Perubahan Komposisi Kimia, Vitamin C, dan Mineral pada Pengukusan Genjer (Limnocharis Flava)

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tumbuhan air memiliki kemampuan reproduksi secara anakkan maupun tunas rimpang dengan kecepatan reproduksi yang tinggi sehingga tumbuhan air sering dianggap sebagai gulma. Salah satu jenis tumbuhan air adalah genjer (Limnocharis flava L. Buchenau). Genjer dianggap sebagai gulma air di sawah dan menghalangi saluran air untuk irigasi. Masyarakat setempat umumnya menggunakan genjer sebagai sumber makanan dan untuk meningkatkan ekonomi mereka (Tawan et al. 2007). Genjer merupakan tanaman yang biasa dikonsumsi masyarakat. Genjer tumbuh di rawa atau kolam berlumpur yang banyak airnya. Gejer berasal dari daerah tropis Amerika, tetapi dapat tumbuh liar di daerah panas lainnya. Selain daunnya, bunga genjer muda juga enak dijadikan masakan. Tumbuh-tumbuhan diketahui kaya dengan antioksidan misalnya vitamin C, beta karoten, vitamin E, dan flavonoid (Alfa 2003).

Sayuran berdaun telah dilaporkan memiliki peran penting dalam nutrisi manusia, terutama sebagai sumber vitamin (A, B, C, E), mineral, dan serat makanan (Almatsier 2004). Nilai gizi sayuran bervariasi sesuai dengan faktor lingkungan, perbedaan varietas, praktek budidaya, tahap pemanenan tanaman, metode penyimpanan, pengolahan, dan persiapan (Flyman dan Afolayan 2008). Salah satu sumber vitamin yang banyak terdapat pada sayuran hijau adalah vitamin C. Vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak karena mudah teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator serta oleh katalis tembaga dan besi. Oksidasi akan terhambat apabila vitamin C dibiarkan dalam kondisi asam atau suhu rendah (Winarno 2008).

Vitamin merupakan zat-zat organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil dan pada umumnya tidak dibentuk oleh tubuh sehingga harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur dan pemelihara kehidupan (Almatsier 2004). Sedangkan mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Wirakusumah 2007) .


(2)

Penelitian mengenai tumbuhan air khususnya genjer, baik kandungan gizi maupun pengaruhnya setelah proses pemasakan saat ini masih sedikit. Informasi ini diperlukan dalam bidang pendidikan sebagai sumber informasi ilmiah. Salah satu informasi penting yang perlu diketahui adalah jumlah vitamin dan mineral pada genjer baik sebelum maupun setelah proses pemasakan.

Genjer umumnya dikonsumsi masyarakat melalui proses pemasakan (pengukusan) dan penambahan bumbu. Pemasakan atau pengukusan bahan makanan akan mempengaruhi kelarutan nilai gizi bahan makanan tersebut, termasuk kandungan vitaminnya (Haris dan Karmas 1989). Dengan adanya informasi kandungan gizi genjer khususnya vitamin C dan kandungan mineral, baik pada genjer segar maupun setelah mengalami proses pemasakan (pengukusan), maka diharapkan pemanfaatan genjer ke depan sebagai bahan pangan akan lebih optimal.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi kimia (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan karbohidrat), vitamin C dan mineral pada genjer (L. flava) segar dan menentukan waktu pengukusan terbaik yang selama ini digunakan masyarakat.


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Genjer (L. flava)

Genjer di Indonesia ditemukan di Pulau Sumatra dan Jawa. Genjer di Jawa terdapat di dataran rendah bagian barat sampai dengan ketinggian ±1300 m di atas permukaan laut. Menurut Heyne (1987) genjer digunakan sebagai makanan ternak babi di Daerah Toba. Tanaman genjer juga dapat dimanfaatkan menjadi bahan makanan yaitu salah satu jenis sayuran. Daun-daun muda dan bunga majemuk yang belum mekar merupakan sayuran yang sering dijual pada pasar-pasar tradisional di Daerah Jawa Barat. Morfologi tanaman genjer disajikan pada Gambar 1. Klasifikasi tanaman genjer menurut Plantamor (2008) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu atau monokotil) Sub Kelas : Alismatidae

Ordo : Alismatales Famili : Limnocharitaceae Genus : Limnocharis

Spesies : L. flava (L.) Buch

Gambar 1 Tanaman genjer (L. flava)

Genjer (L. flava) merupakan tumbuhan rawa yang berakar dalam tanah, bergetah dan menghasilkan tanaman baru dengan membengkokkan tangkai


(4)

bunganya sehingga terbentuk akar pada ujungnya. Tanaman tersebut berumur lebih dari 1 tahun. Jenis sayur tersebut tumbuh luas merumpun, tinggi sekitar 30-80 cm. Daun berbentuk bulat telur, tebal berisi dengan tangkai daun yang panjang, berwarna hijau muda, bersisi tiga, sisi belakang ujung daun berpori air dengan tepi berwarna keunguan, dan panjang daunnya berkisar 7,5-27 cm (Heyne 1987).

Tanaman genjer merupakan tumbuhan yang hidup bertahun-tahun, tegak tanaman akuatik hingga rawa-terestrial, memiliki ketinggian 20 cm hingga 100 cm. Batang tanaman memiliki panjang 5-7,5 cm, tebal, berbentuk segitiga dengan banyak ruang udara, terdapat pelipis pada bagian dasar. Helaian daun bulat, luasan berbentuk bulat panjang atau bulat telur berukuran 5-30 cm x 4-25 cm, berwarna kuning-hijau, bergurat, 9-13 gurat utama dengan sejumlah gurat paralel melintang yang bertindak sebagai gurat sekunder (Bergh 1994).

Bunga berjumlah 3 hingga 15, panjang ibu tangkai bunga mencapai 90 cm, tegak, ketika berbunga, melengkung ketika berbuah, bunga di dalam axil dari tanaman berselaput. Kelopak bunga berjumlah 3 dengan panjang 2 cm, mahkota berjumlah 3 dengan bentuk bulat telur hingga bulat dan panjang 1,5-3 cm, tertutup oleh kelopak. Biji berbentuk seperti sepatu kuda dengan panjang 1-1,5 mm, dilengkapi dengan mahkota yang melintang, berwarna coklat gelap. Kotiledon memiliki panjang 8-11,5 mm (Bergh 1994).

Tanaman genjer dapat bereproduksi secara vegetatif maupun dengan biji. Biji yang tekandung dalam kapsul matang atau tolikel merupakan biji yang ringan dan dapat disebarkan oleh aliran air. Reproduksi secara vegetatif yakni, kapsul yang menekuk ke arah air, menyediakan biji-bijian untuk dilepas. Kapsul yang kosong dapat berkembang menjadi tanaman vegetatif yang membentuk tanaman inang atau mengapung untuk menetap di tempat lain. Tanaman ini selalu berbunga sepanjang tahun di wilayah dengan kelembaban yang cukup. Namun tanaman ini dapat menjadi tanaman tahunan dimana kelembaban bersifat musiman (Departement of Primary Industries and Fisheries 2007).

Menurut Wardana (2012), batang genjer tersusun atas satu lapis jaringan epidermis yang terletak pada bagian luar. Epidermis pada batang genjer bersifat sebagai pelindung dengan bentuk yang tidak beraturan. Bagian dalam dari


(5)

epidermis terdapat korteks yang tersusun tidak beraturan. Jaringan korteks terletak di bagian dalam epidermis yang tersusun dari beberapa lapis sel berkloroplas serta jaringan pembuluh pengangkut yang tersebar. Jaringan korteks ke arah tengah daun berkembang dan membentuk ruang antar sel yang besar sebagai tempat untuk pertukaran dan penyimpanan udara.

Daun tanaman genjer tersusun atas jaringan epidermis, jaringan dasar (mesofil), jaringan pengangkut, dan jaringan penguat. Permukaan atas dan bawah daun genjer dilapisi oleh jaringan epidermis. Sel penyusun epidermis tanaman genjer memiliki bentuk tidak beraturan dan memanjang serta tersusun dengan rapat. Permukaan epidermis sering dilapisi oleh kutikula atau rambut halus (pilus), untuk melindungi daun dari serangan pemangsa, spora jamur atau tetesan air hujan (Wardana 2012).

2.2 Kandungan Gizi pada Sayuran

Sayuran merupakan salah satu jenis pangan yang mengandung berbagai zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas. Zat gizi tersebut adalah karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. Vitamin dan mineral merupakan zat gizi utama yang terkandung dalam sayuran dan buah, sedangkan zat gizi lainnya umumnya terdapat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (Wirakusumah 2007). Zat-zat gizi menyediakan kebutuhan sel-sel tubuh yang beraneka ragam. Sel memerlukan energi, bahan-bahan pembangunan dan bahan-bahan untuk memperbaiki bagian yang rusak menggunakan zat-zat gizi (Muchtadi 2001). Kandungan gizi beberapa jenis sayuran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi beberapa jenis sayuran Sayuran Kadar Air

(%)

Protein (%)

Lemak (%)

Karbohidrat (%)

Serat (%)

Bayam 86,9 3,5 0,5 6,5 0,9

Kangkung 89,7 3,0 0,3 5,4 2,0

Daun singkong 77,2 6,8 1,2 13,0 2,4

Daun pepaya 75,4 8,0 2,0 11,9 2,1

Selada 94,8 1,2 0,2 2,9 0,8


(6)

2.2.1 Protein

Protein adalah molekul makro yang memiliki berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta dalton. Protein tersusun dari satuan-satuan dasar kimia yaitu asam amino yang terdiri dari unsur-unsur organik yaitu karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Beberapa asam amino mengandung unsur-unsur mineral diantaranya fosfor, besi, iodium, dan kobalt (Almatsier 2004). Protein berfungsi sebagai bahan dasar pembentuk sel-sel dan jaringan tubuh. Protein juga berperan dalam proses pertumbuhan, pemeliharaan, dan perbaikan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan. Sayuran yang mengandung protein tinggi biasanya berasal

dari biji-bijian, seperti kacang panjang, buncis, dan kecambah (Wirakusumah 2007).

