PENGARUH KEMAMPUAN EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS V SD NEGERI SE-GUGUS IV KASIHAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

(1)

PENGARUH KEMAMPUAN EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS V SD NEGERI SE-GUGUS IV KASIHAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Anggoro Widiatmoko NIM 12108241061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Motto

“When educating the minds of our youth, we must not forget to educate their heart” (Dalai Lama)


(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang kepada:

1. Kedua orang tua saya bapak Sukisno dan ibu Tutiyati yang telah memberikan kasih sayang, mendidik, dan mendoakan selama ini.

2. Keluarga besar saya yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan mendoakan kelancaran kuliah saya.

3. Sahabat-sahabat tercinta. 4. Almamater UNY.


(7)

PENGARUH KEMAMPUAN EMPATI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL SISWA KELAS V SD NEGERI SE-GUGUS IV KASIHAN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh

Anggoro Widiatmoko 12108241061

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan empati terhadap perilaku prososial siswa kelas V SD Negeri Se-Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD negeri se-gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 228 siswa. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan rumus Slovin sebanyak 146 siswa. Pengambilan sampel secara propotional random sampling. Metode pengumpulan data menggunakan skala kemampuan empati dan skala perilaku prososial. Uji validitas instrumen menggunakan expert judgement, sedangkan reliabilitasnya menggunakan cronbach alpha. Hasil analisis item instrumen skala kemampuan empati dari 24 item gugur 3, sedangkan skala perilaku prososial dari 28 item gugur 2. Reliabilitas alpha untuk skala kemampuan empati sebesar 0,802 sedangkan skala perilaku prososial sebesar 0,934. Uji analisis prasyarat yang dilakukan adalah normalitas, dan linieritas. Uji normalitas menggunakan rumus skewness, variabel kemampuan empati memperoleh nilai 0,284 sedangkan variabel perilaku prososial memperoleh nilai -0,469 sehingga sebaran kedua data tersebut dinyatakan normal. Uji linieritas memperoleh nilai Fhitung 0,758, karena Fhitung < Ftabel maka hubungan variabel X dan Y dinyatakan linier. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh positif dan signifikan antara kemampuan empati terhadap perilaku sosial siswa kelas V SD Negeri se-gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nilai Fhitung sebesar 35,014 (p<0,05). R square sebesar 0,196 yang berarti bahwa sumbangan kemampuan empati terhadap perilaku prososial sebesar 19,6% dan sisanya 80,4% dipengaruhi oleh variabel lain.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini ditulis sebagai realisasi untuk memenuhi tugas mata kuliah Tugas Akhir Skripsi. Selain itu, skripsi ini diajukan kepada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Fakultas Ilmu Pendidikan dalam penulisan skripsi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

4. Bapak Drs. Suparlan, M.Pd.I. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar yang telah memberikan ijin penelitian.

5. Ibu Haryani, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan waktunya untuk bimbingan sejak awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.


(9)

6. Seluruh dosen dan karyawan jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak membantu penyusunan skripsi ini. 7. Kedua orang tua yang selalu memberikan dorongan baik materiil maupun

spiritual.

8. Saudara-saudara yang selalu memberikan motivasi dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Teman-teman yang selalu memberikan motivasi.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak senantiasa diharapkan oleh penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca baik mahasiswa, dosen maupun masyarakat.

Yogyakarta, 23 Desember 2016


(10)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II Kajian Teori A. Deskripsi Teori ... 9

1. Kemampuan Empati ... 9

a. Pengertian Empati ... 9

b. Perkembangan Kemampuan Empati Anak ... 12

c. Komponen Kemampuan Empati ... 16

2. Perilaku Prososial ... 19

a. Pengertian Perilaku Prososial ... 19

b. Aspek-aspek Perilaku Prososial ... 21


(11)

B. Penelitian yang Relevan ... 45

C. Kerangka Pikir ... 46

D. Hipotesis ... 48

BAB III Metode Penelitian A. Pendekatan Penelitian ... 49

B. Variabel Penelitian ... 49

C. Desain dan Paradigma Penelitian ... 50

D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

E. Populasi dan Sampel ... 51

F. Teknik Pengumpulan Data ... 55

G. Definisi Operasional Variabel ... 56

H. Pengembangan Instrumen ... 57

I. Hasil Ujicoba Instrumen ... 64

J. Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Deskripsi Lokasi dan Subyek Penelitian ... 69

B. Pelaksanaan Penelitian ... 69

C. Analisis data ... 69

D. Deskripsi data ... 70

E. Uji Analisis prasyarat ... 87

F. Uji Hipotesis ... 88

G. Pembahasan ... 91

BAB V Kesimpulan Implikasi dan Saran A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ...100 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Tabel siswa kelas V SD Negeri se Gugus IV Kasihan Bantul ... 52

Tabel 2.Tabel jumlah anggota sampel tiap sub-populasi ... 54

Tabel 3.Kisi-kisi instrumen kemampuan empati ... 58

Tabel 4.Kisi-kisi instrumen perilaku prososial ... 60

Tabel 5. Hasil korelasi item total skala kemampuan empati ... 64

Tabel 6. Hasil korelasi item total skala perilaku prososial ... 65

Tabel 7. Rumus kategorisasi skor varibael ... 66

Tabel 8. Rumus kategorisasi skor variabel ... 70

Tabel 9. Skor setiap aspek variabel kemampuan empati ... 71

Tabel 10. Nilai rata-rata item pernyataan kemampuan empati ... 73

Tabel 11. Nilai tertinggi dan terendah variabel kemampuan empati ... 74

Tabel 12. Distribusi frekuensi skor variabel kemampuan empati ... 75

Tabel 13. Rumus klasifikasi kemampuan empati ... 77

Tabel 14. Tingkat skor variabel kemampuan empati ... 77

Tabel 15. Skor setiap aspek variabel perilaku prososial ... 78

Tabel 16. Nilai rata-rata item pernyataan perilaku prososial ... 80

Tabel 17. Nilai tertinggi dan terendah variabel perilaku prososial ... 82

Tabel 18. Distribusi frekuensi skor variabel perilaku prososial ... 84

Tabel 19. Rumus klasifikasi perilaku prososial ... 86

Tabel 20. Tingkat skor variabel kemampuan empati ... 86

Tabel 21. Hasil R square variabel kemampuan empati ... 89

Tabel 22. Hasil ANOVA kemampuan empati terhadap perilaku prososial ... 89


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Paradigma Penelitian ... 51

Gambar 2. Histgram skor aspek variabel kemampuan empati ... 71

Gambar 3. Sebaran frekuensi skor variabel kemampuan empati ... 76

Gambar 4. Sebaran frekuensi kemampuan empati ... 77

Gambar 5. Histogram skor aspek variabel perilaku prososial ... 79

Gambar 6. Sebaran frekuensi skor variabel perilaku prososial ... 85


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, sehingga manusia disebut makhluk sosial. Interaksi antar manusia tersebut bahkan sudah dimulai sejak janin masih dalam kandungan. Menurut Diane E Papalia (2015: 87), janin merespon suara ibu, detak jantung, maupun getaran dalam tubuh ibu dengan beralih ke arah dimana mereka mendengar suara ibunya. Setelah lahir, bayi tersebut akan mulai berinteraksi di dunia luar kandungan. Menurut Diane E Papalia (2015: 191), bayi akan mulai berinteraksi dengan tersenyum pada orang lain saat berusia 0-3 bulan. Usia 3-6 bulan bayi akan mengoceh dan tertawa. Usia 6-9 bulan bayi akan mencoba untuk mendapatkan respon dari orang lain. Pada usia-usia selanjutnya, seiring dengan pertumbuhan seorang manusia dari masa bayi ke masa kanak-kanak maka interaksinya dengan manusia yang lainnya akan berkembang semakin luas dan kompleks.

Rubin, Bukowski, & Parker (dalam Santrock 2011: 270), dalam penelitiannya menyatakan bahwa interaksi sosial anak dengan teman sebayanya meningkat sekitar 30 persen pada masa kanak-kanak menengah dan akhir. Semakin banyak interaksi seorang anak dengan teman sebayanya, maka akan semakin besar pula pengaruhnya pada perkembangan seorang anak. Santrock (2011: 270), menyatakan bahwa:

“Mempunyai hubungan positif dengan teman sebaya sangat penting

pada masa kanak-kanak menengah dan akhir. Terlibat dalam interaksi positif dengan teman sebaya, menyelesaikan konflik dengan teman sebaya secara non agresif dan memiliki persahabatan yang berkualitas pada masa kanak-kanak


(15)

menengah dan akhir tidak hanya memiliki hasil positif pada masa ini dalam kehidupan anak-anak tetapi juga terkait dengan hasil hubungan yang lebih

positif pada masa remaja dan dewasa.”

