9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Tinjauan tentang Kemampuan Empati
a. Pengertian Empati Menurut David Howe 2015: 10-11 istilah empati berasal dari
kata dalam
bahasa Jerman
yaitu Einfuhlung
yang artinya
mendeskripsikan kemampuan seseorang agar dapat “masuk kedalam”
sebuah karya keindahan, misalnya memproyeksikan diri dan perasaan seseorang
“kedalam” sebuah lukisan, sebuah patung, sebuah musik, bahkan keindahan alam itu sendiri. Pada tahun 1909 pakar psikologi
Edward Titchener untuk pertama kalinya menggunakan istilah empathy sebagai terjemahan dari kata einfuhlung.
Menurut David Howe, 2015: 22 secara epistemologi istilah empathy berasal dari bahasa Yunani yaitu em yang berarti memahami,
merasakan atau masuk “kedalam” dan pathos yang berarti perasaan orang
lain. Istilah “ke dalam” tersebut menurut David Howe, 2015: 16 berarti
melihat dan merasakan dunia dari sudut pandang orang lain, berusaha untuk memahaminya, dan berusaha memperlihatkan pemahaman atau
pengertian tersebut seseorang berhubungan dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Dengan demikian, berdasarkan epistemologi katanya,
empati dapat diartikan sebagai memasuki perasaan orang lain atau ikut merasakan keinginan atau kesedihan orang lain.
10
Berdasarkan pengertian empati diatas, yang mengartikan bahwa empati adalah memasuki perasaan orang lain bukan perasaan dirinya
sendiri sehingga empati bersifat you oriented atau berfokus pada orang lain. Menurut David Howe 2015: 20 orang yang berempati akan ikut
merasakan penderitaan orang lain, dan akan menempatkan dirinya dalam posisi yang sama dengan orang yang diempatinya. Namun bukan berarti
orang berempati terjebak dan merasakan penderitaan sama dengan orang tersebut. Misalnya saja ketika ada orang yang sedih karena ditinggalkan
oleh keluarganya maka orang yang berempati akan ikut merasakan kesedihan tersebut. Namun orang berempati tersebut tidak terjebak dalam
keadaan kesedihan yang sama dengan orang yang sedih tersebut. Pendapat tersebut diperkuat oleh Carl Rogers dalam Taufik
2012: 40 yang menawarkan dua konsepsi mengenai empati. Pertama Carl Rogers menulis, empati adalah melihat kerangka berpikir internal
orang lain secara akurat. Kedua, dalam memahami orang tersebut individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga merasakan
dan mengalami sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam
mengartikan empati penting untuk menempatkan kata “tanpa kehilangan
identitas dirinya ”. Karena meskipun orang yang berempati berarti masuk
ke dalam perasaan orang lain, tetapi dia tetap memiliki kontrol diri terhadap situasi yang ada, sehingga dia tidak ikut terhanyut dalam
perasaan orang lain tersebut.
11
Sesuai dengan pengertian empati diatas Mehrabian Epstein dalam Taufik, 2012: 41 mendefinisikan empati sebagai karakter afektif
yang mempengaruhi pengalaman terhadap emosi orang lain. Namun bukan berarti empati hanya bersifat afektif saja. Menurut Hogan dalam
Taufik, 2012: 41 mendeskripsikan empati sebagai kemampuan intelektual atau imajinatif terhadap kondisi pikiran dan perasaan orang
lain. Oleh karena itu, orang yang berempati akan menggunakan dua komponen yaitu afektif dan kognitif.
Baron Cohen dalam David Howe, 2015:16 menyatakan jika empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi
apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespon pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat.
Empati mencakup aspek-aspek psikologis yang kompleks, dimana pengamatan, ingatan, pengetahuan, dan pemikiran dipadukan untuk
menghasilkan pemahaman tentang pikiran dan perasaan orang lain. Menurut Taufik 2012:41 empati merupakan suatu aktivitas
untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan
observer, perceiver terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Menurut Baron
Byrne 2005: 111 empati adalah respon afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain.
12
Taufik 2012:41 menjelaskan jika empati sebagai skill atau kemampuan dan merupakan bagian dari kepribadian. Menurut Goleman
1996: 136 kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat
disimpulkan bahwa
kemampuan empati merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk masuk kedalam perasaan orang lain dalam rangka untuk mengerti
dan menghargai perasaan orang lain serta memandang situasi dari sudut pandang orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri.