Kandungan protein pada bahan pangan dapat dianalisis menggunakan uji berdasarkan kandungan nitrogen (metode Kjeldahl). Metode ini pada prinsipnya adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk membentuk karbondioksida dan air serta pelepasan nitrogen dalam bentuk amonia. Jumlah gram protein dalam bahan pangan (makanan) biasanya dihitung dalam hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan 6,25. Konstanta ini diperoleh dari asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen dan 100/16 = 6,25 (Muchtadi 2001). 2.2.2 Lemak

Lemak merupakan persenyawaan yang terbentuk dari asam lemak dan gliserol, tersusun oleh unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). Lemak mempunyai sifat dapat larut dalam pelarut organik seperti petrolium benzene, eter, dan sebagainya, tetapi tidak larut dalam air. Bentuk lemak ada dua yaitu lemak (fat) yang berupa padatan pada suhu kamar misalnya lemak hewan dan minyak (oil) yang berbentuk cairan dalam suhu kamar misalnya minyak jagung, minyak kedelai, minyak kelapa sawit dan minyak zaitun. Secara umum formulasi kimia suatu asam lemak adalah CH3(CH2)nCOOH (Muchtadi 2001).

Kandungan lemak pada buah dan sayuran umumnya sedikit, lemak yang terkandung dalam pangan nabati biasanya berupa asam lemak tidak jenuh (Wirakusumah 2007).

Lemak secara umum memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah penghasil energi, pembangun atau pembentuk struktur tubuh, penghasil asam


(7)

lemak essensial yang penting bagi tubuh, pembawa vitamin larut lemak, pelumas diantara persendian, membantu pengeluaran sisa makanan serta pemberi kepuasan cita rasa dan agen pengemulsi (Suhardjo dan Kusharto 1988). Lemak yang terdapat pada bahan pangan nabati umumnya berupa asam lemak tidak jenuh. Fungsi dari asam lemak tak jenuh yaitu sebagai komponen dari sel-sel saraf, membran selular, dan senyawa yang menyerupai hormon. Asam lemak tidak jenuh juga berfungsi sebagai proteksi dan terapi untuk penyakit jantung serta kanker (Wirakusumah 2007).

2.2.3 Serat

Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan. Serat secara alami terdapat dalam tanaman. Serat terdiri dari berbagai substansi yang kebanyakan diantaranya adalah karbohidrat kompleks. Serat makanan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu serat larut (soluble fiber) dan serat tidak larut (insoluble fiber). Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak. Serat yang larut di dalam air antara lain terdiri atas pektin, getah tanaman, dan beberapa hemiselulosa. Contoh serat tidak larut adalah lignin dan selulosa (Hermaningsih 2008).

Kandungan serat kasar dalam bahan pangan dapat dihitung setelah sampel kering didestruksi dengan H2SO4 dan NaOH. Kandungan serat kasar dapat

diketahui setelah beberapa kandungan utama seperti protein, lemak, karbohidrat, dan pati dihilangkan (AOAC 2005). Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu serat tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air. Sifat kelarutan ini sangat menentukan pengaruh fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi. Selulosa, hemiselulosa dan lignin tergolong serat tidak larut air. Selulosa merupakan serat-serat panjang yang terbentuk dari homopolimer glukosa rantai linier. Rantai molekul pembentuk selulosa akan semakin panjang seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Di dalam tanaman, selulosa berfungsi memperkuat dinding sel. Hemiselulosa mempunyai rantai molekul lebih pendek dibanding selulosa. Unit ini terdiri dari heksosa dan pentosa. Hemiselulosa berfungsi sebagai penguat dinding sel dan cadangan makanan bagi tanaman. Lignin termasuk senyawa


(8)

aromatik yang tersusun dari polimer fenil propan. Lignin bersama-sama dengan holoselulosa (gabungan selulosa dan hemiselulosa) berfungsi membentuk jaringan tanaman (Soelistijani 2005).

2.3 Vitamin

Vitamin adalah komponen tambahan makanan yang berperan sangat penting dalam gizi manusia, banyak vitamin tidak stabil pada kondisi pemrosesan tertentu dan penyimpanan, karena itu kandungan vitamin dalam makanan yang diproses dapat sangat menurun bahkan hilang. Vitamin merupakan zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil. Vitamin berperan sebagai zat pengatur yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu vitamin larut dalam lemak ( vitamin A, D, E, dan K) dan vitamin larut dalam air (B1, B2, B3, B4, B5, B6, B12, asam folat, biotin, dan vitamin C) (Wirakusumah 2007). Kandungan vitamin pada berbagai golongan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan vitamin pada beberapa golongan makanan

Golongan makanan Vitamin A (retinol) (%) Vitamin B1 (Tiamin) (%) Vitamin B2 (Riboflavin) (%) Vitamin B3 (Niasin) (%) Vitamin C (%)

Daging unggas, ikan 22,9 29,4 24,6 46 1,1

Telur 6,8 2,5 5,9 0,1 0

Produk susu 11,8 9,9 43,1 1,7 4,7

Lemak dan minyak 8,6 0 0 0 0

Buah 7,3 4,3 2 2,5 35

Kentang 5,7 6,7 1,9 7,6 20,9

Sayur 36,4 8 5,6 6,8 38,3

Kacang dan polong - 5,5 1,8 7 -

Tepung (produk serealia)

0,4 33,6 14,2 22,7 0

Gula dan pemanis 0 0,1 - 0

Sumber: deMan (1989)

Vitamin berfungsi sebagai bagian dari koenzim, tanpa vitamin enzim tersebut tidak efektif sebagai biokatalis. Koenzim adalah bentuk vitamin yang difosforilasi dan berperan dalam metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat. Vitamin terdapat dalam makanan sebagai provitamin atau senyawa yang bukan


(9)

vitamin. Provitamin adalah senyawa yang tidak termasuk vitamin tetapi dapat diubah menjadi vitamin. Beta karoten dapat diubah menjadi vitamin A pada dinding usus, 7-dehidrokolesterol dapat diubah menjadi vitamin D3 oleh sinar ultraviolet. Iradiasi pada tanaman dapat mengubah ergosterol menjadi vitamin D2. Asam amino triptofan bisa diubah menjadi niasin (60 mg triptofan menghasilkan 1 mg niasin) (Nasoetion 1987).

Kekurangan vitamin telah lama dikenal mengakibatkan penyakit defisiensi yang serius. Kelebihan dosis vitamin tertentu, terutama vitamin yang larut dalam lemak, dapat mengakibatkan keracunan yang serius, karena alasan ini penambahan vitamin ke dalam makanan harus dikendalikan secara hati-hati (deMan 1989). Vitamin walaupun sifatnya mikro namun memiliki peran yang penting. Untuk menguji kandungan vitamin dalam bahan pangan dapat digunakan metode kromatografi (Huyghebaert et al 2003).

2.3.1 Vitamin C

Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, tetapi amat berguna bagi manusia. Struktur kimianya terdiri dari 6 rantai atom C (C6H8O6), karena mudah bereaksi

dengan O2 di udara menjadi asam dehidroaskorbat. Vitamin ini merupakan fresh food vitamin karena sumber utamanya adalah buah-buahan dan sayuran segar. Sumber-sumbernya diantaranya adalah jeruk, brokoli, brussel sprout, kubis, lobak dan stroberi (Kamiensky dan Keogh 2006).

Vitamin C diproduksi oleh tumbuhan dalam jumlah yang besar. Fungsi vitamin C bagi tumbuhan adalah sebagai agen antioksidan yang dapat menetralkan singlet oksigen yang sangat reaktif, berperan dalam pertumbuhan sel,

berfungsi seperti hormon, dan ikut berperan dalam proses fotosintesis (Davey 2006). Vitamin C hanya dapat dibentuk oleh tumbuhan dan terdapat pada

sayuran serta buah-buahan dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan karena tumbuhan memiliki enzim mikrosomal L-gulonolakton oksidase, sebagai komponen dalam pembentukan asam askorbat (Nasoetion & Karyadi 1987 dan Padayatty et al. 2003).

Vitamin C pada tumbuhan merupakan metabolit sekunder. Vitamin ini dapat ditemukan pada buah citrus, tomat, sayuran berwarna hijau, dan kentang.


(10)

Vitamin C digunakan dalam metabolisme karbohidrat dan sintesis protein, lipid, dan kolagen. Vitamin C juga dibutuhkan oleh endotel kapiler dan perbaikan jaringan. Vitamin C bermanfaat dalam absorpsi zat besi dan metabolisme asam folat. Tidak seperti vitamin yang larut lemak, vitamin C tidak disimpan dalam tubuh dan diekskresikan di urin (Kamiensky dan Keogh 2006).

Kebutuhan vitamin C berdasarkan U.S. RDA antara lain untuk pria dan wanita sebanyak 60 mg/hari, bayi sebanyak 35 mg/hari, ibu hamil sebanyak 70 mg/hari, dan ibu menyusui sebanyak 95 mg/hari. Kebutuhan vitamin C meningkat 300-500% pada penyakit infeksi, TB, tukak peptik, penyakit neoplasma, pasca

bedah atau trauma, hipertiroid, kehamilan, dan laktasi (Kamiensky dan Keogh 2006).

2.3.2 Beta karoten

Beta karoten merupakan karotenoid, salah satu pigmen tanaman yang dikenal memiliki antioksidan. Zat ini cepat dikonversi menjadi vitamin A oleh tubuh. Menurut Andarwulan dan Koswara (1992), perbedaan antara satu provitamin A dengan yang lainnya terletak pada struktur cincin yang terdapat dikedua sisi rantai alifatik. Beta karoten mempunyai dua struktur cincin -ionon, α-karoten mempunyai satu struktur cincin -ionon dan sisi lainnya terdapat struktur cincin α-ionon (ikatan rangkap pada posisi 4 dan 5), -karoten pada satu sisi mempunyai struktur cincin -ionon sedangkan pada sisi lainnya tidak mempunyai struktur cincin, tetapi memiliki jumlah atom karbon yang sama dengan provitamin A lainnya.

Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten ini disebut provitamin A. Beta karoten bermanfaat untuk penanggulangan kebutaan karena xerophtalmia, rabun senja, konjungtivitis (radang kelopak mata), retinopati, katarak dan penurunan fungsi bagian dari retina yang terletak di bagian belakang mata. Selain itu juga dapat mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker ataupun membantu menekan kanker terutama kanker saluran pernapasan prostat, dan pankreas. Beta karoten juga dapat membantu mengatasi masalah yang sering diderita oleh wanita seperti menstruasi yang tidak normal, abnormal pap smear, premenstrual syndrom, vaginitis, dan infeksi saluran kencing(Pitojo 2006).