Pentingnya interaksi dengan teman sebaya tersebut menuntut agar seorang anak memiliki keterampilan sosial yang baik agar dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Menurut Santrock (2011: 272), salah satu keterampilan sosial yang dibutuhkan oleh seorang anak dalam berinteraksi dengan teman sebaya adalah perilaku prososial. Robert A Barron & Donn Byrne (2005: 92), menyatakan bahwa “perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan

mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong”. David O Sears

dkk. (1985: 47), mengungkapkan bahwa “perilaku prososial adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. ”Menurut Eissenberg & Mussen (dalam Tri Dayaksini & Hudaniah, 2009: 115), ada beberapa tindakan yang termasuk kedalam perilaku prososial antara lain: sharing (berbagi), cooperate (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. Idealnya dalam interaksi sosial seseorang akan saling tolong-menolong ketika salah satu diantara orang tersebut dalam kesusahan.

Namun hal itu berbeda dengan yang terjadi di SD Negeri se-gugus IV Kasihan. Berdasarkan hasil observasi di SD Negeri gugus IV Kasihan pada tanggal 27 Oktober 2015 sampai 11 November 2015 terdapat beberapa siswa


(16)

yang diobservasi masih belum melakukan perilaku prososial. Di SD Karangjati yang memliki ruangan yang sempit sehingga membuat jarak antar meja menjadi sempit. Jarak yang sempit tersebut membuat siswa kesulitan berjalan di dalam kelas. Namun beberapa anak sengaja untuk menghalangi jalan agar orang lain kesulitan untuk melewati jalan tersebut. Hal itu membuat siswa yang lain menjadi semakin kesulitan untuk melewati jalan tersebut.

Di SD Bangunjiwo kelas VB semua siswa laki-laki yang berjumlah 14 yang membuang sampah sembarangan, siswa-siswa tersebut melemparkan pesawat kertas keseluruh penjuru ruangan. Bahkan ketika guru dari siswa tersebut mencontohkan untuk mengambil sampah tersebut dan membuangnya ditempat sampah, beberapa anak malah semakin menjadi-jadi bermain pesawat kertas di dalam kelas. Di SD Bibis ketika pembelajaran Seni Budaya ada beberapa anak yang tidak mau untuk meminjamkan peralatan yang digunakan dalam pembelajaran kepada siswa lain yang kebetulan tidak membawa peralatan untuk pembelajaran tersebut. Di SD Sambikerep juga ditemui hal yang sama ketika guru sedang waktu istirahat ada beberapa siswa yang membeli jajanan di kantin, tetapi ada beberapa siswa lain yang tidak membeli makanan. Namun tidak ada suatu pertanda dari siswa yang membeli makanan untuk berbagi makanan tersebut kepada siswa lainnya. Bukan hanya itu, ketika guru menyuruh untuk membagikan nilai hasil ujian sewaktu istirahat. Pada saat itu, jarak antar meja didekat meja guru sempit. Namun tidak ada seorang siswa yang menggeser kursinya agar siswa yang membagikan hasil ujian tersebut dapat melewati meja dan kursi yang sempit tersebut. Hal itu membuat siswa


(17)

tersebut terpaksa untuk menaiki kursi, tetapi pada saat melewati kursi dia terjatuh. Namun semua teman-teman dari siswa yang jatuh tersebut hanya diam saja, walaupun berada didekatnya, tanpa ada inisiatif untuk menolong siswa yang jatuh tadi. Di SD Banyuripan, ketika ada seorang siswa yang menangis kesakitan, tetapi tidak ada siswa lain yang berinisiatif untuk sekadar menanyakan apa yang terjadi dengan siswa yang menangis tersebut. Di SD Sribitan I, ketika guru menanyakan kenapa salah satu siswa tidak masuk sekolah, tetapi dalam kelas tersebut tidak ada satu siswapun yang mengetahui kenapa siswa tersebut tidak masuk sekolah beberapa hari ini.

Perilaku prososial memiliki berbagai faktor yang mendasari seseorang untuk melakukannya. Seperti faktor situasional yang mempengaruhi seseorang untuk melalukan perilaku prososial berdasarkan situasi ketika seseorang pada situasi tertentu. Menurut Tri Dayaksini & Hudaniah (2009: 156), faktor-faktor situasional tersebut antara lain: kehadiran orang lain, pengorbanan yang harus dikeluarkan, pengalaman dan suasana hati, kejelasan stimulus, norma-norma sosial, dan hubungan antara calon penolong dan si korban. Selain faktor situasional, ada juga faktor kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Robert A Barron & Donn Byrne (2005: 116) faktor kepribadian tersebut antara lain empati, mempercayai dunia yang adil, tanggung jawab sosial, locus of control internal, dan egosentrisme rendah. Secara umum faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan prososial.

Menurut Santrock (2011: 244) dalam perilaku prososial, mengambil perspektif orang lain meningkatkan kemungkinan anak-anak untuk memahami


(18)

dan bersimpati dengan orang lain ketika orang lain sedang menderita atau membutuhkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa siswa SD negeri se-gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa siswa menyebutkan beberapa alasan kenapa tidak melakukan perilaku prososial. Misalnya ketika pembelajaran, ada seorang siswa yang tidak membawa penggaris. Kemudian siswa tersebut berusaha untuk meminjam penggaris dari siswa yang membawa penggaris. Namun siswa yang membawa penggaris bersikap tidak peduli, dengan alasan hal tersebut merupakan salah siswa itu sendiri dia tidak membawa penggaris. Ada juga kasus serupa, ketika ada siswa yang tidak memperbolehkan siswa yang lain untuk meminjam tipe-x. Atau ketika pembelajaran SBK, ketika seorang siswa kesusahan untuk memasang lakban, tidak ada siswa lain yang membantunya. Siswa yang tidak membantu tersebut beralasan bahwa tidak ada siswa lain yang membantunya ketika siswa terebut kesusahan memasang lakban.

Menurut Goleman (2005: 59) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga dia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Menurut Schlenker & Britt (dalam Robert A Baron & Donn Byrne, 2005:112), individu yang memiliki empati yang tinggi lebih termotivasi untuk menolong seseorang teman daripada individu yang memilki empati yang


(19)

rendah. Penelitian Dennis Kreb (dalam David G Myers, 1983: 385) menemukan jika mahasiswa Universitas Harvard yang memiliki repson psikologi dan laporan diri tentang empati merespon distress orang lain memberikan peluang yang paling besar untuk menolong. Staub (Tri Dayaksisni & Hudaniah, 2009: 156) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial adalah empati. David Howe (2015: 262) menyatakan semakin besar kepedulian empati seseorang terhadap kesusahan orang lain, semakin besar kemungkinannya akan membantu, dan lebih cepat kemungkinnya mereka akan menolong.

Dari pernyataan diatas dapat diduga jika kemampuan empati mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku prososial. Namun belum diadakan penelitian lebih mendalam apakah kemampuan empati mempengaruhi perilaku prososial siswa, terutama di SD Negeri se-Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh kemampuan empati terhadap perilaku prososial pada siswa kelas V SD Negeri Se-Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Muncul sikap individualisme dalam diri sebagian siswa yang ditandai dengan tidak memperhatikan hak siswa yang lain.


(20)

2. Beberapa siswa belum tergerak untuk menolong siswa lain yang membutuhkan bantuan.

3. Beberapa siswa tidak mengenali perasaan siswa lain yang membutuhkan bantuan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan keterbatasan peneliti, maka peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini pada pengaruh kemampuan empati terhadap perilaku prososial siswa.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang ada diatas, maka rumusan dalam penelitian ini

adalah “seberapa besar pengaruh kemampuan empati terhadap perilaku

prososial siswa?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh kemampuan empati terhadap perilaku prososial siswa kelas V SD negeri se-Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian adalah dapat memberikan landasan ilmiah dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang dapat


(21)

dimanfaatkan sabagai kajian bersama mengenai besarnya pengaruh kemampuan empati terhadap perilaku prososial siswa.

2. Manfaat Praktis

Sedangkan manfaat praktis yang dapat diharapkan dari hasil peneitian ini adalah:

a. Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi guru agar lebih memperhatikan kemampuan empati siswa, sehingga siswanya memiliki perilaku prososial yang baik.

b. Bagi peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah sebagai gambaran bagi peneliti tentang hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku prososial, termasuk pengaruh dari kemampuan empati.


(22)

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori

1. Tinjauan tentang Kemampuan Empati a. Pengertian Empati

Menurut David Howe (2015: 10-11) istilah empati berasal dari kata dalam bahasa Jerman yaitu Einfuhlung yang artinya mendeskripsikan kemampuan seseorang agar dapat “masuk kedalam” sebuah karya keindahan, misalnya memproyeksikan diri dan perasaan seseorang “kedalam” sebuah lukisan, sebuah patung, sebuah musik, bahkan keindahan alam itu sendiri. Pada tahun 1909 pakar psikologi Edward Titchener untuk pertama kalinya menggunakan istilah empathy sebagai terjemahan dari kata einfuhlung.

