The Potential Substances of Extractive Distillation Residue Surian Tree (Toona sinensis Roemor) as a Natural Food Colorants and Source of Antioxidants

(1)

POTENSI ZAT EKSTRAKTIF DARI RESIDU PENYULINGAN

POHON SURIAN (

Toona sinensis

Roemor) SEBAGAI

PEWARNA PANGAN ALAMI DAN SUMBER ANTIOKSIDAN

DESI MELIANTI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SUMMARY

Desi Melianti1 and Rita Kartika Sari2

INTRODUCTION: The coloring substance abuse for food often happens. In addition, the environment has been broken causes the formation of free radicals. Both of them can be very harmful to human health. Antioxidants have benefits in health, one of them is stabilizing free radicals. Many plant species can be as safety natural food colorants and has a pharmacological effect. The colour of wood Surian is red and the fill of porouse deposit brownish-red, so the substances of extractives Surian wood can be used as natural food colorants. In addition, the substances of extractives which cause color generally potential for source of antioxidants (containing anthocyanins). This research aims to examine the antioxidant activity, acute toxicity, and the level of public preferences for natural food colorants from substances of extractives distillation residue and boiling waste matter of distillation Surian tree.

MATERIALS AND METHOD: The materials used were the leaves, heartwood, sapwood, and inner bark of Surian tree (Toona sinensis Roemor). The raw materials were destiled by steam and water method for 12 hours, the residue was dried using oven and waste matter is boiled with aquades, then boiling water dried using oven. The substance of extractive was measured, then antioxidant activity are tested (DPPH), testing acute toxicity (OECD 2001) and organoleptic test. Organoleptic test consisted of two tests, that was hedonic test and hedonic quality test.

RESULT AND DISCUSSION: Extracts which have very high antioxidant activity was RD (boiled leaves, IC50 = 5,45 mg/ml), SD (distilled leaves, IC50 = 5,70 mg/ml), ST (distilled heartwood, IC50 = 5,91 mg/ml) and SG (distilled sapwood, IC50 = 32,36 mg/ml). The yield of the four extracts from the highest to the lowest was SD (28,78 %), RD (10,18 %), SG (2,11 %) and ST (1,74 %). LD50 value of three extracts with high antioxidant content was RD 47752 mg/kg, SD 4518,56 mg/kg, and ST 1999,86 mg/kg. ST extract is preferred by the panelists with the acquisition score 5,52 (preferred), followed by a score of 4,43 RD (neutral), and SD with a score of 4,18 (neutral). Test results showed that the distillation residue of Surian potential as natural food colorants and antioxidants.

Key words: Toona sinensis Roemor, antioxidants, acute toxicity, organoleptic.

1

Student of Forest Products Departement, Faculty of Forestry, IPB 2

Lecturer of Forest Products Departement, Faculty of Forestry, IPB DHH The Potential Substances of Extractive

Distillation Residue Surian Tree (Toona sinensis Roemor) as a Natural Food Colorants


(3)

RINGKASAN

DESI MELIANTI. E24080042. Potensi Zat Ekstraktif dari Residu Penyulingan Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) sebagai Pewarna Pangan Alami dan Sumber Antioksidan.Dibawah bimbingan Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.

Penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan pangan seringkali terjadi. Selain itu, lingkungan yang mulai rusak menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Kedua hal tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Antioksidan memiliki manfaat yang luas dalam bidang kesehatan, salah satu diantaranya yaitu menstabilkan radikal bebas. Banyak jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai pewarna alami makanan yang aman dan memiliki efek farmakologis. Kayu Surian berwarna merah dan isi porinya berupa endapan merah kecoklatan, sehingga zat ekstraktif kayu Surian dapat dijadikan sebagai pewarna pangan alami. Selain itu, zat ekstraktif yang menimbulkan warna umumnya berpotensi menjadi sumber antioksidan (mengandung antosianin). Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antioksidan, toksisitas akut dan tingkat kesukaan masyarakat terhadap pewarna pangan alami dari zat ekstraktif residu hasil penyulingan dan perebusan ampas penyulingan pohon Surian.

Bahan yang digunakan adalah daun, kayu teras, kayu gubal dan kulit bagian dalam (inner bark) pohon Surian (Toona sinensis Roemor). Bahan baku disuling dengan metode uap dan air selama 12 jam, residu dikeringkan menggunakan oven dan ampasnya direbus menggunakan aquades, lalu air perebusan dikeringkan menggunakan oven. Kadar zat ekstraktif dihitung, kemudian ekstrak diuji aktivitas antioksidannya (DPPH), diuji toksisitas akut (OEDC 2001) dan uji organoleptik. Uji organoleptik terdiri dari uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik.

Ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan sangat tinggi yaitu RD (rebus daun, IC50 = 5,45 g/ml), SD (suling daun, IC50 = 5,67 g/ml), ST (suling teras IC50 = 5,91 g/ml) dan SG (suling gubal, IC50 = 32,36 g/ml). Rendemen masing-masing keempat ekstrak tersebut dari yang tertinggi sampai terendah yaitu SD (28,78 %), RD (10,18 %), SG (2,11 %) dan ST (1,74 %). Nilai LD50 ketiga ekstrak dengan kandungan antioksidan yang sangat tinggi yaitu RD 47752 mg/kg BB, SD 4518,56 mg/kg BB dan ST 1999,86 mg/kg BB. Ekstrak ST lebih disukai oleh panelis dengan perolehan skor 5,52 (disukai), diikuti RD dengan skor 4,43 (netral), dan SD dengan skor 4,18 (netral). Hasil pengujian menunjukkan bahwa residu penyulingan Surian berpotensi sebagai pewarna pangan alami dan sumber antioksidan.


(4)

POTENSI ZAT EKSTRAKTIF DARI RESIDU PENYULINGAN

POHON SURIAN (

Toona sinensis

Roemor) SEBAGAI

PEWARNA PANGAN ALAMI DAN SUMBER ANTIOKSIDAN

DESI MELIANTI

E24080042

Skripsi

Sebagai salah sat u syarat memperoleh gelar Sarjana K ehut anan pada Fakult as Kehut anan I nst it ut Pert anian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Potensi Zat Ekstraktif dari Residu Penyulingan Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) sebagai Pewarna Pangan Alami dan Sumber Antioksidan.

Nama Mahasiswa : Desi Melianti

NRP : E24080042

Departemen : Hasil Hutan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si) NIP. 19681124 199512 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc) NIP. 1966 0212 199103 1 002


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Zat Ekstraktif dari Residu Penyulingan Pohon Surian (Toona sinensis Roemor)

sebagai Pewarna Pangan Alami dan Sumber Antioksidan adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.

Bogor, Agustus 2012

Desi Melianti NRP. E24080042


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Potensi Zat Ekstraktif dari Residu Penyulingan Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) sebagai

Pewarna Pangan Alami dan Sumber Antioksidan. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012


(8)

© Hak cipta milik Desi Melianti, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 19 Desember 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Rafe’i dan Ibu Megawati. Penulis lulus dari SDN Cipare pada tahun 2002, kemudian melanjutkan sekolah di SMPN 4 Serang dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 1 Cipocok Jaya dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Tahun 2011 penulis memilih Kimia Hasil Hutan sebagai bidang keahlian.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Kamojang dan Leuweung Sancang Barat Jawa Barat, melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Tanjungenim Lestari Pulp and Paper, Palembang, Sumatera Selatan. Selain melaksanakan kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) serta aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan lainnya.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Potensi Zat Ekstraktif dari Residu Penyulingan Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) sebagai Pewarna Pangan Alami dan Sumber


(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan motivasi.

2. Ibu Dr. Ir. Noor Farikhah Haenda, M.Sc selaku dosen penguji atas masukan dan saran yang diberikan.

3. Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc selaku ketua sidang atas masukan dan saran yang diberikan.

4. Mama (Megawati), Bapak (Rafe’i), Guruh, teh Ratna dan segenap keluarga penulis atas kasih sayang, doa, dan dukungan yang telah diberikan baik moril maupun spiritual.

5. Silvanto Rekso Utomo atas dukungan, perhatian, kesabaran, pengertian dan bantuan yang diberikan.

6. Keluarga Kimia Hasil Hutan (Bapak Deded, Bapak Atin, Mas Gunawan, dan Kak Adi) dan seluruh staf Departemen Hasil Hutan atas segala bantuannya.

7. Rini dan Didit (Biokimia 45) atas ilmu, informasi dan bantuan yang diberikan.

8. Rekan-rekan seperjuangan (Arip, Vebri, Rahma, Mita, Dhewy, Isya, Mae, Nade, Lucia, Andri dan teman-teman THH 45) terimakasih atas dukungan dan kesetiakawanan yang selalu kalian berikan.

9. Seluruh keluarga Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. 10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu kelancaran studi penulis.

