2.5 Faktor Risiko HIVAIDS
a. Heteroseksual
Perempuan lebih rentan dibanding laki-laki terhadap infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual. Perempuan lebih banyak terpajan oleh penyakit IMS
yang menyebabkan peningkatan risiko infeksi HIV AIDS Widihastuti, 2013. Penelitian Rokhmah 2014 menunjukkan data penderita HIVAIDS di Kabupaten
Jember mencapai 982 orang. Berdasarkan faktor risiko, terdapat 84,11 yang ditularkan secara heteroseksual dan ibu rumah tangga IRT menempati urutan
pertama tertular HIVAIDS yaitu 23,42 dan terendah adalah 15,58 pada wanita penjaja seks.
b. Penggunaan Narkoba Suntik Bergantian Penggunaan narkoba suntik secara bergantian menimbulkan risiko
penularan HIVAIDS Naparudin, 2013. Penggunaan narkoba suntik merupakan gangguan mental dan perilaku yang kronis, sering kambuh, dan mudah terinfeksi
serta menularkan infeksi HIV Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian Naparudin 2013 pada 47 responden yang
terdiagnosis HIVAIDS yang menunjukkan pengguna jarum suntik yang didominasi oleh NAPZA jenis heroin 42 responden 89,4 secara bergantian
adalah sebanyak 20 responden 42,6.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Pencegahan HIVAIDS 2.6.1 Pencegahan Primer HIVAIDS
a. Promosi Kesehatan Umum General Health Promotion Menurut Kunoli 2012 dan Najmah 2016, upaya promosi kesehatan pada
pencegahan primer HIVAIDS adalah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja, khususnya di lingkungan sekolah dan bagi masyarakat yang harus
ditekankan agar tidak mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti. b. Perlindungan Umum dan Spesifik Specific and General Protection
Upaya perlindungan umum dan spesifik pada pencegahan primer HIVAIDS menurut Kunoli 2012 adalah tidak melakukan hubungan seks atau
hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi HIV. Upaya perlindungan umum dan spesifik lainnya menurut Najmah 2016
adalah penggunaan jarum suntik steril bagi pengguna narkoba suntik dan tes darah bagi donor darah.
2.6.2 Pencegahan Sekunder HIVAIDS
a. Diagnosis Awal Early Diagnosis Upaya diagnosis awal pada pencegahan sekunder HIVAIDS menurut
Centers for Disease and Control and Prevention 2015 yang merekomendasikan bahwa tes HIVAIDS rutin secara sukarela dapat dilakukan sebagai bagian normal
dari praktik medis, seperti skrining untuk kondisi penyakit yang perlu diobati lainnya.
Tes HIV adalah alat kesehatan publik yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi kesehatan yang belum dikenal sebagai langkah awal
Universitas Sumatera Utara
untuk diagnosis selanjutnya sehingga pengobatan dapat ditawarkan sebelum timbulnya gejala sehingga intervensi dapat diterapkan untuk mengurangi
kemungkinan penularan lanjutan Centers for Disease and Control and Prevention, 2015.
b. Pengobatan Segera Prompt Treatment Upaya pengobatan segera pada pencegahan sekunder HIVAIDS bagi
seseorang dengan HIV negatif yang memiliki faktor risiko tinggi menurut Centers for Disease and Control and Prevention 2016 adalah memberikan obat yaitu
Pre-exposure Prophylaxis PrEP dan Post-Exposure Prophylaxis PEP. Pre-Exposure Prophylaxis PrEP adalah sebuah obat yang dikonsumsi
setiap hari yang dapat digunakan untuk mencegah terinfeksi HIV. PrEP adalah untuk orang tanpa HIV yang memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi HIV dari
hubungan seksual atau penggunaan narkoba suntik. Pre-exposure prophylaxis PrEP diperuntukkan bagi orang yang berisiko sangat tinggi terinfeksi HIV untuk
mengonsumsi obat setiap hari dalam upaya menurunkan peluang terinfeksi. PrEP adalah sebuah kombinasi dari dua obat HIV tenofovir dan
emtricitabine, dijual dengan nama dagang Truvada®, digunakan sehari-hari untuk membantu mencegah orang HIV negatif dari tertular HIV dari penggunaan
narkoba suntik atau melakukan hubungan seksual dengan mitra yang positif. Orang dengan risiko tinggi harus ditawarkan PrEP termasuk 1 dari 4 kelompok
risiko lelaki seks lelaki dan biseksual, 1 dari 5 orang yang menggunakan narkoba suntik, dan 1 dari 200 orang dewasa yang aktif melakukan hubungan seksual
heteroseksual.