Menurut David Howe, (2015: 22) secara epistemologi istilah empathy berasal dari bahasa Yunani yaitu em yang berarti memahami, merasakan atau masuk “kedalam” dan pathos yang berarti perasaan orang lain. Istilah “ke dalam” tersebut menurut David Howe, (2015: 16) berarti melihat dan merasakan dunia dari sudut pandang orang lain, berusaha untuk memahaminya, dan berusaha memperlihatkan pemahaman atau pengertian tersebut seseorang berhubungan dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Dengan demikian, berdasarkan epistemologi katanya, empati dapat diartikan sebagai memasuki perasaan orang lain atau ikut merasakan keinginan atau kesedihan orang lain.


(23)

Berdasarkan pengertian empati diatas, yang mengartikan bahwa empati adalah memasuki perasaan orang lain bukan perasaan dirinya sendiri sehingga empati bersifat you oriented atau berfokus pada orang lain. Menurut David Howe (2015: 20) orang yang berempati akan ikut merasakan penderitaan orang lain, dan akan menempatkan dirinya dalam posisi yang sama dengan orang yang diempatinya. Namun bukan berarti orang berempati terjebak dan merasakan penderitaan sama dengan orang tersebut. Misalnya saja ketika ada orang yang sedih karena ditinggalkan oleh keluarganya maka orang yang berempati akan ikut merasakan kesedihan tersebut. Namun orang berempati tersebut tidak terjebak dalam keadaan kesedihan yang sama dengan orang yang sedih tersebut.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Carl Rogers (dalam Taufik 2012: 40) yang menawarkan dua konsepsi mengenai empati. Pertama Carl Rogers menulis, empati adalah melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat. Kedua, dalam memahami orang tersebut individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam mengartikan empati penting untuk menempatkan kata “tanpa kehilangan identitas dirinya”. Karena meskipun orang yang berempati berarti masuk ke dalam perasaan orang lain, tetapi dia tetap memiliki kontrol diri terhadap situasi yang ada, sehingga dia tidak ikut terhanyut dalam perasaan orang lain tersebut.


(24)

Sesuai dengan pengertian empati diatas Mehrabian & Epstein (dalam Taufik, 2012: 41) mendefinisikan empati sebagai karakter afektif yang mempengaruhi pengalaman terhadap emosi orang lain. Namun bukan berarti empati hanya bersifat afektif saja. Menurut Hogan (dalam Taufik, 2012: 41) mendeskripsikan empati sebagai kemampuan intelektual atau imajinatif terhadap kondisi pikiran dan perasaan orang lain. Oleh karena itu, orang yang berempati akan menggunakan dua komponen yaitu afektif dan kognitif.

Baron Cohen (dalam David Howe, 2015:16) menyatakan jika empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespon pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat. Empati mencakup aspek-aspek psikologis yang kompleks, dimana pengamatan, ingatan, pengetahuan, dan pemikiran dipadukan untuk menghasilkan pemahaman tentang pikiran dan perasaan orang lain.

Menurut Taufik (2012:41) empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan (observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. Menurut Baron & Byrne (2005: 111) empati adalah respon afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain.


(25)

Taufik (2012:41) menjelaskan jika empati sebagai skill atau kemampuan dan merupakan bagian dari kepribadian. Menurut Goleman (1996: 136) kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan empati merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk masuk kedalam perasaan orang lain dalam rangka untuk mengerti dan menghargai perasaan orang lain serta memandang situasi dari sudut pandang orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri.

b. Perkembangan Kemampuan Empati Anak

Menurut Taufik (2012: 92) para peneliti mengungkapkan bahwa empati bersifat being sekaligus becoming. Empati bersifat being karena empati merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia sebagai pemberian Tuhan, yang telah menganugerahkan potensi-potensi empati sejak bayi. Selanjutnya empati bersifat becoming karena potensi-potensi empati yang telah dimiliki oleh seseorang tersebut akan dibentuk dan dikembangkan oleh orang-orang di sekitarnya dan berbagai pengalaman yang ditempuhnya. Pendapat yang sama mengenai empati bersifat being dan becoming juga disampaikan oleh psikolog Jane Strayer (dalam Baron & Byrne, 2005: 113) yang menyatakan bahwa semua orang dilahirkan dengan kapasitas biologis kognitif untuk merasakan empati, tetapi dalam spesifik seseorang akan menentukan apakah potensi tersebut akan dihambat atau menjadi menjadi bagian penting dari diri. Dengan


(26)

demikian, walaupun setiap orang memiliki potensi empati, tetapi karena setiap orang memiliki pengalaman dan hubungan dengan orang lain yang beda, maka akan terbentuk kemampuan empati yang berbeda-beda pada setiap individu. Menurut Baron Cohen (dalam David Howe, 2016: 16) perbedaan tersebut dikarenakan orang yang berempati akan memadukan pengamatan, ingatan, pengetahuan, dan pemikiran untuk menghasilkan pemahaman tentang pikiran dan perasaan orang lain.

Walaupun empati bersifat being dan becoming, tetapi menurut Hoffman kemampuan empati seseorang juga memiliki kecenderungan untuk berkembang berdasarkan tahap-tahap perkembangannya. Berikut adalah tahap-tahap perkembangan empati menurut Hoffman (dalam Borba, 2008: 25) yaitu:

1) Empati Umum (bulan-bulan awal kelahiran)

Pada tahap ini, seorang anak masih tidak dapat untuk membedakan antara diri sendiri dan peristiwa yang terjadi dilingkungannya, sehingga anak tidak dapat memahami penderitaan orang lain karena menganggap penderitaan orang lain sebagai bagian dalam dirinya. Ketika orang lain mengalami penderitaan, anak menganggap penderitaan tersebut adalah penderitaannya. Misalnya bayi berusia enam bulan menangis karena digigit oleh serangga, ketika bayi lain mengetahui hal tersebut, maka bayi lain tersebut akan ikut menangis dan menganggap dirinya juga digigit oleh serangga.


(27)

2) Empati Egosentris (mulai usia 1 tahun)

Pada tahap ini reaksi anak terhadap penderitaan orang lain mulai berubah. Anak sudah mulai dapat memahami bahwa ketidaknyamanan atau penderitaan anak lain tidak selalu menjadi penderitaannya. Sebagian besar anak balita pada tahap perkembangan empati ini secara naluri akan berusaha untuk meringankan penderitaan orang lain. Akan tetapi, karena belum matangnya perkembangan kognitif, membuat anak tidak begitu yakin apa yang menyebabkan penderitaan bagi orang lain tersebut. Misalnya ketika anak usia dua tahun melihat ibunya menangis, lalu dia duduk disamping ibunya dan mengusap-usap tangan ibunya dengan lembut. Anak melakukan hal tersebut secara naluri untuk meringankan penderitaan ibunya, karena perkembangan kognitifnya yang belum matang dia belum bisa mengetahui apa yang membuat ibunya menangis.

3) Empati Emosional (usia 2-6 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai mengembangkan kemampuan dalam memerankan orang lain. Anak mulai memahami apabila perasaan seseorang mungkin berbeda dengan perasaannya. Pada tahap ini pula anak mulai berpikir mengenai penyebab penderitaan orang lain, sehingga dia dapat mengetahui sumber-sumber penderitaan orang lain dengan baik. Dengan demikian, anak dapat menemukan cara sederhana untuk memberikan bantuan dan menunjukkan dukungannya kepada orang lain. Misalnya ketika boneka temannya rusak, anak


(28)

tersebut mendekati anak yang bonekanya rusak dan berkata

“Bonekamu rusak, kamu nampak sedih, bagaimana kalau kita bermain

bersama menggunakan bonekaku?”. Karena sudah mengetahui

penyebab penderitaan orang lain (boneka temannya rusak), anak tersebut mencoba untuk mengurangi penderitaan orang yang bonekanya rusak tersebut dengan mengajaknya bermain boneka bersama-sama.

4) Empati Kognitif (usia 6-10 tahun)

Seorang anak mulai dapat memahami suatu persoalan dari sudut pandang orang lain dan dapat berbuat sesuai dengan hal tersebut. Kemampuan seorang anak dalam usaha dalam mendukung dan membantu orang lain meningkat pesat dalam tahap ini. Contohnya, seorang anak melihat seorang nenek yang membutuhkan bantuan untuk menaiki lift. Anak tersebut menahan pintu lift sehingga sang nenek bisa masuk dengan aman.

5) Empati Abstrak (usia 10-12 tahun)

Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak, seorang anak mulai memperluas empatinya melalui hal-hal yang diketahui secara pribadi. Anak mengembangkan empati tidak hanya kepada orang yang dikenalnya, tetapi juga kelompok orang yang belum pernah dijumpainya. Misalnya ketika seorang anak melihat bencana alam. Walaupun tidak melihat secara langsung, anak tersebut membayangkan pendertiaan orang lain yang terkena bencana alam.