Bogor, Agustus 2012


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) ... 4

2.2 Pewarna Makanan ... 5

2.3 Zat Ekstraktif dan Senyawa Antioksidan Alami ... 6

2.4 Penyulingan Minyak Atsiri ... 7

2.5 Toksisitas Akut ... 8

2.6 Mencit (Mus musculus albinus) ... 10

2.7 Tingkat Kesukaan Masyarakat ... 11

BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Rancangan Percobaan... 12

3.4 Metode penelitian ... 13

3.4.1 Penyiapan Bahan Baku ... 13

3.4.2 Preparasi Contoh Uji ... 14

3.4.3 Penentuan Rendemen ... 14

3.4.4 Uji Antioksidan ... 15

3.4.5 Uji Tokisitas Akut ... 16

3.4.6 Uji Tingkat Kesukaan Masyarakat ... 17

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rendemen Ekstrak ... 18

4.2 Aktivitas Antioksidan ... 19

4.3 Toksisitas Akut ... 22

4.4 Tingkat Kesukaan Masyarakat ... 24


(12)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 30

5.2 Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Klasifikasi toksisitas akut ... 9

Tabel 2. Rendemen ekstrak residu penyulingan dan perebusan Surian ... 18

Tabel 3. Wujud fisik ekstrak residu penyulingan dan perebusan Surian ... 19

Tabel 4. Nilai IC50 residu penyulingan dan perebusan pohon Surian ... 21

Tabel 5. Nilai LD50 ekstrak Surian hasil penyulingan dan perebusan ... 23

Tabel 6. Gejala klinis pada mencit setelah pencekokan... 24

Tabel 7. Hasil uji kesukaan terhadap ketiga ekstrak pohon Surian ... 26

Tabel 8. Hasil uji mutu hedonik terhadap ketiga ekstrak pohon Surian ... 28


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Plat uji antioksidan ... 15 Gambar 2. (a) Pencekokan ekstrak dan (b) Kandang sekat... 16 Gambar 3. Uji organoleptik ... 17 Gambar 4. Hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan

radikal DPPH . ... 20 Gambar 5. Hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan

radikal DPPH (ekstrak kurang aktif). ... 21 Gambar 6. Nilai rata-rata uji hedonik ... 25 Gambar 7. Nilai rata-rata uji mutu hedonik ... 27


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Bobot badan mencit... 36

Lampiran 2. Hasil Analisis (ANOVA) Rendemen ... 38

Lampiran 3. Hasil Analisis Nilai Inhibisi (Antioksidan) ... 40

Lampiran 4. Hasil analisis data uji hedonik ... 41

Lampiran 5. Hasil analisis data uji mutu hedonik ... 45


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kebutuhan kayu semakin lama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Di sisi lain, berbagai laporan mengemukakan adanya kecenderungan penurunan produksi kayu dari hutan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan dapat dilakukan dengan menerapkan konsep “the whole tree utilization”, yaitu pemanfaatan semua bagian kayu (akar, kulit, batang, ranting dan cabang) termasuk pemanfaatan semua komponen yang terdapat dalam kayu (Syafii 2008).

Peningkatan jumlah penduduk juga memberi dampak terhadap peningkatan kebutuhan pangan. Hal tersebut mendorong berkembangnya perdagangan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan. Hasil pemantauan keamanan pangan yang dilakukan terhadap 23.000 sampel pangan menunjukan sekitar 1,63 % (375 sampel) menggunakan pewarna yang dilarang (BPOM 2007 dalam Rahayu 2011). Hal tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat menimbulkan berbagai penyakit bahkan ada yang bersifat karsinogenik (Djuni 2002).

Selain itu, lingkungan yang mulai rusak dapat membahayakan kesehatan manusia, beberapa penyebabnya ialah terbentuknya radikal bebas dan polusi udara (Saparinto & Hidayati 2006). Radikal bebas dapat distabilkan dengan antioksidan. Banyak jenis tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami makanan yang aman dan sekaligus memiliki efek farmakologis, misalnya efek sebagai antioksidan, contohnya adalah zat ekstraktif dari kayu secang (Caesalpinia sappan L.) (Weningtyas 2009). Bahan yang akan digunakan sebagai pewarna pangan dan sumber antioksidan harus aman dikonsumsi dan disukai oleh masyarakat (Cahyadi 2008).

Menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu Surian berwarna merah dan isi porinya berupa endapan merah kecoklatan, sehingga zat ekstraktif kayu Surian dapat dijadikan sebagai pewarna pangan alami. Hasil penelitian Wang (2007) menunjukan bahwa zat ekstraktif yang menimbulkan warna umumnya berpotensi


(17)

menjadi sumber antioksidan (mengandung flavonoid). Wang et al. (2007) dan Hsheu et al. (2008) melaporkan bahwa daun Surian asal Cina mengandung senyawa antioksidan. Selain itu, penelitian Sari et al. (2011) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun, bagian kayu teras dan gubal Surian memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi. Penelusuran pustaka tersebut menunjukkan bahwa bagian kayu Surian potensial mengandung zat ekstraktif yang dapat digunakan sebagai pewarna alami dan bersifat antioksidan.

Penelitian Darmawan (2011) menunjukan minyak atsiri Surian sangat toksik (LC50 ≤ 30 ppm), sedangkan zat ekstraktif dari limbah cair tersebut yang berwarna merah (kayu) dan hijau (daun) tidak toksik (LC50 > 3000 ppm). Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya potensi residu penyulingan minyak atsiri baik yang berasal dari limbah cair penyulingan ataupun ampas dari penyulingan sebagai sumber pewarna pangan alami dan antioksidan. Untuk mengetahui masih ada atau tidaknya zat ekstraktif yang tertinggal pada ampas penyulingan dilakukan perebusan terhadap ampas penyulingan. Penelusuran pustaka belum ada yang melaporkan penelitian mengenai pemanfaatan zat ekstraktif pohon Surian sebagai pewarna pangan alami dan antioksidan.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antioksidan, toksisitas akut dan tingkat kesukaan masyarakat terhadap pewarna pangan alami dari zat ekstraktif yang diperoleh dari residu hasil penyulingan dan perebusan ampas penyulingan pohon Surian.

1.3Manfaat

Penelitian ini bermanfaat untuk :

1. Mendapatkan informasi awal tentang kemungkinan dikembangkannya pewarna alami yang berasal dari residu hasil penyulingan dan perebusan ampas penyulingan pohon Surian yang memiliki aktivitas antioksidan. 2. Menghasilkan sumber pewarna alami yang dapat diaplikasikan pada produk

pangan sebagai pengganti pewarna sintetis. Produk yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi alternatif sebagai pewarna alami makanan.


(18)

3. Memberikan nilai lebih bagi pohon Surian yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.

4. Upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu hutan rakyat dengan memanfaatkan residu hasil penyulingan Surian (Toona sinensis Roemor).


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor)

Surian yang termasuk dalam family Meliaceae adalah jenis kayu yang tergolong light-weight hardwood. Jenis kayu ini dikenal dalam perdagangan di Perancis, Belanda, Jerman dan Spanyol sebagai kayu toona (Pandit & Wibowo 2011). Surian di Jawa dikenal dengan nama Suren sabrang, di Karo dikenal dengan nama Ingul batu dan di Sunda dikenal dengan Surian beureum atau Ki beureum (Heyne 1987).

Pohon Surian memiliki ukuran besar, pertumbuhan cepat dan kayunya berkualitas. Hampir keseluruhan bagian dari pohon Surian termasuk biji, kulit batang, kulit akar, tangkai, dan daun memiliki khasiat obat. Pohon Surian secara luas digunakan sebagai obat, kulit batangnya dijadikan obat demam, kencing manis dan penyakit gondok, tepung dari akarnya digunakan sebagai penyegar dan diuretik dan daun mudanya digunakan sebagai obat kembung (Shu 2008 & Sangat et al. 2000). Surian memiliki tinggi hingga 40 m, tinggi bebas cabangnya hingga 20 m, diameter pada dbh (diameter at breast height) mencapai 1,5 m, memiliki banir dan kulit luar berwarna kelabu kemerahan, tidak beralur dan kadang mengelupas kecil (Pandit & Wibowo 2011).

Warna teras kayu Surian merah seperti daging sapi muda, kadang merah keunguan sampai coklat, warna gubalnya tidak begitu berbeda dengan terasnya, tetapi gubalnya berwarna lebih terang. Lumen sel pembuluh sering berisi deposit merah kecoklatan (Pandit & Wibowo 2011). Kulit luarnya (outer bark) pecah-pecah dan berwarna abu-abu hingga cokelat hitam, kulit dalam (inner bark) memiliki serat dan warnanya jingga hingga merah, kayu gubalnya berserat, warnanya putih kemerahan dan berbau tajam seperti bawang putih dan merica. Gubal kayu Surian berwarna kemerahan, tekstur kayu kasar mempunyai struktur liang bergelang dengan ira yang bersimpul atau beralun (Shu 2008).


(20)

2.2 Pewarna Makanan

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan. Dua jenis zat pewarna makanan berdasarkan sumbernya yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis (Cahyadi 2008).

Hasil penelitian Soleh (2003) menunjukan bahwa dari 25 sampel makanan dan minuman yang beredar di Bandung, terdapat lima sampel yang positif mengandung zat pewarna yang dilarang, yaitu rhodamin B. Hasil penelitian Cahyadi (2008) menunjukan dari 251 jenis minuman, sebanyak 14,5 % di Bogor, 17 % di Rangkasbitung, sedangkan kota-kota kecil dan desa-desa 24 % minumannya mengandung rhodamin B.

Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil (penyumbang warna hijau), mioglobin dan hemoglobin, flavonoid (antosianin, penyumbang warna merah, orange, ungu dan biru), tannin, betalain, quinon dan xanthon, serta karotenoid (penyumbang warna kuning kemerahan, yang larut dalam lemak) (Pitozo & Zumiati 2009). Pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi, seperti karotenoid, riboflavin, kurkumin dan cabalamin (MacDougall 2002).

Pigmen antosianin yang tergolong kelompok flavonoid merupakan pigmen yang paling luas dan penting karena banyak tersebar pada berbagai organ tanaman. Antosianin akan berubah warna seiring dengan perubahan nilai pH. Antosianin pada pH tinggi cenderung berwarna biru atau tidak berwarna, kemudian cenderung berwarna merah pada pH rendah (Deman 1997). Senyawa ini merupakan sekelompok zat warna berwarna kemerahan yang larut dalam air. Pigmen yang berwarna kuat ini adalah penyebab hampir semua warna merah, orange, ungu dan biru. Antosianin berperan sebagai pewarna alami makanan dan memiliki kandungan yang mempunyai fungsi fisiologis, yaitu selenium dan iodin sebagai substansi antikanker dan sebagai antioksidan (MacDougall 2002).


(21)

2.3 Zat Ekstraktif dan Senyawa Antioksidan Alami

Zat ekstraktif adalah zat hasil metabolisme sekunder. Senyawa fenol yang merupakan salah satu zat ekstraktif kayu ternyata berpotensi untuk digunakan sebagai obat atau untuk pengembangan obat generasi terbaru. Falah et al. (2008) dalam Pratama (2010) menemukan flavonoid yang bersifat antioksidan dari bagian kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla). Antioksidan merupakan satu dari beberapa hal yang penting untuk mencegah atau penghambat dari serangan penyakit berbahaya seperti kanker, liver, katarak dan penyakit lainnya (Omaye 2004). Menurut Indrayanto (2006) dalam Rahmawan (2011), tumbuhan menghasilkan zat ekstraktif yang berpotensi sebagai obat, zat perwarna, penambah aroma makanan, parfum dan insektisida. Sjostrom (1998) menyatakan bahwa zat ekstraktif mudah diekstrak dengan pelarut organik atau air.