Universitas Sumatera Utara
Konsumsi PrEP setiap hari dapat mengurangi risiko tertular HIV dari hubungan seksual dengan persentase lebih dari 90 sedangkan konsumsi PrEP
setiap hari dapat mengurangi risiko tertular HIV di antara pengguna narkoba suntik dengan persentase 70. Penelitian telah menunjukkan bahwa PrEP sangat
efektif untuk mencegah HIV jika digunakan seperti yang ditentukan. PrEP jauh kurang efektif jika tidak dikonsumsi secara konsisten. Orang yang menggunakan
PrEP diperiksa setiap 3 bulan untuk tindak lanjut, termasuk tes HIV dan isi ulang resep Centers for Disease Control and Prevention, 2016.
Post-exposure prophylaxis PEP adalah mengonsumsi obat-obatan antiretroviral ART setelah berpotensi terkena HIV untuk mencegah terinfeksi.
PEP harus digunakan hanya dalam situasi darurat dan harus dimulai dalam waktu 72 jam setelah paparan HIV terjadi. PEP diperuntukkan bagi orang yang baru saja
terkena HIV selama melakukan hubungan seks atau melalui berbagi jarum dan bekerja untuk mempersiapkan obat-obatan atau jika seseorang mengalami
kekerasan secara seksual. Semakin cepat seseorang yang berpotensi terpapar HIV memulai untuk
mengonsumsi PEP merupakan hal yang baik karena setiap jam dihitung. Penelitian telah menunjukkan bahwa PEP memiliki sedikit atau tidak berpengaruh
dalam mencegah infeksi HIV jika dimulai paling lambat 72 jam setelah paparan HIV. Jika seseorang diresepkan PEP, maka orang perlu mengonsumsi PEP sekali
atau dua kali sehari selama 28 hari Centers for Disease and Control and Prevention, 2016.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Pencegahan Tersier HIVAIDS
a. Pembatasan Ketidakmampuan Disability Limitation Upaya pembatasan ketidakmampuan pada pencegahan tersier HIVAIDS
adalah memberikan terapi dan pengobatan Anti-Retroviral Virus ARV bagi seseorang yang sudah dinyatakan positif HIV dan pengobatan pencegahan dan
penanggulangan infeksi opurtunistik Najmah, 2016. b. Rehabilitasi Rehabilitation
Upaya rehabilitasi pada pencegahan tersier HIVAIDS adalah memberikan dukungan secara psikologis melalui memberikan motivasi pada ODHA,
merangkul ODHA dengan tidak menimbulkan stigma dan tidak melakukan
tindakan diskriminasi Najmah, 2016. 2.7 Pengukuran Perilaku Tes HIV
Menurut Lawrence Green 1991 dalam Notoatmodjo 2010, Perilaku manusia terkait tes HIV dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu faktor
predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. 1. Faktor Predisposisi Predisposing Factors
Faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Perilaku seseorang atau masyarakat dalam
operasionalnya ditentukan oleh pengetahuan knowledge, sikap attitude, dan tindakan atau praktik practice.
a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah hal apa yang
Universitas Sumatera Utara
diketahui oleh orang terkait HIVAIDS sebelum melakukan tes HIV. Misalnya, sebelum seseorang melakukan tes HIV seseorang tersebut sebaiknya mengetahui
tentang HIVAIDS yaitu penyebab, cara penularan, cara pencegahan sehingga seseorang tersebut dapat menentukan tindakan yang akan dilakukannya yaitu
melakukan tes HIV atau tidak melakukan tes HIV. Pengetahuan terkait HIVAIDS dapat diukur dengan cara menanyakan
secara langsung wawancara, yaitu wawancara tertutup atau wawancara terbuka dengan menggunakan kuesioner, atau menanyakan secara tertulis angket, yaitu
angket tertutup atau angket terbuka. b. Sikap
Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu sehingga sikap merupakan proses kesadaran yang sifatnya
individual, artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Sikap dalam penelitian ini adalah bagaimana pendapat atau penilaian
orang terkait HIVAIDS sebelum melakukan tes HIV. Sikap terkait HIVAIDS dapat diukur menggunakan metode wawancara
yaitu menggali pendapat atau penilaian responden melalui pernyataan-pernyataan terkait HIVAIDS dan menggunakan angket untuk menggali pendapat atau
penilaian responden melalui pernyataan-pernyataan terkait HIVAIDS dan jawaban-jawaban secara tertulis.
c. Tindakan Praktik Tindakan praktik adalah hal apa yang dilakukan oleh seseorang terkait
dengan pencegahan penyakit, cara peningkatan kesehatan, cara memperoleh
Universitas Sumatera Utara
pengobatan yang tepat, dan sebagainya. Tindakan praktik dalam penelitian ini adalah perilaku tes HIV.
