Penilaian Visualisasi Pemeriksaan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Konfirmasi Pemeriksaan Sitologi Bronkus Dalam Menegakkan Diagnosis Kanker Paru

(1)

PENILAIAN VISUALISASI PEMERIKSAAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DENGAN KONFIRMASI PEMERIKSAAN SITOLOGI BRONKUS

DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS KANKER PARU

TESIS

DESFRINA KASUMA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

MEDAN 2011


(2)

PENILAIAN VISUALISASI PEMERIKSAAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DENGAN KONFIRMASI PEMERIKSAAN SITOLOGI BRONKUS

DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS KANKER PARU

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Paru Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

DESFRINA KASUMA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

MEDAN 2011


(3)

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Tesis : PENILAIAN VISUALISASI PEMERIKSAAN

BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DENGAN KONFIRMASI PEMERIKSAAN SITOLOGI BRONKUS DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS KANKER PARU Nama : Desfrina Kasuma

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II Pembimbing III

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K) Dr. Noni N. Soeroso, SpP Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes NIP. 19540228 198409 1 001 NIP. 19781120 200501 2 002 NIP. 19690609 199903 2 001

Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen Departemen pulmonologi Departemen Pulmonologi Pulmonologi

& Kedokteran Respirasi & Kedokteran Respirasi & Kedokteran Respirasi

Prof. Dr.Tamsil S, SpP (K) Dr.H.Zainuddin Amir,SpP(K) Prof.Dr.H Luhur Soeroso,SpP(K) NIP.1952110119800231005 NIP. 195406201980111001 NIP. 194407151974021001


(4)

PERNYATAAN

Judul penelitian : PENILAIAN VISUALISASI PEMERIKSAAN BRONKOSKOPI SERAT KONFIRMASI PEMERIKSAAN SITOLOGI

BRONKUS DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS KANKER PARU

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan.

Yang Menyatakan, Peneliti

Dr. Desfrina Kasuma


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini, yang merupakan persyaratan akhir dalam Program Pendidikan Spesialis I di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan. Keberhasilaan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, baik keluarga, guru-guru yang penulis hormati dan para sejawat asisten paru. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, SpP (K)

Sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam malik Medan yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berprilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat berguna di masa yang akan datang.

Dr. H. Zainuddin Amir, SpP (K)

Sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan, dan Ketua Tim Koordinator Pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (TKP-PPDS) FK USU yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan selama masa pendidikan.

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K)

Sebagai Sekretaris Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan dan pembimbing I saya yang telah banyak


(6)

memberikan motivasi bimbingan, masukan dan pengarahan hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Dr. Noni N. Soeroso, SpP

.

Sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan dan pembimbing II saya dalam penelitian ini yang banyak memberi dorongan, masukan dan pengarahan dalam penyempurnaan tulisan ini.

Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, SpP (K)

Sebagai Koordinator Penelitian Departemen Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FK USU/SMF RSUP H. Adam Malik Medan dan Ketua Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan, masukan dan arahan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

Dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, SpP(K)

Yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan dan masukan pengetahuan selama masa pendidikan yang akan sangat berguna untuk masa yang akan datang.

Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes

Sebagai Pembimbing Statistik yang telah banyak membantu penulis dalam bidang statistik dan penulisan ilmiah.

Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: Dr. Usman, SpP, Dr. Widi rahardjo, SpP(K), Dr. PS Pandia, SpP(K), Dr. Fajrinur Syarani, SpP(K), Dr. Parluhutan Siagian, SpP, Dr. Amira P. Tarigan, SpP, Dr. Bintang YM Sinaga,SpP, Dr. Setia Putra Tarigan, SpP, Dr. Ucok Martin, SpP, Dr. Netty Damanik, SpP yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian tulisan akhir ini.


(7)

Izinkanlah penulis ucapkan terima kasih kepada: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Instalasi Rekam Medik RSUP H. Adam Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama penulis melakukan pendidikan di RSUP H. Adam Malik Medan.

Terima kasih saya ucapkan kepada teman sejawat peserta Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU Medan yang telah bekerja sama dan membantu penulis selama mengikuti pendidikan.

Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas saya sampaikan kepada ibunda tercinta Hj. Hastina Semaoe dan ayahanda Zainal Abidin (Alm) yang telah rela berkorban membesarkan, mendidik dan memberikan dorongan kepada penulis hingga selesai pendidikan. Terima kasih juga kepada abangda Mardianto, SE, MM yang telah memberikan dorongan semangat dan nasehat kepada penulis di dalam menyelesaikan pendidikan ini. Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada suami tercinta Dr. H. Sutoyo Eliandy,M Ked (PA) dan putra tersayang Sigit Aldeto Eliandy yang selalu sabar dan penuh pengertian mendampingi penulis selama pendidikan.

Akhirnya dalam kesempatan ini penulis sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekhilafan dan kesalahan kepada semua pihak yang telah diperbuat selama ini. Semoga ilmu dan pengalaman yang penulos dapatkan selama pendidikan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa serta diridhoi oleh Allah SWT. Amin ya Robbal Alamin.

Medan, Februari 2011 Penulis

Desfrina Kasuma


(8)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN ….……….………….……….…. PERNYATAAN ……….…. UCAPAN TERIMA KASIH ………

DAFTAR ISI ……….……….……….……….…

DAFTAR TABEL ……….. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR ISTILAH ………..…….

ABSTRAK ……….……….………....……

BAB 1 PENDAHULUAN ….……….………. 1.1. Latar Belakang ………..……...…. 1.2. Perumusan Masalah

…..……….…………...……..…4

1.3. Hipotesis ……….……… 1.4. Tujuan Penelitian ……….………..5

1.5. Manfaat Penelitian ………...…….……..…….6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….….…… 2.1. Pengertian Kanker Paru ……….……….…7

2.2. Faktor Risiko ……….………..……….….. 7

2.3. Tanda Dan Gejala ………..…………...………..….…….….. 8

2.4. Stadium Kanker Paru …………..………..……….………. 9 Halaman x xi xii xiii 1 1 5 5 5 6 7 7 7 8 9 12 12 iii iv vii ii


(9)

2.5. Jenis Histologi Kanker Paru ………..…..………..……..….… 1

2.6. Diagnosis Kanker Paru …………..………. 2.6.1. Gejala Klinis ……….… 2.6.2. Pemeriksaan Fisik ………. 2.6.3. Pemeriksaan Radiologi ………..………..…. 1

2.6.4. Pemeriksaan Bronkoskopi ………..……….. 15

2.6.5. Pemeriksaan Biopsi Transtorakal ………. 26

2.7. Sitologi Kanker Paru …...……….………...………….….…….….. 2

2.8. Penatalaksanaan Kanker Paru ………..……...…. 3

BAB 3 BAHAN DAN METODA ………...………....….... 4

3.1. Rancangan Penelitian ………….….………….……...………….….….... 4

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian ………….……….…...….… 43

3.3. Subjek Penelitian ………..……….….….…….. 4

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….……….….….. 4

3.5. Jumlah Sampel …………..……….………...…….……….... 4

3.6. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi ………..………..…... 45

3.7. Identifikasi variabel ..………..……….……….…..… 3.8. Kerangka Konsep ………..…….…....…. 3.9. Definisi Operasional ………..………..……….…….……..…. 4

3.10. Cara Kerja ……….……….….…. 4

3.11. Kerangka Kerja ………. 3.12. Managemen Dan Analisa Data ………..…… 3.12.1. Pengolahan Data ………..………..….…… 5

3.12.2. Analisa Data ………. 5 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ……….

47 47 47 48 49 41 42 42 43 43 45 12 14 14 15 26 28 33 40 40 40 40 41


(10)

4.1. Hasil Penelitian ………. 4.2. Pembahasan ……… BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ………

5.1. Kesimpulan ……….. 5.2. Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA …………..……….…………..….………

65 65 65 67 LAMPIRAN

1. Daftar Pasien

2. Surat Persetujuan Komite Etik


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Stadium Kanker Paru ………..……..….. 1 Tabel 2.2. Stadium Kanker Paru TNM ……….………….…… 11 Tabel 2.3. Keterangan Sistem TNM ………..…….……11 Tabel 2.4. Tampilan Umum Berdasarkan Skala Karnofsky dan WHO ……….….… 3 Tabel 4.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur ……….…….. Tabel 4.2. Lokasi Lesi Secara Radiologi ……….…….. Tabel 4.3. Distribusi Penderita berdasarkan Prosedur Diagnostik Lain ……….…….. Tabel 4.4. Kriteria Penampakan Bronkoskopi ……….…… Tabel 4.5. Hasil Pemeriksaan Sitologi Bronkus ……….…. Tabel 4.6. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Umur Penderita ………….…… Tabel 4.7. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita …..… Tabel 4.8. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Lokasi Tumor ………. Tabel 4.9. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Penampakan Bronkoskopi …… Tabel 4.10. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Cara Pengambilan Sampel …… Tabel 4.11. Tabel 2x2 Kesan Bronkoskopi Dengan Sitologi BAL ……….…. Tabel 4.12. Uji Statistik Kesan Bronkoskopi Dengan Sitologi BAL ………..….. Tabel 4.13. Tabel 2x2 Kesan Bronkoskopi Dengan Sitologi Brushing ……….. Tabel 4.14. Uji Statistik Kesan Bronkoskopi Dengan Sitologi Brushing ……… Tabel 4.15. Tabel 2x2 Kesan Bronkoskopi Dengan Sitologi BAL+Brushing ….…….. Tabel 4.16. Uji Statistik Kesan Bronkoskopi Dengan Sitologi BAL+Brushing….…….

59 59 59 58 57 51 52 52 53 54 55 56 56 57 10 11 11 37 50 50


(12)

DAFTAR ISTILAH

ATS : American Thoracic Society BAL : Broncho Alveolar Lavage

BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur

CR : Complete Response

CT Scan : Computer Tomography Scanning FNAB : Fine Needle Aspiration Biopsy FOB : Fiber Optic Bronchoscopy GRT : Golongan Risiko Tinggi IDT : Instalasi Diagnostik Terpadu

IL : Interleukin

KGB : Kelenjar Getah Bening

KPKSK : Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil

KPKBSK : Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil NSCLC : Non Small Cell Lung Carcinoma

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PR : Partial Response

PD : Progressive Disease

SCC : Squamous Cell Carcinoma

SD : Stable Disease

SCLC : Small Cell Lung Carcinoma

TBNA : Transbronchial Needle Aspiration TKI : Tirosine Kinase Inhibitor


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Bronkoskopi Kaku (Rigid) ……….. 16

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) ……….. 17

Gambar 3. Inflamasi Bronkitis Kronis ………..……. 18

Gambar 4. Penonjolan Dinding Trakea Oleh Tekanan Instrinsik ………... 19

Gambar 5. Perubahan Inflamasi Tuberkulosis pada Bronkus Utama ……….….….. 20

Gambar 6. Fungating Tumor pada Bronkus Utama Kiri ……….…. 21

Gambar 7. Aksesori Prosedur Sikatan Bronkus, TBNA, dan Biopsi Forsep ……… 23

Gambar 8. Maping Sistem Kelenjar Limfe Regional Paru ……….... 25

Gambar 9. Small-Cell Lung Carcinoma ... 29

Gambar 10. Sitologi Adenokarsinoma Paru ……….…….. 30

Gambar 11. Squamous Cell Carcinoma ……….……. 30

Gambar 12. Poorly Differentiated (Non Small Cell) Carcinoma ……….……. 31

Gambar 13. Undifferentiated Large Cell (Non Small Cell) Carcinoma ……….…... 32

Gambar 14. Mukoepidermoid Karsinoma ……….……. 33 Gambar 15. Kerangka Konsep ……….………..

