Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

(1)

SKRIPSI

STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

Oleh

ENDAR SUTRISNO F24101055

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Endar Sutrisno. F24101055. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan Ir. Darwin Kadarisman, MS dan Tjahja Muhandri, STP, MT. 2006

RINGKASAN

Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4 persen per tahun. Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

Industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya di lokasi penelitian, mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung) ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun manajemen dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses industri tempe.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner, pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan.

Untuk mendapatkan faktor kunci sukses dari wirausaha tempe maka perlu diketahui tingkat kesuksesannya. Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku.

Industri kecil tempe yang berada pada kuadran I (berpeluang sukses) adalah Casmani, Mito, Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Industri yang berada pada kuadran II (sangat sukses) adalah Tambar. Industri yang berada pada kuadran III (sukses) adalah Rutaji, Carsian, Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri kecil yang berada pada kuadran I (kurang sukses) adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji.


(3)

Dari Dari 22 faktor yang diidentifikasi, dianalisa dan dilakukan verifikasi di lapangan maka faktor-faktor yang diduga menjadi faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe di lokasi penelitian adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga. Sedangkan faktor lain yang tidak berpengaruh terhadap kesuksesan industri kecil tempe adalah tingkat pendidikan pengusaha, keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan keanggotaan KOPTI, asal kedelai, sumber modal, pembinaan terhadap karyawan, Penambahan modal dari keuntungan, anggaran biaya pemeliharaan peralatan, alat transportasi pemasaran, evaluasi kegiatan pemasaran, cara pembayaran bahan baku, jarak tempat membeli kedelai dengan lokasi usaha, pemisahan uang pribadi dan uang usaha, modal awal, dan persyaratan kedelai.

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 kelompok industri kecil tempe di lokasi penelitian, dimana dari 20 responden yang dijadikan sampel, 30% responden tergolong industri berpeluang sukses, 5% responden tergolong industri sangat sukses, 35% responden tergolong industri sukses dan 30% responden tergolong industri kurang sukses. Industri kecil tempe sukses dan sangat sukses memiliki profil yang relatif sama, diantaranya dalam hal pencatatan keuangan usaha, target pemasaran, pembagian peran sumberdaya manusia, cara menentuan harga tempe , dan sudah terdapat tenaga pemasar khusus yang tetap, sedangkan hal yang membedakan adalah dalam hal jumlah dan perkembangan pemakaian bahan baku kedelai, lama usaha dan aktivitas penambahan modal. Hal-hal yang diduga menjadi faktor kunci sukses dari industri tempe di lokasi penelitan adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.


(4)

STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ENDAR SUTRISNO F24101055

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(5)

STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ENDAR SUTRISNO F24101055

Dilahirkan Di Sragen pada tanggal 25 Maret 1982 Tanggal lulus : Juni 2006

Menyetujui, Bogor, Juni 2006

Tjahja Muhandri, STP, MT Ir. H. Darwin Kadarisman, MS Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 25 maret 1982 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Supardi dan Rusmini. Pada tahun 1989 penulis memulai Pendidikannya di SDN Pringanom III Masaran hingga tahun 1995. Pada tahun 1995 – 1998 penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 1 Sidoharjo. Pada tahun 1998 – 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Sragen. Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis pernah aktif di beberapa organisasi diantaranya di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan Forum Bina Islami Fateta (FBI-F). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan beberapa kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana Fateta, Baur HIMITEPA, dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan HIMITEPA. Untuk menyelesaikan studi di Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB penulis melaksanakan penelitian survei dengan judul: “ Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)”.


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang pembentukan PDB Indonesia (Sarah, 2001). Sektor industri memiliki peran yang penting dalam memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan perkapita, menumbuhkan keahlian, menunjang pembangunan daerah, serta memanfaatkan sumber daya alam (SDA), energi dan sumber daya manusia (SDM).

Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor perindustrian perlu terus ditingkatkan dengan mengembangkan agroindustri. Pengembangan agroindustri diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan industri kecil sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan. Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan ekonomi sebuah negara tidak hanya tertumpu pada industri manufaktur dan jasanya tetapi juga tangguh dalam agroindustrinya seperti Amerika Serikat dan Australia, sedangkan negara yang menomorduakan sektor pertanian mengalami kekurangan pangan yang cukup besar sehingga mengalami kemunduran perekonomian seperti yang dialami oleh Rusia. Menurut Darwis et al (1983), agroindustri adalah kegiatan industri yang memanfaatkan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan seperti mesin dan alat-alat pertanian serta menciptakan jasa untuk kegiatan tersebut dalam hal ini kegiatan pemasarannya. Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri peralatan dan mesin pertanian serta industri jasa.

Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe. Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat.


(8)

Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998). Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis ekonomi. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu berproduksi lagi (Sari, 2002).

Penelitian yang dilakukan Sebayang (1994) di Bogor menunjukkan bahwa kondisi tempe cenderung bersifat statis artinya pengusaha industri tempe merasa cukup dengan kondisi yang ada, serta berusaha dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari keluarga maupun kenalannya. Meskipun demikian, kesimpulan ini belum tentu tepat, karena ada kemungkinan bahwa sifat statis lebih disebabkan oleh karakteristik usaha itu sendiri.

Posisi industri tempe kian terpuruk akibat sistem penjualan secara tradisional dengan kemasan yang kurang menarik dan tempat penjualan yang kurang bersih dan kurang strategis. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap penjualan tempe sehingga kegiatan usaha tempe belum mampu memberikan keuntungan yang optimal.


(9)

Usaha tempe sangat tergantung pada kedelai impor. Ketergantungan dari kedelai impor ini terjadi karena tempe yang dihasilkan dari kedelai impor memiliki penampilan dan rasa yang lebih unggul, tidak menghasilkan bau langu atau bau khas yang terdapat pada tempe yang menggunakan kedelai lokal dan tidak menghasilkan rasa pahit (Nurhayati, 2001).

Peningkatan harga kedelai impor memberikan dampak yang besar terhadap industri tempe dimana biaya bahan baku ini mengambil porsi sebanyak 82,99 persen dari total biaya produksi (Dermawan, 1999). Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan pengrajin tempe di beberapa wilayah tidak berproduksi lagi dan pindah ke usaha lain. Hal ini diduga terjadi karena modal yang dimiliki terbatas untuk membeli kedelai akibat fluktuasi harga kedelai. Namun kondisi seperti ini ternyata masih dapat disiasati oleh beberapa pengrajin tempe di beberapa tempat di Indonesia. Beberapa pengrajin masih dapat bertahan dan bahkan berkembang. Berdasarkan hasil penelitian dibeberapa daerah memang telah dijumpai pengusaha tempe yang memiliki kapasitas produksi riel jauh berada di atas rata-rata industri tempe yaitu diatas 2.000 kilogram bahan baku kedelai untuk setiap harinya, sementara sebagian besar pengrajin masih berada dibawah 100 kilogram perhari (Soetrisno dan Sapuan, 1996).

Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah kondisi usaha tempe sekarang ini di lokasi penelitian, kunci sukses dari pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dan bahkan berkembang ditengah kondisi sekarang ini.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat

kesuksesannya di lokasi penelitian

2. Mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung) ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun manajemen.


(10)

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi para pengrajin tempe merupakan bahan masukan dalam mengelola dan mengembangkan usahanya.

2. Bagi pembuat kebijakan (lembaga/instansi) merupakan bahan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengembangan industri kecil tempe.

3. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti merupakan bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan sektor industri kecil tempe.


(11)

SKRIPSI

STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

Oleh

ENDAR SUTRISNO F24101055

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(12)

Endar Sutrisno. F24101055. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan Ir. Darwin Kadarisman, MS dan Tjahja Muhandri, STP, MT. 2006

RINGKASAN

Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4 persen per tahun. Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

Industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya di lokasi penelitian, mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung) ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun manajemen dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses industri tempe.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner, pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan.

Untuk mendapatkan faktor kunci sukses dari wirausaha tempe maka perlu diketahui tingkat kesuksesannya. Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku.

Industri kecil tempe yang berada pada kuadran I (berpeluang sukses) adalah Casmani, Mito, Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Industri yang berada pada kuadran II (sangat sukses) adalah Tambar. Industri yang berada pada kuadran III (sukses) adalah Rutaji, Carsian, Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri kecil yang berada pada kuadran I (kurang sukses) adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji.


(13)

Dari Dari 22 faktor yang diidentifikasi, dianalisa dan dilakukan verifikasi di lapangan maka faktor-faktor yang diduga menjadi faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe di lokasi penelitian adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga. Sedangkan faktor lain yang tidak berpengaruh terhadap kesuksesan industri kecil tempe adalah tingkat pendidikan pengusaha, keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan keanggotaan KOPTI, asal kedelai, sumber modal, pembinaan terhadap karyawan, Penambahan modal dari keuntungan, anggaran biaya pemeliharaan peralatan, alat transportasi pemasaran, evaluasi kegiatan pemasaran, cara pembayaran bahan baku, jarak tempat membeli kedelai dengan lokasi usaha, pemisahan uang pribadi dan uang usaha, modal awal, dan persyaratan kedelai.

