Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

1. Pengertian Konsumen dan Instrument Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen. Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UUPK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.” 23 Dalam buku AZ. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer Inggris-Amerika, atau consumentkonsument Belanda. Secara harafiah arti kata dari consumer itu adalah “lawan dari produsen setiap orang yang menggunakan barang.” Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk kelompok konsumen mana pengguna tersebut. 24 a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu. Pembagian batasan mengenai konsumen dibedakan oleh AZ. Nasution yakni menjadi : 23 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 2. 24 A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 3. Universitas Sumatera Utara b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang danatau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan tujuan komersial. c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang danatau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, danatau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali non komersial. 25 Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memeliharamerawat harta bendanya. 26 a. Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Pada hakekatnya terdapat 2 dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni : 25 Ibid. hal 11-14. 26 Janus Sidabalok, Op.Cit, hal. 18. Universitas Sumatera Utara b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK. Lahirnya Undang-undang ini memberi harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas suatu transaksi barang dan jasa. UUPK ini menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen. Instrumen lainnya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan POJK Nomor 1POJK.072013, Bab II, juga memuat ketentuan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, dimana pelaku usaha jasa keuangan diwajibkan memberikan informasi yang jelas serta pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen. Ada 5 lima asas di dalam UUPK yang mendukung instrumen perlindungan hukum bagi konsumen seperti yang dimuat didalam Pasal 2 UUPK, yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. 27 a. Asas manfaat Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. b. Asas keadilan Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 UUPK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini 27 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab II, Pasal 2. Universitas Sumatera Utara konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. c. Asas keseimbangan Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang danatau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e. Asas kepastian hukum Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. 28 2. Hak dan Kewajiban konsumen Seiring dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka mulailah dipikirkan kepentingan-kepentingan apa dari konsumen yang perlu mendapat perlindungan. Kepentingan-kepentingan itu dapat dirumuskan dalam bentuk hak. Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. 28 http:www.jurnalhukum.comhukum-perlindungan-konsumen-di-indonesia, diakses pada tanggal 23 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 29 Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu : 30 a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang danatau jasa; b. Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 29 Sukdikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986, hal.40. 30 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 4. Universitas Sumatera Utara i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas: 31 a. Hak memperoleh keamanan; b. Hak memilih; c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar. Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia International Organization of Consumer Union- IOCU ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu: 32 a. Hak untuk memeperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi; c. Hak untuk memeperoleh pendidikan konsumen; d. Hak untuk memeperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 31 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hal.38. 32 C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, 1995, hal. 22-24. Universitas Sumatera Utara Disanping itu, masyarakat Eropa Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: 33 a. Hak pelindungan kesehatan dan keamanan recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid ; b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi recht op bescherming van zijn economische belangen . Sementara itu, konsumen juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yang dimuat di dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 yakni : 34 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 3. Sengketa Konsumen dan Penyelesaiannya Menurut A.Z Nasution, seorang ahli hukum perlindungan konsumen menyatakan pengertian dari sengketa konsumen adalah sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen yang berawal dari transaksi konsumen. 35 33 Meriam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 61. 34 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 5. 35 A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 221. Universitas Sumatera Utara Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor 350MPP122001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah “Sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran danatau memanfaatkan jasa”. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak danatau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. BPSK menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. 36 Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta larangan sebagaimana diatur di dalam UUPK dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya, pembeli tidak memperoleh barang yang sesuai dengan pesanannya, atau pembeli tidak mendapat pelayanan sebagaimana telah disepakati, atau penjual tidak mendapatkan pembayaran sesuai 36 Ibid. Universitas Sumatera Utara dengan haknya. Sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen berawal dari transaksi konsumen disebut sengketa konsumen. 37 Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu : 38 a. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang- undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum. b. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak. Pasal 46 ayat 1 UUPK, disebutkan bahwa yang dapat melakukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah konsumen perseorangan, sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM, dan Pemerintah. Permasalahan yang sering ditemui di masyarakat ialah adanya pelaksanaan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha seperti pada Pasal 8 ayat 1 huruf a, para pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 39 37 Janus Sidabalok, Op.Cit.. hal. 143. 38 Ibid, hal 143. 39 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 8 ayat 1 huruf a. Banyak produk yang beredar di masyarakat Universitas Sumatera Utara yang mencantumkan label SNI tetapi sebenarnya tidak memenuhi standar kesesuaian, yang mengakibatkan kerugian dan dampak negatif yang dirasakan oleh konsumen secara langsung. Hal ini yang membuat konsumen banyak mengajukan tuntutan terhadap produsen sebagai bentuk pemenuhan atas hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan begitu, rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana mestinya. 40 Sebenarnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan baru diketahui melalui Pasal 47, sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian di luar pengadilan. UUPK memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan litigasi dan penyelesaian konsumen di luar pengadilan non-litigasi. Pasal 45 ayat 1: Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 40 Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 144. Universitas Sumatera Utara Pasal 47: Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat 1 jo. Pasal 47 UUPK tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika. Menurut Pasal 19 ayat 1 dan ayat 3 UUPK, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan produsen harus memberi tanggapan danatau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung. 2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau diantara mereka tidak ada penyelesaian, pembeli dapat mengajukan kasus tersebut ke BPSK atau ke pengadilan. Menurut Pasal 23 UUPK penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh, yaitu jika penyelesaian secara damai diluar proses pengadilan tidak berhasil, baik karena produsen menolak atau tidak memberi tanggapan maupun jika tidak tercapai kesepakatan. 41 41 Ibid hal. 146-148. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, terbuka tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu: 1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan; 2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan 3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi, maka ditempuh penyelesaian melalui BPSK dan sebaliknya. 42 4. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum publik, yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, 42 Ibid, hal. 144 Universitas Sumatera Utara hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara- cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajibannya itu. 43 Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Oleh A.Z. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan asas- asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang danatau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang danatau jasa kosumen. 44 Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi: informasi, memilih, harga, sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan 43 Ibid, hal. 45. 44 A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 23. Universitas Sumatera Utara produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokkan norma- norma perlindungan konsumen ke dalam 2 dua kelompok, yaitu: 45 a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada Pasal 8 UUPK terdapat substansi yang memuat larangan memproduksi barang danatau jasa, dan larangan memperdagangkan barang danatau jasa tersebut. Larangan-larangan ini bertujuan untuk mengupayakan agar barang danatau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pelaku usaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya. 46 b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Pada Pasal 18 ayat 1, yaitu larangan membuat danatau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen; 45 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 26. 46 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 65. Universitas Sumatera Utara d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 empat tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas Universitas Sumatera Utara dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu. 47 Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut : 48 a. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945; b. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi; c. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; d. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan akan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus. Bahwa sebenarnya perlindungan konsumen tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan konsumen, tetapi juga bagi kepentingan pelaku usaha. Dalam pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, paling tidak melibatkan 4 empat pihak, yaitu : konsumen yang baik, pelaku usaha yang baik, konsumen yang nakal, dan pelaku usaha yang nakal. Hal 47 Ibid, hal. 108. 48 Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 6. Universitas Sumatera Utara tersebut dapat dipahami karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah lawan, melainkan pasangan yang saling membutuhkan. Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari konsumennya. Jika konsumennya dalam kondisi sehat dan perekonomiannya semakin baik, maka pelaku usaha juga memiliki masa depan yang baik, demikian juga akan berlaku sebaliknya. Dalam hal pelaku usaha berbuat curang, maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen, tetapi juga merugikan pelaku usaha yang baik. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha, tetapi juga merugikan konsumen yang baik. 49 Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka dapat dikatakan hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 50

B. Standar Nasional Indonesia