(11)

2.3.3 High performance liquid chromatography (HPLC)

High performance liquid chromatography (HPLC) adalah metode kromatografi yang dikembangkan menggunakan cairan sebagai fase gerak baik cairan polar maupun non polar, dan bekerja pada tekanan tinggi (Adnan 1997). Dalam kromatografi partisi cair baik fase stasioner maupun fase mobile berupa cairan. Pelarut yang digunakan harus tidak dapat bercampur. Perlarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner, oleh karena itu sistem ini dinamakan kromatografi fase normal (normal phase chromatography). Bila fase stasioner yang dipakai senyawa non polar, sedangkan fase mobilnya polar atau terbalik dengan sistem fase normal maka sistemnya disebut kromatografi fase balik (reverse phase chromatography). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC antara lain (1) reservoir zat pelarut untuk fase gerak; (2) pompa; (3) injektor; (4) kolom; (5) detektor dan (6) rekorder (Adnan 1997).

Komposisi vitamin dapat ditentukan menggunakan HPLC (Robinson 1995). Penggunaan HPLC yang digabungkan dengan detektor

flourimetrik memungkinkan berfungsi sebagai metode khusus dan sensitif yang dapat dikembangkan untuk penentuan beberapa vitamin dalam bahan makanan, diantara banyak metode yang dianjurkan, vitamin merupakan yang paling sering diuji dalam bentuk bebas, meliputi hidrolisis dari bentuk fosforilase (Ndaw et al.

2000).

2.4 Mineral

Mineral yang banyak terdapat pada sayuran adalah zat besi, seng, mangan, kalsium, dan fosfor. Mineral tersebut memiliki nilai kegunaan yang berbeda-beda pada manusia (Huyghebaert et al. 2003). Mineral memegang peranan penting dalam memelihara fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral juga berperan sebagai katalis dan kofaktor aktivitas berbagai enzim dalam setiap tahap metabolisme. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah besar (lebih dari 100 mg/hari), sedangkan mineral mikro dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil (kurang dari 15 mg/hari) (Wirakusumah 1997).


(12)

Penggolongan mineral terdiri dari mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg/hari yaitu natrium, klorida, kalsium, fosfor, magnesium dan belerang Mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan kurang dari 100 mg/hari antara lain besi, iodium, mangan, dan seng. Jumlah mineral mikro di dalam tubuh kurang dari 15 mg. Hingga saat ini dikenal sebanyak 24 mineral yang dianggap esensial (Almatsier 2004).

2.4.1 Mineral makro

Unsur mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh manusia yang terdapat dalam jumlah besar. Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg/hari. Kelompok mineral makro terdiri dari kalium, kalsium, magnesium, natrium, sulfur, klor dan fosfor (Winarno 2008). Unsur mineral makro yang dibutuhkan oleh tubuh adalah:

a. Kalsium (Ca)

Kalsium merupakan unsur terbanyak di dalam tubuh manusia. Tubuh orang dewasa memiliki kalsium sebanyak 1,0-1,4 kg atau sekitar 2% dari berat badan. Kalsium terkonsentrasi pada tulang rawan dan gigi, sisanya terdapat dalam cairan tubuh dan jaringan lunak (Winarno 2008). Peranan kalsium adalah untuk pembentukan tulang dan pemeliharaan jaringan tulang, namun ion kalsium terdistribusi secara luas dalam jaringan lunak. Fungsi lain dari kalsium meliputi kontraksi otot, proses pembekuan darah, transmisi saraf, pemeliharaan keutuhan membran sel dan aktivasi beberapa enzim penting (Halver 1989).

Kalsium dalam tubuh juga berfungsi mengukur proses biologis yang terjadi. Keperluan kalsium terbesar terjadi pada waktu pertumbuhan, tetapi kebutuhan kalsium juga masih diteruskan meskipun sudah mencapai usia dewasa. Pada proses pembentukan tulang, tulang baru akan dibentuk bersamaan dengan dihancurkannya tulang yang tua secara simultan (Williams 2005). Angka kecukupan gizi rata-rata mineral kalsium bagi bayi usia 0-12 bulan adalah sebesar 200-400 mg/hari, anak-anak usia 1-9 tahun sebesar 500-600 mg/hari, laki-laki dan wanita usia 18-19 tahun sebesar 500-600 mg/hari dan usia 19-65 tahun sebesar 800 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Kekurangan kalsium dapat mengakibatkan rakhitis, merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya


(13)

gangguan kalsifikasi pada tulang. Apabila kadar kalsium dalam darah menurun, maka keseimbangan diperoleh dengan mengambil cadangan dari tulang-tulang dan gigi. Keadaan ini menyebabkan keropos tulang (osteoporosis) dan gigi geligi tanggal (Nasoetion et al. 1994).

b. Kalium (K)

Kalium merupakan kation utama dalam sebagian besar sel (cairan intraseluler) dan otot (Harjono et al. 1996). Kalium berperan dalam pengaturan kandungan cairan sel. Kalium bersama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa. Kalium juga membantu dalam mengaktivasi reaksi enzim yaitu piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat (Winarno 2008). Kalium juga berperan dalam pengaturan fungsi otot. Kalium yang dikonsumsi dalam jumlah besar akan menurunkan tekanan darah, sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi (Okuzumi dan Fujii 2000).

Angka kecukupan gizi kalium pada orang dewasa adalah sebesar 2.000 mg/hari. Kekurangan kalium pada manusia akan mengakibatkan lemah, lesu, kehilangan nafsu makan dan kelumpuhan, sedangkan kelebihan akan menyebabkan gagal jantung yang berakibat kematian serta gangguan fungsi ginjal (Almatsier 2004).

c.Natrium (Na)

Natrium merupakan bagian terbesar dari cairan ekstraseluler, natrium dan klorida berfungsi membantu mempertahankan tekanan osmotik dan menjaga keseimbangan asam basa (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi rata-rata natrium orang dewasa adalah sebesar 500-2400 mg/hari. Kekurangan natrium disebabkan oleh berkurangnya cairan ekstraseluler sehingga tekanan osmotik dalam tubuh menurun. Natrium dalam jumlah banyak akan menyebabkan orang muntah-muntah atau diare, kejang dan kehilangan nafsu makan. Pada saat kadar natrium dalam darah turun, maka perlu diberikan natrium dan air untuk mengembalikan keseimbangan (Almatsier 2004). Kelebihan kadar natrium akan menyebabkan hipertensi yang banyak ditemukan pada masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar seperti pada masyarakat Asia. Hal ini


(14)

disebabkan oleh pola konsumsi dengan kandungan natrium yang tinggi yaitu 7,6-8,2 g/hari (Winarno 2008).

2.4.2 Mineral mikro

Mineral mikro merupakan mineral yang terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat dalam sistem biologis. Kebutuhan tubuh akan mineral mikro kurang dari 100 mg sehari. Mineral mikro terdiri atas besi, iodium, seng, mangan, kobalt, fluorin dan tembaga (Winarno 2008). Mineral mikro memegang peranan penting untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan dan reproduksi (Muchtadi et al. 2001).

a. Besi (Fe)

Besi memiliki fungsi untuk transportasi oksigen ke jaringan (hemoglobin) dan dalam mekanisme oksidasi seluler. Penipisan cadangan besi dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi (Harjono et al. 1996). Absorpsi besi merupakan proses yang kompleks. Banyaknya besi yang diserap sangat bergantung pada kebutuhan tubuh akan besi . Zat besi dapat diabsorpsi oleh tubuh dalam kondisi normal sekitar 15% dari makanan yang dikonsumsi, sedangkan pada kondisi kekurangan zat besi tubuh dapat mengarbsorpsi sampai dengan 35% (Winarno 2008).

Angka kecukupan gizi rata-rata besi bayi 0-12 bulan adalah 0,5-7 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 8-10 mg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun

sebesar 13-19 mg/hari serta usia 19-65 tahun sebesar 13-26 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Kekurangan besi dapat

menyebabkan anemia, pertumbuhan terganggu dan kehilangan nafsu makan. Kekurangan besi banyak dialami bayi di bawah usia 2 tahun serta para ibu yang sedang mengandung dan menyusui (Winarno 2008).

b. Seng (Zn)

Seng memiliki peranan dalam sintesis protein serta pembelahan sel. Seng diperlukan dalam jumlah sangat kecil dalam tubuh dan membentuk bagian yang esensial dari banyak enzim (misalnya karbonat anhidrase yang penting dalam metabolisme karbondioksida). Defisiensi seng sering dihubungkan dengan anemia, tubuh pendek, penyembuhan luka terganggu dan geofagia (Harjono et al. 1996). Angka kecukupan gizi rata-rata seng bagi bayi umur 0-12


(15)

bulan adalah sebesar 1,3-7,5 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 8,2-11,2 mg/hari, laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 12,6-17,4 mg/hari serta usia 19-65 tahun ke atas sebesar 9,3-13,4 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat menyebabkan terjadinya diare, gangguan pertumbuhan, gangguan kematangan seksual, gangguan sistem saraf, sistem otak dan gangguan pada fungsi kekebalan (Almatsier 2004).

2.4.3 Atomic absorption spectrophotometer (AAS)

Atomic absorption spectrophotometer atau spektroskopi serapan atom merupakan suatu metode yang digunakan untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid (Chasteen 2007). Analisis unsur dengan panjang gelombang pada daerah sinar tampak seperti Ca, K, Na, Mg, P dan sebagainya dapat dilakukan dengan cara spektroskopi serapan atom dan spektroskopi emisi nyala. Spektroskopi serapan atom mengukur radiasi yang diserap oleh atom-atom yang tidak tereksitasi sedangkan pada spektroskopi emisi nyala yang diukur adalah radiasi yang dipancarkan dengan panjang gelombang tertentu oleh atom-atom yang tereksitasi (Nur 1989).

Prinsip pemeriksaan spektrofotometer serapan atom yaitu molekul sampel diubah menjadi atom-atom bebas dengan bantuan nyala atau flame. Atom-atom akan mengabsorbsi cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang dari atom tersebut dan intensitas cahaya yang diserap sebanding dengan panjang gelombang dari atom tersebut serta intensitas cahaya yang diserap sebanding dengan banyaknya cahaya. Waktu pengujian dengan instrumen AAS lebih cepat dibandingkan dengan metode pengujian gravimetri dan titrimetri, karena preparasi sampel lebih cepat, yakni disediakan dalam larutan kemudian dimasukkan untuk dibakar (Chasteen 2007).

