Penentuan daya serap air Beuchat et al. 1975; Messinger et al. 1987

16 gumpalan seperti jelly yang porous atau seperti spons yang kenyal karena adanya penambahan gelatin dan dikeringkan dengan freeze-dryer. Secara teknis, metode ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah bahan penyalut yang digunakan, yaitu gum arab dan gelatin, adalah bahan yang mudah diperoleh. Selain itu, proses pengeringan yang dipilih sesuai dengan sifat β-karoten yang mudah rusak pada suhu tinggi. Namun, proses yang harus dilakukan pada metode ini sangat banyak, seperti pengaturan pH, sentrifugasi, dan freeze-drying sehingga peralatan dan waktu yang dibutuhkan lebih banyak dibandingkan metode lainnya. Banyaknya proses yang dilakukan juga berpotensi merusak β-karoten pada minyak sawit yang digunakan sehingga retensi β-karoten mikroenkapsulat yang dihasilkan akan kurang baik. Kelemahan lainnya adalah pemakaian formaldehida sebagai cross-linking agent. Formaldehida dilarang penggunaannya pada bahan pangan karena bersifat karsinogen. Bahan lain yang dapat menggantikan formaldehida sebagai cross- linking agent adalah larutan glutaraldehida, seperti yang dilakukan oleh Vahabzadeh et al. 2003. Namun, glutaraldehida jarang ditemui dan juga dapat menyebabkan asma, iritasi pada mata, rhinitis, serta iritasi kulit dan dermatitis pada konsentrasi di bawah 0,2 ppm OSHA 2006. Selain glutaraldehida, cross- linking agent lain yang dapat digunakan adalah enzim transglutaminase Zuidam dan Nedovic 2010.

2. Metode Pengeringan Lapis Tipis Modifikasi Kristi 2010

Penyalut yang digunakan pada metode pengeringan lapis tipis adalah maltodekstrin, Carboxy Methyl Cellulose CMC, dan gelatin. Menurut Westing et al. 1988 dalam Simanjuntak 2007, enkapsulasi lipid menggunakan maltodekstrin menyebabkan stabilitas emulsi dan retensi minyak rendah, namun minyak yang terenkapsulasi memiliki daya tahan terhadap oksidasi. CMC digunakan untuk bahan penyalut karena sifatnya sebagai pengikat air, pengental, dan stabilisator emulsi Simanjuntak 2007. Gelatin merupakan bahan penyalut yang umum digunakan untuk pembuatan mikroenkapsulat karena dapat membentuk film serta dapat membentuk emulsi. Ketiga bahan tersebut dicampurkan kemudian dilarutkan dalam air dan dipanaskan hingga suhu 60 o C. Menurut Simanjuntak 2007, pemanasan bertujuan untuk membuka molekul-molekul bahan penyalut agar dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk suspensi bahan penyalut di dalam air. Setelah suhu suspensi diturunkan menjadi 45 o C, dilakukan proses homogenisasi agar penyebaran molekul bahan penyalut lebih merata. Setelah suspensi penyalut homogen, dilakukan homogenisasi antara bahan penyalut dan minyak sawit untuk memperkecil ukuran globula. Apabila globula lemak yang terbentuk semakin kecil, semakin kecil pula kecenderungannya untuk bergabung kembali. Emulsi yang dihasilkan dari proses homogenisasi ini kemudian dioleskan tipis-tipis ke atas loyang yang dilapisi plastik mika dengan ketebalan 1-2 mm. Pada penelitian ini, dilakukan modifikasi terhadap metode yang dilakukan oleh Kristi 2010, yaitu mengganti proses pengeringannya dengan menggunakan oven vakum pada suhu 60 o C selama 5 jam. Menurut Puspasari et al. 2009, kondisi pemasakan dengan tekanan menghasilkan level retensi β-karoten dan nilai vitamin A yang lebih rendah. Oleh sebab itu, pengeringan dengan oven vakum diharapkan dapat menghasilkan retensi β-karoten yang lebih baik dibandingkan dengan 17 pengering rak seperti yang digunakan Kristi 2010. Setelah kering, lapisan tipis tersebut diblender kering untuk menghasilkan serbuk mikroenkapsulat. Mikroenkapsulat yang dihasilkan berbentuk butiran seperti serbuk kopi instan dan berwarna kuning. Secara teknis, mikroenkapsulasi dengan metode ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah penyalut yang digunakan cukup mudah diperoleh, proses pembuatannya tidak memakan waktu terlalu lama dan peralatan yang digunakan tidak terlalu banyak. Mikroenkapsulat yang dihasilkan juga lebih praktis untuk disimpan jika dibandingkan dengan mikroenkapsulat hasil teknik koaservasi karena berbentuk butiran halus. Akan tetapi, proses pengeringan yang dilakukan pada suhu 60 o C selama 5 jam berpotensi merusak β-karoten. Kelemahan lainnya adalah kapasitas oven vakum yang digunakan terbatas sehingga tidak dapat digunakan untuk membuat mikroenkapsulat dalam jumlah banyak dalam waktu bersamaan.

