Sumberdaya Perikanan Ikan Kembung
1.1 Latar Belakang
Wilayah Kabupaten Asahan yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka memiliki potensi perikanan yang cukup besar terutama untuk kelompok ikan pelagis kecil antara lain : Karangaid (selar, layang, sunglir), Klupeid (teri,
japuh, tembang, lemuru) dan Scombroid (kembung). Berdasarkan hasil survei
BRPL (2004) hasil tangkapan ikan yang didaratkan dari Selat Malaka pada tahun 2000 mencapai 573.000 ton, dimana sekitar 16% diantaranya terdiri dari ikan pelagis kecil. Khususnya untuk perairan Pantai Timur Sumatera Utara, jenis-jenis ikan pelagis kecil yang banyak tertangkap adalah ikan kembung lelaki (33,3%), layang (22,5%), selar (20,6%), kembung perempuan (19,6%) dan tembang (3,9%).
Ikan kembung (Rastrelligerspp) merupakan salah satu komoditi penting
dari sektor perikanan Indonesia. Melihat begitu potensialnya sumberdaya perikanan ini, maka diperlukan suatu teknologi yang tepat dalam pemanfaatan potensinya. Salah satu teknologi adalah untuk menangani ketidakpastian letak
atau sulitnya mencari daerah penangkapan (fishing ground). Daerah penangkapan
ikan dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi perairan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti musim. Peramalan dan penentuan daerah penangkapan untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati laut (ikan) secara optimal dapat dilakukan dengan menganalisis faktor -faktor oseanografi pada suatu perairan.
Suhu merupakan parameter lingkungan yang paling sering diukur di laut karena berguna dalam mempelajari proses-proses fisika, kimia, dan biologi yang terjadi di laut. Pola distribusi suhu permukaan laut (SPL) dapat digunakan untuk
mengidentifikasi paramater-parameter laut, seperti arus, umbalan dan front.
Umumnya setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu optimum untuk makan, memijah, beruaya dan aktivitas lainnya (Hayes dan Laevastu 1982). Lebih lanjut Hayes dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa batasan arus serta variasi arus permukaan mempengaruhi migrasi musiman dan tahunan dari ikan pelagis dan semi pelagis, serta berperan dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil. Dengan mengetahui distribusi SPL dan pola arus suatu wilayah perairan,
(2)
fenomena upwelling dan thermal front yang merupakan daerah potensial penangkapan ikan dapat semakin baik diramalkan.
Pengembangan perikanan laut sebagai salah satu potensi bidang kelautan pada hakekatnya adalah pemanfaatan sumberdaya hayati laut (ikan) secara optimal dan lestari. Untuk itu dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai keadaan sumberdaya ikan dan lingkungannya di suatu perairan. Informasi ini sangat penting diketahui untuk perencanaan suatu usaha pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Informasi tentang penyebaran kepadatan stok sumberdaya ikan yang sesuai dengan waktu dan tempat merupakan salah satu dasar bagi keberhasilan usaha penangkapan ikan (Suhendrata dan Badrudin 1990).
Kurangnya data dan informasi tentang penyebaran daerah penangkapan ikan kembung di perairan Kabupaten Asahan menyebabkan potensi perikanan tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan daerah penangkapan ikan kembung dan kondisi lingkungannya, sehingga masyarakat nelayan akan lebih mudah menemukan daerah penangkapan ikan. Pemetaan daerah penangkapan ikan adalah pekerjaan yang sulit mengingat banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhinya dan faktor tersebut bersifat dinamis. Adapun faktor -faktor tersebut antara lain adalah faktor fisik, biologi, dan ekologis.
Penginderaan jauh (inderaja) kelautan saat ini telah berkembang seiring dengan perkembangan teknolo gi informasi. Pemanfaatan teknologi inderaja dalam pemanfaatan sumberdaya ikan telah dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika dan beberapa negara Eropa. Hal ini banyak membantu dalam berbagai penelitian untuk memahami dinamika lingkungan laut (kondisi oseanografi), termasuk memahami dinamika sumberdaya ikan yang terkandung di dalamnya.
(3)
1.2 Permasalahan
Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi pemanfataan sumberdaya perikanan khususnya ikan kembung di perair an Kabupaten Asahan adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai penyebaran daerah penangkapan ikan yang potensial. Armada penangkap ikan berangkat dari pangkalan masih mencari-cari daerah penangkapan ikan yang selalu berada dalam ketidakpastian yang menyebabkan usaha penangkapan menjadi tidak efisien.