Senyawa antioksidan alami dapat diperoleh dari berbagai tumbuhan. Sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna umumnya memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Menurut Charlampos et al. (2008) dalam Pratama (2010), senyawa kimia yang tergolong antioksidan yang berasal dari tumbuhan antara lain dari golongan flavonoid (antosianin), polifenol, vitamin C, vitamin E dan karotenoid. Harbone (1987) menyatakan bahwa flavonoid terdiri dari 10 jenis yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon.

Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dan beberapa penelitian menunjukan bahwa antosianin dan klorofil tidak toksik dan aman untuk kesehatan. Penelitian toksisitas oral subkronik sudah dilakukan dan tidak menunjukan sifat berbahaya. Antosianin dan turunan flavonoid memiliki manfaat yang sangat luas dalam bidang kesehatan, seperti antikarsinogenik (antiracun), antiradang, antihepatoxic, antibakteri, antivirus, antialergi, antithrombotik dan antioksidan. Begitu juga klorofil merupakan antitumor, antikanker, antimutagenik yang efektif dan biasa digunakan sebagai suplemen diet (MacDougall 2002).

Menurut Cervellati (2008), kandungan antioksidan dari 11 spesies botani digunakan dalam tradisi Sardinia sebagai minuman teh atau sebagai ramuan untuk tujuan pengobatan dievaluasi dengan menggunakan metode in vitro yang berbeda (BR, TEAC, DPPH dan FC). Kintzios et al. (2010) menyelidiki aktivitas


(22)

antioksidan ekstrak metanol dan air aksesi Slovenia dari empat spesies tanaman obat, yaitu Salvia officinalis, Achillea millefolium, Origanum vulgare subsp. Vulgare dan Gentiana lutea dengan menggunakan metode DPPH. Hasil penelitian Aktumsek et al. (2011) menunjukkan bahwa spesies Centaurea dapat digunakan sebagai sumber baru antioksidan alami dan asam lemak tak jenuh untuk makanan, industri kosmetik dan farmasi.

2.4Penyulingan Minyak Atsiri

Penyulingan minyak atsiri adalah ekstraksi minyak atsiri dari tanaman penghasil minyak atsiri dengan bantuan uap air. Uap yang dihasilkan selanjutnya dikondensasikan sehingga menjadi cairan berair dan minyak atsiri, yang selanjutnya dapat dipisahkan karena keduanya memisah menjadi dua fase yang berbeda pada wadah penampung kondensat, yaitu fase air dan fase minyak. Metode penyulingan minyak atsiri terbagi menjadi metode penyulingan dengan air, metode penyulingan air dan uap, dan metode penyulingan uap. Penerapan penggunaan metode tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti jenis bahan baku tanaman, karakteristik minyak, proses difusi minyak dengan air panas, dekomposisi minyak akibat efek panas, efisiensi produksi dan alasan nilai ekonomis serta efektifitas produksi (Guenther 1988).

Penyulingan dengan air dan uap biasa dikenal dengan sistem kukus. Cara ini sebenarnya mirip dengan sistem rebus, hanya saja bahan baku dan air tidak bersinggungan langsung karena dibatasi dengan saringan diatas air. Cara ini adalah yang paling banyak dilakukan pada dunia industri karena cukup membutuhkan sedikit air sehingga dapat mempersingkat waktu proses produksi. Metode kukus ini biasa dilengkapi sistem kohobasi yaitu air kondensat yang keluar dari separator masuk kembali secara otomatis ke dalam ketel agar meminimkan kehilangan air. Bagaimanapun biaya produksi juga diperhitungkan dalam aspek komersial (Agus 2005).

Sistem kukus kohobasi lebih menguntungkan oleh karena terbebas dari proses hidrolisa terhadap komponen minyak atsiri dan proses difusi minyak dengan air panas. Selain itu, dekomposisi minyak akibat panas akan lebih baik dibandingkan dengan metode uap langsung (direct steam dstillation). Metode


(23)

penyulingan dengan sistem kukus ini dapat menghasilkan uap dan panas yang stabil oleh karena tekanan uap yang konstan (Agus 2005).

2.5Toksisitas Akut

Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji toksisitas umum dan uji toksisitas khusus. Uji toksisitas umum merupakan uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subakut, subkronik dan kronik. Pengujian toksisitas khusus merupakan uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenic, teratogenik, reproduksi, kulit, mata dan tingkah laku (Loomis 1996). Toksisitas yang ditimbulkan dapat bersifat dapat pulih kembali (reversible) dan tidak dapat pulih (irreversible) (Donatus 2001).

Uji toksisitas akut penting dilakukan untuk mengetahui dosis yang aman digunakan oleh manusia. Dosis aman perlu diketahui karena mengingat adanya senyawa toksik pada tumbuhan yang dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi melebihi takaran. Pada dasarnya semua obat dapat bersifat toksik, tergantung besarnya dosis yang diberikan. Efek toksik biasanya tercapai apabila suatu rangsangan mencapai suatu nilai tertentu sehingga timbul mekanisme biologis yang nyata. Menurut Imono (2001), besar rangsangan sebanding dengan besar konsentrasi agen pada receptor site.

Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik atau racun yang terdapat dalam suatu sediaan atau campuran bahan. Uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan hanya satu kali (Hodgson et al. 1999).

Data yang dikumpulkan dalam uji toksisitas akut adalah data kuantitatif berupa kisaran dosis letal dan data kualitatif yang berupa gejala klinis. Pada dasarnya tidak ada satu hewan pun yang sempurna untuk uji toksisitas akut yang nantinya akan digunakan oleh manusia. Walaupun tidak ada aturan tetap yang mengatur pemilihan spesies hewan coba, yang lazim digunakan pada uji toksisitas


(24)

akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci, babi, anjing dan monyet. Pada awalnya, pertimbangan dalam memilih hewan coba hanya berdasarkan ketersediaan, harga dan kemudahan dalam perawatan. Namun, seiring perkembangan zaman tipe metabolisme, farmakokinetik dan perbandingan catatan atau sejarah avaibilitas juga ikut dipertimbangkan. Hewan yang paling sering digunakan adalah mencit dan tikus (Casarett & Doull’s 1986). Respon berbagai hewan percobaan terhadap uji toksisitas dapat berbeda. Umumnya hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologis, variasi dalam sifat keturunan, umur dan kondisi tubuh.

Dosis letal 50 (LD50) adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik untuk menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik pada 50% hewan coba setelah perlakuan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain spesies, galur, jenis kelamin, umur, berat badan, kesehatan nutrisi dan isi perut hewan coba serta lingkungan. Teknis pemberian juga mempengaruhi hasil, yaitu meliputi waktu pemberian, suhu lingkungan, kelembaban dan sirkulasi udara. Selain itu, kesalahan manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Oleh karena itu, faktor-faktor ini harus diperhatikan sebelum penelitian dimulai. Omaye (2004) membagi tingkat ketoksikan akut per oral ke dalam beberapa kelas seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi toksisitas akut

Kelas LD50 (mg/kg BB)

luar biasa toksik ≤ 1

sangat toksik 5 – 50

cukup toksik 50 – 500

sedikit toksik 500 – 5000

praktis tidak toksik 5000 – 15000

relatif tidak berbahaya >15000

Sumber : Omaye (2004)

Penentuan LD50 dapat dihitung dengan menggunakan cara grafik maupun cara aljabar. Beberapa metode yang umum dipakai untuk menentukan LD50 adalah


(25)

metode Trevan, metode perhitungan cara Grafik (Graphical Calculation) Miller dan Tainter, metode Aritmatik Reed dan Muench, metode Karber, metode perhitungan secara grafik Litcjfield dan Wilcoxon, dan metode Thomson dan Weil (Manggung 2008).

Metode Aritmatik Reed dan Muench menggunakan nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai adalah bahwa seekor hewan yang mati oleh dosis tertentu akan mati juga oleh dosis yang lebih besar, sedangkan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga akan tetap bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah.

2.6Mencit (Mus musculus albinus)

Mencit merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit dipilih karena dianggap cukup mampu mewakili kelas mamalia, kelas yang termasuk didalamnya yaitu manusia sehingga sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah, ekskresi dan lain-lain sudah menyerupai manusia. Jadi, dengan meneliti mencit, anatomi manusia dapat dipahami. Tikus dan mencit dinilai cukup efisien untuk digunakan dalam penentuan LD50 karena murah, mudah didapat, tidak memerlukan tempat yang luas dan mudah ditangani (Lu & Kacew 2006). Selain itu, banyak data toksikologi tentang jenis hewan ini, hal ini mempermudah perbandingan toksisitas zat-zat kimia. Sistem taksonomi mencit menurut Malole et al. (1989) dalam Manggung (2008) adalah :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Mus

Spesies : Mus musculus


(26)

Menurut Mangkuwidjodjo dan Smith (1988) dalam Manggung (2008), biologis dan fisiologis mencit adalah sebagai berikut : berat dewasa mencit rata-rata 18-35 g, berat lahir 0.5-1.0 g, suhu raktal antar 35-39⁰C, pernapasan 140-180 kali/menit, denyut jantung antara 600-650 kali, umur sapih 21 hari, sedangkan umur dewasa 35 hari.