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 kelompok industri kecil tempe di lokasi penelitian, dimana dari 20 responden yang dijadikan sampel, 30% responden tergolong industri berpeluang sukses, 5% responden tergolong industri sangat sukses, 35% responden tergolong industri sukses dan 30% responden tergolong industri kurang sukses. Industri kecil tempe sukses dan sangat sukses memiliki profil yang relatif sama, diantaranya dalam hal pencatatan keuangan usaha, target pemasaran, pembagian peran sumberdaya manusia, cara menentuan harga tempe , dan sudah terdapat tenaga pemasar khusus yang tetap, sedangkan hal yang membedakan adalah dalam hal jumlah dan perkembangan pemakaian bahan baku kedelai, lama usaha dan aktivitas penambahan modal. Hal-hal yang diduga menjadi faktor kunci sukses dari industri tempe di lokasi penelitan adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.


(14)

STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ENDAR SUTRISNO F24101055

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(15)

STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN

(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ENDAR SUTRISNO F24101055

Dilahirkan Di Sragen pada tanggal 25 Maret 1982 Tanggal lulus : Juni 2006

Menyetujui, Bogor, Juni 2006

Tjahja Muhandri, STP, MT Ir. H. Darwin Kadarisman, MS Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 25 maret 1982 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Supardi dan Rusmini. Pada tahun 1989 penulis memulai Pendidikannya di SDN Pringanom III Masaran hingga tahun 1995. Pada tahun 1995 – 1998 penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 1 Sidoharjo. Pada tahun 1998 – 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Sragen. Pada tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis pernah aktif di beberapa organisasi diantaranya di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan Forum Bina Islami Fateta (FBI-F). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan beberapa kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana Fateta, Baur HIMITEPA, dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan HIMITEPA. Untuk menyelesaikan studi di Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB penulis melaksanakan penelitian survei dengan judul: “ Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)”.


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang pembentukan PDB Indonesia (Sarah, 2001). Sektor industri memiliki peran yang penting dalam memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan perkapita, menumbuhkan keahlian, menunjang pembangunan daerah, serta memanfaatkan sumber daya alam (SDA), energi dan sumber daya manusia (SDM).

Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor perindustrian perlu terus ditingkatkan dengan mengembangkan agroindustri. Pengembangan agroindustri diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan industri kecil sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan. Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan ekonomi sebuah negara tidak hanya tertumpu pada industri manufaktur dan jasanya tetapi juga tangguh dalam agroindustrinya seperti Amerika Serikat dan Australia, sedangkan negara yang menomorduakan sektor pertanian mengalami kekurangan pangan yang cukup besar sehingga mengalami kemunduran perekonomian seperti yang dialami oleh Rusia. Menurut Darwis et al (1983), agroindustri adalah kegiatan industri yang memanfaatkan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan seperti mesin dan alat-alat pertanian serta menciptakan jasa untuk kegiatan tersebut dalam hal ini kegiatan pemasarannya. Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri peralatan dan mesin pertanian serta industri jasa.

Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe. Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat.


(18)

Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998). Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.

Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.

Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis ekonomi. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu berproduksi lagi (Sari, 2002).

Penelitian yang dilakukan Sebayang (1994) di Bogor menunjukkan bahwa kondisi tempe cenderung bersifat statis artinya pengusaha industri tempe merasa cukup dengan kondisi yang ada, serta berusaha dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari keluarga maupun kenalannya. Meskipun demikian, kesimpulan ini belum tentu tepat, karena ada kemungkinan bahwa sifat statis lebih disebabkan oleh karakteristik usaha itu sendiri.

Posisi industri tempe kian terpuruk akibat sistem penjualan secara tradisional dengan kemasan yang kurang menarik dan tempat penjualan yang kurang bersih dan kurang strategis. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap penjualan tempe sehingga kegiatan usaha tempe belum mampu memberikan keuntungan yang optimal.


(19)

Usaha tempe sangat tergantung pada kedelai impor. Ketergantungan dari kedelai impor ini terjadi karena tempe yang dihasilkan dari kedelai impor memiliki penampilan dan rasa yang lebih unggul, tidak menghasilkan bau langu atau bau khas yang terdapat pada tempe yang menggunakan kedelai lokal dan tidak menghasilkan rasa pahit (Nurhayati, 2001).

Peningkatan harga kedelai impor memberikan dampak yang besar terhadap industri tempe dimana biaya bahan baku ini mengambil porsi sebanyak 82,99 persen dari total biaya produksi (Dermawan, 1999). Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan pengrajin tempe di beberapa wilayah tidak berproduksi lagi dan pindah ke usaha lain. Hal ini diduga terjadi karena modal yang dimiliki terbatas untuk membeli kedelai akibat fluktuasi harga kedelai. Namun kondisi seperti ini ternyata masih dapat disiasati oleh beberapa pengrajin tempe di beberapa tempat di Indonesia. Beberapa pengrajin masih dapat bertahan dan bahkan berkembang. Berdasarkan hasil penelitian dibeberapa daerah memang telah dijumpai pengusaha tempe yang memiliki kapasitas produksi riel jauh berada di atas rata-rata industri tempe yaitu diatas 2.000 kilogram bahan baku kedelai untuk setiap harinya, sementara sebagian besar pengrajin masih berada dibawah 100 kilogram perhari (Soetrisno dan Sapuan, 1996).

Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah kondisi usaha tempe sekarang ini di lokasi penelitian, kunci sukses dari pengrajin tempe yang masih dapat bertahan dan bahkan berkembang ditengah kondisi sekarang ini.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat

kesuksesannya di lokasi penelitian

2. Mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung) ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun manajemen.


(20)

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi para pengrajin tempe merupakan bahan masukan dalam mengelola dan mengembangkan usahanya.

2. Bagi pembuat kebijakan (lembaga/instansi) merupakan bahan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengembangan industri kecil tempe.

3. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti merupakan bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan sektor industri kecil tempe.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KEADAAN INDUSTRI KECIL DI INDONESIA 1. Definisi dan Kriteria

Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa (BPS, 1995). Sedangkan kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian industri kecil merupakan perusahaan atau unit usaha industri yang melakukan kegiatan ekonomi dalam skala kecil.

Menurut surat keputusan Menteri Perindustrian Nomor : 13/M/SK/3/1990 dinyatakan bahwa industri kecil adalah industri yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam kriteria bidang usaha yaitu kelompok industri yang mempunyai investasi tidak lebih dari 600 juta rupiah (mencakup bangunan, mesin dan peralatan) dan pemiliknya adalah warga negara Indonesia.

Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri mendefinisikan perusahaan kecil adalah badan usaha yang karena terbatasnya kemampuan mengelola dan berorganisasi, modal serta keterampilan, hanya mampu melakukan kegiatan usaha di bidang tertentu yang kecil dan terbatas. Selanjutnya dikatakan ciri umum dari industri kecil adalah modal usaha terbatas, manajemen dan administrasi yang belum baik, sarana dalam mengelola pemasaran masih terbatas, dan pengetahuan pemasaran yang masih kurang

Menurut Departemen Koperasi dan Usaha kecil Menengah usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat beskala kecil dengan kriteria sebagai berikut : 1) kekayaan bersih maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak temasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau 2) penjualan tahunan maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) 3) milik warga negara Indonesia 4) berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik


(22)

langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah maupun usaha besar.

Dilihat dari sistem manajemen kelompok ini biasanya masih berbentuk organisasi tradisional yang didasarkan pada sistem kekeluargaan, efisiensi produk sangat rendah, sistem administrasi keuangan kurang tertata baik. Dari segi pemasaran, pengusaha belum mengembangkan produknya pada mutu dan standar yang baku, kemampuan mendesain produk yang masih rendah, pengiriman kurang tepat, serta belum dapat memenuhi kuantitas produk yang diinginkan oleh konsumen. Kendala teknologi juga menjadi faktor yang menyebabkan produk yang dihasilkan bersifat monoton dan sulit berkembang (Susidarto, 1995).

2. Jumlah Industri Kecil

Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 2003 memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak 42.326.519 unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan penggalian, 2.560.846 unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit pada sektor listrik, gas dan air bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan, 8.456 unit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, 2.963.768 unit pada sektor pengangkutan dan komunikasi, 29.508 unit pada sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit pada sektor jasa-jasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.