Penentuan daerah potensial penangkapan ikan yang umum dilakukan oleh nelayan sejauh ini masih menggunakan cara-cara tradisional dan pada daerah yang relatif tetap dalam jangkauan yang relatif sempit. Akibatnya, nelayan tidak mampu mengatasi perubahan kondisi oseanografi dan cuaca yang berkaitan erat dengan perubahan daerah penangkapan ikan yang berubah secara dinamis. Dengan demikian, hasilnya belum mampu menopang pengembangan ekonomi masyarakat nelayan secara signifikan.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengelolaan perairan Kabupaten Asahan adalah masih terbatasnya penelitian-penelitian bidang oseanografi sehingga distribusi dan kondisi parameter oseanografi di daerah ini belum banyak diketahui. Distribusi parameter oseanografi berpengaruh terhadap keberadaan ikan-ikan di laut, termasuk ikan kembung karena setiap spesies ikan mempunyai toleransi tertentu terhadap kondisi lingkungan perairan. Distribusi dan kondisi parameter tersebut dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kembung. Oleh karena itu, output yang diharapkan dari penelitian ini adalah profil parameter oseanografi, khususnya SPL yang mempengaruhi penyebaran ikan kembung, dan SPL optimum untuk memprediksi daerah penangkapan potensial bagi ikan kembung.
Informasi daerah penangkapan ikan secara spatial dan temporal yang terbatas, merupakan suatu kendala bagi para pelaku perikanan tangkap dalam mengoptimalkan operasi penangkapan ikan karena tingkat ketidakpastian usaha yang tinggi. Karena ini juga berdampak terhadap para investor untuk mengembangkan usaha pada bidang perikanan tangkap.
(4)
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :
(1) Menentukan sebaran SPL di perairan Kabupaten Asahan.
(2) Menentukan SPL optimum untuk penangkapan ikan kembung.
(3) Menentukan salinitas penyebaran daerah penangkapan ikan kembung.
(4) Menentukan zona potensial penangkapan ikan kembung di perairan
Kabupaten Asahan.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu :
(1) Sebagai informasi dasar untuk pengelolaan perikanan ikan kembung
di Kabupaten Asahan.
(2) Bagi industri penangkapan ikan, informasi itu dapat digunakan sebagai
salah satu petunjuk untuk memudahkan menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu.
(5)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Penentuan Daerah Penangkapan Ikan
Penginderaan jauh satelit adalah proses perolehan informasi muka bumi dari instrumentasi yang ditempatkan di satelit. Penginderaan jauh satelit memberikan kemampuan pemantauan daerah yang luas secara periodik dan berkesinambungan (Kartasasmita 1999).
Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit khususnya data satelit
National Oceanic Atmosfhere and Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) merupakan alternatif yang sangat tepat dalam penentuan daerah penangkapan ikan, karena dari data ini dapat ditentukan nilai dan distribusi SPL pada perairan yang luas secara sinoptik, mempunyai frekue nsi pengamatan yang tinggi dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cara lainnya. Kemampuan ini akan sangat berguna
untuk pengamatan fenomena oseanografi khususnya umbalan air dan front yang
merupakan indikator daerah penangkapa n potensial bagi ikan. Informasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan di laut (Hasyim 1999).
Penentuan posisi daerah penangkapan ikan di laut lepas secara tepat sangat sulit dilakukan karena perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat dinamis dari parameter-parameter oseanografi seperti SPL, kekeruhan, konsentrasi klorofil, pola dan arah angin, pasang surut dan arus. Informasi tentang zona potensial perikanan dan dinamika perubahan sudah dapat dijadikan sebagai suatu alat bantu dalam mendukung perencanaan strategis pembangunan pada sektor perikanan khususnya penangkapan ikan (Kartasasmita 1999).