2.7 Tingkat Kesukaan Masyarakat

Penilaian dengan indera banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Salah satu uji sensoris yang sering dilakukan adalah uji kesukaan. Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pengujian ini umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi konsumen terhadap suatu bahan. Skala nilai yang digunakan dapat berupa nilai numerik dengan keterangan verbalnya, atau keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat diberi tanda oleh panelis. Skala nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal (Kartika 1988). Menurut Soekarto (1986), panelis agak terlatih adalah mahasiswa atau staf peneliti sebanyak 15-25 orang yang mengetahui sifat-sifat sensorik dari yang contoh yang dinilai melalui penjelasan sekedarnya.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor dan Unit Kandang Hewan Coba Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan dimulai dari bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Mei 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah daun, kayu teras, kayu gubal dan kulit bagian dalam (inner bark) pohon Surian (Toona sinensis Roemoer) berumur ± 7 tahun dengan tinggi ± 8 m dan diameter 21 cm yang diperoleh dari daerah Ciapus, Bogor, Jawa Barat. Untuk memastikan kebenaran jenis pohon yang digunakan, bagian daunnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong. Hewan coba yang digunakan adalah mencit galur DDY jantan umur 2 bulan. Bahan lain yang digunakan adalah aquades, etanol, DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil), asam askorbat (vitamin C), pakan mencit dan agar-agar.

Alat-alat yang digunakan adalah alat penyulingan minyak atsiri, alat serut kayu, golok, alat timbang, oven, panci, spektrofotometer UV-vis, plat uji antioksidan, peralatan gelas (gelas piala, gelas ukur, pipet, cawan petri, pot kecil), baskom, kompor gas, sonde, kandang mencit dan toples.

3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 3.3.1 Kadar Ekstrak dan Aktivitas Antioksidan

Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor A (bagian pohon Surian dengan 4 taraf yaitu kayu teras, kayu gubal, daun, dan kulit) dan faktor B (metode ekstraksi dengan 2 taraf yaitu penyulingan dan perebusan) dengan 3 kali ulangan untuk rendemen dan 7 kali ulangan (konsentrasi) untuk nilai inhibisi. Model


(28)

rancangan percobaan statistik yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij+ εijk

Dimana : i = kayu teras, kayu gubal, daun, kulit; j = penyulingan, perebusan; k = 1, 2, 3, dst

Yijk = Nilai pengamatan pada bagian Surian ke-i, metode ekstraksi ke-j, dan ulangan ke-k.

= Rataan umum

αi = Pengaruh utama bagian Surian βj = Penngaruh utama metode ekstraksi

ε(ijk) = Pengaruh acak yang menyebar normal (0,σε2)

Pengolahan data pada penentuan kadar zat ekstraktif dilakukan dengan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) 16.0 for Windows. Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis sidik ragam, kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

3.3.2 Sifat Organoleptik

Hasil uji organoleptik diolah dengan menggunakan Kruskal-Wallis Test dan uji lanjut Dunn.

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Persiapan Bahan Baku

Daun dipisahkan dari tangkainya dan dirajang kasar, kemudian ditimbang sebanyak 4,5 kg untuk satu kali penyulingan. Kulit dipisahkan antara kulit luar (outer bark) dan kulit dalam (inner bark). Bagian kulit yang digunakan adalah bagian dalam (inner bark). Kulit dirajang hingga ukuran 1-2 cm, kemudian ditimbang sebanyak 1,5 kg untuk satu kali penyulingan. Teras dan gubal dipisahkan menggunakan mesin serut, sehingga dapat diperoleh hasil berupa kayu serutan dengan panjang 1-4 cm, lebar 1-2 cm dengan tebal 1-5 mm, selanjutnya ditimbang sebanyak 1,5 kg untuk satu kali penyulingan.


(29)

3.4.2 Preparasi Contoh Uji berupa Ekstrak

Contoh uji dalam penelitian ini merupakan ekstrak yang berasal dari residu penyulingan, yaitu limbah cair penyulingan dan air rebusan dari ampas padatan penyulingan. Penyulingan dan perebusan pada setiap bagian pohon dilakukan dengan tiga kali ulangan, tetapi untuk pengujian (antioksidan, toksisitas akut dan tingkat kesukaan masyarakat) ketiga ekstrak pada pengulangan di campur, sehingga tidak ada ulangan pada saat pengujian ekstrak.

3.4.2.1 Penyulingan

Bahan baku yang sudah siap selanjutnya dimasukkan dalam alat penyulingan. Proses penyulingan menggunakan metode air dan uap, yaitu menggunakan air kemudian dipanaskan sehingga menghasilkan uap air yang panas dilakukan selama 12 jam. Residu hasil penyulingan berupa cairan berwarna merah kecoklatan (kayu), hijau kecoklatan (daun) dan coklat kehitaman (kulit kayu) yang terdapat di dalam ketel suling diukur volumenya dan dikeringkan di dalam oven hingga diperoleh padatan. Padatan ini kemudian diuji aktivitas antioksidannya, toksisitas akut dan tingkat kesukaan masyarakat.

3.4.2.2 Perebusan

Residu penyulingan berupa ampas (daun, kulit, gubal dan teras) direbus menggunakan air aquades selama dua jam. Air rebusan diukur volumenya dan dikeringkan di dalam oven hingga diperoleh padatan.

3.4.3 Penentuan Rendemen

Rendemen ekstrak yang dihasilkan dari proses penyulingan dan perebusan yang telah dikeringkan dengan oven dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan: Output = berat ekstrak (g)

Input = berat kering tanur bahan baku (g) Rendemen = (Output/Input) x 100%


(30)

3.4.4 Uji Antioksidan

Uji antioksidan menggunakan metode DPPH (Leu et al. 2006). Ekstrak dilarutkan dalam etanol (1mg ml-1) dan larutan yang diperoleh dijadikan sebagai larutan induk (konsentrasi 1.000 g ml-1

). Larutan ekstrak dibuat dengan mengencerkan larutan induk dengan etanol. Banyaknya larutan induk yang digunakan bergantung pada konsentrasi larutan ekstrak yang diinginkan. Nisbah larutan ekstrak dengan larutan DPPH dalam pengujian ini adalah 1:1.

Gambar 1 Plat uji antioksidan.

Total larutan dalam wadah uji adalah 200 l yang terdiri atas larutan ekstrak sebanyak 100 l dan 100 l larutan DPPH (125 M dalam etanol). Pemberian larutan ekstrak 1.000 g ml-1 akan menghasilkan konsentrasi ekstrak dalam wadah uji sebesar 500 g ml-1. Kontrol negatif dibuat dengan mencampurkan 100 l etanol dengan 100 l larutan DPPH. Asam askorbat (vitamin C) digunakan sebagai kontrol positif antioksidan dengan konsentrasi perlakuan yang sama dengan ekstrak uji. Setelah homogen, wadah uji yang berisi larutan tersebut diinkubasi dalam tempat gelap selama 30 menit dan diukur serapan cahayanya dengan spektrofotometer UV-vis pada maks 517 nm. Aktivitas antioksidan ditentukan dengan menghitung persen penangkapan radikal bebas DPPH oleh ekstrak dengan rumus :

Keterangan : A : serapan kontrol negatif (DPPH + etanol)

B : serapan ekstrak uji (DPPH +etanol+ ekstrak uji). % Penangkapan radikal = {(A-B)/A} x 100%


(31)

Korelasi antara persen penangkapan radikal dan konsentrasi ekstrak diplotkan dan nilai IC50 dihitung melalui persamaan regresi hasil interpolasinya. IC50 adalah konsentrasi efektif ekstrak yang mampu menangkap (menurunkan) konsentarsi radikal bebas DPPH sebesar 50%, sehingga nilai IC50 (inhibition concentration) yang semakin rendah berarti aktivitas antioksidan ekstrak semakin tinggi.

3.4.5 Uji Toksisitas Akut (OECD 2001)

Mencit percobaan diadaptasikan selama dua minggu (untuk menghindari resiko timbulnya gangguan stress) dan ditimbang bobot badannya (BB). Dalam penentuan LD50 akan digunakan 3 kelompok dosis, yaitu kontrol (hanya di cekok aquades), 2.000 mg/kg BB dan 5.000 mg/kg BB. Satu kelompok dosis menggunakan 10 ekor mencit. Semua hewan pada setiap kelompok hanya menerima ekstrak satu kali untuk setiap dosis yang telah ditentukan (dosis tunggal), lalu hewan diamati dan dicatat tingkat kematiannya pada 24 jam pertama untuk memperoleh LD50. Pengamatan dilanjutkan hingga hari ke 7 (Lu & Kacew 2006), pengamatan meliputi gejala klinis seperti nafsu makan, bobot badan, keadaan mata dan bulu serta tingkah laku.

(a) (b) Gambar 2 (a) pencekokan ekstrak, (b) kandang sekat.

Penentuan LD50 (metode Reed-Muench) didapatkan berdasarkan rumus-rumus berikut :


(32)

Keterangan : P.D (Proportional Distance) = jarak proporsional

P (Propotional) = proporsionasi peningkatan dosis

3.4.6 Uji Tingkat Kesukaan Masyarakat

Uji tingkat kesukaan masyarakat (organoleptik) meliputi uji mutu hedonik dan uji hedonik (kesukaan). Uji organoleptik meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur. Uji hedonik dan mutu hedonik dilakukan dengan 7 skala kesukaan dengan 17 orang panelis agak terlatih yaitu mahasiswa dan pegawai yang dipilih secara acak (Soekarto 1985 dalam Weningytyas 2009, Kartika 1988, Askar 2005). Sample uji organoleptik berupa agar-agar yang telah diberi ekstrak. Jumlah sample per panelis yaitu 4 buah, terdiri dari kontrol, ekstrak ST, SD dan RD. Penilaian terhadap kesukaan berdasarkan skor (1) sangat suka, (2) suka, (3) agak suka, (4) netral, (5) agak tidak suka, (6) tidak suka, (7) sangat tidak suka. Data yang dihasilkan selanjutnya akan diolah secara statistik (Purba 2003).

Gambar 3 Uji organoleptik.

P.D = % %

% %

P = log Dosis


(33)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Rendemen Ekstrak

Ekstrak yang diperoleh dari hasil penyulingan dan perebusan memiliki rendemen dan wujud fisik yang berbeda-beda antar bagian pohon. Ekstrak penyulingan dan perebusan yang memiliki rendemen tertinggi sampai terendah berturut-turut yaitu bagian daun (28,78 % dan 10,18 %), kulit (4,08 % dan 6,59 %), gubal (2,11 % dan 0,92 %) dan teras (1,74 % dan 0,81 %) (Tabel 2). Hal ini menunjukan bahwa tiap bagian pohon mengandung jenis dan kadar zat ekstraktif yang berbeda. Distribusi dan komposisi zat ekstraktif dipengaruhi oleh posisi dalam pohon terutama antara kulit luar (outerbark) dan kulit dalam (innerbark) serta kayu gubal dan kayu teras (Sjostrom 1998, Tsoumis 1991, Thompson et al. 2006).