(23)

Tabel 1. Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 s/d Tahun 2003

Sektor Tahun 1999

Tahun 2000

Tahun 2001

Tahun 2002

Tahun 2003 Pertanian,

peternakan dan perikanan

23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693

Pertambangan dan

panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141 Industri

pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846 Listrik,gas dan air

bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185

Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359 Perdagangan,hotel

dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064 Pengangkutan dan

komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768 Keuangan,

perseroan, jasa perusahaan

24.143 25.034 25.667 27.392 29.508

Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955

Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519

Sumber : Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2004 (diolah)

3. Permasalahan Yang Dihadapi

Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku, modal, manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan dalam pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain sifat produk pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi, jumlah produksi yang melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama.


(24)

Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumber-sumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan-bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratan-persyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang ada.

Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran. Terkadang pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu yang sesuai dengan tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha (Apretty, 2000).

Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik.


(25)

B. KEADAAN INDUSTRI KECIL PANGAN DI INDONESIA 1. Jumlah Industri Kecil Pangan

Industri pangan berskala kecil dan rumah tangga terus berguguran dan gulung tikar karena tidak mampu meningkatkan daya saing. Ketidakmampuan usaha berskala kecil dan rumah tangga meningkatkan daya saing itu lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya memihak kepada pengusaha kecil (Anonim, 2004).

“Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, jumlah industri pangan, khususnya yang berskala kecil dan rumah tangga, turun sejak tahun 2000 sampai 2002,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Thomas Darmawan di Jakarta, akhir pekan lalu (Anonim, 2004).

Thomas menjelaskan, jumlah industri pangan berskala kecil tahun 2002 sebanyak 49.530 industri. Jumlah ini menurun dari tahun 2001 yang mencapai 60.020 industri dan tahun 2000 berjumlah 63.613 industri. Sementara jumlah industri pangan berskala rumah tangga tahun 2002 sebanyak 789.251. Tahun 2001 jumlah industri tersebut sebanyak 798.201 dan tahun 2000 sebanyak 814.037 (Anonim, 2004).

2. Permasalahan Yang Dihadapi

Penurunan jumlah industri pangan berskala kecil dan rumah tangga disebabkan beberapa faktor, diantaranya kebijakan pemerintah untuk melindungi komoditas pertanian melalui penerapan tarif yang tinggi dan tata niaga, beredarnya produk pangan impor ilegal, dan masuknya perusahaan multinasional dalam industri pangan (Anonim, 2004).

Selain itu juga biaya yang tinggi seperti untuk listrik, bahan bakar minyak (BBM), serta penerapan standar produk yang kurang dapat dipenuhi industri kecil. Sebagai contoh ketentuan tata niaga impor gula. Dengan ketentuan itu, industri besar dapat mengimpor gula dengan volume yang besar. Dengan demikian, harga pun menjadi lebih murah. Sementara itu, industri kecil yang tidak mampu mengimpor tetap harus


(26)

membeli gula dari pasar dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi (Anonim, 2004).

Selain itu, dengan masuknya investasi asing, beberapa industri kecil semakin terjepit. Misalnya, kehadiran hipermarket yang menjual banyak produk termasuk produk pangan dari luar negeri. Ada juga perusahaan multinasional yang mengakuisisi perusahaan lokal sehingga industri lokal tidak tumbuh.

Dengan penurunan jumlah industri pangan berskala kecil, jumlah tenaga kerja pun berkurang. Jumlah tenaga kerja industri pangan berskala kecil pada tahun 2002 sebanyak 391.450 orang dan tahun 2001 sebanyak 474.356 orang. Sementara jumlah tenaga kerja industri pangan berskala rumah tangga pada tahun 2002 sebanyak 1.623.568 orang dan pada tahun 2001 sebanyak 1.641.979 orang (Anonim, 2004).

C. KRITERIA KEBERHASILAN INDUSTRI KECIL

Keberhasilan perusahaan dapat dinilai dari analisis keuangan dalam bentuk rasio keuangan. Data keuangan yang digunakan adalah dari laporan neraca keuangan, laporan laba rugi serta laporan pendapatan (Riyanto, 1990).

Menurut Departemen Perindustrian (1990) di dalam Asri (1994), keberhasilan usaha dapat dilihat dari perkembangan usaha. Usaha yang berkembang dapat diketahui melalui beberapa elemen yang mendukung pada aktivitas perkembangan usaha, yaitu perkembangan pemasaran, perkembangan pembeli, perkembangan tenaga kerja, perkembangan modal kerja, perkembangan keuntungan, perkembangan pemakaian bahan dan perkembangan hasil produksi. Hal ini didasarkan pada sifat industri kecil tersebut yakni bersifat padat karya. Menurut Nurhayati (1984) di dalam Diano (1990), kriteria keberhasilan suatu perusahaan dapat diartikan secara kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan kuantitatif diantaranya adalah perkembangan omset dan jumlah tenaga kerja pada periode tertentu. Perkembangan kualitatif diantaranya adalah peningkatan dari mutu produk, peningkatan kualitas moral pimpinan atau buruh. Peningkatan mutu produk


(27)

yang dihasilkan industri kecil dapat diketahui melalui persentase pemenuhan standar produk menurut permintaan konsumen. Dalam pengertian semakin besar tingkat persentase pemenuhan standar produk, maka mutu produk industri kecil meningkat.

Menurut Asri (1994), sikap kewiraswastaan memiliki hubungan positif dengan tingkat keberhasilan pengusaha kecil. Indikator keberhasilan usaha yang biasa ditinjau dari nilai penjualan, sangat dipengaruhi oleh sikap kewiraswastaan pengusaha. Sikap kewiraswastaan pengusaha itu meliputi pembinaan modal, faktor manajemen, faktor kesediaan dalam mengambil resiko dan faktor inovasi. Dalam pembinaan modal ditandai dengan pemanfaatan keuntungan untuk mengembangkan usaha seperti pembelian alat dan peningkatan pemasaran, sedangkan dari faktor manajemen ditandai dengan adanya sikap mengkoordinir, merencanakan, dan menyusun jadwal dari berbagai kegiatan produksi. Sikap kepemimpinan dapat juga dilihat dari sikap pengusaha dalam kegiatan kemasyarakatan. Dari faktor kesediaan dalam mengambil resiko dicirikan oleh keinginan pengusaha untuk berprestasi tinggi dan keberanian dalam mengambil resiko dalam berwiraswasta, tetapi tidak menyukai kegiatan yang hasilnya sama sekali diluar kemampuan atau kegiatan yang mengandung resiko sangat tinggi. Dari faktor inovasi dicirikan oleh sikap pengusaha yang bersedia menerima perubahan, dan selalu mencoba berbagai alternatif serta mengembangkan inovasi untuk barang dan jasa dalam bidang usaha lain.

D. KEADAAN INDUSTRI TEMPE DI BOGOR 1. Jumlah dan Sebaran Industri Tempe

Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI ( Koperasi Tahu Tempe Indonesia). Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI, sampai saat ini di Kabupaten Bogor terdapat 786 penggrajin tempe dengan persentase peningkatan 10% pertahun sampai dengan tahun 1999.


(28)

Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa wilayah pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor sekarang berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Industri tempe yang tergabung dalam keanggotaan KOPTI Kotamadya Bogor tersebar dalam 17 wilayah pelayanan yang terdapat dalam 5 kecamatan yaitu Bogor barat, Bogor timur, Bogor tengah, Bogor selatan dan Bogor utara, sedangkan di Kabupaten Bogor tersebar kedalam 19 wilayah pelayanan. Setiap wilayah pelayanan dikepalai oleh seorang kepala wilayah pelayanan kedelai (KWP) yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di Kabupaten Bogor meliputi Cimanggis, Citeureup, Cibinong, Sawangan 1 dan 2, Parung 1 dan 2, Depok 1 dan 2, Semplak, Kedung Halang, Cimanggu 1 dan 2, Ciawi, Caringin, Pancasan, Cikreteg, Leuwiliang, dan Ciampea. Jumlah industri tempe yang terdapat pada Kabupaten bogor dapat dilihat pada tabel 2.


(29)

Tabel 2. Rekapitulasi jumlah Anggota KOPTI Kabupaten Bogor

No Wilayah pelayanan Jumlah anggota

1 Cimanggis 65

2 Citeureup 107

3 Cibinong 56

4 Sawangan 1 63

5 Sawangan 2 17

6 Parung 1 62

7 Parung 2 42

8 Depok 1 69

9 Depok 2 120

10 Semplak 28

11 Kedung Halang 21

12 Cimanggu 1 18

13 Cimanggu 2 22

14 Ciawi 8

15 Caringin 2

16 Pancasan 7

17 Cikreteg 16

18 Leuwiliang 30

19 Ciampea 33

Jumlah 786 Sumber : KOPTI Kabupaten Bogor tahun 1999 (diolah)

2. Skala Pemakaian Bahan Baku

Sebelum monopoli BULOG atas kedelai impor dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli BULOG dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan 30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakain bahan baku ke wilayah-wilayah pelayanan. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar


(30)

875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten sumber perolehan bahan baku kedelai pengrajim berasal dari pedagang Cina, hanya 10% pengrajin tempe yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI.