2.5 Pengukusan

Pengukusan merupakan proses pemanasan dengan suhu air 66-82 oC. Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan. Pengolahan panas juga


(16)

mempunyai pengaruh yang merugikan pada zat gizi, karena degradasi panas dapat terjadi pada zat gizi (Harris dan Karmas 1989).

Pengolahan yang biasa dilakukan terhadap sayuran seperti semanggi sebelum dikonsumsi adalah pengukusan. Pengukusan termasuk perlakuan pemasakan menggunakan panas basah untuk mendapatkan hasil yang diinginkan

yaitu aman, bergizi dan dapat diterima secara sensori maupun kimia (Harris dan Karmas 1989). Pengukusan secara nyata dapat menurunkan kadar zat

gizi makanan yang besarnya bergantung pada cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi di antara berbagai cara pengukusan terutama terjadi akibat degradasi oksidatif (Harris dan Karmas 1989).

Alat yang digunakan untuk proses pengukusan berupa dandang yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian bawah untuk air pengukus dan bagian berlubang di atasnya untuk tempat sayuran. Sebelum sayuran dimasukkan sebaiknya air dididihkan terlebih dahulu, setelah itu baru sayuran dimasukkan. Untuk sayuran berwarna hijau sebaiknya dandang jangan ditutup terlalu rapat. Metode pengukusan memberikan beberapa keuntungan yaitu kandungan gizi tidak banyak berkurang, rasa sayur lebih enak, renyah, dan harum, serta kemungkinan sayur menjadi hangus hampir tidak ada (Novary 1999).


(17)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Mei 2012. Preparasi bahan baku dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Industri Hasil Perairan dan Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis proksimat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral di Laboratorium Pengujian Nutrisi Pakan Fakultas Peternakan dan analisis kadar vitamin dilakukan di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah genjer (L. flava). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat meliputi

akuades; kjeltab jenis selenium; larutan H2SO4 pekat, asam borat (H3BO3) 2%

yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl red (1:2)berwarna merah muda; larutan HCl 0,1 N; pelarut lemak (n-heksana); larutan HCl 10%; dan larutan AgNO3 0,10 N. Analisis serat kasar menggunakan H2SO4 1,25%; NaOH

1,25%; dan alkohol. Bahan yang digunakan untuk analisis vitamin C adalah asam metafosfat 0,3 M dan asam asetat 1,4 M. Analisis beta karoten menggunakan bahan-bahan yaitu KOH dalam metanol 5%; hekasana aseton; akuades; gas N2

dan Na2SO4; dan Fenolftalein 1%. Bahan yang digunakan untuk analisis mineral

adalah HNO3; HClO4; H2SO4; dan HCl.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian meliputi: cawan, oven, desikator, tanur, labu kjeldahl, erlenmeyer, dan alat ekstraksi soxhlet untuk analisis proksimat. Pengujian vitamin menggunakan tabung reaksi, becker glass, mortar, erlenmeyer, HPLC Shimadzu LC 9A dan labu ukur. Analisis mineral menggunakan AAS (Atomic absorption spectrophotometer), hot plate, labu takar 100 ml, glass wool.


(18)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan sampel, preparasi bagian sampel yang dapat dimakan, pengukusan, analisis kimia tanaman genjer berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut asam), serat, analisis kandungan vitamin C, beta-karoten, dan analisis kandungan mineral. Diagram alir metode penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir metode penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel genjer diambil dari Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga - Bogor. Tanaman genjer yang digunakan dalam penelitian berumur kira-kira satu bulan. Tanaman genjer ini tumbuh di daerah sekitar persawahan. Sampel tanaman genjer yang diambil untuk pengukuran morfometrik tanaman adalah sebanyak 30 sampel yang diharapkan dapat mewakili seluruh sampel yang digunakan dalam penelitian ini.Tanaman genjer yang tumbuh di tepi sawah dengan cara diambil dengan media tumbuhnya yaitu tanah dan sedikit air lalu dimasukkan ke dalam

Pengambilan sampel genjer dan preparasi

Penentuan ukuran dan berat rata-rata sampel

Analisis kimia:

1. Analisis proksimat 2. Analisis mineral 3. Analisis vitamin C 4. Analisis beta karoten Genjer

segar

Genjer kukus 5’ Genjer


(19)

kantong plastik agar sampel tidak mudah layu. Sampel selanjutnya dipreparasi untuk tahap selanjunya.

3.3.2 Pengukuran tanaman genjer

Pengukuran tanaman genjer dilakukan terhadap daun dan batang tanaman. Tanaman genjer yang diukur berjumlah 30 sampel. Pengukuran daun meliputi panjang dan lebar daun serta pengukuran batang meliputi panjang dan tebal batang. Pengukuran panjang dan lebar daun, serta panjang tangkai dilakukan dengan penggaris stainless merk kenko. Pengukuran tebal tangkai menggunakan jangka sorong merk NSK. Panjang daun diukur dari ujung daun hingga pangkal dekat batang dengan menggunakan penggaris. Diameter daun diukur dari sisi kanan hingga kiri pada bagian tengah daun dengan menggunakan penggaris. Panjang batang diukur dari ujung batang dekat daun hingga pangkal batang dekat akar dengan menggunakan penggaris. Ketebalan batang diukur pada bagian tengah batang dengan menggunakan jangka sorong (Lampiran 15). Setelah pengukuran selesai, genjer kemudian diprepasi untuk diambil bagian-bagian yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Tanaman genjer selanjutnya dibagi dalam tiga perlakuan, yaitu segar, kukus 3 menit, dan kukus 5 menit.

3.3.3 Pengukusan Tanaman Genjer

Pengukusan genjer dilakukan terhadap bagian dari tanaman genjer yang dapat dikonsumsi, yaitu daun dan batang. Proses pengukusan bertujuan untuk menentukan perubahan yang terjadi terhadap analisis proksimat, kandungan vitamin C, beta karoten, serta mineral genjer. Proses pengukusan dilakukan pada menit ke 3 dan 5 hingga daun terlihat agak layu tetapi warna genjer tetap hijau. Waktu pengukusan yang digunakan merupakan waktu yang biasa digunakan masyarakat ketika mengukus.

Langkah selanjutnya setelah proses pengukusan adalah analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu tidak larut asam), serat kasar, pengujian kandungan vitamin C, beta karoten dan mineral. Pengukusan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan kandungan gizi genjer segar dan yang telah dikukus.


(20)

3.3.4 Analisis proksimat (AOAC 2005)

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya analisis kadar air, abu, lemak, protein dan abu larut asam.

1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 - 8 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut diletakkan pada desikator ± 30 menit dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air :

% Kadar air = B – C x 100% B – A

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) 2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC sampai pengabuan sempurna, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Kadar abu ditentukan dengan rumus:

%Kadar abu = C – A x 100% B – A


(21)

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) 3) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI-2354.1-2010 (SNI 2010)

Abu bekas pengukuran kadar abu total dilarutkan dengan penambahan 25 ml HCl 10%, didihkan selama 5 menit, saring larutan dengan kertas saring bebas abu dan cuci dengan air suling sampai bebas klorida. Selanjutnya keringkan kertas saring dalam oven, setelah dikeringkan kertas saring dimasukkan di dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat tetapnya kemudian abukan dalam tanur listrik pada suhu 600 ⁰C. Setelah dilakukan pengabuan sampel didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya dan diukur kadar abu tidak larut asam dengan rumus:

% Kadar serat kasar = C– A x 100% Berat sampel

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)

C = Berat cawan dengan sampel abu tak larut asam (gram) 4) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram; kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml; lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410 oC

sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%; kemudian dilakukan proses destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red

yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 200 ml maka proses destilasi dihentikan, lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x fp x 14,007 x 100% mg berat sampel


(22)

% Kadar protein = % N x faktor konversi * *) Faktor Konversi = 6,25

5) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan

ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 ºC dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

%Kadar lemak = (W3 – W2) x 100% W3

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak kosong (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.3.5 Analisis kadar serat kasar (SNI 01-2891-1992)

Metode analisis kadar serat kasar yaitu sebanyak 2-4 gram sampel dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1,25% dan dipanaskan hingga mendidih

kemudian didestruksi selama 30 menit dan ditambahkan 50 ml NaOH 1,25%, kemudian didihkan kembali. Tahap selanjutnya adalah disaring menggunakan kertas saring Whatman (ф:10 cm) dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dibilas dengan 100 ml NaOH 1,25% selama 30 menit. Setelah itu disaring dengan cara seperti diatas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO4 1,25%; 2,5 ml air sebanyak 3 kali; dan 25 ml alkohol. Residu beserta


(23)

dikeringkan dalam oven 130 oC selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselin ditimbang (A), dan dimasukkan dalam tanur 600 oC selama 30 menit, lalu didinginkan dan ditimbang kembali (B).

Penghitungan kadar serat kasar pada genjer:

% kadar serat kasar = berat endapan pada kertas saring – berat abu x 100% berat sampel

3.3.6 Analisis vitamin C (Ismail dan Fun 2003)

Vitamin C diekstraksi menurut metode modifikasi dari Abdulnabi et al. (1997). Sebanyak 10 gram sampel dihomogenkan dengan asam

metafosfat 0,3 M dan asam asetat 1,4 M. Campuran ditempatkan dalam gelas ukur (dibungkus dengan aluminium foil) dan dihomogenkan dengan orbital shacker pada kecepatan 100 rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Campuran tersebut kemudian disaring melalui kertas Whatman No 4 untuk mendapatkan ekstrak. Semua sampel diekstraksi dalam tiga ulangan. Dua teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi vitamin C pada kromatogram adalah membandingkan waktu retensi dan spiking tes dengan L-asam askorbat. Standar vitamin C dibuat dengan melarutkan 100 mg asam L-askorbat dalam asam metafosfat 0,3 M dan asam asetat 1,4 M, larutan pada konsentrasi akhir 1 mg / ml.