(29)

Kemudian anak tersebut menyumbangkan uangnya agar korban bencana alam tersebut merasa lebih baik.

c. Komponen Kemampuan Empati

Secara umum para ahli mengkategorikan komponen empati menjadi dua yaitu komponen kognitif dan afektif. Menurut Taufik (2012: 43) memaparkan bahwa empati terdiri dari dua komponen, yaitu komponen afektif dan komponen kognitif, yang mana setiap komponen memiliki sub bagian sebagai berikut:

1) Komponen Kognitif

Menurut Taufik (2012:44) komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Komponen-komponen kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimensions, seperti kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu perilaku, kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual dan verbal tentang orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan kondisi emosional dirinya dengan orang lain. Komponen ini difokuskan pada kemampuan intelektual individu seseorang untuk dapat memahami perpektif orang lain secara tepat. Dalam hal ini individu diharapkan mampu membedakan emosi-emosi yang dialami orang lain dan bersedia menerima pandangan-pandangan orang lain tersebut. Komponen ini berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan kognitif seseorang. Komponen kognitif empati terdiri dari:


(30)

a) Perpective Taking (pengambilan perspektif)

Perpective taking merupakan kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis seseorang secara spontan. Menurut John W Santrock (2011: 244) pada masa kanak-kanak menengah dan akhir anak-anak menunjukkan perpective taking, kemampuan untuk mengamsusikan perpektif orang lain serta memahami pikiran dan perasaan mereka. Hal ini berarti seorang individu mampu, memahami bagaimana pandangan-pandangan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini, terkait dengan reaksi emosional individu dan perilaku menolong.

Menurut Taufik (2012: 74) perilaku-perilaku sosial yang ganjil (tidak sesuai kebiasaan) akan menarik perhatian seseorang, sehingga orang tersebut akan mengevaluasi padangan, tujuan, sikap, perilaku dari fenomena unik tersebut dari arah pandangan kita. Setelah melakukan evaluasi biasanya dilanjutkan dengan memprediksi perilaku target pada masa yang akan datang. Aktivitas untuk memperhatikan dan memprediksi terhadap situasi yang dihadapi orang lain dinamakan perpective taking. Seseorang dikatakan memiliki perpective taking apabila dia dapat benar-benar mengerti apa yang terjadi pada orang lain.

Menurut Taufik (2012: 75) konsep perpective taking berkaitan dengan theory of mind, dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami perpektif


(31)

mereka, dan dapat pula mengintepretasikan dan memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain. Kunci pokok dari perpective taking terletak pada kemampuan seseorang dalam mengoptimalkan pikirannya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang dilihatnya.

b) Fantasy (fantasi)

Fantasy (fantasi) merupakan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri sendiri secara imajinasi kedalam pikiran, tindakan, dan perasaan yang dialami oleh karakter-karakter khayalan yang terdapat dalam buku, games, cerita, atau film yang ditontonnya. Seseorang sering mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh tertentu dan melakukan imitasi terhadap karakter-karakter dan perilaku-perilaku tokoh yang dikagumi. Hal itu berarti individu dapat masuk, memahami dan seolah-olah mengalami posisi dan keadaan karakter yang dibayangkan.

2) Komponen afektif

Komonen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk ikut serta mengalami perasaan-perasaan emosional yang sedang dialami orang lain. Taufik (2012: 51) empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Empati afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang


(32)

dirasakan orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain. Komponen afektif terdiri dari:

a) Emphatic Concern

Emphatic Concern merupakan perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain sebagai wujud dari ikut merasakan penderitaan yang sedang dialaminya. Sedangkan Menurut David O Sears dkk (1985: 69) emphatic concern adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khusunya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Emphatic Concern terkait dengan perasaan yang penuh kehangatan dan perhatian.

b) Personal Distress

Personal distress memfokuskan pada kecemasan pribadi dan kegelisahan yang dirasakan sebagai akibat dari reaksi terhadap situasi interpersonal yang tidak menyenangkan atau penderitaan yang dialami orang lain. Menurut David O Sears dkk (1985: 69) personal distress adalah reaksi pribadi kita terhadap penderitaan orang lain-perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang kita alami.

2. Perilaku Prososial

a. Pengertian Perilaku Prososial

Menurut Baron & Byrne (2005:92) perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus


(33)

menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.

Menurut David O Sears dkk (1985:47) perilaku prososial adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif penolong. Salah satu contoh perilaku prososial adalah jika seseorang memberikan sumbangan yang besar pada malam amal yang diadakan oleh atasannya dengan harapan akan menimbulkan kesan yang menyenangkan dan mendapatkan kenaikan gaji. Menurut Tri Dayaksini dan Hudaniah (2009:156) perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya.

Menurut Rose D Parke & Alison Carke Stewart (2010: 382) perilaku prososial adalah perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain. Perilaku prososial termasuk berbagi (sharing), kepedulian (caring), menghibur (comforting), bekerjasama (cooperating), menolong (helping), simpati (symphatyzing) dan melakukan perbuatan baik. Perilaku prososial juga bisa termasuk tindakan yang dirancang untuk membantu sekelompok orang, masyarakat, negara, bahkan dunia.


(34)

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian perilaku prososial diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan suatu tindakan sukarela yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi orang tanpa memperdulikan motif-motif orang yang melakukan tindakan tersebut, dan tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.

b. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Menurut Eissenberg & Mussen (dalam Tridayaksini & Hudaniah, 2009: 155) aspek-aspek perilaku prososial terdiri dari beberapa macam antara lain:

1) Berbagi (sharing)

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berbagi berarti berbagi sesuatu bersama atau memberikan (sebagian) untuk orang lain. Dengan demikian, berbagi adalah kesediaan untuk berbagi sesuatu yang dimiliki atau yang sedang digunakan untuk digunakan bersama atau digunakan orang lain yang membutuhkan sesuatu tersebut tersebut. Sesuatu tersebut dapat berupa benda, barang, pikiran, perasaan, maupun ide. Misalnya ketika seseorang memiliki makanan, uang, barang, dan lain-lain, kemudian dia memberikan sebagian barang itu kepada orang lain yang membutuhkan barang tersebut. Bukan hanya barang saja yang dapat diberikan kepada orang lain, melainkan juga ide maupun pikiran seseorang dalam rangka


(35)

untuk membantu orang yang sedang kesulitan. Misalnya ketika ada seseorang yang kesulitan mengerjakan tugas, kemudian orang yang memiliki ide tersebut membagikan ide yang dia miliki ada orang tersebut lebih mudah dalam mengerjakan tugas. Namun, berbagi bukan hanya memberikan sesuatu kepada orang lain, tetapi dapat juga menggunakan sesuatu pada saat yang sama dengan orang lain. Misalnya ketika seorang siswa menggunakan meja yang sama pada waktu yang sama dengan temannya, berarti pada saat itu dia berbagi meja dengan temannya.

2) Kerjasama (coorperate)

Menurut Muchlas Samani & Haryanto (2014: 118) kerjasama adalah kesediaan untuk bertanggung jawab dan berkontribusi dengan mengerahkan tenaga maupun pikiran secara maksimal bersama-sama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan kelompok. Ketika bekerjasama tujuan kelompok yang ingin dicapai sudah disepakati oleh orang yang terlibat dalam kerjasama. Tindakan kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan menenangkan.

3) Menyumbang (donating)

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia menyumbang berarti memberikan sesuatu sebagai bantuan. Ketika seseorang menyumbang berarti orang tersebut melakukan kegiatan memberikan sesuatu dalam rangka untuk menolong seseorang atau organisasi. Menurut A Tabrani


(36)

Rusyan (2003:84) sesuatu yang diberikan tersebut memberikan manfaat bagi yang menerima. Sesuatu yang diberikan tersebut dapat berupa pemikiran dan segala bantuan, baik moril maupun materiil. 4) Menolong (helping)

Menurut Mohamad Mustari (2014: 14) menolong adalah kesediaan membantu orang lain. Bantuan itu diberikan dalam bentuk apa saja yang memang diperlukan orang yang ditolong, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ide, ataupun barang. Menolong meliputi membantu orang lain atau menawarkan sesuatu baik moril maupun materil yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.

5) Kejujuran (Honesty)

Menurut Muchlas Samani & Haryanto (2014: 124) bertindak jujur yaitu kesediaan untuk mengatakan sesuatu seperti apa adanya, dapat dipercaya, dan tidak berbuat curang, mencuri dan berbohong kepada terhadap orang lain. Seseorang yang bertindak jujur tidak akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Orang itu akan menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas, lurus hati, tidak suka berbohong, mencuri dan memfitnah, dan tidak menjerumuskan orang lain.

6) Kedermawanan (Generosity)

Menurut Muchlas Samani & Haryanto (2014: 123) kedermawanan adalah kemampuan seseorang untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara hemat dan cermat sehingga secara


(37)

bebas dapat memberikannya kepada seseorang yang amat membutuhkan. Orang yang dermawan memiliki sikap suka bersedakah, murah hati, memahami, dan tidak egois. Kedermawanan termasuk kesediaan untuk memberikan secara sukarela sebagian yang berharga miliknnya kepada orang lain yang membutuhkan. Bersedia untuk memberikan uang, bantuan, kebaikan, dll. Terutama pada hal yang lebih dari biasa atau diharapkan. Orang yang dermawan biasanya merasa senang ketika memberikan sesuatu yang berharga miliknya kepada orang lain yang membutuhkan.

7) Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain,

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia hak merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh seseorang, sedangkan kesejahteraan menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, aman dan sentosa. Ketika seseorang mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain berarti dia memikirkan baik-baik hak dan kesejahteraan orang lain sebelum dia mengambil sebuah keputusan.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Perilaku prososial tidak begitu saja muncul pada diri seseorang. Ada berbagai faktor dan teori yang menyatakan kenapa seseorang melakukan perilaku prososial. Menurut Sarlito W Sarwono & Eko A Meinarno (20:125) ada beberapa teori yang melandasi seseorang untuk melakukan perilaku prososial antara lain:


(38)

1) Teori Evolusi

Menurut teori evolusi, inti dari kehidupan adalah kelangsungan hidup gen. Gen dalam diri manusia telah mendorong manusia untuk memaksimalkan kesempatan berlangsungnya suatu gen agar tetap lestari.`

a) Perlindungan kerabat (kin protection)

Orang tua akan selalu siap untuk memberikan bantuannya kepada anak, walau harus mengorbankan kepentingan dirinya demi anak-anaknya. Menurut teori evolusi tindakan orang tua ini adalah demi kelangsungan gen-gen orang tua dalam diri anak. Orang tua yang mengutamakan kesejahteraan anak dibandingkan dengan kesejahteraan dirinya sendiri, gennya akan mempunyai peluang lebih besar untuk bertahan dan lestari dibandingkan orang tua yang mengabaikan anaknya. (David G Myers, 2012: 200).

Hal ini berlaku juga untuk kerabat yang lebih jauh dimana kedekatan gen-gen secara biologis membuat manusia terprogram secara alami untuk menolong orang lain. (Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014:125)

b) Timbal balik biologik (biological reciprocity)

Ketertarikan genetik untuk menolong seseorang juga karena adanya prinsip timbal balik. Menurut Robert Trivers (dalam David G Myers, 2012:201) seseorang membantu orang lain karena orang tersebut mengharapkan timbal balik dari perilaku menolongnya.


(39)

Seseorang menolong karena mengantisipasi kelak orang yang di tolong akan menolongnya kembali sebagai balasan, dan bila dia tidak menolongnya maka kelak dia pun tidak akan mendapat pertolongan.

2) Teori belajar

Dalam teori belajar ada dua teori yang menjelaskan tingkah laku menolong, yaitu teori belajar sosial (social learning theory) dan teori pertukaran sosial (social exchange theory).

a) Teori belajar sosial (social learning theory)

Dalam teori belajar sosial, tingkah laku manusia dijelaskan sebagai proses belajar terhadap lingkungan. Berkaitan dengan tingkah laku menolong seseorang menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap model prososial. (Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 126). Keberadaan pengamat yang menolong memberi model sosial yang kuat akan menghasilkan suatu peningkatan tingkah laku menolong diantara pengamat lainnya, sehingga model prososial mendukung terjadinya perilaku prososial (Baron & Byrne, 2005: 105-106). Seseorang cenderung akan melakukan perilaku prososial karena lingkungan memberi contoh-contoh yang dapat diobservasi untuk bertindak menolong (David O Sears dkk, 1985: 126). Misalnya saja ketika seorang anak melihat film yang tokoh utamanya melakukan perilaku prososial, maka


(40)

anak tersebut akan lebih cenderung untuk melakukan perilaku prososial.

b) Teori pertukaran sosial (social exchange theory)

Menurut teori pertukaran sosial, seseorang mempertimbangkan kemungkinan untung dan rugi dari suatu tindakan tertentu, termasuk menolong orang lain. Karena itu orang akan bertindak secara prososial bila yang dipersepsi berupa keuntungan (ganjaran-kerugian) karena memberikan pertolongan melebihi keuntungan yang diperoleh karena tidak menolong (David O Sears dkk, 1985: 58). Contohnya ketika seseorang ditawarkan untuk donor darah, sebelum mendonorkan darahnya, dia akan menghitung untung dan ruginya. Bila dia ikut mendonor, maka untungnya dia bisa mendapat penghargaan dari lingkungan atau kepuasan batin karena telah berbuat baik, ruginya dia harus menahan rasa sakit karena disuntik. Sebaliknya bila dia tidak mendonor, maka dia tidak perlu menahan rasa sakit karena disuntik namun dia tidak mendapat penghargaan dari lingkungan (David G Myers, 2012: 187)

Menurut Myers (dalam Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 127) sesuai dengan teori pertukaran sosial, tingkah laku menolong juga bisa semata-mata hanya untuk menutupi kepentingan pribadi seseorang. Misalnya mendonor darah untuk mendapatkan pujian, bukan niat untuk menolong orang yang membutuhkan. Dengan


(41)

demikian, keuntungan dari tingkah laku menolong dapat bersifat menolong untuk memperoleh imbalan dari lingkungan (external self reward) atau menolong untuk mendapatkan kepuasan batin (internal self rewards).

3) Teori empati

Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif dan kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang mampu memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya.

a) Hipotesis empati-aultrisme

Ketika seseorang melihat penderitaan orang lain, maka muncul perasaan empati yang mendorong dirinya untuk menolong. David Howe (2015: 262) menyatakan semakin besar kepedulian empati seseorang terhadap kesusahan orang lain, semakin besar kemungkinannya akan membantu, dan lebih cepat kemungkinnya mereka akan menolong. Menurut Batson (dalam (Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014:128) motivasi menolong ini sangat kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam aktivitas menolong yang tidak menyenangkan, berbahaya, bahkan mengancam jiwanya. Dengan demikian, motivasi seseorang untuk menolong adalah karena ada orang lain yang membutuhkan bantuan dan rasanya menyenangkan bila dapat berbuat baik.


(42)

b) Model mengurangi perasaan negatif (negative-state-relief model) Orang selalu menginginkan adanya perasaan positif pada dirinya dan berusaha untuk mengurangi perasaan negatif. Melihat orang menderita dapat membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman, sehingga ia berusaha untuk mengurangi perasaan tidak nyamannya dengan cara menolong orang tersebut. Dalam teori ini dijelaskan bahwa orang menolong untuk mengurangi perasaan negatif akibat melihat penderitaan orang lain. Perasaan negatif ini tidak selalu harus merupakan akibat melihat pendertiaan orang lain. Seseorang bisa saja berada dalam suasana hati yang negatif sebelum melihat orang yang sedang kesusahan dan menolong diharapkan dia dapat mengurangi perasaan negatifnya tersebut. (Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014:128)

c) Hipotesis kesenangan empati(emphatic joy hypothesis)

Dalam hipotesis ini dikatakan bahwa seseorang akan menolong bila dia memperkirakan dapat ikut merasakan kebahagiaan orang yang akan ditolong atas pertolongan yang diberikannya. Seseorang yang menolong perlu untuk mengetahui bahwa tindakannya akan memberikan pengaruh positif bagi orang yang ditolong. (Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014:128)

4) Teori perkembangan kognisi sosial

Dalam merespon suatu situasi darurat (situasi yang membutuhkan pertolongan), tentunya diperlukan sejumlah informasi


(43)

yang harus diproses dengan cepat sebelum seseorang memutuskan untuk memberikan pertolongan. Dengan demikian, tingkah laku menolong melibatkan proses kognitif seperti persepsi, penalaran, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Pemahaman kognisi berfokus pada pemahaman yang mendasari suatu tingkah laku sosial. (Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 129)

5) Teori norma sosial

Ketika menolong, seseorang mungkin tidak menyadari apa keuntungan bagi dirinya. Tindakannya ketika menolong dikarenakan ia merasa harus memberikan bantuannya kepada orang lain. Kegiatan menolong seperti keharusan membantu teman yang sedang sakit, membantu menunjukkan jalan kepada orang yang baru, dan mengembalikan dompet yang ditemukan dijalan, semuanya dipersepsikan sebagai suatu yang diharuskan oleh norma-norma masyarakat. Norma merupakan harapan-harapan sosial di masyarakat dan menentukan perilaku yang pantas bagi seseorang (Myers, 2012 :195). Ada dua bentuk norma sosial yang memotivasi seseorang untuk melakukan tingkah laku menolong yaitu

a) Norma timbal balik (the reciprocity norm)

Menurut Sarlito W. S. & Eko A. M. (2014: 130) salah satu norma yang bersifat universal adalah norma timbal balik, yaitu seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Hal ini menyiratkan adanya prinsip balas budi dalam kehidupan


(44)

bermasyarakat. Myers (2012: 195) harapan bahwa seseorang akan menolong mereka yang telah menolongnya, bukan menyakitinya. Dengan demikian, seseorang harus menolong orang lain karena kelak di masa datang, ia akan ditolong oleh orang lain atau ia pernah ditolong orang pada masa sebelumnya. Norma ini berlaku untuk hubungan sosial yang setara.

b) Norma tanggung jawab sosial (the social-responsibility norm) Menurut Scwartz (dalam Myers, 2012: 196) dalam norma tanggung jawab sosial, orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan timbal balik atau balasan dimasa yang akan datang. Norma ini memotivasi orang untuk memberikan bantuannya kepada orang-orang yang lebih lemah dari dirinya.