3. Permasalahan Industri Tempe di Bogor

Masalah utama yang dihadapi para pengrajin tempe adalah biaya produksi yang semakin tinggi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadikan harga kedelai dan harga bahan-bahan seperti kemasan baik plastik maupun daun, ragi dan minyak tanah menjadi naik. Kenaikan harga barang-barang tersebut telah menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan juga semakin besar. Kondisi ini sangat dirasakan oleh para pengrajin tempe yang mempunyai modal pas-pasan sehingga jalan keluar yang terbaik untuk bertahan dalam industri tempe adalah dengan mengurangi volume produksi.

Pemasaran untuk menyalurkan tempe dari produsen ke konsumen pada industri tempe masih merupakan masalah. Hal ini dikarenakan kurang dikuasainya informasi pasar yang berkaitan dengan pola permintaan konsumen baik jenis, jumlah, mutu dan harga produk. Selain itu kurangnya kemampuan dalam strategi pemasaran serta terbatasnya wilayah pemasaran juga menjadi masalah di industri tempe.

Masalah lain dari industri tempe adalah kurangnya rasa memiliki anggota terhadap KOPTI. Padahal dengan partisipasi anggota terhadap KOPTI maka peran-peran KOPTI seperti pembinaan, penyuluhan, adanya simpanan kesejahteraan, dan tunjangan kesejahteraan akan sangat membantu kesejahteraan pengrajin tempe.


(31)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

I : industri kecil tempe berpeluang sukses II : industri kecil tempe sangat sukses III : industri kecil tempe sukses

IV : industri tempe kurang sukses

Gambar 1 . Kerangka berfikir penelitian Kelompok

industri II

Kelompok industri

IV Pengelompokan

Industri Diagram cartesius

Perkembangan pemakaian bahan

baku

Industri tempe

Kelompok industri

III Kelompok

industri I

Eksplorasi 6 aspek pendukung sukses

Pembandingan

Faktor kunci sukses


(32)

Industri tempe merupakan salah satu agroindustri rumah tangga yang sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan industri tempe telah mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan. Ditengah-tengah persaingan dengan industri rumah tangga lain baik yang dalam bidang pangan maupun non pangan serta iklim usaha yang semakin sulit menuntut industri tempe untuk lebih kreaktif dalam menjalankan usaha. Agar dapat bertahan dan berkembang industri tempe perlu mengetahui faktor kunci sukses dalam berwiraswasta tempe. Pengetahuan faktor kunci sukses berwirausaha tempe akan membantu para pengrajin tempe dalam menjalankan usaha. Selain itu pengetahuan faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe juga akan membantu pihak-pihak yang terkait dalam pembinaan untuk membina para pengrajin tempe secara efektif dan efisien.

Untuk mengetahui informasi tentang faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe perlu diadakan suatu penelitian survei. Faktor kunci sukses diperoleh dengan mengeksplorasi enam faktor pendukung kesuksesan yang meliputi aspek umum, pengadaan bahan baku, SDM, finansial, produksi dan pemasaran. Dari eksplorasi akan diketahui kondisi umum industri tempe di lokasi penelitian. Setelah diketahui kondisi umum industri tempe, kemudian industri tempe dikelompokkan kedalam empat kelompok industri yaitu industri berpeluang sukses, industri sangat sukses, industri sukses dan industri kurang sukses. Pengelompokan menggunakan diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir. Alasan pemakaian bahan baku digunakan sebagai parameter adalah karena bahan baku merupakan faktor yang sangat kritis dalam industri tempe. Ketersediaan kedelai impor sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha tempe. Dari kelompok-kelompok industri tempe tersebut kemudian akan dibandingkan faktor pendukung kesuksesan usaha. Untuk memperkuat dugaan terhadap hal-hal yang menjadi faktor kunci sukses, maka dilakukan verifikasi di lapangan.


(33)

B. Langkah-langkah Penelitian

Gambar 2. Langkah-langkah penelitian Penentuan tujuan

penelitian

Studi pustaka

( metode penelitian survei, cara penyusunan kuesioner, penyebaran

industri tempe)

Pengumpulan data Pembuatan

kuesioner

Tabulasi data Pemilihan lokasi dan

waktu penelitian

Pengambilan sampel

Analisa data


(34)

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor.

Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner, pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan. Langkah-langkah penelitian secara terperinci ialah :

1. Penentuan tujuan penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang mendasari landasan berfikir untuk menentukan langkah-langkah penelitian dan pemecahan masalah yang ingin dicapai sehingga penelitian akan menjadi terarah.

2. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan mengenai topik yang dikaji dalam hal ini berkaitan dengan profil industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya. Selain itu studi pustaka juga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang metode penelitian, yaitu metode survei. Studi pustaka diperoleh dari buku-buku, internet, skripsi maupun laporan-laporan lain yang berhubungan dengan topik penelitian.

3. Pemilihan lokasi dan waktu penelitian

Pemilihan lokasi pada penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Dalam penentuan lokasi ini berdasarkan pada pertimbangan : (1) daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra produksi tempe di Kabupaten Bogor ; (2) daerah tersebut relatif dekat dengan tempat tinggal peneliti sehingga dapat menekan biaya penelitian.

Waktu penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama mengumpulkan data sekunder yang diperlukan dan dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2005, sedangkan tahap kedua mengumpulkan data primer di


(35)

lapang yang dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2005. Tahap akhir yaitu pengolahan dan analisa data, serta pembuatan laporan.

4. Pengambilan sampel

Industri kecil tempe yang dijadikan sampel dalam penelitian adalah industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor yang terdaftar di Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor maupun yang tidak terdaftar pada instansi tersebut. Industri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri yang memenuhi kriteria Undang-Undang no 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan bahwa industri kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk bangunan tempat usaha dan memiliki omset tahunan paling banyak Rp 1 milyar.

Jumlah sampel yang diambil sebanyak 20 responden dari 104 responden pengrajin tempe yang ada di Kecamatan Parung (19 persen dari populasi). Cara pengambilan sampel ini didasarkan pada pendapat Gay (1981) di dalam Ruseffendi(1994) yang menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang dapat diterima dalam penelitian survei atau deskriptif adalah 10 persen dari jumlah populasi yang besar (lebih dari 50) sedangkan untuk populasi kecil (kurang dari 50) minimum 20 persen dari jumlah populasi.

Pengambilan sampel tersebut dilakukan secara acak sederhana, yaitu sebuah sampe yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi, 1989). Namun dari penelitian ini juka suatu industri kecil tempe tidak berhasil diwawancarai, baik karena industri sudah tutup, pindah maupun tidak bersedia, maka diganti dengan industri lain sebagai sampel.

5. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan salah satu instrumen dalam penelitian, terutama penelitian survei. Pembuatan kuesioner disesuaikan dengan tujuan dari penelitian yakni untuk mengkaji profil industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesan, (dilihat dari enam aspek yang telah disebutkan diatas).


(36)

Keenam aspek tersebut dijabarkan menjadi 22 faktor pendukung sukses, sehingga kuesioner yang disusun memuat pertanyaan-pertanyaan :

a. Kondisi umum meliputi lama usaha, investasi, sumber modal, dan legalitas dari pemerintah.

b. Pengadaan bahan baku meliputi jenis kedelai, sistem pembayaran, asal kedelai, jarak lokasi usaha dengan tempat pembelian, cara pembayaran bahan baku, dan persyaratan kedelai.

c. Sumber daya manusia meliputi perkembangan jumlah tenaga kerja, pendidikan tenaga kerja, sistem pengupahan, dan pembagian peran. d. Finansial meliputi pencatatan keuangan , pemisahan uang pribadi dan

uang usaha, penambahan modal dari setiap keuntungan, dana khusus untuk pemilik, dan penentuan harga produk.

e. Produksi meliputi kapasitas produksi, penanganan terhadap limbah, perhatian terhadap peralatan dan penanganan terhadap produk yang tidak terjual ataupun produk rijek.

f. Pemasaran meliputi wilayah pemasaran, sasaran pasar, tenaga pemasar, alat transportasi, dan evaluasi kegiatan pemasaran.

Pertanyaan yang disusun terdiri dari pertanyaan yang bersifat semi terbuka (jawaban sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban).

6. Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap responden dengan menggunakan kuesioner serta pengamatan langsung ke industri. Wawancara dilakukan dengan mendatangi satu persatu ke responden pengrajin tempe.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Kecamatan Parung, Dinas Perindustrian, Dinas Kesatuan Bangsa serta Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kotamadya dan Kabupaten Bogor.