Ekstrak yang berisi vitamin C dapat dianalisis menggunakan HPLC. Sistem yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Fase gerak : 0,1 M potassium acetate (pH 4,9), Acetonitrile-air (50:50) Kolom : reverse phase C18

Kecepatan aliran : 1,5 ml/menit Detektor : UV visible 254 nm Rekorder : 1 cm/menit

3.3.7 Analisis beta karoten (Ismail dan Fun 2003)

Beta karoten dalam sampel diekstraksi menurut metode yang dijelaskan oleh Tee et al. (1996). Sampel sebanyak 10 gram ditambahkan dengan 40 ml etanol 99,8% dan 10 ml kalium hidroksida 100% (w/v), dan dihomogenisasi selama 3 menit menggunakan magnetic stirrer. Campuran selanjutnya disaponifikasi menggunakan alat refluks dan dipanaskan menggunakan water bath selama 30 menit, selanjutnya didinginkan pada suhu ruang. Campuran


(24)

kemudian dipindahkan ke labu ukur dan ditambahkan 50 ml n-heksan hingga tanda tera. Labu ukur kemudian dikocok kuat selama beberapa detik untuk memisahkan lapisan. Lapisan atas (ekstrak heksana) dipipet keluar dan lapisan berair kembali diekstraksi dua kali dengan 50 ml n-heksan. Lapisan atas ini dikumpulkan dan dicuci dengan air suling sampai bebas alkali. Fenolftalein (1%) digunakan untuk memeriksa apakah masih ada alkali atau tidak. Kehadiran alkali memberikan indikator warna merah muda. Ekstrak kemudian disaring dengan Na2SO4 untuk menghilangkan semua sisa air. Residu heksana dihapus dengan

menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah (45 °C). Ekstrak yang dihasilkan diencerkan sampai 10 ml dengan n-heksana. Semua sampel dilakukan di tiga ulangan. Ekstrak yang berisi beta karoten dapat dianalisis menggunakan HPLC. Sistem yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Fase gerak : Acetonitrile:methanol:ethyl acetate (88:10:2) Kolom : reverse phase C18

Kecepatan aliran : 1.0 ml/min

Detektor : UV visible 250 nm Rekorder : 1 cm/menit

3.3.8 Analisis mineral (APHA 2005)

Analisis mineral dan logam berat dilakukan untuk mengetahui profil atau komposisi mineral makro, mineral mikro dan logam berat yang terdapat pada genjer.

a. Pengujian mineral (Fe, Zn, Ca, K, Mg, Cu, dan Na)

Sampel yang akan diuji kadar mineralnya dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Proses pengabuan basah dilakukan dengan sampel ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Ke dalam labu ditambahkan 5 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam. Labu ditempatkan di atas hotplate selama ± 4 jam dan biarkan selama semalam dalam keadaan sampel tertutup, kemudian tambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, dipanaskan di atas hotplate

sampai larutan berkurang (lebih pekat). Ditambahkan 2-3 tetes campuran HClO4

dan HNO3 (2:1), sampel tetap berada di atas hotplate karena pemanasan terus

berjalan hingga terjadi perubahan warna. Setelah ada perubahan warna, pemanasan tetap dilanjutkan 10-15 menit. Sampel dipindahkan, didinginkan dan


(25)

ditambahkan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Larutan contoh kemudian diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan stok standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan menggunakan akuades sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang diinginkan.

Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam AAS merk Shimadzu tipe AA 680 flame emission. Kemudian diukur absorbansinya atau tinggi puncak dari standar blanko dan contoh pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer. Merk lampu katoda yang digunakan dalam analisis mineral adalah Hammamatsu, dengan panjang gelombang untuk mineral natrium adalah 589,0 nm; kalsium dengan panjang gelombang 422,7 nm; kalium dengan 766,5 nm; magnesium dengan 285,2 nm; besi dengan 248,3 nm; seng dengan 213,9 nm; tembaga dengan 324,7 nm; dan selenium dengan panjang gelombang 196,0 nm. Pembakaran sampel dilakukan dengan campuran udara dan asetilen.

b. Pengujian fosfor

Sampel diperlakukan dengan asam nitrat untuk mengubah semua metafosfat dan pirofosfat menjadi ortofosfat. Sampel dicampurkan dengan asam molibdat dan asam vanadat sehingga ortofosfat yang ada dalam sampel akan bereaksi dengan pereksi-pereksi tersebut dan membentuk kompleks asam vanadimolibdifosfat yang berwarna biru dan intensitas warnanya diukur dengan panjang gelombang 660 nm.

Sebanyak 20 g ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat untuk pembuatan pereaksi molibdat. Kemudian timbang 1 gram ammonium vanadat untuk dilarutkan dalam 300 ml akuades dan didinginkan, secara perlahan-lahan ditambah 140 ml asam nitrat pekat, setelah tercampur ditambahkan pereaksi larutan vanadat molibdat dan diencerkan sampai volume 1 liter dengan akuades.

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menguji pengaruh waktu pengukusan adalah metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor dan 3 taraf, yaitu genjer segar, kukus 3 menit, dan kukus 5 menit. Data dianalisis dengan ANOVA (Analysis Of Variant) menggunakan uji F. Penelitian ini


(26)

dilakukan dengan 2 kali ulangan. Model rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:

yijk = µ + Ai + Bj + (ABij) + έijk

Keterangan:

yij = hasil pengamatan faktor A taraf ke-I (I = 1, 2,3) dan faktor B taraf ke-j (j

1, 2, 3) pada ulangan ke-k (k = 1, 2) µ = rataan umum

Ai = pengaruh faktor kondisi sampel (faktor A) taraf ke-i

Bj = pengaruh faktor waktu pengukusan (faktor B) taraf ke-j

(ABij) = pengaruh interaksi kondisi sampel taraf ke-i dan waktu pengukusan taraf

ke-j

έijk = sisaan akibat kondisi sampel taraf ke-I dan waktu pengukusan taraf ke-j

pada ulangan ke-k

Hipotesa terhadap karakteristik genjer dengan waktu pengukusan yang berbeda adalah sebagai berikut:

H0 = Perbedaan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh terhadap

karakteristik kimia, vitamin, dan mineral genjer

H1 = Perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh terhadap karakteristik

kimia, vitamin, dan mineral genjer

Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap karakteristik kimia dan mineral genjer maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan rumus sebagai berikut:

Duncan = q (p,dbs)

Keterangan :

q = Nilai tabel q

p = banyaknya perlakuan KTS = Kuadrat tengah sisa dbs = Derajat bebas sisa


(27)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik dan Morfologi Genjer (L. flava)

Sampel genjer terlebih dahulu dipreparasi, kemudian sampel diukur morfometriknya. Besaran yang digunakan dalam pengukuran tanaman genjer pada penelitian ini adalah panjang daun, diameter daun, panjang batang dan diameter batang. Secara umum hasil pengukuran tanaman genjer disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengukuran tanaman genjer (L. flava) Besaran

pengukuran Rata-rata (cm)

Ukuran minimal (cm)

Ukuran maksimal (cm)

Panjang daun 9,63 ± 0,54 9,00 10,70

Diameter daun 7,51 ± 0,12 7,30 7,70 Panjang batang 24,12 ± 0,77 23,00 25,50 Tebal batang 0,67 ± 0,11 0,43 0,97 Keterangan: Data diperoleh dari 30 tangkai tanaman genjer (L. flava)

Hasil pengukuran daun genjer meliputi panjang daun dan diameter daun menunjukkan nilai berkisar pada 9,63± 0,54 cm dan 7,51± 0,12 cm. Panjang daun minimal adalah 9 cm dan maksimal adalah 10,70 cm. Diameter daun minimal sebesar 7,30 cm dan diameter daun maksimal sebesar 7,70 cm. Hasil pengukuran batang genjer meliputi panjang batang dan tebal batang menunjukkan nilai berkisar pada 24,12± 0,77 cm dan 0,67± 0,11 cm. Panjang batang genjer minimal sebesar 23 cm dan maksimal sebesar 25,50 cm. Tebal batang minimal sebesar 0,43 cm dan maksimal sebesar 0,97 cm.

Selubung daun genjer sempit ke arah atas dan helai daun tipis, berwarna hijau muda, bentuk (bulat, bulat telur atau berbentuk bulat panjang yang luas) dan memiliki panjang daun berkisar antara 6 - 20 cm (hampir sama-sama lebar). Puncak daun umumnya apiculate dengan hydathode kecil di ujungnya, dasar daun

cuneate, dan margin daun berombak-ombak. Terdapat sekitar 1-4 peduncles

(tangkai bunga), yang aksila, tegak, berbentuk segitiga, diratakan di dasar dan memiliki panjang 120 cm (Abhilash et al. 2009).


(28)

4.2 Komposisi Kimia Genjer (L. flava)

Analisis komposisi kimia genjer dilakukan melalui uji proksimat dalam kondisi segar dan setelah pengukusan dengan waktu pengukusan yang berbeda. Bagian tanaman genjer yang yang diteliti yaitu bagian yang dapat dimakan, terdiri dari daun dan batang. Analisis komposisi kimia yang dilakukan terdiri dari analisis kadar air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam, dan serat kasar. Komposisi kimia tanaman genjer dalam basis basah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tanaman genjer dalam berat basah Analisa Proksimat Segar* (%) Segar** (%) Kukus 3

menit (%)

Kukus 5 menit (%) Kadar air 93,91±0,13 79,34±0,15 92,49±0,04 91,27±0,04

Protein 2,38±0,00 0,28±0,01 2,81±0.53 2,03±0,31 Lemak 0,20±0,13 1,22±0,01 0,29±0,00 0,39±0,01 Kadar abu 0,89±0,13 0,79±0,03 0,99±0,01 0,70±0,14 Serat kasar 1,31±0,06 3,18±0,04 1,34±0,03 1,53±0,17 Abu tak larut asam 0,10±0,00 - 0,10±0,00 0,10±0,00

(*) Hasil penelitian (**) Saupi et.al. (2009)

Hasil analisis komposisi kimia berdasarkan Tabel 4 menunjukkan perbedaan antara hasil penelitian dengan hasil Saupi el al. (2009). Menurut Miller (1996), komposisi akhir dari bagian tanaman yang dapat dimakan dipengaruhi dan dikontrol oleh kesuburan tanah, genetik tanaman, dan lingkungan pertumbuhan tanaman. Hal inilah yang menyebabkan hasil penelitian berbeda dengan yang dikemukakan oleh Saupi et al. (2009). Hasil analisis komposisi kimia genjer segar menunjukkan perubahan setelah dilakukan pengukusan. Kadar air, protein, dan abu mengalami penurunan, sedangkan kadar lemak, dan serat kasar mengalami peningkatan.