Penggunaan citra satelit untuk pengukuran SPL telah banyak digunakan sebagai sumber data untuk melengkapi SPL hasil pengukuran langsung. Perbedaan pengukuran antara SPL dari citra satelit dengan pengukuran lapang
lebih kecil dari 1°C (McClain et al. 1985; Gaol 2003). Perbedaan ini umumnya
disebabkan pengaruh atmosfer seperti uap air dan awan. Pengaruh awan dapat
(6)
Butler et al. (1988) menyatakan bahwa deteksi ikan secara langsung tidak selalu dapat dikerjakan dengan mudah, maka deteksi secara tidak langsung mungkin saja dilakukan dengan melaksanakan berbagai observasi terhadap beberapa fenomena permukaan laut yang dikaitkan dengan distribusi spesies. Menurut Widodo (1999) peta SPL telah banyak digunakan oleh armada penangkapan salmon dan tuna. Secara jelas diketahui bahwa beberapa spe sies
tuna mencari makan pada bagian air laut yang panas dari suatu front, sedangkan
salmon mencari makan pada bagian yang dingin.
2.2 Parameter Oseanografi 2.2.1 Suhu permukaan laut
Menurut Anawat et al. (2000) SPL untuk pemijahan dan penangkapan
ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) di sekitar Teluk Thailand
berkisar antara 28,00oC – 29,60oC. Mengenai korelasi antara musim penangkapan dengan SPL mempunyai nilai koefisien korelasi positif yang berarti bahwa SPL berpengaruh terhadap kelimpahan ikan kembung perempuan. Ditambahkan oleh Suwarso dan Hariati (2003) SPL untuk penyebaran ikan pelagis seperti layang dan kembung berkisar antara 28,70oC – 31,10oC.
Kasim dan Nasir (1998) menyatakan bahwa SPL di sekitar perairan Pantai Barat Peninsular Malaysia (Selat Malaka) berdasarkan hasil pengukuran langsung (conventional) pada bulan Maret dan November 1998 berkisar antara 28,10oC –
33,00oC. Sementara itu SPL berdasarkan hasil analisis citra NOAA-AVHRR pada
wilayah yang sama menemukan bahwa SPL pada wilayah pantai lebih hangat jika dibanding dengan perairan lepas pantai. Dhebataron dan Chotiyapatt (1974)
mengemukakan bahwa SPL untuk pemijahan ikan kembung lelaki (Rastrelliger
kanagurta) di perairan Teluk Thailand berkisar antara 28,00oC – 29,39oC.
Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Menurut Laevastu dan Hela (1970) pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan
(7)
makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.
Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa spesies ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting dalam menentukan kekuatan keturunan dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan penting yang komersil.
Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim
pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan
tempat pemijahan (spawning ground) dan daerah penangkapan (fishing ground)
secara periodik (Reddy 1993).
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50 - 70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28,00°C) yang homogen. Oleh sebab itu, lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan homogen. Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini
dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung
kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam (Reddy 1993).
Nontji (1993) menyatakan bahwa pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas. Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman. Wyrtki (1961) mengatakan bahwa kedalaman termoklin di dalam Lautan Hindia mencapai
(8)
120 m menuju ke Selatan di daerah Arus Equatorial Selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 m.
Laevastu dan Hayes (1981) yang telah mempelajari pengaruh faktor oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah penangkapan menunjukkan bahwa salah satu parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan pelagis adalah suhu dan arus. Banyaknya hasil tangkapan dan melimpahnya populasi ikan pelagis sangat terkait dengan perubahan suhu perairan. Dalamnya gerombolan ikan pelagis tergantung struktur vertikal suhu. Selanjutnya ditambahkan bahwa beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu di permukaan perairan hangat. Kedalaman gerombolan ikan
herring sangat tergantung pada luasnya lapisan campuran di permukaan pada malam hari.
2.2.2 Pola arus permukaan
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan bergelombang panjang, misalnya pasang surut. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat banyak ditentukan oleh angin (Nontji 1993).
Arah arus permukaan memiliki hubungan yang erat dengan angin. Perairan
Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim (monsoon) yang
mengalami pembalikan arah dua kali setahun (Wyrtki 1961). Pada bulan Mei-November dipengaruhi oleh angin musim dari Tenggara, mencapai puncaknya pada bulan Juni-Agustus dan disebut sebagai musim Timur karena angin bertiup dari Timur ke Barat. Pada bulan Desember-April dipengaruhi oleh angin musim dari Barat Laut, mencapai puncaknya pada bulan Desember-Februari dan disebut sebagai musim Barat karena angin bertiup dari Barat ke Timur. Bulan Maret-Mei dan September -November disebut sebagai musim peralihan (pancaroba), dimana pada musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji 1993).