Tabel 2 Rendemen ekstrak residu penyulingan dan perebusan Surian1)

Bagian Pohon Perlakuan

Penyulingan2) Perebusan2)

Kayu Teras 1,74(A) 0,81 (A)

Kayu Gubal 2,11(A) 0,92 (A)

Kulit 4,08(A) 6,59(AB)

Daun 28,78(C) 10,18 (B)

1) rerata dari 3 kali ulangan

2) huruf kapital yang berbeda pada kolom penyulingan dan perebusan A, B, AB, dan C menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% (hasil uji lanjut Duncan)

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa terdapat interaksi antara bagian pohon dan perlakuan. Hal tersebut menunjukan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak yang dihasilkan (Lampiran 2). Ekstrak yang diperoleh dari residu cair penyulingan bagian daun menghasilkan rendemen yang paling tinggi, karena daun mengandung klorofil yang dapat larut dalam air (pelarut polar) ketika proses penyulingan dan perebusan berlangsung (Cahyadi 2008).


(34)

Kadar ekstrak yang dihasilkan dari residu cair penyulingan daun berbeda sangat nyata dengan kadar ekstrak yang dihasilkan dari residu cair penyulingan bagian pohon lainnya maupun dari residu perebusan ampas penyulingan. Perebusan terhadap ampas penyulingan daun menghasilkan rendemen ekstrak 10,18 %, hal ini menunjukan dalam ampas penyulingan masih terdapat ekstrak yang dapat dimanfaatkan karena dari warna dan aromanya menunjukan karakteristik yang sama dengan ekstrak dari residu cair penyulingan (Tabel 3).

Bagian kulit menghasilkan rendemen lebih tinggi dibandingkan dengan kayu (teras dan gubal). Bagian kulit memiliki kandungan konstituen-konstituen lipofil dan hidrofil, khususnya bagian hidrofil dapat larut dalam air. Kandungan ekstraktif kulit lebih tinggi dibandingkan pada bagian kayu lainnya (Sjostrom 1998). Tanin mudah tereaksi dengan air panas, tetapi tanin sensitif terhadap suhu, waktu dan lokasi lingkungan (Fengel & Wegener 1995). Waktu penyulingan lebih lama dibandingkan perebusan, sehingga tanin lebih efektif terekstrak pada saat perebusan.

Tabel 3 Wujud fisik ekstrak residu penyulingan dan perebusan Surian

Bagian pohon Perlakuan Wujud fisik ekstrak

Kayu teras Suling (ST) merah kecoklatan, dapat dijadikan serbuk Rebus (RT) merah kecoklatan, dapat dijadikan serbuk Kayu gubal Suling (SG) merah kecoklatan, dapat dijadikan serbuk Rebus (RG) merah kecoklatan, dapat dijadikan serbuk Kulit kayu Suling (SK) merah kehitaman, lengket, menggumpal

Rebus (RK) merah kehitaman, lengket, menggumpal Daun Suling (SD) hijau kehitaman, mengental, beraroma

Rebus (RD) hijau kehitaman, mengental, beraroma

Proses penyulingan dan perebusan menghasilkan rendemen yang berbeda. Pada proses penyulingan zat ekstraktif yang terkandung dalam bagian pohon sudah larut dalam air, sehingga pada saat ampas penyulingan direbus, hanya sisa zat ekstraktif yang belum larut dalam air pada proses penyulingan saja yang larut dalam proses perebusan. Oleh sebab itu, rendemen perebusan lebih sedikit dibandingkan dengan penyulingan.


(35)

4.2Aktivitas Antioksidan

Aktivitas antioksidan ditunjukan oleh nilai inhibition concentration (IC50). Molyneux (2004) mendefinisikan IC50 sebagai konsentrasi senyawa antioksidan yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Menurut Chang et al. (2007), DPPH (difenilfisilhidrazil) adalah suatu radikal bebas yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang lebih stabil. Reaksi tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan warna ungu menjadi kuning yang dideteksi pada panjang gelombang 517 nm (Gambar 1). Molyneux (2004) menyatakan semakin kecil nilai IC50 semakin tinggi aktivitas antioksidan suatu bahan. Gambar 4 dan 5 menunjukan hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan DPPH. Semakin meningkat kadar ekstrak, maka persen penangkapan DPPH juga semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua ekstrak Surian memiliki aktivitas antioksidan.

Gambar 4 Hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan radikal DPPH.

Ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu ekstrak dari hasil residu penyulingan teras (ST), gubal (SG), dan daun (SD), sedangkan untuk ekstrak perebusan hanya bagian daun yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (RD) (Tabel 4).

y = 16,14ln(x) - 6,12 R² = 0,99 y = 5,48ln(x) + 40,47

R² = 0,65

y = 7,77ln(x) + 36,83 R² = 0,61

y = 16,28ln(x) + 21,09 R² = 0,76

y = 20,89ln(x) + 26,67 R² = 1

0 20 40 60 80 100 120

0 10 20 30 40 50 60

P e n a n g k a p a n D P P H ( % )

kadar ekstrak (μg/ml)


(36)

Gambar 5 Hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persen penangkapan radikal DPPH (ekstrak kurang aktif).

Nilai IC50 vitamin C (asam askorbat) dalam pengujian ini yaitu 3 g/ml. Asam askorbat dijadikan sebagai kontrol positif karena asam askorbat merupakan salah satu contoh antioksidan alami yang memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat (Mosquera et al. 2007). Walaupun aktivitas antioksidan keempat ekstrak Surian (ST, SD, SG, dan RD) lebih rendah dibandingkan dengan vitamin C, tetapi keempat ekstrak tersebut memiliki nilai IC50 jauh di bawah 200 g/ml, sehingga keempat ekstrak tersebut tergolong memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.

Tabel 4 Nilai IC50 residu penyulingan dan perebusan pohon Surian

Bagian Pohon Perlakuan ( g/ml)Vit C

Penyulingan1) Perebusan1)

Kayu Teras 5,91(DE) 7014723163,50(AB)

3

Kayu Gubal 32,36(CD) 285966,42(A)

Kulit 283,70(BC) 271072,55(AB)

Daun 5,70(E) 5,45(E)

1) huruf kapital yang berbeda pada kolom penyulingan dan perebusan menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% (hasil uji lanjut Duncan)

y = 2,17ln(x) + 0,83 R² = 0,54 y = 5,42ln(x) - 18,12

R² = 0,90 y = 4,59ln(x) - 7,36

R² = 0,77

y = 11,90ln(x) - 17,21 R² = 0,93

-20 -10 0 10 20 30 40 50 60

0 50 100 150 200 250

P e n a n g k a p a n D P P H ( % )

Kadar ekstrak (μg/ml)


(37)

Hasil analisis sidik ragam menunjukan terdapat interaksi antara perlakuan dan bagian pohon, sehingga interkasi kedua faktor tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai inhibisi yang dihasilkan (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Duncan menunjukan setiap ekstrak menghasilkan nilai inhibisi yang berbeda satu dengan yang lainnya, kecuali bagian daun. Perbedaan nilai inhibisi (aktivitas antioksidan) ekstrak dapat disebabkan oleh perbedaan jenis dan komposisi senyawa aktif yang bersifat antioksidan yang terkandung dalam tiap bagian pohon (Gao 2007). Selain itu, setiap zat ekstraktif memiliki sifat yang berbeda, ada yang tahan pada suhu tinggi dan ada yang rusak pada suhu tinggi. Pada proses penyulingan, zat ekstraktif yang terkandung dalam bagian pohon sudah larut dalam air, sehingga pada saat ampas penyulingan direbus, hanya sisa zat ekstraktif yang belum larut dalam air pada proses penyulingan saja yang larut dalam proses perebusan. Hal ini yang menyebabkan aktivitas antioksidan penyulingan lebih tinggi dibandingkan dengan perebusan, kecuali pada daun.

Penelitian Meenakshi et al. (2009) menunjukan adanya hubungan antara total flavonoid dan aktivitas antioksidan. Jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa flavonoid yang tinggi maka akan semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Berdasarkan hal tersebut, ada kemungkinan residu penyulingan dan perebusan ampas penyulingan pohon Surian mengandung senyawa flavonoid.

4.3Toksisitas Akut

Hasil yang diperoleh dari uji toksisitas akut yaitu nilai lethal dose (LD50) dari residu penyulingan dan perebusan pohon Surian. Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan setelah pencekokan ekstrak selama 7 hari juga diamati (Tabel 6). Hasil pengujian terhadap tingkat kematian mencit pada dua tingkatan dosis disajikan pada Tabel 5.

Pada kelompok kontrol (hanya dicekok aquades) tidak ditemukan kematian (mortalitas 0 %). Pada pengujian ekstrak RD pada dosis 2.000 mg/kg BB (Bobot badan) dan 5.000 mg/kg BB hanya menyebabkan 1 ekor mencit yang mati dan merupakan nilai mortalitas terkecil dibandingkan dengan ekstrak yang lain. Ekstrak yang memiliki nilai mortalitas terbesar yaitu ekstrak ST, pada dosis


(38)

2.000 mg/kg BB dan 5.000 mg/kg BB masing-masing terdapat 6 ekor dan 8 ekor mencit yang mati.

Data mortalitas yang dihasilkan selanjutnya dihitung dengan menggunakan metode Reed-Muench, sehingga dihasilkan nilai LD50 (Manggung 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai LD50, seperti keragaman individu, umur, berat badan, cara pemberian ekstrak, kesehatan hewan, suhu lingkungan dan kondisi perkandangan dibuat seragam, sehingga respon yang dihasilkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan (dosis). Semakin besar berat badan hewan, semakin banyak ekstrak yang diberikan.