Selain hal tersebut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang akan menolong. Menurut Sarlito W. Sarwono & Eko A Meinarno (20:131) ada beberapa pengaruh yang akan menentukan seseorang untuk menolong atau tidak menolong antara lain:

1) Pengaruh faktor situasional a) Pengamat

Pengamat atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. Menurut Baron & Byrne (2005:


(45)

95) dalam hal tersebut maka akan terjadi efek pengamat yaitu semakin banyak jumlah pengamat, semakin berkurang bantuan yang diberikan.

Menurut Sarlito W. S. & Eko A. M. (2014: 131) efek pengamat terjadi karena (1) pengaruh sosial (social influence), yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan sebagai patokan dalam mengintepretasi situasi dan mengambil keputusan untuk menolong, seseorang akan menolong jika orang lain juga menolong; (2) hambatan penonton (audience inhibition), yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang lain (evalution apprehension) dan resiko membuat malu diri sendiri karena tindakan menolong yang kurang tepat akan menghambat orang untuk menlong; (3) penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) membuat tanggung jawab untuk menolong menjadi terbagi karena hadirnya orang lain.

b) Daya tarik

Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Menurut Clark (dalam Baron & Byrne 2005:102) apapun faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan pengamat kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadi respons untuk menolong. Menurut David O Sears dkk (1985: 70) seseorang cenderung akan menolong orang yang memiliki


(46)

karakteristik yang sama dan memiliki daya tarik fisik. Menurut Sarlito W. S. & Eko A. M. (2014: 132) pada umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu (in group), baru kemudian menolong orang lain (out group) karena sebagai suatu kelompok tentunya ada beberapa kesamaan dalam diri mereka yang mengikat mereka dalam suatu kelompok.

c) Atribusi terhadap korban

Menurut Weiner (dalam Baron & Byrne, 2005:103) seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengamsumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah diluar kendali korban. Seseorang akan lebih cenderung menolong orang yang tergeletak dengan memakai baju bersih dan rapi, tetapi memiliki luka bekas memar dikepala daripada orang yang tergeletak dengan memakai baju robek dan kotor namun ada botol anggur kosong disampingnya. Menurut Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 133) pertolongan tidak akan diberikan bila pengamat mengamsumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada korban adalah kesalahan korban sendiri (atribusi internal).

d) Ada model

Adanya model membuat tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Keberadaan pengamat yang menolong memberi model sosial yang kuat akan menghasilkan suatu peningkatan tingkah laku


(47)

menolong diantara pengamat lainnya, sehingga model prososial mendukung terjadinya tingkah laku prososial (Baron & Byrne, 2005: 105-106). Seseorang cenderung akan melakukan perilaku prososial karena lingkungan memberi contoh-contoh yang dapat diobservasi untuk bertindak menolong (David O Sears dkk, 1985: 126).

e) Desakan waktu

Menurut David O Sears (1985: 65) orang yang tergesa-gesa mempunyai kecenderungan lebih kecil untuk menolong dibandingkan mereka yang tidak mengalami tekanan waktu.

f) Sifat dan kebutuhan korban

Menurut Deaux dkk (dalam Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 135) kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan (Clarity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legimate of need), dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain (atrbiusi eksternal). Dengan demikian, orang yang meminta pertolongan akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk ditolong daripada orang yang tidak meminta pertolongan (walau ia seseungguhnya juga membutuhkan pertolongan) karena permintaan tolong korban membuat situasi pertolongan menjadi tidak ambigu. Namun, bantuan yang diperlukan harus dinilai layak oleh penolong.


(48)

2) Faktor dari dalam diri a) Suasana hati (mood)

Menurut Baron & Byrne, (2005: 109) suasana hati seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan untuk menolong. Suasana hati yang positif secara umum meningkatkan tingkah laku menolong. Namun Menurut David O Sears dkk (1985: 66) ada beberapa batasan penting mengenai suasana hati yang baik itu. Suasana hati yang baik bisa menurunkan kesediaan seseorang untuk menolong bila pemberian bantuan akan mengurangi suasana hati yang baik. Begitu juga sebaliknya bila seseorang berada dalam suasana hati yang buruk dan dia tidak memfokuskan suasana hati yang buruk tersebut pada dirinya sendiri, maka orang yang berada dalam suasana hati yang buruk tersebut cenderung untuk menolong. Hal ini dilakukan karena orang tersebut berfikir bahwa menolong seseorang akan mengurangi suasana hatinya yang buruk. b) Sifat

Baron & Byrne (2005: 116) mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian penolong, antara lain: (1) Empati

Seseorang yang menolong orang lain ditemukan mempunyai empati lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong. Partisipan yang paling prososial menggambarkan diri mereka sebagai bertanggung jawab, bersosialisasi,


(49)

menenangkan, toleran, memiliki self-control, dan termotivasi untuk membuat impresi yang baik.

(2) Mempercayai dunia yang adil

Orang yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik diberi imbalan dan tingkah laku yang buruk diberi hukuman. Kepercayaan ini mengarah pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan bahwa orang yang menolong akan mendapatkan keuntungan dari melakukan sesuatu yang baik.

(3) Tanggung jawab sosial

Mereka yang paling menolong mengekpresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang mebutuhkan.

(4) Locus of Control Internal

Merupakan kepercayaan individual bahwa dia dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang buruk. Mereka yang menolong mempunyai locus of control internal yang tinggi. Sebaliknya, mereka yang tidak menolong cenderung memiliki locus of control internal yang rendah dan


(50)

percaya bahwa apa yang mereka lakukan tidak relevan, karena apa yang terjadi diatur oleh keuntungan, takdir, orang-orang yang berkuasa, dan faktor-faktor yang tidak terkontrol lainnya. (5) Egosentrisme rendah

Mereka yang menolong tidak bermaksud untuk menjadi egosentris self-absorbed dan kompetitif.

c) Jenis kelamin

Menurut Deaux dkk (dalam (dalam Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 138) peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh.

d) Tempat tinggal

Menurut Deaux dkk (dalam Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 138) orang yang tinggal didaerah pedesaan cenderung lebih penolong daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu


(51)

orang-orang yang tinggal diperkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari lingkungan. Oleh karenanya, dia harus selektif dalam menerima paparan informasi yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah sebabnya diperkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena dia sudah overload dengan beban tugasnya sehari-hari.

e) Pola asuh

Menurut Bern (dalam Sarlito W. S. & Eko A. M., 2014: 139) tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam menetapkan standar-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong.

3. Karakteristik Anak Kelas V Sekolah Dasar

Tingkah laku dan proses sosialisasi siswa di sekolah dasar sangat berkaitan erat dengan karakteristik siswa, karena pada dasarnya ada yang mengatakan masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak menengah akhir. Menurut Rita Eka I dkk (2008: 104) Masa tersebut berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira sebelas atau dua belas tahun. Mulai masa


(52)

ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar. Pada masa ini anak-anak akan mengalami beberapa perkembangan antara lain :

1. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock 2011: 187) pada masa kanak-kanak menengah akhir seorang anak berada dalam tahap perkembangan kognitif operasional konkret. Pada tahap ini anak dapat melakukan tindakan konkret, dan mampu berpikir secara logis selama mereka dapat menerapkan penalaran mereka pada contoh yang konkret dan spesifik.

Pada masa kanak-kanak akhir menurut Piaget (dalam Rita Eka I, dkk, 2008: 106) anak-anak mulai berkurang rasa egonya dan mulai bersikap sosial. Terjadi peningkatan dalam hal pemeliharaan, misalnya mulai mau memelihara alat-alat permainannya. Mengelompokkan benda-benda yang sama ke dalam dua atau lebih kelompok berbeda. Dia juga mulai banyak memperhatikan dan menerima pandangan orang lain. Materi pembicaraan lebih ditujukan kepada lingkungan sosial, tidak hanya pada dirinya sendiri. Berkembang pengertian tentang jumlah, panjang, luas, dan lebar.

Dalam hal ini, peneliti hanya akan mengkaji tentang karakteristik siswa kelas tinggi. Usia anak kelas tinggi berkisar antara 9-12 tahun. Adapun beberapa karakteristik khas yang dimiliki anak-anak pada usia ini, menurut Rita Eka I (2008: 116-117) adalah sebagai berikut:


(53)

1) Adanya minat terhadap kehidupan sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan kecenderungan-kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan praktis.

2) Sangat realistis ingin tahu, dan ingin belajar

3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, atau dengan kata lain mulai menonjolnya faktor-faktor tertentu.

4) Pada masa ini anak memandang nilai/angka raport sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah.

5) Pada masa ini pula, anak-anak gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama.