Perairan Selat Malaka yang terleta k di ujung Barat Paparan Sunda berhadapan langsung dengan Laut Andaman di sebelah Utara dan Samudera Hindia disebelah Barat. Bagian Selatan Selat Malaka merupakan perairan dangkal (kedalaman kurang dari 20 - 40 m) dan sempit (lebar rata-rata 40 km). Semakin ke Utara, perairan akan semakin dalam hingga mencapai 60 - 100 m dan melebar
(9)
hingga sekitar 350 km. Kondisi hidrografis Selat Malaka sangat dipengaruhi oleh perubahan musim (musim Barat Daya dan musim Timur Laut). Arus permukaan pada kedua musim tersebut selalu menuju ke Utara dengan intensitas yang lebih kuat saat musim Barat Daya (BRPL 2004).
2.2.3 Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil, gram per liter).
Di perairan samudera, salinitas berkisar antara 34‰ - 35‰. Tidak semua
organisme laut dapat hidup di air dengan konsentrasi garam yang berbeda. Secara
mendasar, ada dua kelompok organisme laut, yaitu : organisme euryhaline, yang
toleran terhadap perubahan salinitas, dan organisme stenohaline, yang
memerlukan konsentrasi garam yang konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama misalnya adalah ikan yang bermigrasi seperti salmon, yang mampu beradaptasi terhadap air laut dan air tawar. Kelompok kedua, seperti udang laut yang tidak dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim (Reddy 1993).
Wyrtki (1956), diacu dalam Potier et al. (1989) menyatakan bahwa salinitas untuk pemijahan ikan kembung lelaki berkisar antara 32‰ – 34‰. Ditambahkan oleh Dhebataron dan Chotiyapatt (1974) bahwa salinitas untuk pemijahan ikan
kembung lelaki berkisar antara 32‰ – 32,5‰. Menurut Nugroho et al. (1996)
bahwa gerombolan ikan pelagis kecil seperti layang, kembung ditemukan pada salinitas 29‰ – 31‰ di bagian Selatan Kalimantan.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50 - 70 m atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan dengan salinitas homogen suhu juga biasanya homogen, baru di bawahnya terdapat lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji 1993).
Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi
oleh konsentrasi garam pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan melakukan pr oses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini
(10)
adalah insang dan ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada perbedaan konsentrasi garam yang ada antara lingkungan
eksternal dan fluida dalam tubuh ikan. Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa. Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup (Re ddy 1993).
Menurut Wyrtki (1961) salinitas bulanan rata-rata di Selat Malaka
bervariasi antara 29,8‰ – 31,5‰ dimana salinitas minimum terjadi pada bulan
Desember pada musim penghujan dan salinitas maksimum terjadi pada bulan Juni pada saat musim kemarau.
2.2.4 Front
Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang
agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin. Front
merupakan salah satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan dengan massa air
sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1 - 2oC, maka daerah dengan
massa air yang berbeda ini disebut daerah front (Mann dan Lazier 1996).
Menurut Robinson (1991) front penting dalam hal produktivitas perairan laut
karena cenderung membawa bersama-sama air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari tempe ratur dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari
percampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton. Hal ini akan
ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front
atau pertemuan dua massa air merupakan penghalang ba gi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar.
Front yang terbentuk mempunyai produktifitas yang tinggi karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga
merupakan feeding ground bagi jenis ikan pe lagis ( Wyrtki 1961; Hela dan
Laevastu 1970). Ditambahkan oleh Denmann (1984) bahwa front yang
(11)
Dengan kontinuitas, konvergen biasanya membutuhkan sirkulasi vertikal kompensasi unt uk mengimbanginya.
2.2.5 Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji 1993). Sebaran SPL merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Birowo dan Arief
1983). Pada proses upwelling ini terjadi penurunan SPL dan tingginya kandungan
zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut
merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan.
Menurut Barnes (1988) proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga
bentuk. Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di Utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di Selatan Ekuator bergerak ke Selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman dimana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena
adanya divergensi pada perairan laut tersebut. Ketiga, upwelling dapat pula
disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat diseba bkan karena terjadinya proses air naik (upwelling). Gerakan air naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan (Nontji 1993). Selain itu proses air naik tersebut disertai dengan produksi plankton yang tinggi.