Tabel 5 Nilai LD50 beberapa ekstrak pohon Surian hasil penyulingan dan perebusan

Ekstrak Kematian kumulatif (%) LD 50*)

(mg/kg BB) Kategori**)

2.000 mg/kg BB 5.000 mg/kg BB

RD 5,26 18,18 47752,00 Relatif tidak berbahaya

SD 18,75 53,85 4518,56 Sedikit toksik

ST 40,00 73,68 1999,86 Sedikit toksik

*) dihitung dengan metode Reed-Muench **) Kelas toksisitas menurut Omaye (2004)

Hasil perhitungan LD50 menunjukan ekstrak yang memiliki nilai LD50 terendah yaitu ST (1999,86), diikuti SD (4518,56), dan RD (47752), sehingga ST dan SD termasuk kategori sedikit toksik, sedangkan RD termasuk kategori relatif tidak berbahaya. Penggunaan ketiga ekstrak tersebut aman, jika menggunakan dosis di bawah LD50. Selama masa adaptasi, bobot badan mencit terus meningkat, yang disebabkan mencit masih dalam tahap pertumbuhan. Setelah pencekokan, bobot badan mencit ada yang naik, tetap, dan ada yang turun, sesuai dengan kondisi kesehatan tubuh mencit. Mencit yang diberi dosis di atas LD50, umumnya bobot badannya turun.

Setiap hewan coba yang digunakan akan memberikan reaksi yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi tersebut diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan (Balls et al. 1995). Perubahan tingkah laku yang ditunjukan oleh mencit disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa yang terdapat pada ekstrak. Perbedaan reaksi yang ditimbulkan dipengaruhi oleh laju


(39)

distribusi tiap-tiap organ tubuh yang berhubungan dengan aliran darah di organ tersebut. Perbedaan reaksi yang diperlihatkan oleh mencit dipengaruhi juga oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan (Lu & Kacew 2006).

Tabel 6 Gejala klinis pada mencit setelah pencekokan

Ekstrak Kelompok*) Gejala klinis

RD A Mati (1 ekor), aktif seperti biasa B Mati (1 ekor), aktif seperti biasa

SD A Kurang aktif, mati (3 ekor)

B Lemah, kurang aktif, mati (4 ekor)

ST

A Lemah, pasif, nafsu makan berkurang, badan kaku, mati (6 ekor)

B Gelisah, nafsu makan berkurang, pasif, warna mata pucat, badan kaku, jalan tak terkontrol, mati (8 ekor) *) A = Kelompok yang diberikan ekstrak dengan dosis 2.000 mg/kg BB B = Kelompok yang diberikan ekstrak dengan dosis 5.000 mg/kg BB

Pengujian LD50 bukan satu-satunya pengujian yang digunakan untuk menilai toksisitas suatu zat. Pengujian lain yang diperlukan adalah pengujian lanjutan untuk memperkuat analisa keracunan dan toksisitas suatu zat. Nilai toksisitas yang rendah dari residu penyulingan dan perebusan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemanfaatan residu sebagai bahan pewarna pangan dan antioksidan.

4.4Tingkat Kesukaan Masyarakat (Sifat Organoleptik) 4.4.1 Hedonik (Kesukaan)

Uji hedonik disebut juga uji kesukaan. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk pangan. Parameter tingkat kesukaan yang diuji meliputi warna, aroma, rasa dan secara keseluruhan. Nilai rata-rata hasil uji hedonik dapat dilihat pada Gambar 61).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran netral sampai disukai (4,12-6,12). Nilai rata-rata tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap warna ketiga ekstrak diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran disukai (6,12). Nilai rata-rata terendah tingkat kesukaan panelis terhadap warna ketiga ekstrak


(40)

diperoleh oleh rebus daun (RD) yang berada pada kisaran netral (4,12). Jenis ekstrak memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada warna (Lampiran 4). Hal ini disebabkan warna yang dihasilkan berbeda-beda. Warna ketiga ekstrak pada umumnya dapat diterima oleh panelis karena berada pada kisaran netral ke atas (di atas 3,50).

Gambar 6*) Nilai rata-rata uji hedonik

*) huruf kapital yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% (hasil uji lanjut Dunn)

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran netral sampai agak disukai (3,88-4,53). Nilai rata-rata tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma ketiga ekstrak diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran agak disukai (4,53). Nilai rata-rata terendah tingkat kesukaan panelis terhadap aroma ketiga ekstrak diperoleh oleh suling daun (SD) yang berada pada kisaran netral (3,88). Jenis ekstrak tidak memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada aroma (Lampiran 4). Hal ini disebabkan aroma yang dihasilkan hampir sama. Aroma ketiga ekstrak pada umumnya dapat diterima oleh panelis karena berada pada kisaran netral ke atas (di atas 3,50).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran netral sampai disukai (3,88-5,65). Nilai rata-rata tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa ketiga ekstrak diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran disukai (5,65). Nilai rata-rata terendah tingkat kesukaan panelis terhadap aroma ketiga ekstrak diperoleh

B

C

A

A A

A A B

A AB A B

A BC A A

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

Warna Rasa Arom a Keseluruhan


(41)

oleh suling daun (SD) yang berada pada kisaran netral (3,88). Jenis ekstrak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada rasa (Lampiran 4). Hal ini disebabkan rasa yang dihasilkan setiap ekstrak berbeda. Rasa ketiga ekstrak pada umumnya dapat diterima oleh panelis karena berada pada kisaran netral ke atas (di atas 3,50).

Tabel 7 Hasil uji kesukaan terhadap ketiga ekstrak pohon Surian

Keterangan : *) agar-agar tanpa penambahan ekstrak

Secara keseluruhan, hasil penilaian organoleptik menunjukan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran netral sampai disukai (4,29-5,76). Nilai rata-rata tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan ketiga ekstrak diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran disukai (5,76). Nilai rata-rata terendah tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan ketiga ekstrak diperoleh oleh suling daun (SD) yang berada pada kisaran netral (4,29). Jenis ekstrak memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada penilaian keseluruhan (Lampiran 4). Hal ini disebabkan warna dan aroma yang dihasilkan berbeda-beda. Secara keseluruhan ketiga ekstrak pada umumnya dapat diterima oleh panelis karena berada pada kisaran netral ke atas (di atas 3,50).

Hasil uji lanjut Dunn menunjukan warna, rasa dan secara keseluruhan antara SD dan RD tidak berbeda nyata sedangkan ST berbeda nyata dengan SD dan RD.

Sifat sensoris

Jenis sampel

ST SD RD Kontrol*)

Warna 6,12 (disukai) 4,65 (agak disukai) 4,12 (netral) 5,00 (agak disukai) Rasa 5,65 (disukai) 3,88 (netral) 4,71 (agak disukai) 5,35 (agak disukai) Aroma 4,53 (agak disukai) 3,88 (netral) 4,35 (netral) 4,94 (agak disukai) Keseluruhan 5,76 (disukai) 4,29 (netral) 4,53 (agak disukai) 5,35 (agak disukai)

Jumlah 22,06 16,71 17,71 20,65

Rerata 5,52 (disukai) 4,18 (netral) 4,43 (netral) 5,16 (agak disukai)


(42)

4.4.2 Mutu Hedonik

Mutu hedonik yang dianalisis meliputi warna, rasa, aroma dan tekstur produk. Nilai rata-rata mutu sampel menurut panelis terhadap warna produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran biasa sampai agak cerah (3,65-4,88). Nilai rata-rata tertinggi mutu warna ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran agak cerah (4,88). Nilai rata-rata terendah mutu warna ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh rebus daun (RD) yang berada pada kisaran biasa (3,65). Jenis ekstrak memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu warna (Lampiran 5). Hal ini disebabkan warna yang dihasilkan berbeda-beda. Warna dipengaruhi oleh kandungan pigmen alami yang terdapat di dalam ekstrak (Widha 2010).

Gambar 7*) Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik.

*) huruf kapital yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% (hasil uji lanjut Dunn)

Nilai rata-rata mutu sampel menurut panelis terhadap rasa produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran agak getir sampai tidak getir (4,53-5,94). Nilai rata-rata tertinggi mutu rasa ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran tidak getir (5,94). Nilai rata-rata terendah mutu rasa ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh rebus daun (RD) yang berada pada kisaran agak getir (4,53). Jenis ekstrak memberikan

B

B

BC

A AB

A

AB

A

A

B

A

A B

B

C

A

0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000

Warna Rasa Arom a Tekst ur


(43)

pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu rasa (Lampiran 5). Hal ini disebabkan rasa yang dihasilkan berbeda-beda.

Nilai rata-rata mutu sampel menurut panelis terhadap aroma produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran beraroma ekstrak sampai biasa (2,12-3,71). Nilai rata-rata tertinggi mutu aroma ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh ekstrak suling teras (ST) yang berada pada kisaran biasa (3,71). Nilai rata-rata terendah mutu rasa ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh suling daun (SD) yang berada pada kisaran beraroma ekstrak (2,12). Jenis ekstrak memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap mutu aroma (Lampiran 5). Hal ini disebabkan aroma yang dihasilkan berbeda-beda.

Nilai rata-rata mutu sampel menurut panelis terhadap tekstur produk yang diberikan ekstrak berada pada kisaran agak lembut sampai lembut (5,12-5,53). Nilai rata-rata tertinggi mutu tekstur ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh ekstrak suling daun (SD) yang berada pada kisaran lembut (5,53). Nilai rata-rata terendah mutu tekstur ketiga ekstrak menurut panelis diperoleh oleh rebus daun (RD) yang berada pada kisaran agak lembut (5,12). Jenis ekstrak tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu tekstur (Lampiran 5). Hal ini disebabkan tekstur yang dihasilkan hampir sama.

