dryer. Secara teknis, metode ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah bahan penyalut yang digunakan, yaitu gum arab dan gelatin, adalah bahan yang mudah diperoleh. Selain itu, proses pengeringan yang dipilih sesuai dengan sifat β-karoten yang mudah rusak pada suhu tinggi. Namun, proses yang harus dilakukan pada metode ini sangat banyak, seperti pengaturan pH, sentrifugasi, dan freeze-drying sehingga peralatan dan waktu yang dibutuhkan lebih banyak dibandingkan metode lainnya. Banyaknya proses yang dilakukan juga berpotensi merusak β-karoten pada minyak sawit yang digunakan sehingga retensi β-karoten mikroenkapsulat yang dihasilkan akan kurang baik. Kelemahan lainnya adalah pemakaian formaldehida sebagai cross-linking agent. Formaldehida dilarang penggunaannya pada bahan pangan karena bersifat karsinogen. Bahan lain yang dapat menggantikan formaldehida sebagai cross- linking agent adalah larutan glutaraldehida, seperti yang dilakukan oleh Vahabzadeh et al. 2003. Namun, glutaraldehida jarang ditemui dan juga dapat menyebabkan asma, iritasi pada mata, rhinitis, serta iritasi kulit dan dermatitis pada konsentrasi di bawah 0,2 ppm OSHA 2006. Selain glutaraldehida, cross- linking agent lain yang dapat digunakan adalah enzim transglutaminase Zuidam dan Nedovic 2010.

2. Metode Pengeringan Lapis Tipis Modifikasi Kristi 2010

Penyalut yang digunakan pada metode pengeringan lapis tipis adalah maltodekstrin, Carboxy Methyl Cellulose CMC, dan gelatin. Menurut Westing et al. 1988 dalam Simanjuntak 2007, enkapsulasi lipid menggunakan maltodekstrin menyebabkan stabilitas emulsi dan retensi minyak rendah, namun minyak yang terenkapsulasi memiliki daya tahan terhadap oksidasi. CMC digunakan untuk bahan penyalut karena sifatnya sebagai pengikat air, pengental, dan stabilisator emulsi Simanjuntak 2007. Gelatin merupakan bahan penyalut yang umum digunakan untuk pembuatan mikroenkapsulat karena dapat membentuk film serta dapat membentuk emulsi. Ketiga bahan tersebut dicampurkan kemudian dilarutkan dalam air dan dipanaskan hingga suhu 60 o C. Menurut Simanjuntak 2007, pemanasan bertujuan untuk membuka molekul-molekul bahan penyalut agar dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk suspensi bahan penyalut di dalam air. Setelah suhu suspensi diturunkan menjadi 45 o C, dilakukan proses homogenisasi agar penyebaran molekul bahan penyalut lebih merata. Setelah suspensi penyalut homogen, dilakukan homogenisasi antara bahan penyalut dan minyak sawit untuk memperkecil ukuran globula. Apabila globula lemak yang terbentuk semakin kecil, semakin kecil pula kecenderungannya untuk bergabung kembali. Emulsi yang dihasilkan dari proses homogenisasi ini kemudian dioleskan tipis-tipis ke atas loyang yang dilapisi plastik mika dengan ketebalan 1-2 mm. Pada penelitian ini, dilakukan modifikasi terhadap metode yang dilakukan oleh Kristi 2010, yaitu mengganti proses pengeringannya dengan menggunakan oven vakum pada suhu 60 o C selama 5 jam. Menurut Puspasari et al. 2009, kondisi pemasakan dengan tekanan menghasilkan level retensi β-karoten dan nilai vitamin A yang lebih rendah. Oleh sebab itu, pengeringan dengan oven vakum diharapkan dapat menghasilkan retensi β-karoten yang lebih baik dibandingkan dengan