Kadar air rata-rata genjer segar sebesar 93,91%, kadar air pada genjer ini lebih besar daripada bayam (86,9%), daun singkong (77,2%), dan kangkung (89,7%). Tingginya kadar air genjer ini tidak terlepas dari habitatnya yang berupa perairan. Menurut Rusyidi (2010) habitat perairan sebagai tempat hidup genjer menyebabkan kadar air tanaman genjer sangat tinggi. Jaringan penyusun organ menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan membentuk sistem ruang tempat terjadinya difusi ruang secara bebas. Menurut Utama et al. (2007), kandungan air


(29)

pada tumbuhan dapat mencapai 85-98%. Difusi gas ke dalam sel-sel tanaman diduga berawal dari pengangkutan sejumlah air oleh sistem pembuluh, kemudian terjadi penyerapan gas dengan tidak mengikutsertakan air melalui diafragma dari ruang antar selnya. Oleh karena itu semakin banyak gas yang dibutuhkan oleh tanaman air, maka semakin besar pula presentase air yang dikandung tanaman.

Kadar air genjer setelah dilakukan proses pengukusan mengalami penurunan. Menurut Sulistiono (2009), perubahan kadar air pada proses pengukusan semanggi air disebabkan karena transfer panas dan pergerakan aliran air maupun udara, sehingga terjadi proses penguapan dan pengeringan pada bahan makanan yang mengakibatkan perubahan proses dehidrasi seperti penurunan konsentrasi protein pada makanan. Menurunnya kadar air pada sayuran akan mengakibatkan perubahan tekstur pada sayuran tersebut. Sayuran setelah dikukus akan menjadi lunak dan lebih mudah dikonsumsi.

Kadar protein genjer segar hasil penelitian sebesar 2,38% lebih rendah dibandingkan bayam (3,50%), kangkung (3,00%), daun singkong (6,80%), daun pepaya (8,00%). Menurut Nosoetion et al. (1994) ketersediaan unsur nitrogen didalam media tumbuh tanaman tidak kalah penting dalam proses sintesis protein, baik sebagai asam amino, protein, klorofil dan tersedianya basa nitrogen terutama purin dan pirimidin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kandungan protein dari tiap-tiap jenis sayuran yang berbeda tempat hidupnya. Kadar protein genjer mengalami perubahan setelah dilakukan pengukusan yang menunjukkan adanya pengaruh proses pengukusan terhadap kadar protein genjer.

Kadar lemak genjer segar hasil penelitian sebesar 0,20% lebih rendah dibandingkan bayam (0,50%), kangkung (0,30%), daun singkong (1,20%), dan daun pepaya (20%). Kadar lemak genjer segar hasil penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Saupi et al. (2007). Kadar lemak yang rendah pada sayuran mengakibatkan sayuran tidak mudah mengalami proses oksidasi yang mengakibatkan kerusakan pada bahan pangan. Kandungan lemak pada buah dan sayuran umumnya sedikit, lemak yang terkandung dalam pangan nabati biasanya berupa asam lemak tidak jenuh (Wirakusumah 2007). Kadar lemak genjer mengalami perubahan setelah dilakukan pengukusan. Terjadi


(30)

peningkatan kadar lemak setelah pengukusan, hal ini diduga karena proporsional terhadap penurunan kadar air, protein, dan abu.

Kadar abu genjer segar hasil penelitian sebesar 0,90% berbeda dengan hasil kadar abu genjer segar yang dilakukan oleh Saupi et al. (2009) yaitu sebesar 0,79%. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral di dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu genjer segar mengalami perubahan setelah dilakukan pengukusan.

Kandungan serat kasar genjer segar hasil penelitian sebesar 1,31%. Kandungan serat ini lebih besar apabila dibandingkan dengan kandungan serat pada bayam (0,9%) dan selada (0,8%). Serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayur dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, dan non-karbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage. Serat pada bahan pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno 2008).

Kadar abu tidak larut asam yang diperoleh dalam penelitian adalah sebesar 0,10%, kadar tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan EEC yaitu maksimum sebesar 2%, sedangkan FAO dan FCC menetapkan maksimum 1%. Menurut Basmal et al. (2003), kadar abu tak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan.

Tingginya kadar abu tak larut asam pada teh daun murbei kanva mencerminkan tingginya kandungan logam yang terkandung di dalamnya. Abu tak larut asam dicerminkan oleh adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam dalam tanaman genjer.

Proses pegukusan secara nyata mengakibatkan perubahan komposisi kimia genjer. Hasil analisis menunjukkan penurunan setelah dilakukan pengukusan. Komposisi kimia tanaman bagian genjer (berat kering) setelah pengukusan disajikan pada Tabel 5.


(31)

Tabel 5 Komposisi kimia tanaman genjer (berat kering) setelah pengukusan Analisa proksimat Segar (%) Kukus 3 menit

(%)

Kukus 5 menit (%)

Kadar air 0 0 0

Protein 39,12±0,86a 37,46±6,84a 23,23±3,46b Lemak 3,29±2,10a 3,92±0,01a 4,52±0,06a Kadar abu 14,73±2,54a 13,24±0,02a,b 8,01±1,58b Serat kasar 21,54±1,41a 17,84±0,47a 17,51±2,02a Abu tak larut asam 1,64±0,04a 1,31±0,00c 1,13±0,01b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan bahwa

perbedaan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap komposisi kimia (p<0,05)

Tabel 5 menunjukkan hasil perubahan komposisi kimia genjer setelah pengukusan dalam berat kering. Menurut Rahayu (2010) pemanasan dengan pengukusan kadang-kadang tidak merata karena bahan makanan di bagian tepi biasanya mengalami pengukusan berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit. Pengukusan secara nyata dapat menurunkan kadar zat gizi makanan yang besarnya bergantung pada cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus (Harris dan Karmas 1989).

Kadar protein genjer segar (basis kering) sebesar 39,14% menurun menjadi 32,49% setelah pengukusan 3 menit dan 20,73% setelah pengukusan 5 menit. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13d), menunjukkan bahwa perlakuan kukus 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein genjer segar, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein genjer dengan perlakuan kukus 5 menit. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), perlakuan pemanasan pada suatu bahan pangan menyebabkan protein terkoagulasi dan terhidrolisis secara sempurna. Pengaruh pengukusan menyebabkan protein terdenaturasi dan membentuk agregat-agregat (gel, endapan dan sebagainya). Dalam jaringan sel sayuran, protein tersimpan di vakuola dalam bentuk asam amino, di membran sel dalam bentuk lipoprotein dan dalam inti sel sebagai nukleoprotein (Johnson dan Uriu 1990).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak (basis kering) genjer setelah pengukusan mengalami peningkatan, namun berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13c) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak


(32)

genjer. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kadar lemak secara nominal pada pengujian sebenarnya tidak berpengaruh secara statistik.

Kadar abu pada genjersegar (basis kering) yaitu sebesar 14,80%, menurun setelah mengalami proses pengukusan menjadi 13,31% pada kukus 3 menit dan 8,02% pada kukus 5 menit. Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13e) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu genjer. Hal ini sejalan dengan penelitian Rusydi (2010) yang menyatakan bahwa presentase air yang hilang pada proses pengukusan genjer sedikit, sehingga kehilangan mineral yang larut dalam air juga sangat sedikit.

Kadar serat kasar genjer segar (basis kering) menurun dari 21,55% menjadi 17,84% pada kukus 3 menit dan menjadi 17,53% pada kukus 5 menit. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13g) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar serat kasar genjer. Kadar serat dalam makanan dapat mengalami perubahan akibat pengolahan yang dilakukan terhadap bahan asalnya (Muchtadi 2001). Sebagian besar serat pada tumbuhan berupa selulosa dan terhidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti selodekstrin yang terdiri dari satuan glukosa atau lebih sedikit, kemudian selobiosa dan akhirnya glukosa (Robinson 1995).

Kadar abu tidak larut asam genjer segar (basis kering) sebesar 1,64%, mengalami penurunan menjadi 1,33% pada kukus 3 menit dan 1,14% pada kukus 5 menit. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 13f) menunjukkan bahwa perlakuan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu tidak larut asam genjer. Menurut Basmal et al. (2003), kadar abu tak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan. Abu tak larut asam dicerminkan oleh adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam dalam tanaman genjer.

4.3 Kandungan Vitamin Genjer (L. flava)

Kandungan vitamin C genjer segar lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan vitamin C genjer setelah proses pengukusan. Kandungan vitamin C genjer segar dalam berat kering adalah sebesar 46,63 mg/100 g. Hal ini berbeda


(33)

dengan yang dikemukakan oleh Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1992) yang diacu dalam Astawan dan Kasih (2008), kandungan vitamin C genjer segar (Limnocharis flava) adalah sebesar 54 mg/100 g. Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan lokasi tumbuh dan keadaan alam dari tempat hidup genjer. Kandungan vitamin C pada genjer segar ini tergolong sedang. Menurut Somsub et al. (2007) kandungan vitamin C dalam sampel sayur dibagi dalam tiga tingkatan yaitu kategori tinggi (71,8 mg/100 g), sedang (9,6-71,6 mg/100 g), dan rendah (kurang dari 9,6 mg/100 g).

Hasil kandungan vitamin C genjer segar dan genjer kukus menunjukkan penurunan, nilai vitamin C pada genjer segar sebesar 46,63 mg/100 g menurun setelah pengukusan 3 menit menjadi 43,81 mg/100 g dan pada pengukusan 5 menit semakin menurun menjadi 37,34 mg/100 g. Pada pengukusan 3 menit, kadar vitamin C menurun sebesar 6,05% dan pada pengukusan 5 menit menurun sebesar 20,06%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan menyebabkan kandungan vitamin C semakin menurun.

Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 15c) menyatakan bahwa perlakuan kukus 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan vitamin C genjer segar, namum memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kadar vitamin C pada pengukusan 5 menit. Menurut Somsub et al.(2007) kandungan vitamin C secara signifikan menurun pada tiga

metode pemasakan (perebusan, pengukusan, dan penumisan), mulai dari 14,4% hingga 94,6%. Perebusan menghilangkan vitamin C sebesar 23,9% hingga 94%, karena ketidakstabilan terhadap suhu tinggi dan mudah larut dalam air yang menyebabkan vitamin C larut dalam air rebusan yang umumnya dibuang setelah memasak. Sedangkan proses pengukusan menggunakan uap panas dari air, sehingga penurunan kadar vitamin C yang terjadi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan proses perebusan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Oboh (2005) bahwa pengolahan berbagai makanan dengan metode konvensional membawa kerugian terhadap kandungan vitamin C pada sayuran berdaun. Penurunan kandungan vitamin C dapat dikaitkan dengan fakta bahwa vitamin C larut dalam air dan pada saat yang sama tidak tahan terhadap panas.