Gambar 16. Kerangka Operasional ………..……….. 43 47 31 32 33 25 29 30 30 19 20 21 23 16 17 18


(14)

ABSTRAK

Objektif : Untuk menilai keakuratan pemeriksaan bronkoskopi dalam menegakkandiagnosis kanker paru yang dikonfirmasikan dengan hasi pemeriksaan sitologi bronkus

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan retrospektif. Sampel pada penelitian ini sebanyak 100 sampel berupa data penderita kanker paru berdasarkan klinis, radiologi, dan telah dilakukan tindakan bronkoskopi dan pemeriksaan sitologi bronkus.

Hasil : Pemeriksaan bronkoskopi memiliki sensitifitas 83%, spesi- fisitas 37%, akurasi 59% yang dikonfirmasi dengan sitologi BAL. Sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan bronkoskopi yang dikonfirmasi dengan sitologi brushing adalah 80%, 44% dan 72,2%. Sedangkan sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemerksaan bronkoskopi yang dikonfirmasi dengan sitologi BAL+ brushing adalah 82%, 58%, 77,8%.

Kesimpulan : Ada hubungan kriteria penampakan bronkoskopi yang mengarah keganasan dengan hasil pe-meriksaan sitologi bronkus.

Kata kunci : Kanker Paru, Bronkoskopi Serat Optik Lentur, Sitologi Bronkus.


(15)

ABSTRAK

Objektif : Untuk menilai keakuratan pemeriksaan bronkoskopi dalam menegakkandiagnosis kanker paru yang dikonfirmasikan dengan hasi pemeriksaan sitologi bronkus

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan retrospektif. Sampel pada penelitian ini sebanyak 100 sampel berupa data penderita kanker paru berdasarkan klinis, radiologi, dan telah dilakukan tindakan bronkoskopi dan pemeriksaan sitologi bronkus.

Hasil : Pemeriksaan bronkoskopi memiliki sensitifitas 83%, spesi- fisitas 37%, akurasi 59% yang dikonfirmasi dengan sitologi BAL. Sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan bronkoskopi yang dikonfirmasi dengan sitologi brushing adalah 80%, 44% dan 72,2%. Sedangkan sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemerksaan bronkoskopi yang dikonfirmasi dengan sitologi BAL+ brushing adalah 82%, 58%, 77,8%.

Kesimpulan : Ada hubungan kriteria penampakan bronkoskopi yang mengarah keganasan dengan hasil pe-meriksaan sitologi bronkus.

Kata kunci : Kanker Paru, Bronkoskopi Serat Optik Lentur, Sitologi Bronkus.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker paru merupakan penyakit keganasan dan penyebab kematian terbanyak ternyata disebabkan oleh kanker paru. 1,2,3

Kanker paru merupakan peringkat pertama penyebab kematian pada pria dan wanita di Amerika Serikat. Dari tahun ke tahun, data statistik di berbagai negara menunjukkan angka kejadian kanker paru yang terus meningkat, terutama di negara yang sedang berkembang. Pada tahun 2000 terdapat 1.2 juta kasus baru dan 1.1 juta meninggal. Pada tahun 2007 diperkirakan kasus kanker paru meningkat menjadi 1.5 juta. 1,3

Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan. Insidens kanker paru di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta berkisar 0.06 % dari jumlah seluruh penderita rawat jalan dan 1.6 % dari penderita rawat inap. 1,3

Secara umum, kanker paru dibagi menjadi dua tipe yaitu small cell lung carcinoma (SCLC) dan non-small cell lung carcinoma (NSCLC). NSCLC dibagi lagi atas 3 subtipe yaitu large cell carcinoma, adenokarsinoma, dan karsinoma sel skuamosa. 1,3,4,5

Sebelum dimulai pengobatan terhadap kanker paru, harus dapat dibedakan apakah kasus ini merupakan NSCLS atau SCLC. Dalam hal ini sitologi dan histopatologi memegang peranan penting dalam menentukan terapi. Namun biopsi bronkial tidak dapat digunakan untuk lesi-lesi yang letaknya perifer atau pada penderita yang memiliki risiko perdarahan.


(17)

Dengan demikian dibutuhkan teknik lain seperti bilasan bronkus, broncho alveolar lavage (BAL) untuk mengatasi kekurangan tersebut. 4

Bronkoskopi merupakan salah satu upaya penting dalam bidang paru karena alat ini dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik. Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun histopatologi yang sangat penting dalam membantu menegakkan diagnosis. Spesimen dapat diambil dengan teknik, seperti: bilasan bronkus (bronchial washing), sikatan bronkus (bronchial brushing), bronchoalveolar lavage (BAL), biopsi endobronkial, transbronchial needle aspiration (TBNA), dan transbronchial lung biopsy (TBLB). 4

Hasil dari ambilan spesimen dari tindakan bronkoskopi selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi, sitologi dan histopatologi. Teknik sitologi merupakan teknik yang cukup aman, ekonomis dan cepat mendapatkan hasil. Diagnosis sitologi dapat dipakai sebagai diagnosis pembanding yang saat ini sudah luas digunakan dengan menggunakan teknik bronkoskopi. 4

Nirwan dkk, tahun 1990 melaporkan manfaat bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) dalam diagnosis kanker paru di bagian pulmonologi FKUI Jakarta yaitu sekitar 86.56% kasus yang dilakukan tindakan bronkoskopi menunjukkan lesi keganasan. Keuntungan dari BSOL yaitu memungkinkan untuk mendapatkan bahan pemeriksaan sitologi/histologi dengan prosedur bilasan bronkus, sikatan bronkus, BAL, biopsi aspirasi jarum halus, TBNA dan TBLB. 6

Kawaraya dkk, menganalisis diagnosis sitologi spesimen yang didapatkan dari prosedur bronkoskopi serat optik lentur, dengan jumlah sampel yang sangat besar yaitu 1372 penderita kanker paru, sediaan histopatologi didapat dari biopsi forsep sedangkan sitologi dari sikatan, BAL dengan lokasi selektif, kuretase, TBNA dan bilasan. Diagnosis rata-rata secara keseluruhan adalah 93.4%. 7


(18)

Hal menarik dari data peneliti lain adalah tambahan tindakan dalam prosedur bronkoskopi dapat meningkatkan sensitifitas diagnosis, dimana dilaporkan sensitifitas pemeriksaan histopatologi biopsi forsep 76.9% jika ditambah dengan hasil sitologinya (additional imprint cytology) dari spesimen biopsi itu maka sensitifitas meningkat menjadi 83.7%. 7

Penelitian Umar M. dkk, tentang akurasi diagnostik kanker paru dengan prosedur diagnosis invasif menggunakan BSOL, pada 133 pasien dijumpai penampakan bronkoskopi yang sesuai dengan kriteria keganasan ditemukan pada 81.1%, 2.26% peradangan, 28.57% menunjukkan mukosa infiltratif, 33.84% stenosis infiltratif dan 30.07% massa intrabronkial intrabronkus. Diagnosis kanker paru atau tampakan yang sesuai dengan kriteria keganasan dijumpai sebesar 92.5%. Tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan bahan pemeriksaan sitologi/histopatologi adalah sikatan bronkus pada 119 (89.50%), biopsi endobronkial 45 (10.50%). Hubungan antara penampakan bronkoskopi dengan jenis sel kanker dijumpai karsinoma sel skuamosa sekitar 66.16%, adenokarsinoma sekitar 35 (26.32%), karsinoma sel besar 5 (3.76%), karsinoma sel kecil 3 (2.25%). Berdasarkan lokasi tumor yang terbanyak adalah pada paru kanan 61.65%. 6

Avijgan M. pada tahun 2004 melakukan penelitian mengenai spesifisitas dan sensitifitas terhadap penderita pneumonia kronik di RS Azra Iran, yang dilakukan tindakan bronkoskopi serat optik lentur. Tindakan BSOL dilakukan terhadap 50 pasien pneumonia yang tidak respon dengan pengobatan antibiotika selama 10 hari dengan teknik pengambilan sampel bilasan bronkus, sikatan bronkus, dan BAL yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan direct smear serta kultur acid fast bacilli (BTA). Sensitifitas diagnosis untuk tuberkulosis 100%, spesifisitas 67.5%. Sensitifitas diagnosis kanker paru 81.8%, spesifisitas 89.7%. 8


(19)

Spira dkk di Boston University Medical Center Amerika Serikat, melaporkan kombinasi sitopatologi dengan ekspresi gen biomarker meningkatkan sensitifitas diagnosis dengan menggunakan prosedur bronkoskopi 53% sampai 95%, negative predictive value 95%, positive predictive value 70%. 9

Penelitian Liam CK dkk melaporkan sensitifitas fleksibel bronkoskopi dalam menegakkan diagnosis kanker paru sekitar 82%.33 Penelitian yang dilakukan oleh Lauren G dkk melaporkan sensitifitas fleksibel bronkoskopi dalam menegakkan diagnosis kanker paru letak sentral yaitu 90% dan sensitifitas tumor perifer 60-70%.10

Pada penelitian sebelumnya tentang profil pasien yang dilakukan tindakan bronkoskopi serat optik lentur di RSHAM, dijumpai diagnosis penyakit yang terbanyak yang dilakukan tindakan bronkoskopi adalah tumor paru yaitu 219 (63.66%), kriteria penampakan bronkoskopi terbanyak adalah massa intrabronkial yaitu 97 (28.20%).

Penelitian mengenai akurasi tindakan bronkoskopi serat optik lentur dalam menegakkan diagnosis kanker paru dengan konfirmasi pemeriksaan sitologi bronkus belum pernah dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas diketahui peranan bronkoskopi sangat besar dalam membantu menegakkan diagnosis kanker paru, namun kadang hasil pemeriksaan sitologi tidak menemukan tanda-tanda keganasan. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan uji diagnostik tindakan BSOL berupa penampakan yang mengarah keganasan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan sitologi kanker paru.