3. Teknik Penyerapan SiO

2 Metode ketiga yaitu teknik penyerapan SiO 2 . Pada metode ini, sejumlah minyak sawit dicampurkan dengan sejumlah SiO 2 dengan perbandingan 1:1, kemudian campuran diaduk menggunakan sudip selama 5-10 menit. Senyawa SiO 2 atau bubuk silika merupakan komponen stabil yang inert terhadap reaksi kimia dan biokimia, tidak memberikan efek terhadap organ tubuh, dan tidak memberikan risiko silicosis Kofran 1993; Syamsiah 1996. Metode ini pernah dilakukan oleh Syamsiah 1996 dan Wardayanie 2000. Pada penelitian sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa mikroenkapsulat minyak sawit dengan perbandingan minyak sawit dan SiO 2 2:1 lebih baik dibandingkan dengan perbandingan 1:1. Pada penelitian ini, mikroenkapsulat yang dibuat dengan perbandingan minyak dan SiO 2 2:1 tidak dipilih karena minyak sawit tidak terserap semua oleh SiO 2 . Hal ini mungkin terjadi karena SiO 2 yang digunakan berbeda dengan yang digunakan pada penelitian sebelumnya. Bentuk mikroenkapsulat yang dihasilkan berupa butiran yang berwarna kecoklatan. Menurut Syamsiah 1996, mekanisme masuknya minyak dalam bahan pengisi yang inert ini dapat terjadi dengan dua cara. Cara pertama, minyak langsung masuk ke dalam lubang serbuk sehingga minyak yang terenkapsulasi dapat tahan terhadap sinar UV dan senyawa ozon. Kedua, minyak dihisap oleh permukaan serbuk dan menghasilkan minyak yang tidak tahan sinar UV dan senyawa ozon. Metode ini sangat mudah diaplikasikan dan tidak membutuhkan waktu sert a peralatan yang banyak. β-karoten yang tersalut juga seharusnya tidak mengalami kerusakan karena tidak ada proses pengeringan atau pengaturan pH seperti metode lainnya. Namun, senyawa SiO 2 bukanlah senyawa yang umum digunakan sebagai bahan penyalut sehingga sulit untuk memperolehnya. Menurut Expert group on Vitamins and Minerals EVM 2003, silicon dioxide SiO 2 biasanya terdapat di alam dalam bentuk kristalin dan amorphous. Silika amorphous dapat digunakan untuk bahan tambahan pangan, yaitu sebagai anti-caking. Selain itu, senyawa ini juga dapat digunakan sebagai clarifying agent, pengontrol viskositas, anti-foaming agent, dan dough modifier. EVM menetapkan safe upper level dari silika sebesar 700 mg silikahari untuk orang dewasa setara