7. Tabulasi data

Data yang diperoleh dari hasil survei, diskusi dan pengamatan langsung akan ditabulasikan dengan menggunakan perangkat komputer


(37)

(program microsoft office word) sehingga diharapkan akan mempermudah dalam melakukan analisa data.

8. Analisa data

Analisis data terdiri dari :

a. Pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesan

Dalam menentukan tingkat kesuksesan dari industri tempe, masing-masing industri tempe dipetakan ke dalam diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku, dimana sumbu mendatar (X) menunjukkan rata-rata jumlah pemakaian bahan baku responden, sedangkan sumbu tegak (Y) menunjukkan rata-rata kenaikan jumlah pemakaian bahan baku responden.

Y

tinggi berpeluang sukses sangat sukses (I) (II)

Y

rendah kurang sukses sukses (IV) (III)

rendah X tinggi X Rata-rata jumlah pemakaian bahan baku per hari selama empat tahun terakhir (kg/hari) Gambar 3. Diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku Rata-rata k e naika n /pen uru n a n pema kaian ba h a n b a k u sel a ma empa t ta hu n terakhir ( k g/4 tahu n )


(38)

Keterangan :

X = Rata-rata pemakaian bahan baku seluruh responden pengrajin tempe

selama empat tahun terakhir

Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku seluruh responden selama empat tahun terakhir.

Rumus X dan Y adalah sebagai berikut : n = jumlah responden

X =

n Xi

n

i

=1

Y =

n Yi

n

i

=1

Dari gambar 3 tersebut dapat dijelaskan pengelompokkan industri tempe berdasarkan tingkat keberhasilannya sebagai berikut :

I. Industri berpeluang sukses

Industri yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan berpeluang sukses karena walaupun rata-rata jumlah pemakaian bahan baku yang rendah, namun memiliki rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang tinggi.

II. Industri sangat sukses

Industri kecil yang berada pada kuadran ini merupakan industri kecil yang sangat sukses. Hal ini ditandai dengan rata-rata jumlah pemakaian bahan baku yang tinggi dan rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang juga tinggi.

III. Industri sukses

Industri kecil yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan sukses, karena memiliki rata-rata jumlah pemakaian bahan baku yang tinggi, walaupun tidak ada peningkatan pemakaian bahan baku.


(39)

IV. Industri kurang sukses

Industri kecil yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan kurang sukses. Hal ini ditandai dengan rendahnya rata-rata jumlah pemakaian bahan baku dan rendahnya rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku. Pada kelompok ini juga ditandai dengan penurunan pemakaian bahan baku.

b. Penentuan faktor kunci sukses dari industri kecil tempe

Faktor kunci sukses diperoleh dengan cara membandingkan antara industri kecil tempe yang tergolong sangat sukses dan sukses dengan industri kecil tempe yang lainnya. Pembandingan dilakukan dengan melihat hal yang membedakan antar kelompok industri, dari enam aspek yang dijabarkan menjadi 22 faktor. Hal-hal yang dilakukan oleh industri yang sangat sukses dan sukses, yang umumnya tidak dilakukan industri yang kurang sukses ditentukan sebagai faktor kunci sukses industri kecil tempe.

9. Pembuatan laporan

Hasil penelitian ini akan didokumentasikan dalam bentuk laporan tertulis yakni laporan skripsi.


(40)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. IDENTIFIKASI TINGKAT KESUKSESAN INDUSTRI KECIL TEMPE Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Penentuan kriteria ini mengambil asumsi bahwa perkembangan pemakaian bahan akan berpengaruh terhadap perkembangan omset dan juga keuntungan dari indsutri kecil tempe. Berdasarkan kriteria Departemen Perindsutrian perkembangan pemakaian bahan juga merupakan salah satu indikator keberhasilan industri kecil. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa para pengrajin tempe sangat tergantung kepada kedelai impor yang harganya semakin naik setelah terjadinya krisis ekonomi dan subsidi dari pemerintah dicabut sejak September 1998. Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan beberapa pengrajin tempe di lokasi penelitian tidak berproduksi lagi. Berdasarkan hal tersebut maka kemampuan mengakses dan menggunakan bahan baku kedelai impor merupakan salah satu indikator kesuksesan industri kecil tempe.

Perkembangan pemakaian bahan baku kedelai impor selama empat tahun dari setiap responden dapat dilihat pada tabel 3 .


(41)

Tabel 3. Perkembangan pemakain bahan baku

No Nama

responden

Pemakaian bahan baku (kg/hari) pada tahun

2002 2003 2004 2005

1 Rutaji 150 150 150 150

2 Carsian 300 300 300 300

3 Casmani 25 25 35 100

4 Caridi 50 50 50 50

5 Mito 15 30 40 100

6 Tasheri 80 100 80 75

7 Rayubi 125 125 125 125

8 Kartubi 80 100 80 100

9 Sigit 40 55 40 40

10 H. Abdul

Karim 200 200 200 200

11 Warniah 20 40 90 70

12 Suheri 100 100 100 100

13 Karsiban 60 60 80 75

14 Syawal 100 100 100 100

15 H. Munaji 80 60 80 20

16 Sarwo 40 50 60 80

17 Udi Susanto 150 150 100 100

18 Tambar 170 180 190 200

19 Sumitro 250 250 250 250

20 Sukarnen 150 150 150 150

Untuk mengetahui tingkat kesuksesan dari setiap responden pengrajin tempe, terlebih dahulu harus diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku. Sedangkan kecenderungan pemakain bahan baku diperoleh dengan cara regresi linier. Rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap responden dapat dilihat pada tabel 4.


(42)

Tabel 4. Rata-rata pemakaian bahan baku dan kenaikan pemakaian bahan baku dari setiap responden

No Nama

responden

X (kg/hari)

Y

(kg / 4 tahun) Kecenderungan

1 Rutaji 150 0 tetap

2 Carsian 300 0 tetap

3 Casmani 46.25 17.63 naik

4 Caridi 50 0 tetap

5 Mito 46.25 19.88 naik

6 Tasheri 83.75 -2.63 turun

7 Rayubi 125 0 tetap

8 Kartubi 90 3 naik

9 Sigit 43.75 -1.13 turun

10 H. Abdul Karim 200 0 tetap

11 Warniah 55 15 naik

12 Suheri 100 0 tetap

13 Karsiban 68.75 4.88 naik

14 Syawal 100 0 tetap

15 H. Munaji 60 -12 turun

16 Sarwo 57.5 9.75 naik

17 Udi Susanto 125 -15 turun

18 Tambar 185 7.5 naik

19 Sumitro 250 0 tetap

20 Sukarnen 150 0 tetap


(43)

Keterangan :

X = Rata-rata pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir setiap responden pengrajin tempe.

Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir dari setiap responden pengrajin tempe.

X = Rata-rata pemakaian bahan baku seluruh responden pengrajin tempe selama 4 tahun terakhir.

Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku seluruh responden selama 4 tahun terakhir.

Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku. Pada sumbu vertikal yang menjadi ukuran adalah rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir, sedangkan sumbu horizontal yang menjadi ukuran adalah rata-rata pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir.

Industri kecil yang berada pada kuadran I adalah Casmani, Mito, Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Responden pada posisi ini dapat dikatakan berpeluang sukses, karena walaupun rata-rata pemakaian bahan baku rendah tetapi memiliki rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang tinggi. Industri kecil tempe yang berada pada kuadran ini jika dapat terus mengoptimalkan pemakaian bahan bakunya pada waktu-waktu mendatang tentu akan sukses.

Industri yang berada pada kuadran II adalah Tambar. Responden di posisi ini dikatakan sangat sukses karena dengan rata-rata pemakaian bahan baku yang tinggi juga disertai rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang tinggi juga atau diatas rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yaitu diatas 2.19. Pada waktu mendatang jika kenaikan pemakain bahan baku terus bertambah dan dapat memperluas pasar serta konsumen maka industri akan berkembang semakin pesat.


(44)

Industri kecil yang berada pada kuadran III adalah Rutaji, Carsian, Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri tempe yang berada pada posisi ini tergolong sukses karena memiliki rata-rata pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir yang tinggi atau diatas rata-rata responden industri kecil tempe yaitu diatas 114 kg/hari, walaupun tidak ada kenaikan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir atau jika ada rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku berada dibawah rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku responden di lokasi penelitian. Kondisi pemakaian bahan baku yang tetap yang ini dikarenakan konsumen dan pasar yang tidak berubah. Para pengrajin pada kuadran ini umumnya takut tidak terjual produknya ketika pemakaian bahan baku dinaikkan.

