BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bronkoskopi adalah teknik visualisasi dalam saluran pernapasan untuk tujuan diagnostik dan terapeutik. Sebuah alat dimasukkan ke dalam saluran
pernapasan, melalui hidung atau mulut, atau trakeostomi. untuk memeriksa kelainan saluran pernapasan seperti, benda asing, perdarahan, tumor, atau
peradangan. Suatu alat diagnostik untuk melihat secara langsung percabangan saluran napas dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan dari berbagai kondisi
penyakit saluran pernapasan Mehta, 2005. Tindakan bronkoskopi dilakukan oleh dokter spesialis paru yang
berpengalaman dan alat ini mempunyai persyaratan dalam hal pencucian desinfektan dan sterilisasi. Oleh sebab itu dengan menerapkan tentang pencucian,
desinfektan dan sterilisasi bronkoskopi ini merupakan komponen yang penting dalam mengontrol infeksi dan menurunkan untuk terjadinya suatu infeksi
nosokomial Culver, 2003. Shigeto Ikeda, menemukan bronkoskopi fleksibel pada tahun 1966.
awalnya digunakan bundel serat optik memerlukan cahaya eksternal untuk penerangan, memiliki diameter 5 mm sampai 6 mm, dengan kemampuan untuk
melenturkan 180 derajat dan 120 derajat, memungkinkan masuk ke lobus dan bronkus segmental Rick, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Insiden infeksi dari bronkoskopi serat optik lentur belum diketahui secara jelas, oleh karana laporan tentang kejadian ini jarang. Tahun 1970-2003 sekitar
tiga ratus literatur melaporkan kejadian transmisi infeksi dari endoskopi. 62 literatur melaporkan infeksi dari Bronkoskopi Serat Optik Lentur BSOL yaitu
akibat tidak adekwat tehnik pencucian atau proses desinfektan. Kontaminasi terjadi melalui saluran air, aksesoris sikatan pencucian bronkoskopi dan berasal
dari bronkoskopi itu sendiri, sehingga menyebabkan transmisi organisme dari penderita ke penderita yang lain Weber, 2010.
Tindakan bronkoskopi ini dianggap sebagai semi critical oleh Spaulding Classificatio System of patient care devices sehingga dibutuhkan desinfektan
tingkat tinggi dalam penggunaannya. Kegagalan dalam pencucian, desinfektan, sterilisasi akan mengakibatkan transmisi mikroorganisme patogen yang
menyebabkan penderita terinfeksi lebih serius dan juga menyebabkan kematian. Pencegahan terjadi infeksi harus diterapkan pedoman tentang pencucian,
desinfektan, dan sterilisasi dan melakukan pelatihan terhadap tenaga medis kesehatan Wang, 2007.
Penelitian retrospektif di Rumah Sakit Pusat St Mary Universitas London, Januari 2004 dan Desember 2010 dilaporkan pemeriksaan sputum BTA
sebelumnya hanya 19 positif 33,3 setelah 7 hari dilalukan procedur bronkoskopi tehadap 57 pasien ternyata hasil kultur adanya peningkatan jumlah
positif Mycobacterium tuberculose menjadi 43 positif 75,4. Penelitian memiliki implikasi penting pengendalian infeksi dengan hampir sepertiga dari
pasien menjadi lebih menular setelah bronkoskopi. Peter, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Edy J pada tahun 2007 melakukan penelitian di UPF paru RSU. H. Adam Malik Medan terhadap 30 penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam
dan dilakukan bronkoskopi BAL Bronko Alveolar Lavage didapati pola kuman Klebsiella pneumoniae 36,7, Klebsiella oxytoea 10, Escherichia coli 10,
Pseudomonas aeruginosa 10, Staphylococcus aureus 10, Proteus mirabilis 3,3, Streptococcus alfa 3,3, Jamur 3,3, Polimikrobial 6,7, dan tidak
tumbuh 3,3 Espinosa, 2007. Penelitian Januari sampai Juni 2006, diperoleh 841 spesimen di RSUP
Wahidin Sudirohusodo dari tindakan bronkoskopi bilasan bronkus diperoleh pola kuman berturut-turut: Pseudomonas aeruginosa 15,2, Klebsiella pneumonia,
14,0 Escherichia coli 13 Enterobacter spp 10,6, Klebsiella spp 11,1. Antimikroba yang sensitif adalah meropenem, amikacin dan
clindamycin Irda, 2006. Laporan bronkoskopi, Perancis dari Maret sampai Oktober 2001, terdapat
117 kasus spesimen pola kuman bronchoalveolar lavage Enterobacteriaceae, 63 kasus Klebsiella pneumoniae dan Proteus vulgaris, dan 23 kasus Morganella
morganii, P.mirabilis Kirschke, 2003.
1.2. Perumusan Masalah