(20)

Ada hubungan kriteria penampakan bronkoskopi yang mengarah keganasan dengan hasil pemeriksaan sitologi bronkus.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui konfirmasi penampakan pemeriksaan bronkoskopi dengan pemeriksaan sitologi dalam menegakkan diagnosis kanker paru.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Untuk memperoleh gambaran karakteristik ( umur dan jenis kelamin ) penderita kanker paru yang didiagnosis dengan peme-riksaan bronkoskopi di Instalasi Diagnosis Terpadu (IDT) dan pe-meriksaan sitologi di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Untuk mengetahui sensitifitas, spesifisitas pemeriksaan bronkos-kopi yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan sitologi bronkus dari ambilan spesimen dengan cara BAL, brushing, BAL dan brushing dalam menegakkan diagnosis kanker paru.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menilai keakuratan pemeriksaan bronkoskopi dalam menegakkan diagnosis kanker paru yang dikonfirmasikan dengan hasil pemeriksaan sitologi bronkus pada sediaan yang sama sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kanker Paru

Keganasan di rongga toraks mencakup kanker paru, tumor mediastinum, metastasis tumor di paru dan mesotelioma ganas (kegasanan di pleura). Kasus keganasan rongga toraks terbanyak adalah kanker paru. Di dunia, kanker paru merupakan penyebab kematian yang paling utama di antara kematian akibat penyakit keganasan. Laki-laki adalah kelompok kasus terbanyak meskipun angka kejadian pada perempuan cenderung meningkat, hal itu berkaitan dengan gaya hidup atau kebiasaan merokok. 1,11

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri (primer) dan metastasis tumor di paru (sekunder). Metastasis tumor di paru adalah tumor yang tumbuh sebagai akibat metastasis dari tumor primer organ lain. Definisi khusus untuk kanker paru primer yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus. Meskipun jarang, dapat ditemukan kanker paru primer yang bukan berasal dari epitel bronkus misalnya bronchial gland tumors. Tumor paru jinak yang sering adalah hamartoma. 1,11

2.2. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya kanker paru adalah sebagai berikut: 1,11,12,13 • Laki-laki, usia lebih dari 40 tahun dan perokok


(22)

• Tinggal/bekerja di lingkungan yang mengandung zat karsinogen atau polusi paparan industri/lingkungan kerja tertentu

• Perempuan perokok pasif

• Riwayat pernah mendapat kanker organ lain atau anggota keluarga dekat yang penderita kanker paru

• Tuberkulosis paru, walaupun angka kejadiannya sangat kecil

Orang-orang yang termasuk dalam kelompok atau terpapar pada faktor risiko di atas dan mempunyai tanda dan gejala respirasi yaitu batuk, sesak napas, nyeri dada disebut golongan resiko tinggi (GRT) maka sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan untuk deteksi dini kanker paru. 1,11,13

Perhatian khusus harus diberikan kepada pasien yang masuk dalam kelompok risiko dengan diagnosis tuberkulosis paru dan mendapat pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT). Mereka harus dievaluasi ketat. Jika dalam evaluasi 1 bulan pertama menunjukkan perburukan sebaiknya dipikirkan ke arah kemungkinan kanker paru khususnya yang disertai keluhan nyeri yang persisten di bahu/lengan/dada dengan ”infiltrat” di puncak paru. Bila nyeri tidak hilang dalam 1-2 minggu pengobatan kanker paru segera dievaluasi secara amat terarah. 1,12

2.3. Tanda dan Gejala

Keluhan utama tumor paru adalah sebagai berikut:

• Batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen) lebih dari 3 minggu • Batuk darah

• Sesak napas • Suara serak

• Nyeri dada yang persisten • Sulit/sakit menelan


(23)

• Benjolan di pangkal leher

Sembab pada muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat. 1,11,13,14

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang. Ada pula gejala dan keluhan tidak khas seperti:

• Berat badan berkurang • Nafsu makan hilang • Demam hilang timbul

• Sindrom paraneoplastik, seperti hypertrophic pulmonary osteoartheopathy, trombosis vena perifer dan neuropati. 1,11,13,14

2.4. Stadium Kanker Paru

Prosedur diagnostik untuk menentukan stadium penyakit antara lain, foto toraks,

Computer Tomography Scaning (CT-scan) toraks sampai kelenjar suprarenal dan bronkoskopi. Pemeriksaan CT-scan kepala dan tulang dilakukan jika ada keluhan atau penderita yang akan dilakukan pembedahan. Tumor marker tidak dilakukan untuk diagnosis kanker paru tetapi hanya bermanfaat untuk evaluasi hasil terapi. Pada kondisi tertentu diagnosis tidak dapat ditegakkan meskipun telah dilakukan berbagai prosedur diagnosis, maka torakotomi eksplorasi dapat dilakukan. 1,12

Stadium untuk kanker paru berdasarkan tumor (T) dan penyebarannya ke getah bening (N) dan metastasis ke organ lain (M). Stadium sistem TNM small cell lung carcinoma

(SCLC)terdiri dari : 3,11


(24)

• Stadium luas (extensived) jika sudah meluas dari satu hemitoraks atau menyebar ke organ lain.

Stadium kanker paru jenis non small cell lung carcinoma (NSCLC) dibagi atas : Stadium 0, IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB dan IV yang ditentukan menurut International Staging System for Lung Cancer 2007, berdasarkan sistem TNM adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Stadium Kanker Paru

Stadium

Occult carcinoma TX N0 M0

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium IA T1a,b N0 M0 Stadium IB T2a N0 M0 Stadium IIA T2b N0 M0 T1a,b N1 M0 T2a N1 M0 Stadium IIB T2b N1 M0 T3 N0 M0 Stadium IIIA T1a,b, T2a,b N2 M0 T3 N1 N2 M0 T4 N0 N1 M0 Stadium IIIB T4 N2 M0 Sembarang T N3 M0 Stadium IV Sembarang T Sembarang N M1

Tabel 2.2. Stadium Non-Small Cell Lung Cancer

T dan M N0 N1 N2 N3

Stadium Stadium Stadium Stadium

T1 (≤2 cm) T1a IA IIA IIIA IIIB

T1 (> 2-3cm) T1b IA IIA IIIA IIIB T2 (≤ 5cm) T2b IB IB IIIA IIIB T2 (> 5-7cm) T2b IB IIB IIIA IIIB T2 (> 7cm) IB IIB IIIA IIIB T3 Invasi IIB IIIA IIIA IIIB T4 (nodul pada lobus yang sama)

T3 IIB IIIA IIIA IIIB T4 (lesi luas) IIIA IIIA IIIB IIIB M1 (Ipsilateral) T4 IIIA IIIA IIIB IIIB T4 (efusi pleura) IV IV IV IV M1 (kontralateral) M1a IV IV IV IV


(25)

Tabel 2.3. TNM System Version 7 Non-Small Cell Lung Cancer

TX Sitologi positif T1 ≤ 3 cm T1a ≤ 2 cm T1b > 2-3 cm

T2 Bronkus utama ≥ 2 cm dari karina, invasi ke pleura visceral, parsial atelectasis

T2a > 3-5 cm T2b > 5-7 cm

T3 > 7 cm, invasi ke dinding dada, diafragma, perikardium, pleura mediastinal, bronkus utama < 2 cm dari karina, atelektasis total, nodul pada lobus yang sama

T4 Penyebaran ke jantung, mediastinum, pembuluh darah, karina, trakea, esophagus, penyebaran tumor lobus ipsilateral

N1 Peribronkial ipsilateral, hilus ipsilateral N2 Subkarina, mediastinal ipsilateral

N3 Mediastinal atau hilus kontralateral, scalene atau supraklavikula M1 Metastasis jauh

M1a Penyebaran tumor pada lobus kontralateral, nodul pada pleura atau pleura ganas, efusi perikard

M1b Metastasis jauh

2.5. Jenis Histologis Kanker Paru

Jenis Sel Kanker Paru secara umum dibagi atas dua kelompok yaitu:

• Kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) atau small cell lung carcinoma (SCLC). 11

• Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) atau non-small cell lung carcinoma (NSCLC), mencakup adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa,


(26)

karsinoma sel besar (large cell ca) dan karsinoma adenoskuamosa. Meskipun kadang ditemukan jenis lain dengan frekuensi yang sangat jarang misal karsinoid tumor dan lain lain. 11

2.6. Diagnosis Kanker Paru 2.6.1. Gejala Klinis

Pengenalan awal kanker paru sulit dilakukan bila hanya berdasarkan pada keluhan saja. Biasanya keluhan ringan terjadi pada mereka pada stadium dini yaitu pada stadium I dan II. Data di Indonesia maupun dari negara maju kebanyakan kasus kanker paru terdiagnosis ketika penyakit sudah berada pada stadium lanjut (stadium III dan IV). 1,14

Manifestasi klinis dari tumor paru beraneka ragam, secara garis besar dapat dibagi atas :

1. Gejala intrapulmonal

Disebabkan gejala lokal adanya tumor di paru, yaitu adanya gangguan pergerakan silia serta ulserasi bronkus sehingga sering menyebabkan peradangan berulang, dengan keluhan batuk ( 70-90 % kasus), batuk darah ( 6-51 % kasus), nyeri dada biasanya unilateral tidak berbatas jelas (42-67 % kasus), sesak nafas (58 % kasus). 15

2. Gejala intratorasik ekstrapulmonal

Penyebaran tumor ke mediastinum akan menekan atau merusak struktur-struktur didalamnya dengan akibat antara lain :

• N. frenikus : parase/paralisis diafragma • N. recurrens : parase/paralisis chorda vokalis

• Saraf simpatik : sindroma horner yakni enoftalmus, miosis ptosis dan anhidrosis • Esofagus : disfagia


(27)

• Vena cava superior : sindroma vena cava superior yakni bendungan vena cava superior disertai pembengkakan muka lengan dan leher

• Trakea/bronkus utama : sesak nafas dapat atelektasis total • Jantung : gangguan fungsional, efusi perikard. 15

3. Gejala ekstratorasik non metastasis

Dapat berupa manifestasi neuromuskular (neuropati karsinomatosa: miopati, neuropatia perifer, degenerasi cerebelar subakut, ensefalomiopatia dan mielopati nekrotik), manifestasi endokrin metabolik (sindroma cushing, sindroma karsinoid, hiperparatiroid dengan hiperkalsemia, SIADH dengan hiponatremia, sekresi insulin dengan hipoglikemia, sekresi gonadotropin berlebihan dengan ginekomastia, sekresi melanocyte stimulating hormone dengan hiperpigmentasi kulit), manifestasi jaringan ikat (hipertrophy pulmonary, jari tabuh), manifestasi vaskular dan hematologi (tromboplebitis, purpura dan anemia). 15 4. Gejala ekstratorasik metastasis

Dijumpai adanya penyebaran tumor ke semua organ terutama otak, hati dan tulang. 15

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita kanker paru bisa tidak dijumpai kelainan jika massa tumornya kecil dan belum menyebar sehingga belum menimbulkan gangguan di tempat lain dan tumor yang letaknya di perifer. Pada kasus dengan stadium lanjut dapat dijumpai kelainan tergantung pada gangguan yang ditimbulkan oleh tumor primer atau penyebarannya. Kelainan yang didapat tergantung letak dan besarnya tumor sehingga menimbulkan gangguan. 1,11,14


(28)

2.6.3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pengenalan awal ini, selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan foto toraks dan/atau pemeriksaan sitologi sputum. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran tumor dengan tepi yang tidak rata dan penarikan pleura dan bahkan destruksi tulang dinding dada. Tidak jarang ditemukan gambaran efusi pleura masif sehingga tumor tidak terlihat. 1,11,14

2.6.4. Pemeriksaan Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas; normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial/tumor intra bronkus. Prusedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus. 16,17

Jenis Bronkoskopi

Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL).