Industri kecil yang berada pada kuadran IV ditandai dengan jumlah pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir yang rendah atau dibawah rata-rata pemakaian bahan baku responden industri kecil tempe di lokasi penelitian, serta tidak ada kenaikan pemakaian bahan baku atau pun jika ada rendah dan bahkan mengalami penurunan. Pada kuadran ini yang menempati adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji. Pada kondisi ini industri kecil dikatakan kurang sukses. Hal ini dikarenakan selama kurun empat tahun terakhir tidak dapat menaikan pemakaian bahan baku dan rata-rata pemakaian bahan baku juga rendah. Kondisi ini selain disebabkan pasar yang tetap, juga karena kalah bersaing dengan industri kecil tempe yang sukses.

Hasil pemetaaan responden ke dalam diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku dapat dilihat pada gambar 4.


(45)

-18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

20 40 60 806 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320

III II I

IV

Gambar 4. Posisi kesuksesan industri kecil tempe Keterangan :

1. Rutaji 10. H. Abdul karim 19. Sumitro 2. Carsian 11. Warniah 20. Sukarnen 3. Casmani 12. Suheri 4. Caridi 13. Karsiban 5. Mito 14. Syawal

6. Tasheri 15. H. Munaji 7. Rayubi 16. Sarwo 8. Kartubi 17. Udi susanto 9. Sigit 18. Tambar

I. Industri kecil tempe berpeluang sukses II. Industri kecil tempe sangat sukses III. Industri kecil tempe sukses

IV. Industri kecil tempe kurang sukses

1/20 2

12/14 5 9 4 3 7 8 10 11 13 15 16 17 18 19

Rata-rata pemakaian bahan baku (kg/hari) selama 4 tahun terakhir

Ra ta -rata per k em b n aga n pe ma kaia n ba han b aku (k g /4 tah u n ) se lama 4 tah u n ter ak h ir Y X


(46)

B. PROFIL INDUSTRI TEMPE DAN IDENTIFIKASI FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI KUNCI SUKSES

Deskripsi profil industri tempe diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan diskusi yang dibantu dengan kuesioner, yang dilakukan pada pengrajin tempe, baik yang terdaftar sebagai anggota KOPTI maupun bukan anggota KOPTI di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Dalam mendiskripsikan profil, industri tempe yang tergolong sukses dan sangat sukses dikelompokan menjadi satu kedalam kelompok industri tempe sukses sedangkan industri tempe berpeluang sukses dan kurang sukses dikelompokan menjadi industri tempe kurang sukses. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengidentifikasi faktor kunci sukses. Profil industri tempe yang didentifikasi meliputi 22 faktor seperti yang tertera pada tabel 5.

Tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe

No Faktor pendukung sukses Industri berpeluang Industri sangat sukses Industri sukses Industri kurang sukses 1 Tingkat pendidikan pengusaha tidak tamat SD (2) SD (3) SLTP (1)

SD (1) tidak tamat SD (1) SD (5) SLTA (1)

tidak tamat SD ( 2) SD (3) SLTP (1) 2 Keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan ya (1) tidak (6)

ya (1) ya (3) tidak (4) ya (1) tidak (5) 3 Keanggotaan KOPTI ya (2) tidak (4)

ya (1) ya (7) ya (4) tidak (2) 4 Asal kedelai importir Cina

(4) pedagang kedelai (2) pedagang kedelai (1) importir Cina (7) importr Cina (3) koperasi (1) pedagang kedelai (2) 5 Sumber modal sendiri (5)

pinjaman (1) sendiri dan pinjaman (1) sendiri (5) sendiri dan pinjaman (2) sendiri (6)


(47)

Lanjutan tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor

pendukung sukses Industri berpeluang Industri sangat sukses Industri sukses Industrikurang sukses 6 Pembinaan terhadap karyawan ya (3) tidak (3)

ya (1) ya (6) tidak (1) ya (3) tidak (3) 7 Penambahan modal dari keuntungan ya (2) tidak (4)

ya (1) ya (2) tidak (5) ya (1) tidak (5) 8 Anggaran biaya pemeliharaan peralatan ya (3) tidak (3)

tidak (1) ya (2) tidak (5) ya (2) tidak (4) 9 Target pemasaran Pedagang sayur dan konsumen akhir (1) Pedagang sayur (5) Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir(1) Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir (4) Pedang sayur dan konsumen akhir(3) Konsumen akhir (1) Pedagang sayur dan konsumen akhir (1) dititipkan ke warung (2) pedagang sayur (2) 10 Alat transportasi pemasaran gerobak (3), motor (1), motor dan gerobak (1), mobil pick up (1)

motor (1) gerobak (4) motor (1) mobil pick up (2) sepeda (1) gerobak (4) motor (1) 11 Evaluasi kegiatan pemasaran ya (5) tidak (1)

ya (1) ya (6) tidak (1) ya (4) tidak (2) 12 Cara pembayaran bahan baku kredit(5) tunai (1)

kredit (1) kredit (5) tunai (2)

kredit (5) tunai (1) 13 Jarak tempat

beli kedelai dengan lokasi usaha

> 10 km (3) < 1 km (2) 1-5 km (1)

1-5 km (1) > 10 km (2) 5-10 km (1) < 1 km (1) 1-5 km (3)

< 1 km (2) 1-5 km (1) > 10 km (3) 14 Pemisahan uang pribadi dan uang usaha ya (4) tidak (2)

ya (1) ya (6) tidak (1)

ya (5) tidak (1)

15 Lama usaha < 10 tahun (4) 10-15 tahun (1)

> 20 tahun (1)

15-20 tahun (1)

15-20 tahun (1) >20 tahun (6)

5-10 tahun (2) 15-20 tahun (1) > 20 tahun (3)


(48)

Lanjutan tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor

pendukung sukses Industri berpeluang Industri sangat sukses Industri sukses Industri kurang sukses

16 Modal awal < 1 juta (5) 1-2 juta (1)

< 1 juta (1)

< 1 juta (3) 1-2 juta (3) > 2 juta (1)

1-2 juta (4) < 1 juta (2) 17 Pencatatan keuangan belum ada (6) sudah ada (1)

sudah ada (6) belum ada (1)

sudah ada (4) belum ada (2) 18 Pembagian peran SDM belum ada (3) sudah ada (3), tetapi masih sering bergantian

sudah ada , sudah bersifat kontinyu terutama bagian pemasaran dan produksi (1)

sudah ada (7), sudah bersifat kontinyu terutama bagian pemasaran dan produksi

belum ada (3) sudah ada (3), tetapi masih sering bergantian 19 Persyaratan kedelai tidak meminta syarat mutu khusus (5) meminta syarat mutu khususu (1) meminta syarat mutu khusus seperti kedelai utuh, besar dan tidak banyak kotoran (1) meminta syarat mutu khusus (6)

tidak meminta syarat mutu khusus (1)

meminta syarat mutu khusus (3) tidak meminta syarat mutu khusus (3) 20 Anggaran dana khusus pemilik belum ada (5) sudah ada (1) sudah ada (1)

belum ada (4) sudah ada (3)

belum ada (6)

21 Tenaga pemasar khusus sudah ada (4), tetapi masih sering bergantian dengan bagian produksi belum ada (2) sudah ada dan bersifat kontinyu (1)

sudah ada dan bersifat kontinyu (7)

sudah ada (4), tetapi masih bergantian dengan bagian produksi belum ada (2)

22 Cara penentuan harga tergantung harga pasar (5) berdasarkan biaya produksi (1) berdasarkan biaya produksi (1) berdasarkan biaya produksi (7) tergantung harga pasar (6)


(49)

1. Tingkat Pendidikan Pengusaha

Tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan, pola pikir, sikap dan cara pengambilan keputusan. Namun demikian, di lokasi penelitian pendidikan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan industri kecil tempe. Dari data diketahui bahwa baik industri tempe sukses maupun kurang sukses umumnya berpendidikan SD.

2. Keikutsertaan Dalam Pelatihan Kewirausahaan

Dilihat dari segi keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan, 50 % responden pengrajin tempe sukses pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses, hanya 16.67% yang pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan. Walaupun demikian, pelatihan tidak begitu berpengaruh terhadap kesuksesan usaha. Hal ini dikarenakan pelatihan yang diikuti biasanya ketika diselenggarakan oleh KOPTI saja. Padahal semenjak tahun 1998 pelatihan sudah jarang diselenggarakan karena banyak anggota KOPTI yang sudah tidak aktif lagi. Selain itu keahlian yang dimiliki oleh para pengrajin umumnya berasal dari orang tua, teman atau magang di pengrajin tempe yang lain.