Pengukuran perilaku tes HIV dapat dilakukan dengan dua metode yaitu mengukur perilaku tes HIV secara langsung berarti peneliti langsung mengamati
atau mengobservasi perilaku subjek yang diteliti dan secara tidak langsung yakni dengan cara mengingat kembali recall yaitu subjek penelitian diminta untuk
mengingat kembali recall terhadap perilaku atau tindakan beberapa waktu yang lalu, melalui orang ketiga atau orang lain yang dekat dengan subjek yang diteliti,
dan melalui indikator hasil perilaku subjek yang diamati. 2. Faktor Pemungkin Enabling Factors
Faktor pemungkin terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Ketersediaan fasilitas
juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku tes HIV. 3. Faktor Pendorong atau Penguat Reinforcing Factors
Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku dukungan petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat, khususnya dalam perilaku tes HIV.
2.8 Perilaku Tes HIV Orang yang Mendapatkan Layanan VCT
Tes HIV atau juga dapat disebut dengan Voluntary Counseling and Testing VCT merupakan tes HIV yang didahului oleh kegiatan konseling bersifat
sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2010, perilaku tes HIV seseorang dapat dilihat melalui tahapan layanan VCT yaitu :
1. Konseling Pra-Tes Tujuan konseling pra-tes adalah membuat klien atau orang yang mengikuti
layanan VCT mampu memutuskan apakah dirinya perlu melakukan tes HIV atau tidak melakukan tes HIV untuk memeriksakan status HIV, dengan segala
konsekuensinya. Hal yang dilakukan pada tahap konseling pra-tes dalam VCT adalah informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama anonimus
sehingga nama tidak ditanyakan, buat catatan rekam medik klien dan memiliki kartu dengan nomor kode, membantu klien mengetahui faktor risiko dan
menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang
cara menyesuaikan diri dengan status HIV, dan klien memberikan persetujuan tertulisnya informed consent sebelum dilakukan testing HIV Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara, 2010. 2. Tes HIV
Tes HIV adalah uji adanya HIV atau tidak yang diperuntukkan bagi semua orang dalam populasi tertentu yang memiliki faktor risiko seperti melakukan
heteroseksual, penggunaan narkoba suntik, donor darah, dan penularan dari ibu kepada bayi Centers for Disease and Control and Prevention, 2015.
Tes HIV yang dimaksud adalah untuk menegakkan diagnosis. Tes yang digunakan adalah tes serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau
plasma. Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau
Universitas Sumatera Utara
serum. Penggunaan metode rapid testing memungkinkan klien mendapatkan hasil tes pada hari yang sama.
Rapid test menggunakan serum sampel yang dicampur terlebih dahulu dengan dilution buffer kemudian campuran tersebut diteteskan pada kartu uji.
Pengujian memerlukan waktu 10 – 15 menit untuk memperoleh hasil. Hasil positif
ditunjukkan dengan adanya dua garis merah pada bagian bertanda C Control Line dan T Test Line sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan munculnya
satu garis merah pada bagian bertanda C. Bila tidak muncul garis merah atau hanya muncul satu garis merah pada bagian bertanda T, menunjukkan hasil yang
tidak tepat atau tidak sah Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010. Rapid test lebih banyak digunakan pada tempat pelayanan kesehatan yang
kecil yang hanya memproses beberapa contoh darah setiap hari. Rapid test mempunyai sensitivitas dan spesivisitas di atas 99 dan 98. Rapid Test dapat
memberikan hasil pemeriksaan pada hari yang sama Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010.
Tujuan tes HIV ada empat yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor, untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil tes yang
disampaikan kepada klien adalah benar milik klien Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010.
3. Konseling Pasca-Tes dalam VCT Tujuan konseling pasca-tes adalah membuat klien mampu menerima hasil
pemeriksaan status HIV dan menyesuaikan diri dengan konsekuensi dan risikonya, membuat perilaku menjadi perilaku sehat. Hal yang dilakukan pada
Universitas Sumatera Utara
tahap konseling pasca-tes dalam VCT adalah memanggil klien secara wajar, dengan tenang membicarakan hasil pemeriksaan, periksa kemungkinan terpapar
dalam periode jendela dengan faktor risiko tinggi penyampaian jika hasil tes negatif, periksa apa yang diketahui klien tentang hasil tes, menerangkan dengan
ringkas bahwa tersedianya fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan, menerangkan bahwa adanya dukungan informasi verbal dan informasi tertulis
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010.
2.9 Kerangka Konsep