18,19,20

A. Bronkoskopi Kaku (Rigid)

Bronkoskopi rigid merupakan alat yang berbentuk tabung lurus terbuat dari bahan stainless steel. Panjang dan lebar bervariasi, tetapi bronkoskopi untuk dewasa biasanya


(29)

berukuran panjang 40 cm dan diameter berkisar 9-13.5 mm, tebal dinding bronkoskop berkisar 2-3 mm. 18,21,22

Bronkoskopi rigid biasanya dilakukan dengan penderita di bawah anestesi umum. Tindakan ini harus dilakukan oleh bronchoscopist yang berpengalaman di ruang operasi. Bronkoskopi rigid diindikasikan pada penderita dengan obstruksi saluran napas besar dimana dengan BSOL tidak dapat dilakukan. 18,22

Gambar 1. Skema bronkoskopi kaku (rigid). 19

B. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)

Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy (FOB), sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pada kelainan yang dijumpai di paru-paru, dan berkembang sebagai suatu prosedur diagnostik invasif paru. 19,22


(30)

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL). 19

BSOL berupa tabung tipis panjang dengan diameter 5-6 mm, merupakan saluran untuk tempat penyisipan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendapatkan sampel dahak ataupun jaringan. Umumnya 55 cm dari total panjang tabung BSOL mengandung serat optik yang memancarkan cahaya. Ujung distal BSOL memiliki sumber cahaya yang dapat memperbesar 120o dari 100o lapangan pandang yang diproyeksikan ke layar video atau kamera. 23,24

Tabungnya sangat fleksibel sehingga memungkinkan operator untuk melihat sudut 160o-180o ke atas dan 100o-130o ke bawah. Hal ini memungkinkan operator BSOL untuk melihat ke segmen yang lebih kecil dan segmen sub cabang bronkus ke atas dan ke bawah dari bronkus utama, dan juga ke depan belakang (anterior dan superior). 23,24

Kriteria Penampakan Gambaran Bronkoskopi

Pada saat melakukan bronkoskopi, ada beberapa keadaan yang dapat dijumpai, seperti: 25,26,27,28


(31)

1. Normal

Dimana pada saat dilakukan bronkoskopi tidak dijumpai kelainan pada mukosa ataupun cabang-cabang bronkus.

2. Inflamasi

Gambaran inflamasi dapat menyeluruh (misalnya bronkitis kronis) ataupun lokal (akibat benda asing). Inflamasi dapat terjadi secara akut, misalnya radang paru yang berhubungan dengan segmental maupun kronis (misalnya tuberkulosis).

Gambar 3. Menunjukkan perubahan akibat inflamasi bronkitis kronis. 25

Perubahan peradangan meliputi :

• Hiperemis dan peningkatan vaskularisasi dari mukosa (berwarna gelap atau merah muda atau bahkan merah). Mukosa bronkus normal berupa palepink atau berwarna merah kuning.

• Pembengkakan (swelling).

Pada peradangan ringan, tampak sedikit pinggir dari karina tumpul dan buram atau kehilangan kontur sehingga tulang rawan bronkial menonjol. Pada peradangan yang parah terjadi penyempitan mukosa.


(32)

Mukosa yang normal hanya sedikit menghasilkan lendir yang berguna untuk pembersihan. Pada waktu peradangan, sekresi menjadi banyak dan sifat sangat bervariasi, misalnya mukoid, tebal dan mukus yang kental (bronkitis kronis), Mukus berupa plague (asma), pus/nanah (infeksi berat).

• Perubahan terlokalisir (localized changes)

Reaksi lokal dapat dijumpai pada kelainan seperti pneumonia, abses paru, TBC, aspirasi benda asing, bronkiektasis, karsinoma, dan lain lain.

Ascociated changes

Terutama terlihat pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), dimana dijumpai submukosa atrofi, hipertrofi pada dinding membran bronkiol.

nan instrinsik. 25

Gambar 4. Menunjukkan penonjolan dinding trakea kanan oleh karena teka

• Tuberkulosis

Dijumpai peradangan pada endobronkial, distorsi pada lumen trakea/bronkus yang disebabkan limfadenofati ekstrabronkial.


(33)

Gambar 5. Menunjukkan perubahan inflamasi tuberkulosis dengan serangkaian sekresi terlihat pada bronkus utama kanan. 25

3. Tumor

Gambaran bronkoskopi pada tumor atau pembesaran kelenjar getah bening atau metastasis dapat dijumpai tiga perubahan utama :

• Distorsi anatomi oleh karena adanya tekanan eksternal pada trakeo bronkial, biasanya disebabkan oleh limfadenopati sekunder berupa pelebaran sudut karina, pembengkakan pada dinding trakea/bronkus utama.

• Keterlibatan dari dinding bronkial dengan distorsi lokal atau ulserasi dari mukosa pada sebagian atau seluruh lumina.

• Pertumbuhan intraluminer mungkin merupakan awal dari intralumen itu sendiri, dijumpai pelebaran atau ruptur dari kelenjar limfe sekunder

melalui dinding bronkial. Pertumbuhan intralumen bisa menutup lumen secara total atau parsial.


(34)

Gambar 6. Menunjukkan

fungating tumor di sebelah kiri

batang utama bronkus. 25

4. Miscellaneous

• Perdarahan bronkial

Dalam beberapa kasus batuk darah (hemoptisis), pemeriksaan bronkoskopi memberikan gambaran normal. Pada perdarahan yang masif dilakukan pembersihan dari trakeobronkial dengan normal salin untuk membantu menemukan sumber perdarahan.

• Benda asing

Benda asing sering menyebabkan peradangan lokal, bahkan menyebabkan infeksi yang luas dan kerusakan pada bronkial dan jaringan paru distal. Benda asing dapat menghasilkan sekresi purulen.

Sarcoidosis

Tampak dua gambaran utama,yaitu :

1. Pembesaran kelenjar getah bening, karina dan subkarina melebar dan distorsi trakeobronkial.

2. Perubahan bentuk mukosa trakeobronkial, hiperemis dan sekresi yang meningkat. • Perubahan radiasi

Perubahan mengikuti pola umum: segera, reaksi peradangan akut, selanjutnya penyusutan atau hilangnya tumor dengan berkurangnya peradangan, mukosa pucat


(35)

dan kontraktif jaringan parut setelah beberapa bulan dan terjadi fibrosis pada daerah yang terkena.

• Trauma trakea

Dijumpai fraktur pada dinding trakea atau bronkus. • Fistula Bronkopleura

Merupakan sekunder dari empiema, abses paru, pecahnya kista paru, pneumotoraks, trauma atau pasca operasi. Pada gambaran bronkoskopi tampak gelembung udara, waktu sekresi tampak gerakan pernapasan.

• Amiloidosis

Jarang terjadi, dinding bronkial berwarna kuning/abu-abu yang menyerupai gambaran carsinomatous infiltratif.

Pengambilan Spesimen

Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis. Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti:

19,23,25,26

1. Cucian bronkus (bronchialwashing)

Tindakan membilas daerah bronkus dan cabang-cabangnya dengan bantuan kateter atau fasilitas suction yang ada pada bronkoskop. Cucian bronkus dilakukan dengan menggunakan cairan salin atau ringer yang dialirkan melalui saluran yang ada pada bronkoskop ke dalam bronkus yang dijumpai kelainan dan disedot kembali. Jumlah cairan yang dialirkan 3-5 ml dan dapat diulang beberapa kali. Sekret yang diperoleh dilakukan


(36)

pemeriksaan sitologi cairan bronkus dan pemeriksaan mikrobiologi (BTA, pewarnaan gram bakteri dan jamur serta kultur)

2. Sikatan bronkus (bronchialbrushing)

Spesimen diperoleh dengan menggunakan kateter, sikat dan jarum. Sampel yang didapat diletakkan pada objek gelas kemudian dimasukkan dalam wadah yang berisi alkohol 90%. Sampel yang didapat selanjutnya dilakukan pemeriksaan sitologi.

Gambar 7. Aksesori prosedur sikatan bronkus, TBNA dan biopsi forsep. 11

3. Bronchoalveolar Lavage (BAL)

BAL bertujuan untuk mengambil spesimen yang terletak pada ujung saluran napas (alveolus). Cairan salin atau ringer dimasukkan ke ujung scope bronkoskop kemudian disedot. Tindakan ini diulang beberapa kali sampai didapat sampel 100-300 ml untuk mendapatkan material yang cukup dari alveolus. Sampel yang didapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi (BTA, pewarnaan gram,jamur serta dilakukan kultur) dan sitologi.

4. Biopsi endobronkial

Biopsi dapat dilakukan dengan menggunakan forcep, dimana ujung dari bronkoskop dekat dengan bidang visual lesi. Sampel yang didapat dilakukan fiksasi dengan menggunakan formalin 10 % dan untuk tumor yang besar dilakukan lamelarisasi supaya


(37)

cairan fiksasi dapat masuk kedalam jaringan tumor yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan histologi dan sitologi.

5. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA merupakan tindakan invasif minimal yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan stadium bronchogenik carcinoma dengan cara mengambil sampel kelenjar limfe mediastinum dengan menggunakan jarum atau forcep. Ini merupakan tindakan biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum atau forcep menembus lesi/kelainan yang menekan trakeobronkial (trakea, bronkus utama, karina dan karina dua). TBNA juga dapat digunakan untuk mengambil sampel perifer, submukosa dan endobronkial tanpa atau dengan tuntunan biplane fluoroskopi untuk membantu penentuan lokasi tumor. Sampel yang didapat diletakkan pada objek gelas kemudian dimasukkan dalam wadah yang berisi alkohol 90%. Sampel yang didapat selanjutnya dilakukan pemeriksaan sitologi. American Thoracic Society (ATS) membuat suatu sistem pemetaan untuk mengetahui lokasi kelenjar lymph.Untuk mengambil sampel pada tempat yang letaknya perifer, TBNA dilakukan dengan panduan fluroskopi untuk menentukan lokasinya.