3. Keanggotaan KOPTI

Dari hasil wawancara diketahui semua responden pengrajin tempe yang sukses terdaftar sebagai anggota KOPTI, sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses hanya 50% yang mendaftarkan diri sebagai anggota KOPTI. Alasan yang dikemukakan ketika mereka mendaftarkan diri sebagai anggota KOPTI adalah mudah mendapatkan bahan baku, mendapatkan pinjaman modal, pembinaan, mendapatkan bonus sembako tiap akhir bulan dan mendapatkan simpanan uang setiap membeli bahan baku.

Kondisi KOPTI berubah dan cenderung menurun perannya terhadap anggota ketika pemerintah mencabut subsidi kedelai impor sejak 1 September 1998. Hal ini menyebabkan KOPTI tidak mampu lagi menjual kedelai impor


(50)

dengan harga seperti ketika mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ditambah lagi dengan maraknya pedagang kedelai impor di pasar. Para pedagang kedelai impor tersebut dapat menjual kedelai impor dengan harga yang lebih murah dari KOPTI. Sehingga beberapa responden yang memulai usahaya setelah pemerintah mencabut subsidi, tidak ada yang mendaftar sebagai anggota KOPTI. Alasan mereka adalah mahalnya harga kedelai yang ada di KOPTI bila dibandingkan di luar KOPTI. Sejak tahun 2000 hampir sebagian besar anggota KOPTI tidak aktif lagi, sehingga keanggotaan KOPTI tidak berpengaruh terhadap kesuksesan usaha tempe.

4. Asal Kedelai

Para pengrajin tempe membeli kedelai dari berbagai tempat. Berdasarkan hasil wawancara, ada tiga tempat pembelian kedelai yang dilakukan oleh responden. Ada yag berasal dari importir Cina, pedagang kedelai non Cina dan koperasi. Responden pengrajin tempe sukses maupun yang kurang sukses umumnya membeli kedelai dari importir Cina. Hal ini sangat berbeda ketika koperasi masih mendapatkan subsidi kedelai impor dari pemerintah, hampir semua pengrajin membeli kedelai dari KOPTI. Alasan para pengrajin membeli kedelai di luar KOPTI adalah karena harga kedelai di luar KOPTI lebih murah. Selain itu mereka mendapatkan kemudahan dalam pelayanan dan tidak jarang mereka mendapatkan bonus pada waktu-waktu tertentu misalnya pada hari raya. Dari temuan di lapangan ini maka asal kedelai diduga bukan merupakan faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe.

5. Sumber Modal

Modal merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi industri kecil. Modal usaha tempe diperoleh pengrajin dengan berbagai macam cara. Sebagian pengrajin memodali usahanya dengan modal milik sendiri dan sebagian lagi menggunakan modal pinjaman baik dari tetangga, teman, saudara dan beberapa dari KOPTI. Kelompok industri tempe yang sukses maupun kelompok kurang sukses umumnya menggunakan modal yang berasal


(51)

dari milik sendiri, sehingga sumber modal tidak berpengaruh terhadap kesuksesan industri kecil tempe dan diduga bukan merupakan faktor kunci sukses.

6. Pembinaan terhadap Karyawan

Pembinaan atau pelatihan diberikan secara tidak langsung kepada para pekerja yang mayoritas dari anggota keluarga. Para pekerja diajari bagaimana cara membuat tempe dan bisnis tempe secara umum. Hal ini dengan harapan kelak mereka dapat mandiri. Terhadap karyawan yang sering absent atau malas biasanya pemilik hanya akan menegur dan hal ini jarang terjadi, karena pekerja mayoritas berasal dari anggota keluarga dan tinggal satu rumah sehingga mudah dalam melakukan pengontrolan. Dari data didapatkan ada beda antara industri kecil tempe yang sukses dan kurang sukses berkenaan dengan pembinaan terhadap karyawan. Perbedaan yang terjadi antara industri sukses dan kurang sukses disebabkan karena terdapat beberapa industri kurang sukses yang tidak mempekerjakan karyawan atau usaha tempe ditangani sendiri. Pembinaan yang dilakukan industri tempe cukup sederhana seperti yang disebutkan diatas dan tidak ada program khusus dari pemilik usaha untuk pekerjanya , sehingga pembinaan terhadap karyawan diduga bukan merupakan faktor kunci sukses usaha tempe.

7. Penambahan Modal dari Keuntungan

Dari segi penambahan modal, para responden pengrajin tempe, baik yang sukses maupun kurang sukses umumnya tidak melakukan penambahan modal dari keuntungan yang didapatkan. Hanya 37.5% responden pengrajin tempe sukses yang melakukan penambahan modal, sedangkan industi tempe kurang sukses sebesar 25% yang melakukan penambahan modal. Tidak dilakukannya penambahan modal ini terkait dengan konsumen dan pasar yang relatif sama/tetap. Para pengrajin takut ketika produknya tidak terjual jika modal mereka ditambah, yang berarti juga meningkatkan skala produksi. Dari data ini maka aktivitas penambahan modal dari keuntungan yang diperoleh diduga bukan merupakan faktor kunci sukses.


(52)

8. Anggaran Biaya Pemeliharaan Peralatan

Dalam pembuatan tempe peralatan sebagian besar diperoleh dengan membeli di pasar atau di toko. Alat-alat yang dipakai adalah drum besar untuk merebus, bak untuk merendam, ayakan untuk mengeringkan, sipatan untuk mencetak, kompor atau tungku, mesin pengupas kedelai, rak fermentasi, plastik dan daun pisang sebagai pembungkus. Para pengrajin tempe masih lemah dalam manajemen pengalokasian dana pemeliharaan atau penggantian peralatan. Dari hasil wawancara diketahui 62.5% responden pengrajin tempe sukses tidak menganggarkan biaya pemeliharaan atau penggantian peralatan dan hanya 35% responden pengrajin tempe yang menganggarkan dana untuk pemeliharan atau penggantian peralatan. Sedangkan 58.33% responden industri tempe kurang sukses juga tidak menganggarkan dana untuk pemeliharaan atau pergantian peralatan. Seacara umum baik industri tempe yang sukses maupun kurang sukses tidak menganggarkan dana untuk biaya pemeliharaan atau penggantian peralatan. Jika terjadi kerusakan alat biasanya akan diganti dengan yang baru atau diperbaiki tapi tidak ada anggaran dana khusus untuk penggantian. Sehingga dari data ini diduga angggaran dana untuk pemeliharaan atau penggantian peralatan bukan merupakan faktor kunci sukses dari wiarausaha tempe.

9. Target Pemasaran

Pemasaran merupakan merupakan aspek yang sangat penting dalam industri kecil tempe. Hal ini dikarenakan karakteristik industri tempe yang hampir sama yaitu yang berkaitan dengan bahan baku kedelai yang umumnya berasal dari Amerika Serikat, produk yang dihasilkan adalah tempe segar, dan pengetahuan dan ketrampilan yang hampir sama. Karakteristik dari industri tempe yang sama ini menyebabkan para pengrajin tempe harus bersaing dalam pemasaran. Wilayah pemasaran dari industri tempe umumnya tidak jauh dari lokasi usaha atau berada di pasar dalam satu wilayah Kecamatan. Tetapi terdapat terdapat juga beberapa pengrajin yang menjual tempe di pasar-pasar wilayah Kecamatan lain. Terdapat perbedaan target pemasaran antara industri tempe yang tergolong sukses dengan yang kurang sukses.


(53)

Industri tempe sukses memiliki target pemasaran yang lebih banyak dari industri tempe yang kurang sukses. Industri tempe yang sukses umumnya memiliki target pemasaran para pedagang sayur, warteg, perumahan, dan konsumen akhir. Dari data ini diduga target pemasaran merupakan salah satu faktor kunci sukses dalam wirausaha tempe.

10. Alat Transportasi Pemasaran

Alat transportasi pemasaran industri tempe di lokasi penelitian terdiri dari gerobak, sepeda, sepeda motor dan mobil pick up. Alat transortasi pemasaran diduga bukan merupakan faktor kunci sukses wirausaha tempe. Karena pada umumnya baik industri tempe yang sukses maupun kurang sukses memakai gerobak sebagai alat tarnsportasi pemasaran. Hal ini dikarenakan lokasi pasar yang dekat dengan lokasi usaha sehingga akan menghemat biaya.

11. Evaluasi Kegiatan Pemasaran

Sebagian besar responden pengrajin tempe baik yang tergolong sukses maupu kurang sukses umumnya sudah melakukan evaluasi kegiatan pemasaran, walaupun tidak secara rutin. Evaluasi dilakukan ketika ada gejolak di pasar saja., misalnya pada musim panen jengkol, buah-buahan atau terjadi peristiwa khusus seperti ketika terjadi krisis moneter atau kenaikan harga BBM. Sehingga dari data ini, evaluasi kegiatan pemasaran diduga bukan merupakan faktor kunci sukses industri tempe.