b. Perkembangan Kemampuan Empati Anak Menurut Taufik 2012: 92 para peneliti mengungkapkan bahwa
empati bersifat being sekaligus becoming. Empati bersifat being karena empati merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia sebagai
pemberian Tuhan, yang telah menganugerahkan potensi-potensi empati sejak bayi. Selanjutnya empati bersifat becoming karena potensi-potensi
empati yang telah dimiliki oleh seseorang tersebut akan dibentuk dan dikembangkan oleh orang-orang di sekitarnya dan berbagai pengalaman
yang ditempuhnya. Pendapat yang sama mengenai empati bersifat being dan becoming juga disampaikan oleh psikolog Jane Strayer dalam Baron
Byrne, 2005: 113 yang menyatakan bahwa semua orang dilahirkan dengan kapasitas biologis kognitif untuk merasakan empati, tetapi dalam
spesifik seseorang akan menentukan apakah potensi tersebut akan dihambat atau menjadi menjadi bagian penting dari diri. Dengan
13
demikian, walaupun setiap orang memiliki potensi empati, tetapi karena setiap orang memiliki pengalaman dan hubungan dengan orang lain yang
berbeda-beda, maka akan terbentuk kemampuan empati yang berbeda- beda pada setiap individu. Menurut Baron Cohen dalam David Howe,
2016: 16 perbedaan tersebut dikarenakan orang yang berempati akan memadukan pengamatan, ingatan, pengetahuan, dan pemikiran untuk
menghasilkan pemahaman tentang pikiran dan perasaan orang lain. Walaupun empati bersifat being dan becoming, tetapi menurut
Hoffman kemampuan empati seseorang juga memiliki kecenderungan untuk berkembang berdasarkan tahap-tahap perkembangannya. Berikut
adalah tahap-tahap perkembangan empati menurut Hoffman dalam Borba, 2008: 25 yaitu:
1 Empati Umum bulan-bulan awal kelahiran Pada tahap ini, seorang anak masih tidak dapat untuk
membedakan antara diri sendiri dan peristiwa yang terjadi dilingkungannya, sehingga anak tidak dapat memahami penderitaan
orang lain karena menganggap penderitaan orang lain sebagai bagian dalam dirinya. Ketika orang lain mengalami penderitaan, anak
menganggap penderitaan tersebut adalah penderitaannya. Misalnya bayi berusia enam bulan menangis karena digigit oleh serangga, ketika
bayi lain mengetahui hal tersebut, maka bayi lain tersebut akan ikut menangis dan menganggap dirinya juga digigit oleh serangga.
14
2 Empati Egosentris mulai usia 1 tahun Pada tahap ini reaksi anak terhadap penderitaan orang lain
mulai berubah. Anak sudah mulai dapat memahami bahwa ketidaknyamanan atau penderitaan anak lain tidak selalu menjadi
penderitaannya. Sebagian besar anak balita pada tahap perkembangan empati ini secara naluri akan berusaha untuk meringankan penderitaan
orang lain. Akan tetapi, karena belum matangnya perkembangan kognitif, membuat anak tidak begitu yakin apa yang menyebabkan
penderitaan bagi orang lain tersebut. Misalnya ketika anak usia dua tahun melihat ibunya menangis, lalu dia duduk disamping ibunya dan
mengusap-usap tangan ibunya dengan lembut. Anak melakukan hal tersebut secara naluri untuk meringankan penderitaan ibunya, karena
perkembangan kognitifnya yang belum matang dia belum bisa mengetahui apa yang membuat ibunya menangis.
3 Empati Emosional usia 2-6 tahun Pada tahap ini, anak mulai mengembangkan kemampuan
dalam memerankan orang lain. Anak mulai memahami apabila perasaan seseorang mungkin berbeda dengan perasaannya. Pada tahap
ini pula anak mulai berpikir mengenai penyebab penderitaan orang lain, sehingga dia dapat mengetahui sumber-sumber penderitaan orang
lain dengan baik. Dengan demikian, anak dapat menemukan cara sederhana untuk memberikan bantuan dan menunjukkan dukungannya
kepada orang lain. Misalnya ketika boneka temannya rusak, anak
15
tersebut mendekati anak yang bonekanya rusak dan berkata “Bonekamu rusak, kamu nampak sedih, bagaimana kalau kita bermain
bersama menggunakan bonekaku?”. Karena sudah mengetahui penyebab penderitaan orang lain boneka temannya rusak, anak
tersebut mencoba untuk mengurangi penderitaan orang yang bonekanya rusak tersebut dengan mengajaknya bermain boneka
bersama-sama. 4 Empati Kognitif usia 6-10 tahun
Seorang anak mulai dapat memahami suatu persoalan dari sudut pandang orang lain dan dapat berbuat sesuai dengan hal
tersebut. Kemampuan seorang anak dalam usaha dalam mendukung dan membantu orang lain meningkat pesat dalam tahap ini.
Contohnya, seorang anak melihat seorang nenek yang membutuhkan bantuan untuk menaiki lift. Anak tersebut menahan pintu lift sehingga
sang nenek bisa masuk dengan aman. 5 Empati Abstrak usia 10-12 tahun
Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak, seorang anak mulai memperluas empatinya melalui hal-hal yang diketahui secara pribadi.