(38)

Gambar 8. Maping Sistem Kelenjar Limfe Regional Paru. 23

6. Biopsi paru transbronkial

Ini merupakan cara yang paling aman untuk mendapatkan biopsi dari parenkim paru. Prosedur ini sangat membantu untuk menegakkan diagnosis. Pada kanker paru yang dijumpai di endobronkial dapat dilakukan biopsi dengan menggunakan forcep melalui BSOL. Popovich mendapatkan keberhasilan biopsi dengan forcep untuk tumor yang tampak pada bronkoskopi sebesar 92%. Bila tindakan biopsi ini dikombinasikan dengan washing dan brushing keberhasilannya meningkat menjadi 96%. Sampel yang didapat dilakukan fiksasi dengan menggunakan formalin 10 % dan untuk tumor yang besar dilakukan lamelarisasi supaya cairan fiksasi dapat masuk kedalam jaringan tumor yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan histologi dan sitologi.

7. Biopsi lesi perifer

Tindakan ini dilakukan dibawah anestesi umum dengan menggunakan instrument fibrescope yang halus.


(39)

2.6.5. Pemeriksaan Biopsi Transtorakal

Biopsi transtorakal adalah suatu cara untuk memperoleh specimen jaringan parubuntuk bahan diagnostik melalui dinding toraks. Tehnik ini pertama kali diperkenalkan oleh Menetrier pada tahun1886, kemudian pada tahun 1930 di Amerika Serikat diperkenalkan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) transtorakal. Transtorakal biopsi dengan tuntunan radiologi telah dilakukan sejak tahun 1966 oleh Dalgren dan Nordensrom di Amerika Serikat.15

Penderita dengan lesi paru yang terlokalisir dan tidak dapat didiagnosis dengan sitologi sputum dan bronkoskopi, dapat dilakukan FNAB bila tidak ada kontra indikasi. FNAB ini dapat dilakukan dengan menggunakan:

• Jarum Vim-Silverman, Abram. Dengan jarum ini didapatkan potongan jaringan. • Jarum besar ukuran 18-20. Dengan jarum ini didapatkan sedikit jaringan dan

bahan aspirasi untuk pemeriksaan histologi dan sitologi.

• Jarum kecil ukuran 23-24, jarum spinal, Norden-Strom. Dengan jarum ini didapatkan aspirasi bercampur cairan atau darah, oleh karena itu pemeriksaan yang dapat dilakukan hanya secara sitologi. 15

Indikasi dari pemeriksaan biopsi transtorakal antara lain:

• Penderita dengan dugaan kanker paru yang tidak mungkin di operasi, dimana pada pemeriksaan sitologi sputum negatif

• Massa paru soliter dimana pemeriksaan sitologi sputum dan bronkoskopi negatif • Massa paru soliter tetapi penderita menolak operasi

• Massa paru soliter dengan metastasis ekstra pulmoner • Massa paru soliter dengan tumor primer diluar paru • Gambaran coin lesion di paru


(40)

Kontra indikasi untuk dilakukan biopsi transtorakal antara lain: • Lesi vaskuler yang dapat menimbulkan perdarahan

• Hipertensi pulmonal yang dapat meningkatkan risiko perdarahan sesudah biopsi • Penderita dengan kelainan darah

• Penderita dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif berat dimana FEV1 < 1L • Keadaan umum sangat lemah

• Penderita yang tidak kooperatif • Pneumektomi pada sisi kontra lateral • Pneumotoraks

• Penderita yang mendapat pengobatan anti koagulantia • Dekompensasi kordis 15

Akurasi biopsi transtorakal tanpa tuntunan radiologi sekitar 65-80%, sedangkan dengan tuntunan radiologi sekitar 80-94%. Akurasi biopsi transtorakal dengan jarum ukuran 17-20 dengan tuntunan radiologi sekitar 80%. 15

2.7. Sitologi Kanker Paru Small cell lung carcinoma (SCLC)

SCLC merupakan kanker paru yang memiliki agresivitas yang tinggi, cepat tumbuh, dan dapat mengalami metastasis yang luas namun jarang ditemui. SCLC dibagi dalam dua subtipe, yaitu classic oat cell carcinoma dan intermediate cell type of SCLC. Kedua subtipe ini tidak berbeda secara klinis, oleh karena itu World Health Organization (WHO) mengelompokkannya ke dalam satu tipe SCLC. 3,5

Sampel yang adekuat akan menunjukkan banyak kandungan sel dengan bermacam bentuk sel kanker. Ukuran sel bervariasi, namun pada umumnya berukuran kecil dengan sitoplasma sedikit. Gambaran “molding” dari inti yang berdekatan merupakan gambaran yang


(41)

sangat sering ditemukan. Dua gambaran inti yang dapat ditemui adalah hiperkromatik atau piknotik dengan inti yang vesikuler dan kadang dapat granular dan anak inti yang relatif besar. 3,5

Gambar 9. Small cell lung

carcinoma. Tampak kelompokan sel

dengan sitoplasma sedikit dan

nuclear molding dengan fine

granular chromatin. 5

Adenokarsinoma

Adenokarcinoma paru sudah diketahui berhubungan dengan kebiasaan merokok dan dijumpai adanya peningkatan insiden pada laki-laki maupun perempuan perokok. Ada dua bentuk yang dibedakan berdasarkan gambaran histologi dan klinis yaitu: adenokarsinoma yang berasal dari daerah sentral parenkim paru (central bronchial origin) dan peripheral bronchoalveolar atau terminal bronchoalveolar carcinomas. 5

Sediaan yang diambil dengan cara bronchial brushing biasanya mengandung sedikit sel-sel tumor. Pada sediaan yang adekuat dapat banyak dijumpai sel-sel dengan kelompokan papiler atau lembaran sel-sel bentuk bulat atau poligonal. Beberapa sel dapat mirip dengan sel-sel normal, namun memiliki ukuran inti yang besar, nuclear/cytoplasmic ratio (N/C ratio) yang meningkat, anak inti yang menonjol kadang dapat multiple dan yang lebih penting adalah tidak dijumpainya silia. 3,5


(42)

Gambar 10. Sitologi

adenokarsinoma paru. Tampak kelompokan sel dengan

sitoplasma sedikit dan pucat, inti relatif besar, tekstur inti masih baik dan anak inti menonjol. 5

Karsinoma sel sekuamosa (SCC)

Sel-sel kanker SCC dapat sangat bervariasi baik bentuk maupun ukurannya, tetapi yang khas pada SCC adalah latar belakang apusan berupa sel-sel radang dan massa nekrosis. Sel-sel bentuk spindel dan tadpole merupakan bentuk sel yang umum dijumpai yang juga merupakan tanda khas pada SCC. Sitoplasma yang mengandung keratin akan berwarna orange atau kuning dengan pewarnaan Papanicolaou. Kadang dapat dijumpai sel-sel abnormal tanpa inti sel yang disebut ghost cells. 3,5

Gambar 11. Karsinoma sel

sekuamosa dalam sediaan sitologi.

Tampak sel-sel ganas bentuk dan ukuran inti bervariasi,

hiperkromatin, sitoplasma

eosinofilik dengan latar belakang sel-sel radang. 5

Meskipun inti yang hiperkromatin merupakan tanda khas pada sel-sel ganas tetapi tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk SCC. Inti sel kanker relatif pucat terutama pada tipe keratinizing atau sel-sel nekrotik oleh karena karyolisis (ghost cells). Umum dijumpai inti sel yang mengalami aberasi dengan bentuk anguler atau ireguler dengan ukuran yang bervariasi, beberapa dalam berbentuk bizarre. Mitosis inti sangat jarang dijumpai pada keratinizing


(43)

SCC. Meskipun bukan merupakan kriteria diagnostik untuk SCC, namun apabila dijumpai harus berhati-hati karena merupakan tanda dari neoplasma ganas. 3,5

Pada kasus dimana tidak dijumpai keratinisasi atau piknosis inti, kondisi seperti ini disebut sebagai poorly differentiated squoamous (epidermoid) carcinoma. Inti biasanya hiperkromatin dengan tekstur inti kasar dan ireguler. Sel-sel tumor yang berasal dari sputum biasanya lebih sedikit dengan sitoplasma yang jernih sedangkan yang berasal dari sikatan bronkussitoplasma dapat amfofilik atau kadang-kadang basofilik. 3,5

Gambar 12. Poorly differentiated

(non-keratinizing) SCC. Tampak

inti hiperkromatin, dengan tekstur kasar dan ireguler. Sitoplasama amfofilik. 5

Large-Cell (Undifferentiated) Carcinoma

Kanker ini didefinisikan sebagai tumor yang tidak memiliki differensial skuamosa atau glandular, meskipun pada beberapa tempat memiliki gambaran kanker skuamosa atau adenokarsinoma. Kanker ini merupakan turunan dari sel-sel basal epitel yang dapat berkembang menjadi kanker skuamosa atau adenokarsinoma. Saat ini tipe kanker ini digolongkan kedalam NSCLC karena memiliki penanganan dan prognosis yang sama dengan seluruh tipe NSCLC. 5

Sel-sel tumor walaupun biasanya tunggal, tetapi dapat berupa kelompokkan yang cenderung memiliki kohesi yang jelek dengan ukuran sel bervariasi. Kebanyakan sel ukurannya hampir sama dengan sel skuamosa dan adenokarsinoma, sitoplasma sedikit dan biasanya pucat dapat basofilik ataupun eosinofilik (amfofilik). Pada kasus yang jarang dapat


(44)

dijumpai inklusi intrasitoplasmik. Inti sel besar dengan kontur ireguler dengan gambaran sharply di sekitar inti. Salah satu yang khas adalah inti dengan kromatin yang kasar atau hiperkromatin, kadang dapat pula dijumpai kromatin inti yang normal dengan satu atau dua anak inti yang menonjol. 3,5

Gambar 13.Undifferentiated large-cell (non-small cell)

carcinoma. Tampak lembaran sel

kanker dengan sitoplasma eosinofilik pucat dan banyak, inti hiperkromatin dengan tekstur kasar. 5

Adenosquamous (Mucoepidermoid) Carcinoma

Penamaan adenosquamous carcinoma digunakan untuk menjelaskan bronchogenic carcinoma yang memiliki kombinasi gambaran epidermoid carcinoma (poorly differentiated squamous carcinoma) dan adenokarsinoma. Banyak ditemukan sel-sel yang memproduksi musin yang dapat dilihat dengan pewarnaan khusus dan beberapa mengandung komponen sel-sel undifferentiated large cell maupun SCC. Variasi gambaran sitologi sangat tergantung dari gambaran histopatologinya. 5

Gambaran sel-sel kanker didominasi oleh sel-sel adenokarsinoma yang menghasilkan musin. Dapat pula ditemukan sedikit sel-sel yang menghasilkan keratin. 5

Gambar 14. Mucoepidermoid

carcinoma paru pada wanita

umur 61 tahun. Tampak sel-sel kanker yang menghasilkan musin. 5


(45)

2.8. Penatalaksanaan Kanker Paru

Penatalaksanaan kanker paru dilakukan berdasarkan jenis histologis kanker, stadium penyakit, tampilan umum (performance status) dan keuangan. Secara umum pilihan terapi untuk NSCLC dan SCLC adalah combined modality therapy (multi-modality therapy), berupa bedah, radioterapi dan kemoterapi dan terapi lain. 1,11