12. Cara Pembayaran Bahan Baku

Sistem pembayaran kedelai dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan cara tunai dan kredit. Sistem kredit yang dilakukan di industri tempe adalah dengan Pembayaran dibelakang setelah tempe terjual. Mayoritas pengrajin tempe, baik yang tergolong sukses maupun kurang sukses membayar kedelai dengan cara yang kedua yaitu membayar setelah tempe terjual. Sehingga cara pembayaran kedelai diduga bukan merupakan faktor


(54)

kunci sukses, karena semua kelompok industri umumnya melakukan hal yang sama.

13. Jarak Tempat Membeli Kedelai dengan Lokasi Usaha.

Jarak lokasi penjual kedelai atau importir kedelai dengan lokasi usaha dari setiap responden bervariasi. Jarak tempat pembelian kedelai dengan lokasi usaha mayoritas kelompok industri tempe sukses adalah 1-5 km, sedangkan kelompok industri tempe kurang sukses jarak tempat pembelian kedelai dengan lokasi usaha umumnnya adalah > 10 km. Dari data ini terdapat perbedaan antara industri tempe sukses dan kurang sukses, namun demikian jarak tempat pembelian dengan lokasi usaha diduga bukan merupakan faktor kunci sukses. Hal ini dikarenakan untuk jarak yang jauh para pedagang kedelai bersedia mengantar sampai ke tempat pengrajin tempe. Jarak tidak berpengaruh terhadap kelancaran proses produksi, walaupun terdapat pengrajin yang mengambil kedelainya dari Ciputat atau Jakarta. Selain itu sistem pembayaran dibelakang yang dilakukan kebanyakan pengrajin juga cukup memudahkan mereka dalam memproduksi tempe.

14. Pemisahan Uang Pribadi dan Uang Usaha

Dari segi pemisahan uang pribadi dan uang usaha mayoritas resonden pengrajin tempe sudah memisahkan antara uang pribadi dan uang usaha walaupun sangat sederhana. Biasanya pemisahan dilakukan pada dana untuk modal dan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Namun terkadang ketika kebutuhan mendesak uang modal terpaksa dipakai dahulu untuk menutupinya. Dari temuan data ini aktivitas pemisahan uang pribadi dan usaha diduga bukan merupakan faktor kunci sukses.

15. Lama Usaha

Dari hasil wawancara dan diskusi diketahui bahwa 75% responden pengrajin tempe sukses sudah memulai usahanya > 20 tahun, sedangkan responden industri tempe kurang sukses umumnya (50%) < 10 tahun. Dari data ini terlihat perbedaan antar dua kelompok industri. Menurut Ningsih


(1)

No Nama pemilik industri

Penanganan terhadap limbah

padat

Frekuensi produksi

Variasi

harga Jenis kemasan

Penangan terhadap tempe yang tidak

terjual

1 2 3 4 5 6 7

1 Rutaji dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik

dibuang

2 Carsian dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun

pisang dibuang

3 Casmani dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi dan dibagi-bagikan secara gratis

4 Caridi dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun

pisang semua terjual

5 Mito dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

sebagian dibuang dan sebagian dijual untuk

pakan lele

6 Tasheri

dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya

7 Rayubi dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun


(2)

Lanjutan lampiran hasil wawancara dengan reseponden

1 2 3 4 5 6 7

8 Kartubi dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya 9

Sigit

dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya

10 H. Moh. Abdul Karim dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dijual lagi dan dikasih ke tetangga

11 Warniah dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya

12 Suheri dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun

pisang semua terjual

13 Karsiban dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik

semua terjual

14 Syawal dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya

15 H. Munaji dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya


(3)

1 2 3 4 5 6 7 16 Sarwo dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi pada hari berikutnya 17 Udi Susanto dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dibagi-bagikan ke tetangga

18 Tambar dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dijual lagi pada hari berikutnya

19 Sumitro dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dan daun pisang

dijual lagi dan dikasih ke tetangga

20 Sukarnen dijual untuk pakan

ternak setiap hari ya

plastik dijual lagi pada hari berikutnya


(4)

Lanjutan lampiran hasil wawancara dengan reseponden

No Nama pemilik industri

Penanganan terhadap tempe

cacat

wilayah

pemasaran target pasar

Pemakaian tenaga pemasar

khusus

Alat transportasi

dalam pemasaran

Evaluasi kegitan pemasaran

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Rutaji dibuang dalam 1

kecamatan

konsumen akhir,

pedagang sayur ya gerobak ya

2 Carsian dibuang dalam 1

kecamatan

Pedagang sayur, konsumen akhir

dan warteg

ya gerobak tidak

3 Casmani dibuang dalam 1

kecamatan Pedagang sayur tidak gerobak ya

4 Caridi tidak ada yang cacat

dalam 1 kecamatan

dititipkan di

warung-warung tidak motor ya

5 Mito tidak ada yang cacat

dalam 1 kabupaten

Pedagang sayur dan konsumen

akhir

ya motor dan

gerobak ya

6 Tasheri

dibuang dalam 1

kecamatan Pedagang sayur ya gerobak ya

7 Rayubi tidak ada yang cacat

dalam 1 kecamatan

Pedagang sayur, warteg, konsumen

akhir


(5)

Lanjutan lampiran hasil wawancara dengan reseponden

1 2 3 4 5 6 7 8

8 Kartubi dibuang dalam 1

kabupaten Pegang sayur ya mobil pick up ya 9

Sigit

tidak ada yang cacat

dalam 1

kecamatan Pedagang sayur ya gerobak ya

10 H. Moh.

Abdul Karim dibuang

dalam 1 kecamatan

Pedagang sayur dan konsumen akhir

ya mobil pick up ya

11 Warniah tidak ada yang cacat

dalam 1

kecamatan Pedagang sayur ya gerobak tidak

12 Suheri tidak ada yang cacat

dalam 1 kecamatan

distributor dan

konsumen di pasar ya gerobak tidak

13 Karsiban tidak ada yang cacat

dalam 1

kecamatan Pedagang sayur tidak gerobak ya

14 Syawal tidak ada yang cacat

dalam 1

kecamatan konsumen di pasar ya gerobak ya

15 H. Munaji dimasak sendiri dalam 1 kecamatan

dititipkan di


(6)

Lanjutan lampiran hasil wawancara dengan reseponden

1 2 3 4 5 6 7 8

16 Sarwo tidak ada yang cacat

dalam 1

kecamatan distributor di pasar ya motor ya 17 Udi Susanto dijual dengan harga

murah

dalam 1

kecamatan konsumen di pasar ya mobil pick up ya

18 Tambar dibuang dan dijual untuk pakan ternak

dalam 1 kecamatan

Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir

ya motor ya

19 Sumitro diproses lagi menjadi tempe

dalam 1 kecamatan

Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir

ya gerobak ya

20 Sukarnen dibagikan ke tetangga

dalam 1 kecamatan

Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir


Dokumen yang terkait

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA BAHAN BAKU KEDELAI TERHADAP INDUSTRI KECIL TEMPE (Studi Kasus Pada Industri Kecil Tempe di Desa Beji, Junrejo, Kota Batu)

0 7 2

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA BAHAN BAKU KEDELAI TERHADAP INDUSTRI KECIL TEMPE (Studi Kasus Pada Industri Kecil Tempe di Desa Beji, Junrejo, Kota Batu)

2 10 14

Analisis dampak krisis ekonomi pada industri tempe skala kecil (Studi kasus: di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 12 101

Analisis internalisasi biaya pengolahan limbah (Studi kasus sentra industri tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

3 15 154

Hubungan karakteristik wirausaha dengan kinerja industri Tempe di Kabupaten Bogor

5 13 80

ANALISIS KORELASI ANTARA KOMPETENSI PENGRAJIN TEMPE DENGAN KINERJA INDUSTRI TEMPE Analisis Korelasi Antara Kompetensi Pengrajin Tempe Dengan Kinerja Industri Tempe (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

0 3 14

PENDAHULUAN Analisis Korelasi Antara Kompetensi Pengrajin Tempe Dengan Kinerja Industri Tempe (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

0 4 8

DAFTAR PUSTAKA Analisis Korelasi Antara Kompetensi Pengrajin Tempe Dengan Kinerja Industri Tempe (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

0 3 4

ANALISIS KORELASI ANTARA KOMPETENSI PENGRAJIN TEMPE DENGAN KINERJA INDUSTRI TEMPE Analisis Korelasi Antara Kompetensi Pengrajin Tempe Dengan Kinerja Industri Tempe (Studi Kasus Di Kabupaten Sukoharjo).

1 5 12

APLIKASI PENCATATAN KEUANGAN PADA INDUSTRI KECIL RUMAHAN (Studi Kasus Pada Industri Tempe Di Kelurahan Kedung Baruk).

0 1 84