Anak mengembangkan empati tidak hanya kepada orang yang dikenalnya, tetapi juga kelompok orang yang belum pernah
dijumpainya. Misalnya ketika seorang anak melihat bencana alam. Walaupun
tidak melihat
secara langsung,
anak tersebut
membayangkan pendertiaan orang lain yang terkena bencana alam.
16
Kemudian anak tersebut menyumbangkan uangnya agar korban bencana alam tersebut merasa lebih baik.
c. Komponen Kemampuan Empati Secara umum para ahli mengkategorikan komponen empati
menjadi dua yaitu komponen kognitif dan afektif. Menurut Taufik 2012: 43 memaparkan bahwa empati terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen afektif dan komponen kognitif, yang mana setiap komponen memiliki sub bagian sebagai berikut:
1 Komponen Kognitif Menurut Taufik 2012:44 komponen kognitif merupakan
komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Komponen-komponen kognitif merupakan perwujudan dari
multiple dimensions,
seperti kemampuan
seseorang dalam
menjelaskan suatu perilaku, kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual dan verbal tentang orang lain, dan kemampuan untuk
membedakan atau menselaraskan kondisi emosional dirinya dengan orang lain. Komponen ini difokuskan pada kemampuan intelektual
individu seseorang untuk dapat memahami perpektif orang lain secara tepat. Dalam hal ini individu diharapkan mampu membedakan emosi-
emosi yang dialami orang lain dan bersedia menerima pandangan- pandangan orang lain tersebut. Komponen ini berkembang sesuai
dengan perkembangan kemampuan kognitif seseorang. Komponen kognitif empati terdiri dari:
17
a Perpective Taking pengambilan perspektif Perpective taking merupakan kecenderungan seseorang
untuk mengambil sudut pandang psikologis seseorang secara spontan. Menurut John W Santrock 2011: 244 pada masa kanak-
kanak menengah dan akhir anak-anak menunjukkan perpective taking, kemampuan untuk mengamsusikan perpektif orang lain
serta memahami pikiran dan perasaan mereka. Hal ini berarti seorang individu mampu, memahami bagaimana pandangan-
pandangan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini, terkait dengan reaksi emosional individu dan perilaku menolong.
Menurut Taufik 2012: 74 perilaku-perilaku sosial yang ganjil tidak sesuai kebiasaan akan menarik perhatian seseorang,
sehingga orang tersebut akan mengevaluasi padangan, tujuan, sikap, perilaku dari fenomena unik tersebut dari arah pandangan
kita. Setelah melakukan evaluasi biasanya dilanjutkan dengan memprediksi perilaku target pada masa yang akan datang. Aktivitas
untuk memperhatikan dan memprediksi terhadap situasi yang dihadapi orang lain dinamakan perpective taking. Seseorang
dikatakan memiliki perpective taking apabila dia dapat benar-benar mengerti apa yang terjadi pada orang lain.
Menurut Taufik 2012: 75 konsep perpective taking berkaitan dengan theory of mind, dimana seseorang dapat
menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami perpektif
18
mereka, dan dapat pula mengintepretasikan dan memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain. Kunci pokok dari perpective
taking terletak pada kemampuan seseorang dalam mengoptimalkan pikirannya untuk memahami kondisi orang lain, melalui
pemaknaan sikap dan perilaku yang dilihatnya. b Fantasy fantasi
Fantasy fantasi merupakan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri sendiri secara imajinasi kedalam pikiran,
tindakan, dan perasaan yang dialami oleh karakter-karakter khayalan yang terdapat dalam buku, games, cerita, atau film yang
ditontonnya. Seseorang sering mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh tertentu dan melakukan imitasi terhadap karakter-karakter
dan perilaku-perilaku tokoh yang dikagumi. Hal itu berarti individu dapat masuk, memahami dan seolah-olah mengalami posisi dan
keadaan karakter yang dibayangkan. 2 Komponen afektif
Komonen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk ikut serta mengalami perasaan-perasaan emosional yang sedang
dialami orang lain. Taufik 2012: 51 empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada
orang lain. Empati afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang
19
dirasakan orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain. Komponen afektif terdiri dari:
a Emphatic Concern Emphatic Concern merupakan perasaan simpati dan peduli
terhadap orang lain sebagai wujud dari ikut merasakan penderitaan yang sedang dialaminya. Sedangkan Menurut David O Sears dkk
1985: 69 emphatic concern adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khusunya untuk berbagai pengalaman atau
secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Emphatic Concern terkait dengan perasaan yang penuh kehangatan dan
perhatian. b Personal Distress
Personal distress memfokuskan pada kecemasan pribadi dan kegelisahan yang dirasakan sebagai akibat dari reaksi terhadap
situasi interpersonal yang tidak menyenangkan atau penderitaan yang dialami orang lain. Menurut David O Sears dkk 1985: 69
personal distress adalah reaksi pribadi kita terhadap penderitaan orang lain-perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, tidak berdaya,
atau perasaan apapun yang kita alami.
2. Perilaku Prososial