Di perairan Selat Makasar bagian selatan diketahui terjadi upwelling. Proses
(12)
Makasar dan Laut Flores bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke arah
Barat menuju Laut Jawa. Dengan kondisi demikian dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran
tersebut dan untuk menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Menurut (Nontji 1993) proses air naik di Selat Makasar bagian Selatan ini terjadi sekitar Juni-September dan berkaitan erat dengan sistem arus.
2.3 Karakteristik Ikan Kembung (Rastrelligerspp) 2.3.1 Biologi ikan kembung
Berdasarkan statistik perikanan Indonesia, ikan pelagis dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil. Ikan kembung merupakan termasuk ikan kelompok pelagis kecil sekelompok dengan spesies lain seperti ikan alu-alu, layang, selar, tetengkek, daun bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-parang, terubuk, ikan terbang, belanak dan kacang-kacang. Ikan kembung terdiri dari tiga spesies, yaitu : kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dan Rastrelliger faughni.
Ikan kembung merupakan ikan pelagis kecil yang termasuk dalam famili Scombridae. Ciri meristik ikan kembung adalah sirip punggungnya terpisah menjadi dua bagian. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, sedangkan sirip punggung yang kedua berjari-jari lemah 11 - 12. Sirip dada (pectoral) terdiri dari 16 - 19 jari-jari lemah, sirip perut (ventral) terdiri dari 7 - 8 jari-jari lemah, sirip ekor (caudal) terdiri dari 50 - 52 jari-jari lemah bercabang dan sisik pada gurat sisi (linea lateralis) terdiri dari 127 - 130 buah sisik (Collette dan Nauen 1983).
Ikan kembung lelaki ( Rastrelliger kanagurta) mempunyai tubuh tidak
terlalu mengecil, dimulai dari batas tutup insang 4 sampai 4,8 bagian dari panjang bakunya, kepala lebih panjang dari lebar tubuh, rahang atas (maxilla) ditutupi oleh
tulang lakrimal tetapi meluas sampai mendekat ujung lakrimal. Ikan kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma) tubuhnya mendadak mengecil, lebar pada
pinggir tutup insang 3,7 sampai 4 bagian panjang baku tubuh (4 sampai 4,8 bagian
pada Rastrelliger kanagurta), kepala hampir sama atau lebih kecil dari lebar
tubuh, rahang atas ditutupi tulang lakrimal tetapi meluas sampai mendekat ujung
lakri mal. Untuk jenis Rastrelliger faughni tubuh lebih ramping, lebar pada
(13)
kanagurta. Rahang atas ditutupi oleh tulang lakrimal tetapi meluas hanya ¾ panjang dari lakrimal (Collette dan Nauen 1983).
Klasifikasi ikan kembung menurut Cuvier (1817) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub-Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidea
Famili : Scombridae
Genus : Rastre lliger
Spesies : Rastrelliger kanagurta
Rastrelliger brachysoma Rastrelliger faughni
Nurhakim (1993) menyatakan bahwa untuk ikan kembung lelaki yang terdapat di perairan Laut Jawa matang gonad pada ukuran sekitar 20,00 cm
dengan variasi antara 18,60 cm – 22,70 cm. Ditambahkan oleh Hariati et al.
(2005) ukuran ikan kembung lelaki pertama kali matang gonad 17 cm. Menurut
Atmaja et al. (1991) ikan kembung lelaki matang gonad pada ukuran 18,30 cm.
Luther (1973) menyatakan ukuran ikan kembung lelaki untuk penangkapan di Pulau Andaman berkisar antara 21 cm – 29 cm. Ikan kembung termasuk jenis ikan pelagis yang hidup bergerombol, baik di perairan pantai maupun lepas pantai. Ikan kembung menyukai perairan yang berkadar garam
tinggi. Kebiasaan makannya adalah memangsa plankton, copepoda atau
crustacea. Sebagai plankton feeder, ikan ini ditandai dengan tapis insang yang banyak dan halus ( Kriswantoro dan Sunyoto 1986).
Menurut Nontji (1987) ikan kembung lelaki dan ikan kembung perempuan hidup dari plankton yang ditangkapnya dengan tapis insang. Ikan kembung
perempuan mempunyai tapis insang lebih halus karena plankton yang dimakan
terdiri plankton-plankton kecil seperti diatom dan copepoda, sebaliknya tapis
(14)
2.3.2 Distribusi dan tingkah laku ikan kembung
Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa daerah
penangkapan ikan kembung lelaki di Kabupaten Asahan hanya terdapat di perairan sekitar Pulau Berhala, dan tidak pernah tertangkap di daerah lain di sekitar perairan Kabupaten Asahan. Daerah penangkapan ikan kembung perempuan terdapat di bagian Timur Tanjung Siapi-api Kota Tanjung Balai Asahan.
Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap periode migrasi musiman serta keberadaan ikan. Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhannya. Faktor musim dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah penangkapan ikan (Gunarso 1985).
Ikan kembung yang tergolong dalam kelompok mackerel ini
penyebarannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: penyebaran secara vertikal dan horizontal. Penentuan batas penyebaran secara vertikal penting sekali diketahui supaya kedalaman alat tangkap dapat disesuaikan dengan kedalaman renang ikan tersebut. Penyebaran ikan secara horizontal perlu diketahui untuk penentuan daerah penangkapan ikan (Laevastu dan Hayes 1981).
Hardenberg (1955) menyatakan bahwa penyebaran ikan kembung berdasarkan ruang (tempat) atau berdasarkan waktu berhubungan dengan erat
dengan pencarian makanan dan pemijahan. Zooplankton merupakan salah satu
makanan utama ikan kembung, sehingga penyebaran ikan kembung diduga
mengikuti pergerakan horizontal plankton tersebut. Arah arus dapat menjadi
penghalang bagi penyebaran jenis ikan, tetapi untuk jenis ikan lainnya arah arus menjadi bantuan bagi penyebarannya. Ikan-ikan perenang bebas seperti ikan kembung, terbang, tenggiri dan lain-lain dapat bergerak melawan arus, sehingga arus tidak menjadi penghalang melainkan membantu penyebarannya.
Wyrtki (1961) mengatakan bahwa kedalaman kelompok ikan-ikan pelagis banyak ditentukan oleh susunan suhu secara vertikal. Dengan pengertian bahwa ikan pelagis akan berenang sedikit ke sebelah dalam pada saat suhu permukaan lebih tinggi dari biasanya. Ikan kembung merupakan ikan pelagis epipelagis dan
(15)
neritik serta menyukai daerah dengan suhu minimum 170C dan suhu optimum 200C - 300C.
Menurut Soemarto (1985) daerah penangkapan ikan adalah suatu perairan dimana penangkapan ikan dapat dilakukan. Untuk ikan kembung lelaki daerah penangkapannya berada di daerah perairan lepas pantai yang merupakan perairan
terbuka dengan kadar garam 33‰ - 35‰ , dengan kondisi arus yang tidak
begitu kuat. Untuk jenis kembung perempuan daerah penangkapannya di pinggir
pantai dimana banyak terdapat plankton nabati, sedangkan untuk ikan kembung
lelaki daerah penangkapannya berada lebih jauh ke lepas pantai dan perairan yang lebih dalam. Perairan yang berwarna kebiru-biruan dimana banyak terdapat
plankton hewani. Daerah penangkapan ikan pelagis kecil umumnya di perairan landas benua, seperti perairan yang berada mulai dari Timur Aceh, Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa.
Fischer dan Whitehead (1974) menyatakan bahwa distribusi ikan kembung lelaki secara geografis sangat luas, kecuali bagian selatan perairan pantai Australia, bagian Barat Laut Merah dan bagian Timur Jepang. Ikan kembung lelaki daerah penyebarannya hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Timur (Tanjung Satai), Kalimantan Selatan (Pegatan), Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan dan Arafuru (DJP 1979). Ikan kembung lelaki merupakan ikan pelagis yang sering ditemukan dalam
bentuk kelompok besar di permukaan. Makanannya adalah mikroorganisme
plankton, terutama crustacea (Fischer dan Whitehead 1974).
Ikan kembung perempuan penyebarannya meliputi Laut Andaman (Indonesia), Thailand, Philipina, dan bagian Utara Kepulauan Fiji (Fischer dan Whitehead 1974). Di Indonesia sendiri penyebarannya meliputi perairan pantai dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna-Buton dan Arafuru (DJP 1979). Ditambahkan oleh Fischer dan
Whitehead (1974) bahwa ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)
hidup berkelompok dalam jumlah yang besar pada perairan pantai dengan kedalaman antara 10 - 50 m.