2. Perkembangan bahasa

Pada masa kanak-kanak akhir kemampuan bahasa anak terus tumbuh. Anak lebih baik kemampuannya dalam memahami dan menginteperasikan komunikasi lisan dan tulisan. Pada masa ini perkembangan bahasa anak terlihat pada perubahan kosa kata dan tata bahasa. Menurut Rita Eka I (2008:108), pada perkembangan bahasan juga nampak perkembangan sebagai berikut:

a. Perkembangan bicara

Pada masa ini anak belajar bagaimana berbicara dengan baik ketika berkomunikasi dengan orang lain. Anak mulai menyadari bahwa komunikasi yang bermakna tidak dapat tercapai apabila anak tidak mengerti apa yang dikatakan orang lain maupun orang lain tidak


(54)

mengerti apa yang dia katakan. Karena itu anak mulai belajar untuk memahami perkataan orang lain, dan anak ketika berbicara akan lebih terkendali dan terseleksi kosakatanya agar orang lain mengerti apa yang dia bicarakan.

b. Minat membaca

Pada usia anak 10-12 tahun, perhatian membaca berada pada titik puncak. Dari kegiatan membaca ini anak memperkaya kosakata dan tata bahasa sebagai bekal untuk berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain.

3. Perkembangan moral

Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku dilingkungan masyarakat. Kohlebrg (dalam John W Santrock, 2011: 251) menyatakan ada enam tahap perkembangan moral. Keenam tahap tersebut terjadi pada tiga tingkatan yaitu:

a. Tingkatan pra-konvensional

Pada tingkatan pra-konvensional konsep individu mengenai baik dan buruk diinterpretasikan oleh penghargaan eksternal dan hukuman. Pada tingkatan ini terdiri dari dua tahap yaitu : 1) Moralitas Heteronom; anak-anak patuh karena orang dewasa memberitahu mereka untuk patuh, 2) Individualisme, tujuan, dan pertukaran; Individu mengejar kepentingan mereka sendiri, tetapi


(55)

memperbolehkan orang lain melakukan hal yang sama. Sesuatu yang benar melibatkan pertukaran yang sama.

b. Tingkatan konvensional

Pada tingkatan konvensional individu menerapkan standar tertentu, tetapi mereka adalah standar yang ditetapkan oleh orang lain. Pada tingkatan ini terdiri dari dua tahap yaitu: 1) Harapan interpersonal yang sama, hubungan, dan kesesuaian interpersonal ; nilai kepercayaan, kepedulian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral, 2) Moralitas sistem sosial ; penilaian moral didasarkan pada pemahaman tatanan sosial, hukum, keadilan dan tugas.

c. Pasca konvensional

Pada pasca konvensional individu mengakui ajaran moral alternatif, mengeksplorasi pilihan, dan kemudian memutuskan pada kode moral pribadi. Pada tingkatan ini terdiri dari dua tahap yaitu: 1) Kontrak sosial atau kegunaan dan hak-hak individu ; alasan individual bahwa nilai-nilai, hak-hak, dan prinsip mendasari atau melampaui hukum, 2) Prinsip etika universal ; orang-orang telah mengembangkan sebuah standar moral berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika menghadapi sebuah dilema antara hukum dan hati nurani, hati nurani seseorang diikuti.


(56)

4. Perkembangan emosi

Emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak. Apabila emosi yang dirasakan anak sering dan sangat kuat, hal ini akan berdampak pada penyesuaian sosial anak. Seorang anak dengan kondisi keluarga yang kurang atau tidak bahagia, memungkinkan terjadinya tekanan perasaan atau emosi pada anak.

Pergaulan yang semakin luas dengan teman sekolah dan teman sebaya lainnya akan mengembangkan emosi anak. Anak akan belajar bahwa ungkapan emosi yang kurang baik tidak akan diterima oleh teman-temannya, sehingga anak berusaha untuk mengendalikan ungkapan-ungkapan emosi yang kurang dapat diterima seperti: amarah, menyakiti perasaan teman, menakut-nakuti, dan sebagainya.

Emosi anak tentu berbeda dengan emosi pada orang dewasa. Menurut Rita Eka I (2008:112) menyebutkan ciri-ciri emosi pada anak yaitu:

a. Berlangsung relatif singkat b. Emosi anak kuat dan hebat c. Emosi anak mudah berubah

d. Emosi anak nampak berulang-ulang e. Respon emosi anak berbeda-beda

f. Emosi anak dapat diketahui dari gelaja dan tingkah lakunya g. Emosi pada anak mengalami perubahan pada kekuatannya. h. Perubahan dalam ungkapan-ungkapan emosi.


(57)

Menurut Santrock (2011: 244) pada masa kanak-kanak menengah akhir, anak-anak menunjukkan perpective taking, kemampuan untuk mengamsusikan perpektif orang lain serta memahami pikiran dan perasaan mereka. Anak-anak menjadi sadar bahwa setiap individu sadar terhadap perpektif orang lain dan bahwa menempatkan seseorang di tempat orang lain dengan cara menilai, niat, tujuan dan tindakan orang lain. Perpective taking merupakan bagian penting dalam mengembangkan sikap dan perilaku prososial. Dalam istilah perilaku prososial, mengambil perpektif orang lain meningkatkan kemungkinan anak-anak untuk memahami dan bersimpati dengan orang lain ketika mereka sedang menderita dan membutuhkan.

Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak, seorang anak mulai memperluas empatinya melalui hal-hal yang diketahui secara pribadi. Anak mengembangkan empati tidak hanya kepada orang yang dikenalnya, tetapi juga kelompok orang yang belum pernah dijumpainya. Misalnya ketika melihat bencana alam. Anak tersebut menyumbangkan uangnya agar korban bencana alam tersebut merasa lebih baik

Taufik (2012: 96) pada rentang usia ini anak-anak berada pada tahapan final dari mode perkembangan empati menurut Hoffman, terjadi pada akhir usia anak-anak yaitu pada umur 12 tahun. Pada tahapan ini anak dapat mengalami empati dalam merespons kondisi kehidupan orang lain, tidak hanya terfokus pada diri sendiri. Reaksi-reaksi tersebut dapat diperoleh atau dipelajari oleh anakseiring dengan makin intensifnya


(58)

mereka berteman atau berinteraksi dengan kawan-kawan sepermainnya yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini relevan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dimas Aji Nugroho tahun 2013 dengan judul “Hubungan antara Locus of Control Internal dan Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Prososial pada Mahasiswa Program Studi Psikologi UNS. Analisis data pada penelitian ini menggunakan regresi linier berganda didapatkan nilai Fhitung 52,878 > Ftabel 3,09, p < 0,05, dan nilai R =0,722. Niai R2 dalam penelitian ini sebesar 0,522 atau 52,2% dimana sumbangan efektif locus of control internal sebesar 12,84% dan sumbanagn efektif kecerdasan emosi sebesar 39,36%. Secara parsial terdapat hubungan antara locus of control internal dengan perilaku prososial dengan nilai rx1y = 0,220, p < 0,05; serta terdapat hubungan anatara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial dengan nilai rx2y =0,507, p < 0,05. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dimas Aji Nugroho antara lain sama meneliti perilaku prososial dipengaruhi oleh faktor disposisi kepribadian seseorang. Jika Dimas Aji Nugroho meneliti disposisi kepebribadian yaitu locus of control internal dan kecerdasan emosi yang mempengaruhi perilaku prososial. Maka penelitian ini meneliti mengenai salah satu disposisi kepribadian yaitu kemampuan empati yang mempengaruhi perilaku prososial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dimas Aji Nugroho locus of control internal dan kecerdasan emosi sama-sama mempengaruhi perilaku prososial. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan


(59)

Dimas Aji Nugroho adalah variabel bebas penelitian, tempat, waktu, dan subyek penelitian. Jika penelitian yang dilakukan oleh Dimas Aji Nugroho subyeknya adalah mahasiswa Program Studi Psikologi UNS yang berada pada masa perkembangan remaja dan dewasa awal, sedangkan dalam penelitian ini subyeknya adalah siswa Kelas V SD Negeri se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada pada masa perkembangan kanak-kanak akhir.

C. Kerangka Pikir

Manusia adalah makhluk sosial. Seiring dengan pertumbuhan seorang manusia dari masa bayi ke masa kanak-kanak, maka interaksinya dengan manusia lainnya akan berkembang semakin luas dan kompleks. Seorang anak pada masa kanak-kanak akhir memiliki interaksi dengan teman sebaya yang lebih kompleks dari masa sebelumnya. Semakin banyak interaksi seorang anak dengan teman sebayanya maka akan semakin besar pula pengaruhnya pada perkembangan seorang anak. Pentingnya interaksi dengan teman sebaya tersebut menuntut seorang anak agar memiliki keterampilan sosial yang baik, salah satu keterampilan sosial tersebut adalah perilaku prososial.

Perilaku prososial merupakan suatu tindakan sukarela yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi orang lain tanpa memperdulikan motif-motif orang yang melakukan tindakan tersebut. Perilaku prososial tidak harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, bahkan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong. Oleh karena itu, ada berbagai situasi yang membuat orang berpikir ketika


(60)

menjadi pengamat suatu kejadian yang orang lain membutuhkan pertolongan, untuk melakukan perilaku prososial.