Penanganan Bedah

Penanganan bedah hanya diindikasikan untuk stadium I atau II atau untuk pengobatan paliatif yaitu pada kondisi mengancam nyawa misal batuk darah masif, distress pernapasan karena sindroma vena kava superior, nyeri hebat pada Pancoast tumor, nyeri hebat pada sindroma pleksus brakialis. Jika pada saat bedah didapat pembesaran KGB maka semua harus diangkat dan pada kasus paska bedah dengan metastasis KGB mediastinal (N2) dipertimbangkan pemberian radioterapi dan/atau kemoterapi. 1,11

Bedah paliatif lain dilakukan oleh dokter bedah syaraf yaitu membuang tumor metastasis yang berupa soliter nodule di otak dan menimbulkan gangguan kualitas hidup penderita. Pilihan lain untuk tumor metastasis di kepala adalah menggunakan cyber knife

yang sudah dapat dilakukan beberapa senter di Indonesia. 1,11

Bedah adalah terapi lokal dan dapat terjadi stadium pre-bedah (cTNM) berbeda dengan diagnosis paska bedah. Jika terjadi perbedaan maka stadium yang digunakan adalah stadium paska bedah (pTNM) dan pilihan terapi tergantung pada hasil akhir. Di RS Persahabatan Jakarta untuk stadium IIIA jika memungkinkan diberikan neoadjuvan therapy

yaitu memberikan kemoterapi 2-3 siklus dilakukan pemeriksaan ulang untuk re-staging jika terjadi down staging atau tetap maka bedah dilakukan. 1,11


(46)

Radioterapi

Radioterapi atau radiasi diberikan pada kasus stadium III dan IV NSCLC, dapat diberikan tunggal untuk mengatasi masalah di paru (terapi lokal) atau gabungan dengan kemoterapi. Radioterapi dapat diberikan jika sistem homeostatik (darah) baik yaitu: 1,11

• Hb > 10 gr% • Leukosit > 4.000/dl • Trombosit > 100.000/dl

Dosis untuk kanker primer adalah 5.000-6.000 cGy dengan menggunakan COBALT atau LINAC dengan cara pemberian 200 cGy/x/hari, 5 hari dalam seminggu. Pemberian radiosensitizer dapat lebih meningkatkan respons irradiasi itu, misalnya dengan memberikan obat anti-kanker karboplatin, golongan taxan, gemsitabine, capecitabine dengan dosis sangat kecil sehingga tidak mempunyai efek sistemik. Radioterapi dapat diberikan sendiri (radiotherapy only) atau kombinasi dengan kemoterapi (konkuren, sekuensial atau alternating) meskipun sebagai konsekuensinya toksisitas menjadi lebih banyak dan sangat mengganggu. 1,11

Evaluasi toksisitas harus dilakukan setiap setelah pemberian 5x, jika ditemukan gangguan sistem hemostatik salah satu atau lebih: 1,11

• Hb <10 gr%

• Leukosit < 3.000/dl • Trombosit < 100.000/dl

Maka pemberian radiasi harus dihentikan dulu dan dilakukan koreksi toksisitas itu dan dapat segera dimulai jika sudah memenuhi syarat. Toksisitas non-hematologik juga sering timbul dan yang sangat menganggu pasien adalah esofagitis, batuk akibat pneumonitis radiasi atau fibrosis. Jika melebihi grade 3 WHO maka radiasi harus dipertimbangkan untuk dihentikan. 1,11


(47)

Evaluasi renspons irradiasi dilakukan setiap setelah pemberian 10x (1.000 cGy) dengan foto toraks. Pemberian irradiasi untuk SCLC harus diberikan setelah pasien mendapat kemoterapi 6 siklus. 1,11

Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan pada semua jenis histologis kanker paru.

• Kemoterapi untuk SCLC. Kemoterapi adalah terapi pilihan untuk KPKSK stadium terbatas atau stadium luas. Tambahan radiasi kepala dilakukan setelah kemoterapi 6 siklus.

• Kemoterapi untuk NSCLC berdasarkan stadium. Kemoterapi dapat diberikan pada semua stadium tetapi pada stadium I dan II pascabedah kemoterapi ditentukan berdasarkan stadium paskabedah. Kemoterapi untuk NSCLC stadium III dan IV merupakan terapi paliatif. Stadium I dan II yang in operable cases (PS buruk atau tidak bersedia dioperasi atau ada kontraindikasi untuk operasi) dapat dianjurkan kemoterapi dan sebaiknya dipertimbang-kan pula radioterapi. 1,6

Kemoterapi dapat diberikan jika memenuhi syarat antara lain: keadaan umum baik skala karnofsky >70), fungsi hati, ginjal dan sistem homeostatik (darah) baik dan masalah finansial dapat diatasi. Syarat untuk hemostatik yang memenuhi syarat adalah: 1,11

• Hb > 10 gr% • Leukosit > 4.000/dl • Trombosit > 100.000/dl


(48)

Tabel 2.4. Tampilan Umum Berdasarkan Skala Karnofsky dan WHO 11 Skala Pengertian

90 - 100 0 Dapat beraktifitas normal, tanpa keluhan yang menetap

70 - 80 1 Dapat beraktifitas normal tetapi ada keluhan berhubungan dengan sakitnya

50 - 70 2 Membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan aktifitas yang spesifik

30 - 50 3 Sangat bergantung pada bantuan orang lain untuk aktifitas rutin 10 - 30 4 Tidak dapat bangkit dari tempat tidur

Rejimen Kemoterapi

Kemoterapi untuk kanker paru minimal berupa rejimen yang terdiri dari lebih dari 1 obat anti-kanker dan diberikan dengan siklus 21 atau 28 hari setiap siklusnya. Kemoterapi untuk SCLC diberikan sampai 6 siklus dengan ”cisplatin based” rejimen yang diberikan: 1,11

• Sisplatin + etoposid

• Sisplatin + irinotekan (CPT-11)

• Pada keadaan tertentu sisplatin dapat digantikan dengan karboplatin dan irinotek digantikan dengan dosetaksel.

Kemoterapi untuk NSCLC dapat 6 siklus (pada kasus tertentu diberikan sampai lebih dari 6 siklus) dengan ”platinum based” rejimen yang diberikan sebagai terapi lini pertama (first line) adalah : 1,11

• Karboplatin/sisplatin + etoposid • Karboplatin/sisplatin + gemsitabin • Karboplatin/sisplatin + paklitaksel • Karboplatin/sisplatin + dosetaksel


(49)

Targeted Therapy

Targeted therapy adalah obat kanker yang menggunakan reseptor untuk membunuh sel kanker, yang telah digunakan luas saat ini adalah obat yang bekerja sebagai TKI (tirosin kinase inhibitors). Seperti erlotinib dan gefitinib, obat golongan ini lebih sederhana cara pemberiannya dan ringan efek sampingnya, tetapi pemanfaatannya sebagai terapi lini pertama masih perlu pembuktian lebih lanjut. 1,11

Imunoterapi

Penggunaan obat lain misalnya imunoterapi, herbal medicine, chinese traditional medicine, dan lain lain masih dalam penelitian dan belum menjadi standar pengobatan kanker paru. 1,11

Hasil penelitian menunjukkan ada jejas imunologi pada penderita kanker paru. Berdasarkan itu telah beredar luas beberapa teknik dan obat komplemen (misalnya keladi tikus, buah merah, ramuan cina, dll) yang diyakini dapat mengobati kanker paru dengan cara memperbaiki atau meningkatkan sistem imun tubuh. Penggunaan IL-2 sebagai imunoterapi mulai dikembangkan dalam uji klinik yang terbatas. 1

Terapi Gen

Terapi gen merupakan pendekatan baru dalam pengobatan kanker, yang saat ini masih bersifat eksperimental. Dengan pemahaman mekanisme molekuler dalam proses karsinogenesis kanker paru diharapkan akan membuka jalan yang lebih luas dalam pencegahan, deteksi dini maupun terapi bagi kanker paru sehingga menurunkan mortality maupun morbidity panyakit ini. Untuk itu, sebagian besar strategi dalam terapi gen untuk kanker difokuskan pada penggantian tumor supresor seperti p53 dalam sel kanker. 1,29

Terapi gen dapat berupa gen pengendali tumor, gen bunuh diri, antisense onkogen, gen imuniti dan gen antiangiogenesis. Inhibisi onkogen atau penggantian gen pengendali


(50)

tumor (gene replacement) dapat memperbaiki fenotip malignan. Gen bunuh diri membuat sel tumor yang ditransduksi memiliki system enzimatik untuk mengubah substansi non toksik menjadi metabolit yang toksik. Demikian juga gen yang dipindahkan dapat mengubah sel tumor yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap sitotoksik. 29,30


(51)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional yang bersifat uji diagnostik dengan pendekatan retrospektif.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) dan Instalasi Patologi Anatomi RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan selama kurun waktu 4 bulan.

3.3. Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua penderita tumor paru yang dilakukan bronkoskopi di IDT dan semua sediaan yang dilakukan pemeriksaan sitologi di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah data penderita tumor paru yang di lakukan bronkoskopi di IDT dan sediaan yang dilakukan pemeriksaan sitologi di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. 3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data tentang penderita kanker paru yang dilakukan tindakan bronkoskopi diambil dari rekam medik, untuk validasi data sediaan BAL dan brushing dibacakan ulang oleh seorang ahli Patologi Anatomi.


(52)

3.5. Jumlah Sampel

Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus : n = [Zα√Po Qo + Zß √ Pa Qa]2

(Pa – Po)2

Dimana :

• Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung dari nilai α, untuk nilai α 0.05 maka Zα = 1,96

• Zß = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung dari nilai ß, untuk nilai ß 0,15 maka Zß = 1.036

• Po = Proporsi penderita tumor paru sebelumnya, nilainya adalah 1.2% dalam angka desimal adalah 0.012

• Qo = 1 – Po = 0.988

• Pa = Proporsi penderita tumor paru yang sekarang, nilainya adalah 1.5% dalam angka desimal adalah 0.015

• Qa = 1 – Pa = 0.985

• Pa – Po adalah selisih proporsi yang diinginkan oleh peneliti, diambil nilainya adalah 3.5%, dalam angka desimal adalah 0.035

n = [1.96 √(0.012) (0.988) + 1.036 √(0.015) (0.985)]2 ( 0.035)2

n = 94.07. Jadi jumlah sampel minimal adalah 94 orang. Pada penelitian ini jumlah sampel adalah 100 orang.

3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.6.1. Kriteria Inklusi:

• Semua data penderita tumor paru berdasarkan klinis, radiologis (foto toraks, CT Scan toraks) dan sitologi positif (TTLB, sputum, biopsy atau cairan


(53)

pleura, biopsi jarum halus kelenjar limfe) yang dilakukan bronkoskopi di IDT RSUP H. Adam Malik Medan dan sediaan yang dilakukan pemeriksaan sitologi di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik.