(34)

Kandungan beta karoten genjer segar dan setelah pengukusan mengalami penurunan. Nilai beta karoten genjer segar dalam berat kering sebesar 69,62 mg/100 g, berubah setelah pengukusan 3 menit menjadi 44,87 mg/100 g, dan pada pengukusan 5 menit menjadi 18,44 mg/100 g. Menurut Subekti (1998) pengukusan menurunkan kandungan beta karoten secara nyata padasawi hijau (59%), bunga kol (14%), dan bayam (17%). Sebagimana menurut Apriyantono (2002) bahwa pada zat gizi lainnya, nilai beta karoten akan menurun akibat adanya proses pemanasan.

Proses pengukusan pada penelitian ini menyebabkan kehilangan kadar beta karoten sebesar 33,55% pada pengukusan 3 menit dan pada pengukusan 5 menit sebesar 73,51%. Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 15d) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar beta karoten genjer. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan menyebabkan kadar beta karoten semakin menurun. Menurut Olemo et al. (2011) kehilangan beta karoten dengan presentase rendah (10%) diamati pada Solanum incanum dapat dikaitkan dengan metode pengolahan yang berbeda. Beta karoten adalah zat gizi mikro aktif sebagai komponen dari karotenoid yang dikenal sebagai pro vitamin A (Almatsier 2004). Walaupun genjer mengandung pro vitamin A tetapi hasil analisis vitamin A pada genjer segarterdeteksi dalam jumlah kecil dibawah limit deteksi alat (0,005 ppm).

4.4 Kandungan Mineral Genjer ((Limnocharis flava)

Menurut Arifin (2008) unsur mineral adalah salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup. Kandungan mineral yang diuji pada sampel genjer meliputi mineral makro (fosfor, kalium, kalsium, natrium, dan magnesium) dan mineral mikro (besi dan seng). Informasi mengenai kandungan mineral genjer segar disajikan pada Tabel 6.


(35)

Tabel 6 Kandungan mineral genjer segar dan setelah pengukusan dalam berat basah

Komposisi mineral

Nilai (mg/100 g)

Segar Kukus 3 menit Kukus 5 menit Mineral makro

Fosfor (P) 234,60±8,48 190,45±2,82 85,80±71,06 Kalsium (Ca) 115,05±0,11 60,97±0,59 38,91±4,70

Kalium (K) 412,64±3,10 386,46±2,07 326,87±3,61 Natrium (Na) 34,92±1,56 12,75±0,32 8,59±0,27 Mineral mikro

Besi (Fe) 117,02±5,09 140,17±0,87 104,84±5,03 Seng (Zn) 45,51±1,11 22,70±0,80 22,90±1,08

Tabel 6 menunjukkan kandungan mineral genjer segar dan setelah pengukusan. Kandungan mineral makro tertinggi pada genjer segar adalah kalium dan mineral terendah adalah natrium. Kandungan mineral mikro tertinggi pada genjer segar adalah besi dan terendah adalah seng. Kelima jenis mineral makro yang diteliti menunjukkan bahwa empat mineral mengalami penurunan setelah pengukusan yaitu fosfor, kalsium, kalium, dan natrium. Sedangkan magnesium mengalami peningkatan setelah pengukusan. Kehilangan mineral tertinggi pada pengukusan dengan waktu 3 menit dan 5 menit terdapat pada mineral natrium, sedangkan kehilangan mineral terendah yaitu kalium. Kehilangan mineral ini diakibatkan oleh pengolahan dengan pemanasan suhu dan media uap air. Menurut Palupi et al. (2007), mineral yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya.

Kandungan mineral tanaman genjer hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan kandungan mineral tanaman genjer dari Malaysia dan Thailand pada penelitian Saupi et al. (2007). Menurut Rusydi (2010) perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral di dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Perubahan kandungan mineral genjer setelah pengukusan disajikan pada Tabel 7.


(36)

Tabel 7 Kandungan mineral genjer segar dan setelah pengukusan dalam berat kering

Komposisi mineral

Nilai (mg/100 g)

Segar* Segar** Kukus 3 menit Kukus 5 menit Mineral makro

Fosfor (P) 3.858,55±139,21a - 2.535,95±37,59a 982,82±813,94b Kalsium (Ca) 1.892,25± 1,86a 770,87±105,2 811,89 ± 7,88c 445,76± 53,86b

Kalium (K) 6.786,18± 50,97a 4.202,50±292,37 5.146,47±27,53c 3.744,55± 41,30b Natrium (Na) 574,34± 25,57a 107,72± 17,15 169,77± 4,28c 98,35± 3,04b Mineral mikro

Besi (Fe) 1.924,69± 83,59a - 1.866,48±11,57a 1.200,92±57,61b Seng (Zn) 749,48± 18,19a 0,66± 0,05 302,30±10,63c 262,32±12,33b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan waktu pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap komposisi kimia (p<0,05)

Tabel 7 menunjukkan hasil kandungan mineral genjer setalah proses pengukusan. Beberapa mineral makro seperti fosfor, kalsium, kalium, dan natrium mengalami penurunan setelah proses pengukusan. Begitu pula yang terjadi pada mineral mikro besi dan seng mengalami penurunan setelah pengukusan. Menurut Rahayu (2010) ketika makanan dimasak, diproses, atau disimpan, mineral dapat bergabung dengan komponen kimia makanan lain atau bahkan larut akibat pemanasan. Sama halnya dengan vitamin, variasi kandungan mineral alamiah makanan mentah dan metode memasak yang berbeda dapat menghasilkan variasi kadar mineral. Mineral pada umumnya tidak peka terhadap panas, tetapi rentan terhadap pencucian atau pengolahan yang melibatkan air seperti perebusan dan pengukusan. Penurunan mineral selama pencucian dapat diperkecil dengan mengurangi jumlah air yang digunakan untuk memasak bahan makanan.

Kandungan fosfor pada genjer segar sebesar 3.858,55 mg/100 g. Fosfor yang terdapat dalam tumbuhan berada dalam molekul DNA dan RNA, membran sel, dan molekul ATP yang dapat berupa simpanan energi pada batang, daun, dan buah (Johnson dan Uriu 1990). Kandungan fosfor menurun setelah mengalami proses pengukusan. Kehilangan mineral fosfor pada pengukusan dengan waktu 3 menit adalah sebesar 1.322,60 mg/100 g dan semakin tinggi pada pengukusan 5 menit yaitu sebesar 2.875,73 mg/100 g. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14h) menyatakan bahwa perlakuan kukus 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan fosfor genjer segar, namun memberikan


(37)

pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan kukus 5 menit. Menurut Bourne (1985) sebagian fosfor yang terdapat pada tanaman larut dalam air, seperti berkurangnya fosfor pada jerami yang terendam air hujan dan berkurangnya fosfor pada saat ibu rumah tangga merebus sayuran dan membuang airnya. Hal ini menyebabkan semakin lama waktu pengukusan maka kadar fosfor pada bahan akan semakin banyak hilang.

Kandungan kalsium pada genjer segar sebesar 1.892,25 mg/100 g, berbeda jauh dengan yang dikemukakan oleh Saupi et al. (2009) yaitu kandungan kalsium pada bagian genjer segar yang dapat dimakan yaitu sebesar 770,87 mg/100 g. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Pada saat kalsium terdapat melimpah di dalam tanah, kalsium juga banyak terdapat pada daun yang diambil secara pasif melalui pertumbuhan akar. Daun yang lebih tua biasanya mengandung kalsium yang lebih banyak daripada daun muda. Kalsium sebagian besar terdapat dalam xylem dan dalam konsentrasi lebih kecil terdapat pada floem (Johnson dan Uriu 1990).

Kandungan kalsium genjer menurun setelah mengalami proses pengukusan. Kehilangan mineral kalsium pada waktu pengukusan 3 menit adalah sebesar 1.080,36 mg/100g dan pada pengukusan 5 menit sebesar 1.446,49 mg/100 g. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14c) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan mineral kalsium genjer. Menurut Rahayu (2010) mineral yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan akan menyebabkan kehilangan mineral kalsium semakin besar.

Jumlah kalium pada genjer segar sebesar 6.786,18 mg/100 g lebih tinggi dari hasil penelitian Saupi et al. (2007) yaitu sebesar 4.202,50 mg/100 g. Kalium merupakan mineral yang mobile atau sering berpindah, daun dan organ lain yang lebih tua biasanya akan kehilangan kalium sehingga kali terdapat dalam jumlah besar pada jaringan daun dan buah terutama pada jaringan yang muda (Bourne 1985). Hal tersebut diduga menyebabkan perbedaan kadar kalium genjer.


(38)

Kandungan kalium genjer setelah proses pengukusan mengalami penurunan menjadi 5.146,47 mg/100 g pada pengukusan 3 menit dan 3.744,55 mg/100 g pada pengukusan 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan akan mengakibatkan penurunan kadar kalium pada genjer. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14d) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan kalium genjer. Lewu et al. (2010) menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan pada kandungan kalium Colocasia esculenta (L.) Schott setelah

dilakukan proses perebusan. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Bethke et al. (2008) yang menyatakan kentang putih (Solanum tuberosum L.)

merupakan sumber kalium di Amerika Selatan, namun tidak baik dikonsumsi oleh orang yang menderita gagal ginjal. Perebusan pada kentang dapat menurunkan kadar kalium, sehingga dapat dikonsumsi oleh orang yang gagal ginjal.

Kandungan natrium genjer segar sebesar 574,34 mg/100 g berbeda dengan yang dikemukakan Saupi et al.(2009) yaitu kandungan natrium pada bagian genjer segar sebesar 107,72 mg/100 g. Hal ini disebabkan karena tempat hidup yang berbeda. Kandungan natrium tanaman genjer setelah proses pengukusan mengalami penurunan menjadi 169,74 mg/100 g pada pengukusan 3 menit dan 98,35 mg/100 g pada pengukusan 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengukusan akan mengakibatkan semakin tingginya penurunan kadar natrium pada genjer. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14e) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan natrium genjer. Menurut Lewu et al. (2010) sebagian besar mineral dan vitamin larut dalam air. Merendam sayur dalam air sebelum pemasakan atau selama pemasakan akan menyebabkan hilangnya vitamin dan beberapa mineral penting. Dalam pengukusan, air yang keluar dari sayuran hanya dalam jumlah yang sedikit sehingga jumlah penurunan mineral yang terlarut dalam air pun dalam jumlah yang sedikit pula.