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial salah satunya adalah faktor kepribadian yaitu empati. Kemampuan empati merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk masuk kedalam perasaan orang lain dalam rangka untuk mengerti dan menghargai perasaan orang lain serta memandang situasi dari sudut pandang orang lain tanpa kehilangan identitas diri mereka sendiri. Seseorang yang memiliki kemampuan empati yang tinggi lebih termotivasi untuk menolong orang lain daripada mereka yang memiliki empati yang rendah.

Hal tersebut terjadi karena empati terdiri dari dua komponen yaitu komponen kognitif (perpective taking dan fantasy) dan komponen afektif (emphatic concern dan personal distress). Ketika orang lain berada dalam penderitaan, maka komponen dari empati tersebut akan bekerja. Seorang yang berempati secara kognitif akan mencoba untuk memahami perpektif orang lain secara tepat. Seorang yang berempati tersebut juga akan mampu untuk membedakan emosi-emosi yang dialami orang lain dan bersedia untuk menerima pandangan-pandangan orang lain terebut. Begitu juga komponen afektifnya, seorang yang berempati tersebut akan ikut serta mengalami perasaan emosional dari individu yang mengalami penderitaan tersebut. Oleh karena itu, individu yang memiliki kemampuan empati maka akan lebih memahami dan merasakan penderitaan orang lain, sehingga individu tersebut


(61)

akan terdorong untuk melakukan perilaku prososial daripada seseorang yang memiliki kemampuan empati rendah.

Dari paparan tersebut, dapat dilihat bahwa kemampuan empati berpengaruh terhadap perilaku prososial siswa sekolah dasar.

D. Hipotesis

Terdapat pengaruh yang positif kemampuan empati terhadap perilaku prososial siswa kelas V SD Negeri Se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.


(62)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, dikatakan kuantitatif karena data penelitian yang digunakan berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik (Sugiyono,2012:7).

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah objek yang menjadi fokus di dalam suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 2010:159). Sedangkan Sugiyono (2012:38) menjelaskan variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.

Berkaitan dengan penelitian ini, maka dapat dikemukakan dua variabel yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Variabel bebas (Independent Variable), menurut Sugiyono (2012:39) variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Penelitian ini variabel bebasnya adalah Kemampuan Empati Siswa Kelas V SD Negeri Se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Variabel terikat (Dependent Variable), menurut Sugiyono (2012:39) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah Perilaku Prososial Siswa Kelas V SD Negeri Se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.


(63)

C. Desain dan Paradigma Penelitian 1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional. Nana Sayodih (2013: 55) penelitian korelasional adalah penelitian yang ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel-variabel lain. Sedangkan Suharsimi Arikunto, (2010: 4), penelitian korelasional atau penelitian hubungan adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih.

2. Paradigma Penelitian

Menurut Sugiyono (2012: 42) paradigma penelitian adalah pola pikir yang menunjukkan hubungan antar variabel yang akan diteliti sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan teknik analisis statistik yang akan digunakan.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan skala untuk mengetahui kemampuan empati dan perilaku prososial siswa kelas V SD Se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun paradigma penelitian antar variabel sebagai berikut:


(64)

Gambar 1. Paradigma Penelitian Keterangan:

X : kemampuan empati Y : perilaku prososial

Ha : Kemampuan empati berpengaruh positif terhadap perilaku prososial

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Gugus IV Kecamatan Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan tanggal 27 Agustus sampai 9 September 2016.

E. Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2012:80) Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannnya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Frederick J. Gravetter & Larry B Wallnau (2014:3) populasi adalah kumpulan seluruh individu yang ingin diteliti. Sedangkan sampel kumpulan individu yang terpilih dari populasi, biasanya dimaksudkan untuk merepresentasikan populasi dalam studi penelitian.

X Y


(65)

Menurut Sugiyono (2012:81) bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipejalari dari sampel itu kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.

Berdasarkan hasil observasi, penelitian ini memiliki populasi sebesar 228 siswa yang semuanya merupakan siswa kelas V SD Negeri Se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Siswa kelas V SD tersebut dipilih karena menurut Hoffman dalam (Taufik, 2012: 96) pada usia ± 12 tahun atau sekitar kelas V SD anak-anak mengalami tahapan final dari masa perkembangan kemampuan empatinya. dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1. Tabel siswa kelas V SD Negeri se Gugus IV Kasihan Bantul No Nama SD Populasi

1 SD Karangjati 59 2 SD Bangunjiwo 52 3 SD Sribitan 1 27 4 SD Sambikerep 21 5 SD Banyuripan 7

6 SD Bibis 62

Jumlah 228

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Propotional Random Sampling, sehingga jumlah anggota sampel yang diambil dari setiap sub-populasi (sekolah) berproporsi sama. Suharsimi Arikunto (2010: 177-182) menyatakan bahwa, propotional artinya pengambilan sampel dari setiap strata atau setiap wilayah ditentukan seimbang atau sebanding dengan banyaknya populasi dalam masing-masing strata atau wilayah. Random


(66)

artinya menanggap semua subjek yang memiliki hak yang sama dalam memperoleh kesempatan untuk dipilih menjadi sampel.

Untuk mengetahui jumlah sampel, maka digunakan rumus Slovin (dalam Uhar Suharsaputra, 2012:118) yaitu:

Keterangan:

n = ukuran sampel N = populasi

E = persentase kelonggaran karena kesalahan pengambilan sampel yang masih diinginkan.

Menggunakan rumus tersebut, maka perhitungan sampel penelitian adalah sebagai berikut:

Jadi sampel dalam penelitian ini sebesar 146 siswa

Dari jumlah 146 siswa tersebut kemudian ditentukan jumlah masing-masing sampel menurut jumlah siswa yang berada di masing-masing-masing-masing sekolah


(67)

secara proportional random sampling. Rumus untuk menentukan jumlah sampel dari masing-masing sekolah menurut Riduwan (2014:25) adalah sebagai berikut:

Keterangan:

ni = jumlah sampel menurut stratum n = jumlah sampel

Ni = jumlah populasi menurut stratum N = jumlah seluruh populasi

Dengan menggunakan rumus tersebut, diperoleh jumlah sampe tiap sekolah sebagai berikut:

Tabel 2. Tabel jumlah anggota sampel tiap sub-populasi No Nama SD Populasi Jumlah sampel

1 SD Karangjati 59

2 SD Bangunjiwo 52

3 SD Sribitan 1 27

4 SD Sambikerep 21

5 SD Banyuripan 7

6 SD Bibis 62

Jumlah 228 146

Jadi sampel yang akan diteliti di SD Karangjati berjumlah 38 siswa, SD Bangunjiwo berjumlah 33 siswa, SD Sribitan 1 bejumlah berjumlah 17 siswa,


(68)

SD Sambikerep berjumlah 13siswa, SD Banyuripan berjumlah 5siswa, dan SD Bibis berjumlah 40 siswa.

F. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Suharsimi Arikunto (2005:168) di dalam penelitian, instrumen penelitian mempunyai kedudukan paling tinggi, karena penggambaran variabel yang diteliti, dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis. Noeng Muhadjir (2007:302) juga memberikan pendapat seberapun canggih metodologi pengolahan datanya, penelitian tersebut akan menjadi sia-sia bila yang terkumpul data sampah, bukan data yang berkualitas. Dengan demikian sebuah instrumen harus baik. Jika instrumennya baik, maka data yang dihasilkan akan berkualitas.

Penelitian ini menggunakan instrumen skala kemampuan empati dan perilaku prososial. Skala tersebut terdiri atas beberapa pernyataan yang dapat memberikan informasi mengenai kemampuan empati dan perilaku prososial siswa kelas V SD Negeri Se Gugus IV Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut Saifuddin Azwar (2014: 6-8) skala psikologi adalah alat ukur untuk mengungkapkan atribut non-kognitif, khususnya yang disajikan dalam format tulis. Contoh data yang diungkap oleh skala psikologi adalah tingkat kecemasan, motivasi, dan lain-lain. Adapun penentuan skor untuk masing-masing jawaban adalah sebagai berikut:

1. Pernyataan favorable


(1)

Hasil Perhitungan Linieritas

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig. PerilakuPrososial *

KemampuanEmpati

Between Groups (Combined) 3490.139 21 166.197 2.333 .002

Linearity 2410.601 1 2410.601 33.836 .000

Deviation from Linearity 1079.538 20 53.977 .758 .758

Within Groups 8834.333 124 71.245


(2)

Hasil Perhitungan Analisis Regresi

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 KemampuanEmp

atia

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PerilakuPrososial

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .442a .196 .190 8.297


(3)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2410.601 1 2410.601 35.014 .000a

Residual 9913.872 144 68.846

Total 12324.473 145

a. Predictors: (Constant), KemampuanEmpati b. Dependent Variable: PerilakuPrososial

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 22.327 9.515 2.346 .020

KemampuanEmpati .837 .141 .442 5.917 .000


(4)

(5)

(6)