3.6.2. Kriteria Eksklusi:

• Data rekam medis yang tidak lengkap.

3.7. Identifikas Variabel • Variabel bebas :

a. Jenis kelamin b. Umur

c. Kriteria penampakan bronkoskopi • Variabel terikat :


(54)

3.8. Kerangka Konsep

Foto Toraks

CT Scan Toraks Gejala Klinis Kanker Paru

Bronkoskopi

Pengambilan Spesimen Penampakan Bronkoskopi

Tidak Mengarah Keganasan Mengarah

Keganasan Sitologi Bronkus

Negatif Kanker Positif Kanker

Gambar 15. Kerangka konsep

3.9. Definisi Operasional

a. Kanker paru adalah penyakit keganasan pada paru, baik yang berasal dari jaringan paru itu sendiri (kanker primer) atau yang berasal dari organ lain yang bermetastasis ke paru (kanker sekunder).

b. Sitologi positif didapat dari pemeriksaan sputum, TTLB, biopsi dan cairan pleura, FNAB.


(55)

c. Bronkoskopi adalah suatu teknik visualisasi keadaan di dalam saluran napas dengan menggunakan satu alat (instrumen) yang di sebut bronkoskop yang dimasukkan ke dalam saluran napas melalui hidung, mulut ataupun trakeostomi. Hal ini digunakan untuk memeriksa secara visual kelainan pada saluran napas seperti peradangan, tumor, perdarahan dan untuk mengambil sampel jaringan atau sputum.

d. Sitologi adalah ilmu penilaian (interpretasi) sel-sel tubuh manusia, baik yang berasal dari sel-sel yang terlepas dari epitel (eksfoliatif) maupun yang berasal dari daerah lain dengan cara tertentu.

e. Umur dikelompokkan dalam : a. < 40 tahun

b. 40-60 tahun d. > 60 tahun

f. Adapun kriteria penampakan bronkoskopi yang biasa dinilai yaitu : 1. Massa

a. Obstruktif : Total atau parsial b. Permukaan : Berbenjol-benjol atau rata

c. Mukosa : Compang-camping, licin, mudah berdarah atau tidak mudah berdarah.

2. Infiltratif (minimal memenuhi 3 kriteria) a. Hiperemis

b. Sub mukosa tidak rata c. Nekrosis

d. Edema 3. Stenosis


(56)

b. Tidak total c. Kompresif d. Non kompresif e. Infiltratif 4. Peradangan

a. Hiperemis b. Edema

5. Bronkus dan cabang-cabangnya normal

3.10.Cara Kerja

a. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pencatatan data: nama, umur, jenis kelamin, keluhan, gambaran foto toraks dan CT Scan toraks.

b. Dilihat gambaran kriteria penampakan bronkoskopi.

c. Sampel BAL yang didapat dari tindakan bronkoskopi dimasukkan kedalam wadah (pot), sampel dari sikatan bronkus yang didapat diletakkan pada objek gelas kemudian dimasukkan dalam wadah yang berisi alkohol 90%.

d. Dilakukan pemeriksaan sitologi dari BAL dan sikatan bronkus menggunakan prosedur pewarnaan sitologi dengan Diff-Quik Stain, dengan tahapan:

1. Sebelum membuat sediaan apus, sediaan hasil BAL dilakukan centrifuge dengan menggunakan alat cytospin selama 3 menit dengan kecepatan 1000 rpm sehingga supernatant melekat pada objeck glass.

2. Sediaan apus BAL dan brushing dicelupkan ke dalam larutan fiksatif selama 5 detik (5 kali celup masing-masing satu detik). Kelebihannya biarkan mengalir.


(57)

3. Celupkan sediaan kedalam larutan I selama 5 detik (5 kali celup masing-masing satu detik). Kelebihannya biarkan mengalir.

4. Celupkan sediaan kedalam larutan II selama 5 detik (5 kalai celup masing masing satu detik). Kelebihannya biarkan mengalir.

5. Cuci sediaan dengan air destilasi atau air diionisasi. 6. Keringkan dan siap untuk dibaca.

Kemudian hasil pemeriksaan bronkoskopi dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan sitologi bronkus.

3.11. Kerangka Operasional Tumor Paru Secara Klinis, Radiologis (Foto Toraks, CT Scan Toraks), Sitologi positif (TTLB, FNAB, Biopsi Cairan Pleura, Sputum)

Kriteria Penampakan Bronkoskopi Bronkoskopi

Pengambilan Sampel

Sensitifitas/ Spesifitas Konfirmasi

Diagnostik

Gambaran Sitologi (Slide review) BAL, Brushing


(58)

3.12. Manajemen dan Analisa Data 3.12.1. Pengolahan Data

Pengolahan data hasil penelitian diformulasikan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing : untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara criteria data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

b. Coding : Untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan berbagai karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan computer.

c. Entry : Data yang telah terkumpul dan tersusun secara tepat sesuai dengan variabel penelitian kemudian dimasukkan kedalam program computer untuk diolah.

d. Cleaning : Pemeriksaan data yang telah dimasukkan kedalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.

3.12.2. Analisa Data

Data yang berhasil dikumpulkan, diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer menggunakan perangkat lunak SPSS, selanjutnya dilakukan analisis dasar melalui analisis univariat dan bivariat.

a. Analisis univariat :

Analisis data dimulai dengan melakukan analisis variabel pada seluruh variabel, analisis ini dilakukan untuk mendeskripsikan tiap variabel yang akan diteliti.

b. Analisis bivariat :


(59)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Uji data dengan tabel kontingensi 2x2, chi square dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk menilai spesifisitas dan sensitifitas.


(60)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 100 sampel dari rekam medis yaitu data penderita yang didiagnosa kanker paru berdasarkan gejala klinis, radiologi dan telah dilakukan tindakan bronkoskopi di IDT RS H. Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, serta dilakukan pemeriksaan sitologi bronkus di Instalasi Patologi Anatomi RS H. Adam Malik Medan. Data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel seperti tersebut di bawah ini:

4.1.1. Karakteristik Penderita

Dari penelitian ini didapati penderita berjenis kelamin laki-laki jauh lebih banyak daripada perempuan, yaitu sebanyak 77 orang (77%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 23 orang (23%) berjenis kelamin perempuan (tabel 4.1). Berdasarkan umur penderita didapati kelompok umur terbanyak pada usia 40-60 tahun, yaitu sebanyak 59 orang (59%), terbanyak kedua kelompok umur lebih dari 60 tahun sebanyak 31 orang (31%) dan hanya didapati 10 orang saja (10%) yang berumur kurang dari 40 tahun (tabel 4.1).


(61)

Tabel 4.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin dan umur

Karakteristik Frekuensi Persentase Jenis Kelamin

Laki-laki 77 77 Perempuan 23 23

Usia

< 40 10 10 40 – 60 59 59 > 60 31 31

4.1.2. Lokasi Lesi Secara Radiologi

Dari gambaran pemeriksaan radiologi didapati lesi yang terbanyak pada paru kanan 62 orang (62%) dan lesi pada paru kiri 38 orang (38%). Gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Lokasi Lesi Secara Radiologi

Lokasi Frekuensi Persentase Paru kanan 62 62 Paru kiri 38 38 Total 100 100

4.1.3. Prosedur Diagnostik Lain Dengan Sitologi Positif

Pada penelitian ini didapati lima cara lain pengambilan sampel dengan sitologi positif, yaitu FNAB pada 54 orang (54%), sitologi sputum sebanyak 14 orang (14%), cairan pleura


(62)

sebanyak 18 orang (18%), biopsi pleura sebanyak 6 orang (6%) dan TTLB sebanyak 8 orang (8%). Gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini.

Tabel 4.3. Distribusi Penderita Berdasarkan Prosedur Diagnostik Lain Prosedur Diagnostik Frekuensi Persentase

FNAB 54 54

Sitologi Sputum 14 14

Cairan Pleura 18 18

Biopsi Pleura 6 6

TTLB 8 8

Total 100 100

4.1.4. Kriteria Penampakan Bronkoskopi Dari hasil pemeriksaan bronkoskopi didapati lima kriteria penampakan pada penderita, yaitu adanya massa intrabronkial dijumpai pada 24 orang (24%), gambaran mukosa infiltratif dijumpai pada 8 orang (8%), adanya stenosis infiltratif didapati pada 41 orang (41%), gambaran peradangan dijumpai pada 17 orang (17%) dan gambaran bronkus normal dijumpai pada 10 orang (10%). Gambaran tersebut ditunjukkan pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Kriteria Penampakan Bronkoskopi Kriteria Penampakan Frekuensi Persentase Massa Intrabronkial 24 24

Mukosa Infiltratif 8 8

Stenosis Infiltratif 41 41

Peradangan 17 17

Bronkus Normal 10 10


(63)

Total 100 100

4.1.5. Hasil Pemeriksaan Sitologi Bronkus Pada pemeriksaan sitologi bronkus didapat hasil yang terbanyak yaitu adenokarsinoma sebanyak 45 orang (45%), karsinoma sel sekuamosa sebanyak 33 orang (33%), dan negative smear sebanyak 22 orang (22%). Gambaran tersebut ditunjukkan pada tabel 4.5. Tabel 4.5. Hasil Pemeriksaan Sitologi Bronkus Jenis Sel Kanker Jumlah Persentase Adenokarsinoma 45 45

Karsinoma sel skuamosa 33 33

Negative smear 22 22


(64)

4.1.6. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Umur Penderita

Penderita kanker paru jenis sel adenokarsinoma paling banyak dijumpai pada umur 40-60 tahun dengan 29 orang (64.44%) dan karsinoma sel skuamosa sebanyak 19 orang (57.58%). Gambaran tersebut ditunjukkan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Umur Penderita

4.1.7. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Kanker paru jenis adenokarsinoma paling sering dijumpai pada jenis

kelamin laki-laki yaitu sebanyak 33 (73.3%%), sedangkan pada jenis kelamin perempuan adenokarsinoma dijumpai sebanyak 12 (26.7%).