Tabel 8 Hasil uji mutu hedonik terhadap ketiga ekstrak pohon Surian

Keterangan : *) agar-agar tanpa penambahan ekstrak

Hasil uji lanjut Dunn menunjukan warna antara RD dan ST berbeda nyata sedangkan SD tidak berbeda nyata dengan RD dan ST. Warna ekstrak hasil penyulingan lebih nampak (kuat) dibandingkan perebusan. Pada ekstrak daun,

Sifat sensoris

Jenis sampel

ST SD RD Kontrol*)

Warna 4,88 (agak cerah) 4,12 (biasa) 3,65 (biasa) 5,00 (agak cerah) Rasa 5,94 (tidak getir) 5,06 (agak tidak getir)

4,53 (agak getir) 6,17 (tidak getir) Aroma 3,71 (biasa) 2,12 (beraroma ekstrak) 3,24

(agak beraroma ekstrak)

4,00 (Biasa) Tekstur 5,41 (agak lembut) 5,53 (lembut) 5,12 (agak lembut) 5,65 (lembut)

Jumlah 19,94 16,82 16,53 20,82


(44)

warna hijau dipengaruhi oleh klorofil. Komponen utama klorofil yaitu magnesium. Magnesium dapat terlepas karena pengaruh pengolahan, seperti pemanasan, atau penambahan asam, maupun aktivitas enzim sehingga klorofil berubah menjadi feofitin yang berwarna kecoklatan (Widha 2010).

Untuk aroma RD berbeda nyata dengan SD, sedangkan SD tidak berbeda nyata dengan ST dan RD. Aroma umumnya dipengaruhi kandungan minyak atsiri. Untuk rasa SD berbeda nyata dengan RD dan ST, sedangkan antara RD dan ST tidak berbeda nyata. Rasa merupakan perpaduan dari tanggap cicip dan bau (aroma). Rasa dipengaruhi oleh senyawa kimia, konsentrasi, suhu, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Widha 2010).

Hasil pengujian menunjukan bahwa produk yang disukai panelis adalah produk yang menggunakan ekstrak suling teras (ST), karena memiliki warna yang cerah dan disukai (merah), sedangkan produk yang menggunakan kedua ekstrak yang lain yaitu suling daun (SD) dan rebus daun (RD) mendapat penilaian netral karena kedua ekstrak tersebut menghasilkan warna yang kurang cerah. Warna adalah sifat yang paling menarik perhatian dan paling cepat memberi kesan produk tersebut disukai atau tidak (Soekarto 1988). Warna ekstrak SD lebih disukai dibandingkan dengan RD. Produk yang ditambahkan ekstrak ST tidak mengeluarkan aroma, sehingga rasa dan aromanya disukai oleh panelis, berbeda dengan ST, ekstrak RD dan SD mengeluarkan aroma daun. Ekstrak SD mengeluarkan aroma yang lebih tajam dibandingkan RD.

4.5Prospek Pengembangan Hasil

Hasil pengujian menunjukan ketiga jenis ekstrak yaitu ST, SD dan RD memiliki prospektif yang baik untuk dikembangkan dan diaplikasikan. Ketiga ekstrak memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing.

Tabel 9 Hasil pengujian ekstrak

Jenis Ekstrak

Hasil Pengujian Rendemen

(%)

Antioksidan (IC50)

Tokisisitas (LD50)

(mg/kg BB) Organoleptik

Suling Teras (ST) 1,74 5,91 1999,86 disukai (5,52)

Suling Daun (SD) 28,78 5,70 4518,56 netral (4,18)


(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar ekstrak, aktivitas antioksidan dan nilai toksisitas akut ekstrak yang diperoleh dari residu cair penyulingan maupun perebusan ampas penyulingan beragam menurut bagian pohon dan perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian ini, ekstrak yang memiliki nilai antioksidan sangat tinggi, yaitu RD (rebus daun, IC50 = 5,45 g/ml), SD (suling daun, IC50 = 5,70 g/ml), SG (suling gubal, IC50 = 32,36 g/ml) dan ST (suling teras IC50 = 5,91 g/ml). Rendemen masing-masing keempat ekstrak tersebut dari yang tertinggi sampai terendah yaitu SD (28,78 %), RD (10,18 %), SG (2,11 %) dan ST (1,74 %).

Nilai LD50 ketiga ekstrak dengan kandungan antioksidan yang sangat tinggi yaitu RD 47752 mg/kg BB, SD 4518,56 mg/kg BB dan ST 1999,86 mg/kg BB. Ekstrak ST lebih disukai oleh panelis dengan perolehan skor 5,52 (disukai), diikuti RD dengan skor 4,43 (netral) dan SD dengan skor 4,18 (netral). Hasil pengujian menunjukan ketiga jenis ekstrak yaitu ST, SD dan RD memiliki prospektif yang baik untuk dikembangkan dan diaplikasikan sebagai pewarna pangan alami yang bersifat antioksidan.

5.2 Saran

Perlu dilakukan uji toksisitas subkronik dan kronik untuk mengetahui dampak jangka panjang yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak dengan menggunakan hewan coba dari spesies yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu, perlu dilakukan pengujian stabilitas warna.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Agus K. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Tangerang: Agromedia Pustaka.

AktumsekA, ZenginG, Guler GO, Cakmak YS, DuranA. 2011. Screening for in vitro antioxidant properties and fatty acid profiles of five Centaurea L. species from Turkey flora. Food Chem Toxicol 49: 2914-2920.

Askar S. 2005. Uji Kimiawi dan Organoleptik sebagai Uji Mutu Yoghurt. Di dalam: Sugiarto, editor. Bogor: Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian, Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian, Cimanggu Bogor. Balai Penelitian Ternak: 108-113.

Balls M, James B. 1995. Animals and Alternatives in Toxicology. Cambridge: Great Britain at the University Press.

Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan : Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Casarett LJ, Doulls J. 1986. Toxicology. Toronto: Collier Macmillan Canada.

Cervellati R, Acqua DS, Loi CM, Innocenti G. 2008. Evaluation of in vitro antioxidant properties of some traditional Sardinian medicinal plants: Investigation of the high antioxidant capacity of Rubus ulmifolius. Food Chem. 106:745-749.

Chang H, Ho Y, Sheu M, Lin Y, Tseng M, Wu S, Huang G, Chang Y. 2007. Antioxidant and free radical scavenging activities of Phellinus merrillii extracts. Botanical Studies 48: 407-417.

Darmawan I. 2011. Bioaktivitas minyak atsiri pohon Surian (Toona sinensis Roemor) berdasarkan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Deman JM. 1997. Kimia Makanan. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Food Chemical.

Djuni P. 2002. Pewarna Kue Yang Alami. Suara Merdeka: 14 (kolom 6-8).

Donatus IA. 2001. Toksikologi Dasar. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Fengel D, Wegener G. 1995. Kimia Kayu, Ultrastruktur dan Reaksi-reaksi. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Gao H. 2007. Chemical analysis of extract from port-orford cedar. [tesis]. U.S: The school of Renewable Natural Resources, Louisiana State University.


(47)

Guenther E. 1988. Minyak Atsiri. Ketaren S, penerjemah. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi. Terjemahan dari: Essential Oil.

Harbone JB. 1987. Phytochemical Methods 2nd edition. New York: Chapman and Hall.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta: Balitbang Kehutanan

Hodgson E, Mailman RB, Chambers JE. 1999. Handbook of Toxicology. London: Macmillan Reference.

Hsheu YC, Chang WH, Chen CS, Liao JW, Huang CJ, Lu FJ, Chia YC, Hsu HK, Wu JJ, Yang HL. 2008. Antioxidant activities of Toona Sinensis leaves extracts using different antioxidant models. Food Chem Toxicol 46:105–114.

Imono AD. 2001. Toksikologi Dasar. Fakultas Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Kartika B. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan: PAU Pangan dan Gizi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Kintzios S, Papageorgiou K, Yiakoumettis L, Baricevic D, Kusar A. 2010. Evaluation of the antioxidants activities of four Slovene medicinal plant species by traditional and novel biosensory assays. J. Pharm Biomed Anal 53:773-776.

Leu SJ, Lin YP, Lin RD. 2006. Phenolic constituents of Malus doumeri var. formosana in the field of skin care. Biol and Pharm Bull 29 (4):740-745.

Loomis TA. 1996. Toksikologi Dasar. Donatus, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Pr. Terjemahan dari: Essentials of Toxicology.

Lu FC, Kacew S. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko. Nugroho, Penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Toxicology: Fundamentals, Target Organs, and Risk Assessment.

MacDougall DB. 2002. Colour in Food. New York: CRC Press.

Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA, Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan Bogor.

Manggung RES. 2008. Pengujian toksisitas akut lethal dose (LD50) ekstrak etanol buah belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada Mencit (Mus musculus albinus). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.


(48)

Meenakshi S, Gnanambigai DM, Mozhi ST, Arumugam M, Balasubramanian T. 2009. Total flavonoid and in vitro antioxidant activity of two seaweeds of rameshwaram Coast. Global J Pharmacol 3(2): 59-62.

Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. J Sci Technol 26(2): 211-219.

Mosquera OM, Correa YM, Buitrago DC, Nino J. 2007. Antioxidant activity of twenty five plants from Colombian biodiversity. Mem Inst Oswaldo Cruz 102(5): 631-634.

Omaye ST. 2004. Food and Nutritional Toxicology. New York: CRC Press. Organization of Economic Co-operation and Development (OECD). 2001. The

OECD Guideline for Testing of Chemical: Acute Oral Toxicity Up and Down Procedure. Paris: OECD Publishing.

Pandit IKN, Wibowo C. 2011. Jenis Kayu Primadona untuk Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

Pitozo S, Zumiati. 2009. Pewarna Nabati Makanan. Yogyakarta: Kanisius.

Pratama R. 2010. Potensi antioksidan dan toksisitas ekstrak daun Sanseviera cylindrical. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Purba SAA. 2003. Pembuatan bubuk pewarna makanan alami kayu Secang (Caesalpinia sappan Linn) dengan metode spray drying. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP. 2011. Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press.

Rahmawan AJ. 2011. Bioaktivitas ekstrak etanol Suren beureum (Toona sinensis Roemoer) terhadap larva udang Artemia salina Leach. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sangat HM, Zuhud EAM, Damayanti EK. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika). Jakarta: Pusaka Populer Obor.

Saparinto C, Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

Sari RK, Syafii WS, Achmadi SS, Hanafi M. 2011. Aktivitas antioksidan dan toksisitas ekstrak etanol Surian (Toona Sinensis). J Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 4(2): 45-51.

Shu XC. 2008. Toona (Endlicher) M. Roemer, Fam. Nat Syn Monog China 11: 112–115.