Kandungan besi pada genjer segar sebesar 1924,69 mg/100 g. Sesuatu yang terkandung dalam tanaman tergantung pada kandungan tanah dan udara, namun jumlah dan proporsinya tergantung pada banyak faktor yaitu spesies, umur, distribusi akar, keadaan fisik dan kimia tanah, proporsi dan distribusi


(39)

elemen, metode penanaman, serta keadaan iklim (Bethke dan Jansky 2008). Kandungan besi genjer mengalami penurunan setelah dilakukan proses pengukusan. Berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14f) menyatakan bahwa perlakuan waktu pengukusan 3 menit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan besi genjer segar, namun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pengukusan 5 menit. Hasil yang diperoleh didukung oleh penelitian Karkle dan Beleia (2009) dari enam varietas soybeans

yang diuji kadar besi setelah direbus, semua tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kedelai segar.

Kandungan seng pada genjer segar sebesar 749,48 mg/100 g jauh lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian Saupi et al. (2007). Berdasarkan uji kandungan seng pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genjer banyak menyerap seng dan besi daripada tembaga yang dideteksi ternyata hasilnya dibawah limit deteksi alat (<0,0005). Seng yang terserap oleh tanaman genjer ini kemungkinan besar juga berasal dari lingkungan perairan sawah yang banyak mengandung logam tersebut.

Kandungan seng genjer setelah pengukusan relatif mengalami penurunan. Hasil uji lanjut duncan (Lampiran 14g) menyatakan bahwa perbedaan waktu pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan seng genjer. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengukusan dengan waktu 5 menit lebih banyak menyebabkan kehilangan mineral seng bila dibandingkan dengan pengukusan 3 menit. Penurunan kadar seng pada genjer diduga disebabkan oleh keluarnya ion-ion seng dari dalam daun bersamaan dengan keluarnya air karena pengaruh pemanasan. Hal ini berdasarkan sifat ketersediaan seng pada tanaman yang tersebar hampir di dalam jaringan tubuh dan berfungsi dalam metabolisme tubuh seperti transpor vitamin, dimana vitamin termasuk salah satu zat gizi yang rentan hilang karena suhu tinggi (Gaman dan Sherrington 1992).


(40)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Komposisi kimia genjer mengalami penurunan setelah pengukusan, dimana pengukusan dengan waktu 5 menit lebih banyak menyebabkan kehilangan komposisi kimia. Hasil komposisi kimia tanaman genjer genjer segar (bk) meliputi protein (39,12%), lemak (3,29%), abu (14,73%), serat kasar (21,54%), dan abu tidak larut asam (1,64%). Perubahan komposisi kimia (bk) pada pengukusan 3 menit yaitu, protein (37,34%), lemak (3,92%), abu (13,24%), serat kasar (17,84%), dan abu tidak larut asam (1,31%). Pada pengukusan 5 menit yaitu, protein (23,23%), lemak (4,52%), abu (8,01%), serat kasar (17,51%), dan abu tidak larut asam (1,13%).

Kandungan vitamin C dan beta karoten genjer segar dan setelah proses pengukusan mengalami penurunan, semakin menurun dengan meningkatnya waktu pemasakan. Kandungan vitamin C genjer segar sebesar 46,63 mg/100 g menurun setelah pengukusan 3 menit menjadi 43,81 mg/100 g dan pada pengukusan 5 menit mejadi 37,34 mg/100 g. Kandungan beta karoten genjer segar sebesar 69,62 mg/100 g menurun setelah pengukusan 3 menit menjadi 44,87 mg/100 g dan pada pengukusan 5 menit menjadi 18,44 mg/100 g.

Kandungan mineral makro terbesar pada genjer segar adalah kalium (K) sebesar 6.786,18 mg/100 g (bk) dan mineral terendah adalah natrium (Na) yaitu sebesar 574,34 mg/100 g (bk), sedangkan mineral mikro terbesar adalah besi (Fe) yaitu sebesar 1.924 mg/100 g (bk). Mineral yang diteliti secara keseluruhan mengalami penurunan setelah proses pengukusan. Penurunan terbesar kandungan mineral makro terjadi pada kandungan natrium (Na) yaitu sebesar 70,44% pada kukus 3 menit dan 82,87% pada kukus 5 menit. Mineral mikro terjadi pada seng (Zn) yaitu 59,66% pada kukus 3 menit dan 64,10% pada kukus 5 menit. Penurunan mineral yang paling terkecil yaitu pada besi sebesar 3,02% pada kukus 3 menit dan 37,60% pada kukus 5 menit. Berdasarkan hasil penelitian terlihat dengan jelas bahwa waktu pengukusan terbaik adalah pengukusan 3 menit dimana zat gizi yang hilang pada pengukusan 3 menit tidak sebesar pada pengukusan 5 menit.


(41)

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa uji vitamin secara keseluruhan dan mineral terhadap daun dan tangkai genjer secara tepisah dan proses pengolahan yang berbeda serta analisis lebih lanjut mengenai kelarutan vitamin dan mineral.


(42)

GENJER (

Limnocharis flava

)

TRI KALBU ARDININGRUM SEJATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(1)

g. Tabel uji lanjut duncan seng

perlakuan N Subset for alpha = .05

1 2 3 1

genjer kukus

5' 3

262,319 335 genjer kukus

3' 3

302,299 827

genjer segar 3 748,252

936

Sig. 1,000 1,000 1,000

h. Tabel uji lanjut duncan fosfor

perlakuan N Subset for alpha = .05

1 2 1

genjer kukus 5' 2 982,844 7

genjer kukus 3' 2 2535,9606

genjer segar 2 3852,1849


(2)

Lampiran 15 Hasil uji statistik analisis vitamin a. Tabel hasil uji kruskal walis analisis vitamin

vitC betakaroten

Chi-Square 2,400 2,400

Df 1 1

Asymp. Sig. ,121 ,121

b. Tabel ANOVA analisis vitamin Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

vitC

Between

Groups 91,986 2 45,993 20,739 ,018

Within Groups 6,653 3 2,218

Total 98,639 5

betakarote n

Between

Groups 2754,525 2 1377,262 393,427 ,000 Within Groups 10,502 3 3,501

Total 2765,027 5

c. Tabel uji lanjut duncan vitamin C

perlakuan N Subset for alpha = .05

1 2 1

genjer kukus 5' 2 37,2850

genjer kukus 3' 2 43,8100

genjer segar 2 46,6350

Sig. 1,000 ,154

d. Tabel uji lanjut duncan beta-karoten

perlakuan N Subset for alpha = .05

1 2 3 1

genjer kukus 5' 2 16,9550

genjer kukus 3' 2 46,5400

genjer segar 2 69,2900


(3)

Lampiran 16 Dokumentasi kegiatan penelitian

Tempat pengambilan sampel genjer

Pengukuran morfometrik genjer

Pengukuran morfometrik tebal batang genjer


(4)

Analisis kadar air Analisis kadar abu

Analisis kadar protein Analisis kadar lemak

Analisis kadar serat Analisis kadar mineral


(5)

Alat analisis mineral AAS Alat analisis vitamin C HPLC


(6)

Kimia, Vitamin C, dan Mineral pada Pengukusan Genjer (Limnocharis flava). Dibimbing oleh NURJANAH dan RONI NUGRAHA.

Genjer merupakan tanaman yang biasa dikonsumsi masyarakat, tanaman ini diambil dari sekitar persawahan di Desa Cikarawang, Kelurahan Situ Gede, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan zat gizi (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan serat kasar), vitamin C, dan mineral pada genjer (L. flava) segar dan menentukan waktu pengukusan terbaik yang selama ini digunakan masyarakat.

Hasil pengukuran daun genjer meliputi panjang daun dan diameter daun menunjukkan nilai berkisar pada 9,63 ± 0,54 cm dan 7,51 ± 0,12 cm. Panjang batang dan tebal batang menunjukkan nilai berkisar pada 24,12 ± 0,77 cm dan 0,67 ± 0,11 cm. Komposisi kimia dari bagian genjer yang dapat dikonsumsi meliputi kadar air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam, dan serat kasar. Kadar air mengalami penurunan sebesar 0,77% pada pengukusan 3 menit dan 1,43% pada pengukusan 5 menit. Kadar protein genjer mengalami penurunan sebesar 9,28% setelah pengukusan 3 menit dan 30,73% setelah pengukusan 5 menit. Kadar lemak genjer meningkat sebesar 0,60% setelah pengukusan 3 menit dan 15,21% setelah pengukusan 5 menit. Kadar abu genjer segar mengalami penurunan sebesar 5,30% pada pengukusan 3 menit dan 29,71% pada pengukusan 5 menit. Kadar abu tidak larut asam genjer segar menurun sebesar 10,44% pada pengukusan 3 menit dan 17,98% pada pengukusan 5 menit. Serat kasar genjer segar menurun sebesar 9,42% setelah pengukusan 3 menit dan 10,29% setelah pengukusan 5 menit. Kandungan vitamin C genjer segar mengalami kehilangan vitamin C sebesar 3,20% setelah pengukusan 3 menit dan 20,06% setelah pengukusan 5 menit. Beta karoten genjer segar menurun sebesar 35,55% pada pengukusan 3 menit dan 73,51% pada pengukusan 5 menit.

Kandungan mineral makro tertinggi pada genjer segar adalah kalium (K) sebesar 6.786,18 mg/100 g (bk) dan mineral terendah adalah natrium (Na) yaitu sebesar 574,34 mg/100 g (bk), sedangkan mineral mikro tertinggi adalah besi (Fe) yaitu sebesar 1.924 mg/100 g (bk). Mineral yang diteliti secara keseluruhan mengalami penurunan setelah proses pengukusan. Penurunan tertinggi kandungan mineral makro terjadi pada kandungan natrium (Na) yaitu sebesar 70,44% pada pengukusan 3 menit dan 82,87% pada pengukusan 5 menit. Mineral mikro terjadi pada seng (Zn) yaitu 59,66% (pengukusan 3 menit) dan 64,10% (pengukusan 5 menit). Penurunan mineral terkecil yaitu pada besi sebesar 3,02% pada pengukusan 3 menit dan 37,60% pada pengukusan 5 menit.