Tabel 4.7. Deskripsi Jenis Sel Kanker Berdasarkan Jenis Kelamin

Adenokarsinoma Karsinoma sel skumamosa Neg. smear Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %

< 40 40 - 60 > 60 Total

Adenokarsinoma Karsinoma sel skuamosa Neg. smear

Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %

Laki-laki Perempuan Total   10 59 31 100         Total

2 9.1 11 50.0 9 40.9   4 8.9

29 64.4 12 26.7

45 100.0

4 12.1 19 57.6 10 30.3

33 100.0 Umur (tahun)

22 100.0 

17 77.3 5 22.7

22 100.0

 33 73.3 12 26.7

45 100.0

27 81.8 6 18.2

33 100.0 

Total

77 23

Jenis Kelamin

100


(1)

dilakukan tindakan brushing karena adanya risiko perdarahan. Penelitian yang dilakukan oleh Roth K dkk melaporkan sensitifitas fleksibel bronkoskopi dengan konfirmasi endobronkial biopsi yaitu 85%.37 Penelitian yang dilakukan Umar dkk dilaporkan sensitifitas brushing 43.7%, biopsi 52.9%, biopsi aspirasi jarum 66.6%.6 Hasil penelitian Gaur DS dkk dijumpai sensitifitas, spesifisitas dan akurasi brushing lebih tinggi 87.3%, 97.6%, 93.90% dibanding BAL 39.4%, 89.6%, 71.4%.36

Sensitifitas dan spesifititas akan lebih tinggi apabila pengambilan sampel dilakukan dengan kombinasi dua atau lebih cara pengambilan sampel. Pada penelitian ini sensitifitas pemeriksaan bronkoskopi dengan konfirmasi BAL+brushing sebanyak 82% (CI 72-91), spesifisitas 58% (CI 30-86), nilai prediksi positif 91% (CI 83-98), nilai prediksi negative 39% (CI 16-61) dengan peningkatan akurasi 77.8%. Govert dkk melaporkan sensitifitas meningkat 85.3% dengan dua teknik pengambilan sampel BAL+brushing.38 Penelitian Tang dkk dari 37 sampel dijumpai keganasan pada 18 pasien dengan sensitifitas BAL 48.6%, nilai diagnostik akan meningkat secara signifikan sampai 73% (p<0.05) dengan pengambilan sampel BAL+ TBLB.39


(2)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Ada hubungan kriteria penampakan bronkoskopi yang mengarah keganasan dengan hasil pemeriksaan sitologi bronkus.

b. Pada penampakan bronkoskopi gambaran stenosis infiltratif paling banyak dijumpai pada kanker paru jenis adenokarsinoma, sedangkan massa intrabronkial paling banyak dijumpai pada kanker paru jenis karsinoma sel skuamosa.

c. Konfirmasi kesan penampakan bronkoskopi dengan sitologi bronkus dijumpai adenokarsinoma 71.1%, dan karsinoma sel skuamosa 97%.

d. Dari hasil uji diagnostik dijumpai pemeriksaan bronkoskopi memiliki

sensitifitas 83%, spesifisitas 37%, akurasi 59% yang dikonfirmasi dengan sitologi BAL. Sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan bronkoskopi yang dikonfirmasi dengan sitologi brushing adalah 80%, 44%, dan 72,2%. Sedangkan sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan bronkoskopi yang dikonfirmasi dengan sitologi BAL+brushing adalah 82%, 58%, 77,8%.

5.2. Saran


(3)

untuk diagnostik kanker paru namun memiliki spesifitas yang masih rendah, oleh karena itu disarankan untuk menggunakan kombinasi alat diagnostik yang lebih banyak agar menghasilkan diagnosis hasil yang lebih akurat.

b. Perlu dilengkapinya peralatan aksesori bronkoskopi untuk tindakan diagnostik berupa Transbronchial Lung Biopsy (TBLB) yang diguided dengan fluoroskopi, forcep, TBNA, sehingga dapat meningkatkan sensitifitas dari diagnosis kanker paru dan dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E. Kanker Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil. Pedoman Nasional Untuk Diagnosa & Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2005.

2. Bakowski MT, Crouch JC. Chemotherapy for non-small-cell lung cancer. Appraisal and look to the future. Cancer Treat Rev 1983; 72-159.

3. Travis WD, Brambila E, Hermelink KM, Harm CC. WHO Classification of Tumors. Patologhy and Generier of Tumours of The Lung, Pleura, Thymus and Heart; 10-20.

4. Ahmed A, Ahmed S. Comparison of Bronchoalveolar Lavage Cytology and Transbronchial Biopsy in The Diagnosa of Carcinoma of Lung. 2004 . Available from: http://www.ayumed.edu.pk/JAMC/PAST/16-4/Ayesha.htm. Accessed on April 24,2010.

5. Melamed MR. Tumors of The Lung: Convensional Cytology and Aspiration Biopsy. In: Koss LG, Melamed MR. (Editor) Koss’ Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. Lippincott Williams & Wilkins; Philadelphia; 2006(5); 644-69

6. Umar M, Syahruddin E, Rasmin M, Munir SM. Akurasi Diagnostik Kanker Paru Dengan Prosedur Diagnosis Invasif Menggunakan Bronkoskopi Serat Optik Lentur. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI/RS Persahabatan Jakarta/SMF Pulmonologi RSUD Tk.I Pekan Baru. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 180-84.

7. Rasmin M, Syahruddin E, Jusuf A, Burhan E. Efikasi Prosedur Diagnosis dan Akurasi Diagnosis Sitologi Prabedah Kanker Paru. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia, 2006;26(4): 185-89.

8. Avijgan M. Specificity and Sensitivity of Clinical Diagnisis for Chronic Pneumonia. East Mediter Health J 2005 (11) : 1029-37.

9. Spira, Gandey A. Lung Cancer Biomarker May Increase sensitivity of Bronchoscopy. Nat Med J 2007.

10. Lauren G, Collins, Perker R. Lung cancer diagnosis and management. Am Fam Physician J. 2007; 75(1): 56-63

11. Kanker Paru. Devisi Onkologi Toraks Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FK UI/RS Persahabatan Jakarta. 2006. Available from: http://www.roche.co.id/. Accessed on April 25, 2010.

12. Shepred FA. Chemoteraphy for Non-Small-Cell Lung Cancer. In: Pearson FG,Cooper JD, Deslauriers,eds. Thoracic Surgery. New York Churchill Livingstone. 2002(2); 859-71


(5)

13. Husain AN, Kumar V. The Lung. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Elsevier Saunders; Philadelphia; 2005(7); 757-66

14. Keith RL. Neoplastic Lung Diseases. In: Hanley ME, Lange. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Mc Graw-Hill Company. USA; 426

15. Alsagaff H. Kanker Paru dan Terapi Paliatif. Airlangga University Press- Surabaya 1995 : 23-9.

16. Travis WD, Linder J, Mackay B. Classification, Hystology, Cytology and Electron microscopy. In: Pass HI, Mitchell JB, Johnson DH, Turissi AT,eds. Lung Cancer. Principles and Practise. Philadelphia. 1996; 811-15.

17. Heart FJF, Beamis JF, Earnist A. History Of Rigid Bronchoscopy. In : Earnist A, Mathur PN, Mehta AC. International Pulmonary Medicine; Marcell Dekker Inc; New York-USA; 2004 (1); 1-12.

18. Osmon SB, Mayse M. Bronchoscopy. In : Shiffren A, Lin TL. The Washington Manual Subspecialty Consult-Pulmonary Medicine Subspecialty Consult; Lippincott Williams & Wilkins, Washington USA; 4; 28-34.

19. Stanzel F, Haussinger K. Fluorescence Bronchoscopy. In : Beamis JF, Mehta AC, Mathur PN. Interventional Pulmonary Medicine; Marcel Dekker Inc; New York-USA; 2004 (18); 355-84.

20. Prakash UBS, Cavaliere S. Bronchoscopy. In: Gold WM, Murray JF, Nadel JA. Atlas of Procedures in Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2002 (6); 241-65.

21. Ayers ML, Beamis JF. Rigid bronchoscopy in the twenty-fisrt century. Clin Chest Med. 2001; 22 (2); 355-63.

22. Baughman RP, Keith FM. Bronchoscopy, Lung Biopsi, and other diagnosic procedure. In: Nadel JA, Murray JF. Texbook of Respiratory Medicine. Saunders WB Company, Philadelphia-USA; 2000 (3); 725-80.

23. Miyajawa T. History of Flexible Bronchoscopy. In: Bolliger CT, Mathur PN. Interventional Bronchoscopy; Kargel-Basel Switzerland; 2000 (30); 16-21. 24. Ovassapian A. The Flexible Bronchoscope: a tool for anesthesiologists. Clin

Chest Med 2001; 22(2); 281-99.

25. Dalal DD, Vyas JJ. Diagnostic Bronchoscopy. Tata Memorial Hospital Parel Mumbai; 400-12.

26. Freitag L, Macha HN. Interventional bronchoscopic procedures. In: Lung cancer. Eur Respir. 2001; 272-304.


(6)

27. Marsh BR. Historic development of bronchoesophagology. Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 689-716.

28. Baba M, Iyoda A, Yasufuku K, Haga Y, Hoshino H, Sekine Y. Preoperative Cytodiagnosis of Verry small-sized Pripheral-Type Primary Lung Cancer. Lung Cancer 2002; 37(3):277-80.

29. Meng RD, Deiry EL. Tumor Suppressor Genes as Targets for Cancer Gene Therapy. In: gene Therapy of Lung Cancer. Academic Press, San Diego. 1999: 3-15.

30. Toloza EM. Gene therapy for lung cancer. Thorac Cardiovasc Surg. 2005 (17): 205-21

31. Robert JC, Ayesha S, Ethan S, Bryant T. Differences in Epidemiology, Histology and Survival between cigarette smokers and never smokers non small cell lung cancer. Chest 2007; 132: 185-92.

32. Tintin M, Hudoyo A, Arif N. Perbandingan kepositifan pemeriksaan sitologi sputum setelah inhlasi NaCl 3% cara langsung dengan cara modifikasi saccomano untuk diagnosis kanker paru. J Respir Indo 2002 (22): 152-62 33. Javier D, Luis MM, Alejandra C. Lung cancer pathogenesis associated with

wood smoke exposure. Chest 2005 (128): 124-31

34. Liam CK, Pang YK, Poosparajah S. Diagnostic yield of flexible bronchoscopic procedures in lung cancer patients according to tumour location. Singapore Med J 2007; 48(7):625-31

35. Gaur DS, Thapliyal NC, Kishore S, Pathak VP. Efficacy of Broncho-Alveolar Lavage and brush cytology in diagnosis lung cancer. J Cytology 2007; 24(2): 73-77.

36. Chen WT, Chao TY, Wu CP, Perng WC, Shen CY. Comparison of the diagnostic yield of bronchial brushing cytology before and after endobronchial biopsy of flexible fiberoptic bronchoscopy. J Med Sci 2008; 18(3): 165-70. 37. Roth K, Hardie JA, Andreassen AH. Predictors of diagnostic yield in

bronchoscopy: a retrospective cohort study comparing different combinations of sampling techniques. BMC pulm Med. 2008; 8(2)

38. Govert JA, Kopita JM, Matchar D, Kussin PS, Samuelson WM. Cost effectiveness of collecting routine cytologic specimens during fiberoptic bronchoscopy for lung cancer. Pol Arch Med 2002; 108: 1193-7.

39. Tang CC, Hsiao CJ, Lin HC, Kuo HP. Value of bronchoalveolar lavage combined with transbronchial lung biopsyin the diagnosis of peripheral lung cancer. J med Sci 2000; 23(11): 695-700.