(49)

Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan. Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gajahmada Univ. Press. Terjemahan dari : Wood Chemistry, Fundamentals and Applications.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta:Bharata Karya Aksara.

Soleh. 2003. Identifikasi zat warna yang dilarang (Rhodamin B dan Methanyl Yellow) pada produk makanan dan minuman [skripsi]. Bandung: Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Pasundan.

Syafii W. 2008. Peningkatan efisiensi pemanfaatan hasil hutan melalui penerapan konsep "the whole tree utilization". Di dalam: Tridoyo K, editor. Pemikiran Guru Besar Institut Pertanian Bogor: perspektif ilmu-ilmu pertanian dalam pembangunan nasional. Bogor: Penebar Swadaya-IPB Press. hlm 187-191.

Thompson A, Cooper J, Ingram I. 2006. Distribution of terpenes in heartwood and sapwood of loblolly pine. Forest Prod J 56(7/8): 46-48.

Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization. New York: Van Nostrand.

Wang KJ, Yang CR, Zhang YJ. 2007. Phenolic antioxidants from Chinese toon (fresh young leaves and shoots of Toona sinensis). Food Chem 101:365– 371.

Weningtyas H. 2009. Efek pencampuran pigmen kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) dengan beberapa sumber antosianin terhadap kualitas warna merah dan sifat antioksidannya. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Widha GT. 2010 . Karakteristik organoleptik, sifat fisik, kandungan zat gizi dan aktivitas antioksidan minuman Pegangan (Centella asiatica L. Urban) instan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.


(50)

(51)

Lampiran 1 Bobot badan mencit

No. Mencit H-14 H-7 H-1 H +3 H +7 Ekstrak

1 36 36 36 39 39

2 29 29 29 34 36

3 34 34 34 35 39

4 33 31 31 34 36

5 25 34 36 36 36 Kontrol 6 26 33 34 40 41

9 28 30 32 41 42

11 24 24 26 28 29

31 17 18 26 27 29

32 19 22 25 28 29

12 18 21 29 26 28

13 16 30 26 26 27

14 23 21 21 X X

15 21 26 24 X X

16 16 21 31 X X ST 2000 17 23 24 23 23 26

18 19 17 23 X X

10 27 29 35 31 33

21 21 23 26 X X

22 22 16 26 X X

19 20 18 27 X X

20 17 21 22 26 26

23 26 25 25 X X

24 20 21 23 X X

25 16 22 25 X X ST 5000 26 20 27 31 X X

27 28 33 34 X X

28 16 16 18 X X

29 21 25 26 X X

30 20 27 26 31 33

7 31 29 35 40 42

8 30 28 34 33 34

33 26 31 30 33 34

34 15 18 22 16 14

35 22 16 25 29 32 RD 2000 36 17 20 24 31 34

37 17 26 26 X X

38 21 29 29 31 36

39 16 23 23 X X


(1)

Lampiran 5 Hasil analisis uji mutu hedonik

Kruskal-Wallis Test

Kruskal-Wallis Test

Descriptive Statistics

68 4.41 1.695 1 7

68 5.43 1.529 2 7

68 3.26 1.561 1 7

68 5.43 .997 3 7

68 2.50 1.126 1 4

Warna Rasa Aroma Overall Perlakuan

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Ranks 17 41.03 17 40.97 17 25.26 17 30.74 68 17 43.56 17 40.82 17 23.41 17 30.21 68 17 45.24 17 41.47 17 33.18 17 18.12 68 17 39.38 17 32.79 17 29.50 17 36.32 68 Perlakuan Kontrol ST RD SD Total Kontrol ST RD SD Total Kontrol ST RD SD Total Kontrol ST RD SD Total Warna Rasa Aroma Overall


(2)

UJI LANJUT Warna

Ekstrak Superscript N Mean Rank

RD A 17 25,26

SD AB 17 30,74 5,47

ST B 17 40,97 15,71 10,24

Kontrol B 17 41,03 15,76 10,29 0,06

4 68 9344

68 1,96

13,10

Test Statisticsa,b

8.242 12.714 19.722 2.935

3 3 3 3

.041 .005 .000 .402

Chi-Square df

Asymp. Sig.

W arna Rasa Aroma Overall

Kruskal W allis Test a.

Grouping Variable: Perlakuan b.

A

AB

B B

0 10 20 30 40 50


(3)

AROMA

Ekstrak Superscript N Mean

Rank

RD A 17 23,41

SD AB 17 30,21 6,79

ST BC 17 40,82 17,41 10,62

Kontrol C 17 43,56 20,15 13,35 2,74

4 68 13670

68 1,96

13,00

A

AB

BC C

0 10 20 30 40 50


(4)

RASA

Ekstrak Superscript N Mean

Rank

SD A 17 18,12

RD B 17 33,18 15,06

ST B 17 41,47 23,35 8,29

Kontrol B 17 45,24 27,12 12,06 3,76

4 68 20275

67 1,96

12,86

A

B

B B

0 10 20 30 40 50


(5)

SUMMARY

Desi Melianti1 and Rita Kartika Sari2

INTRODUCTION: The coloring substance abuse for food often happens. In

addition, the environment has been broken causes the formation of free radicals. Both of them can be very harmful to human health. Antioxidants have benefits in health, one of them is stabilizing free radicals. Many plant species can be as safety natural food colorants and has a pharmacological effect. The colour of wood Surian is red and the fill of porouse deposit brownish-red, so the substances of extractives Surian wood can be used as natural food colorants. In addition, the substances of extractives which cause color generally potential for source of antioxidants (containing anthocyanins). This research aims to examine the antioxidant activity, acute toxicity, and the level of public preferences for natural food colorants from substances of extractives distillation residue and boiling waste matter of distillation Surian tree.

MATERIALS AND METHOD: The materials used were the leaves, heartwood,

sapwood, and inner bark of Surian tree (Toona sinensis Roemor). The raw materials were destiled by steam and water method for 12 hours, the residue was dried using oven and waste matter is boiled with aquades, then boiling water dried using oven. The substance of extractive was measured, then antioxidant activity are tested (DPPH), testing acute toxicity (OECD 2001) and organoleptic test. Organoleptic test consisted of two tests, that was hedonic test and hedonic quality test.

RESULT AND DISCUSSION: Extracts which have very high antioxidant

activity was RD (boiled leaves, IC50 = 5,45 mg/ml), SD (distilled leaves, IC50 =

5,70 mg/ml), ST (distilled heartwood, IC50 = 5,91 mg/ml) and SG (distilled

sapwood, IC50 = 32,36 mg/ml). The yield of the four extracts from the highest to

the lowest was SD (28,78 %), RD (10,18 %), SG (2,11 %) and ST (1,74 %). LD50

value of three extracts with high antioxidant content was RD 47752 mg/kg, SD 4518,56 mg/kg, and ST 1999,86 mg/kg. ST extract is preferred by the panelists with the acquisition score 5,52 (preferred), followed by a score of 4,43 RD (neutral), and SD with a score of 4,18 (neutral). Test results showed that the distillation residue of Surian potential as natural food colorants and antioxidants.

Key words: Toona sinensis Roemor, antioxidants, acute toxicity, organoleptic.

1

Student of Forest Products Departement, Faculty of Forestry, IPB

2

Lecturer of Forest Products Departement, Faculty of Forestry, IPB DHH The Potential Substances of Extractive

Distillation Residue Surian Tree (Toona sinensis Roemor) as a Natural Food Colorants


(6)

RINGKASAN

DESI MELIANTI. E24080042. Potensi Zat Ekstraktif dari Residu Penyulingan

Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) sebagai Pewarna Pangan Alami dan Sumber Antioksidan.Dibawah bimbingan Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.

Penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan pangan seringkali terjadi. Selain itu, lingkungan yang mulai rusak menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Kedua hal tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Antioksidan memiliki manfaat yang luas dalam bidang kesehatan, salah satu diantaranya yaitu menstabilkan radikal bebas. Banyak jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai pewarna alami makanan yang aman dan memiliki efek farmakologis. Kayu Surian berwarna merah dan isi porinya berupa endapan merah kecoklatan, sehingga zat ekstraktif kayu Surian dapat dijadikan sebagai pewarna pangan alami. Selain itu, zat ekstraktif yang menimbulkan warna umumnya berpotensi menjadi sumber antioksidan (mengandung antosianin). Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antioksidan, toksisitas akut dan tingkat kesukaan masyarakat terhadap pewarna pangan alami dari zat ekstraktif residu hasil penyulingan dan perebusan ampas penyulingan pohon Surian.

Bahan yang digunakan adalah daun, kayu teras, kayu gubal dan kulit bagian dalam (inner bark) pohon Surian (Toona sinensis Roemor). Bahan baku disuling dengan metode uap dan air selama 12 jam, residu dikeringkan menggunakan oven dan ampasnya direbus menggunakan aquades, lalu air perebusan dikeringkan menggunakan oven. Kadar zat ekstraktif dihitung, kemudian ekstrak diuji aktivitas antioksidannya (DPPH), diuji toksisitas akut (OEDC 2001) dan uji organoleptik. Uji organoleptik terdiri dari uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik.

Ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan sangat tinggi yaitu RD (rebus daun, IC50 = 5,45 g/ml), SD (suling daun, IC50 = 5,67 g/ml), ST (suling teras

IC50 = 5,91 g/ml) dan SG (suling gubal, IC50 = 32,36 g/ml). Rendemen

masing-masing keempat ekstrak tersebut dari yang tertinggi sampai terendah yaitu SD (28,78 %), RD (10,18 %), SG (2,11 %) dan ST (1,74 %). Nilai LD50 ketiga

ekstrak dengan kandungan antioksidan yang sangat tinggi yaitu RD 47752 mg/kg BB, SD 4518,56 mg/kg BB dan ST 1999,86 mg/kg BB. Ekstrak ST lebih disukai oleh panelis dengan perolehan skor 5,52 (disukai), diikuti RD dengan skor 4,43 (netral), dan SD dengan skor 4,18 (netral). Hasil pengujian menunjukkan bahwa residu penyulingan Surian berpotensi sebagai pewarna pangan alami dan sumber antioksidan.