Ikan kembung merupakan jenis ikan diurnal (ikan siang hari) yang
banyak terdapat pada lapisan pelagis, yaitu lapisan yang paling banyak cahaya matahari. Alat indera yang digunakan ikan adalah mata untuk mengetahui
(16)
keadaan sekitarnya (Gunarso 1985). Ikan-ikan pelagis umumnya muncul ke permukaan sebelum matahari terbenam dan biasanya mereka membentuk kelompok. Sesudah matahari terbenam mereka menyebar ke dalam kolom air dan mencari lapisan air yang lebih dalam waktu siang hari. Tingkah laku ikan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dengan menggunakan bantuan cahaya dalam kegiatan penangkapan (Laevastu dan Hayes 1981).
2.3.3 Migrasi ikan kembung
Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi musiman, serta terdapatnya ikan di suatu tempat (Gunarso 1985). Selanjutnya dikatakan pula bahwa musim dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan ikan.
Menurut Hardenberg (1955) ikan kembung merupakan ikan pelagis yang mengadakan migrasi. Ikan kembung lelaki cenderung memilih keadaan faktor
lingkungan yang relatif sama dengan ikan layang (Decapterusspp). Di Laut Jawa
dua spesies ikan ini mempunyai pola migrasi yang hampir sama, yaitu pada permulaan musim Timur arus yang bersalinitas tinggi bergerak ke arah Barat di Laut Jawa dan ikan kembung lelaki juga bergerak ke arah Barat yang kemungkinan terus bergerak ke Selat Karimata. Pada musim Barat terjadi pergerakan ikan kembung yang sebaliknya sesuai dengan arus laut. Selanjutnya dia menambahkan bahwa migrasi ikan kembung mengikuti pola yang sama dengan migrasi ikan layang, biasanya satu atau dua minggu kemudian.
Nikolsky (1963) menyatakan bahwa ada tiga alasan utama yang menyebabkan beberapa spesies ikan melakukan migrasi, yaitu : usaha untuk mencari daerah yang banyak makanannya, usaha untuk mencari daerah tempat
berpijah (spawning) dan adanya perubahan beberapa faktor lingkungan seperti
temperatur, salinitas dan suhu. Chisastit (1962) menduga bahwa migrasi ikan kembung perempuan dijumpai pada musim pemijahan. Ikan kembung yang
mature mungkin sekali pergi ke daerah pemijahan dari daerah pantai, dan ikan
(17)
Beberapa ahli telah menduga tempat dan waktu pemijahan ikan kembung. Ikan kembung perempuan mempunyai musim pemijahan selama beberapa bulan yang berlangsung dari bulan Mei-Oktober di Tanjung Satai (Kalimantan Barat). Ikan kembung lelaki mempunyai dua musim pemijahan di Laut Jawa, yaitu berlangsung dalam musim Barat dari Oktober-Februari dan musim Timur dari bulan Juni-September. Jenis ini diduga banyak memijah di sebelah Utara Tanjung Satai, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Laut Flores (Burhanuddin et al. 1984).
Nurhakim (1993) menyatakan bahwa waktu pemijahan diduga berlangsung antara bulan April-Agustus dan Desember de ngan puncak pemijahan pada bulan Agustus. Daerah pemijahan diduga sekitar Kepulauan Karimun Jawa dan Matasiri. Sujastani (1974) mengemukakan ikan kembung lelaki bertelur dua kali dalam setahun, dari bulan Oktober-Januari dan bulan Juni-September, sedangkan Burhanuddin dan Djamali (1977) menduga ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta bertelur dari bulan Februari-April dan dari bulan Juni-September. Menurut Menon dan Radhakrishnan (1974) periode pemijahan ikan kembung lelaki di sebelah Barat India berlangsung dalam waktu yang lama, bulan Maret dan berakhir sekitar bulan Oktober atau November. Musim pemijahan ikan kembung lelaki di Selat Malaka berlangsung pada bulan Mei-Oktober dan Desember-Maret. Lokasi pemijahan diduga terletak dibagian Utara Selat Malaka (Hariati et al. 2005).
2.4 Operasi Penangkapan Ikan Kembung dengan Pukat Cincin
Pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap ikan pelagis kecil yang paling efektif sejak diperkenalkan pada tahun 70-an di perairan Selat Malaka. Perikanan pukat cincin telah berkembang pesat, baik dalam hal upaya penangkapan (ukuran kapal, jumlah unit kapal, jumlah trip) maupun daerah penangkapan yang semakin luas. Pada tahun 2000, jumlah pukat cincin di wilayah Aceh mencapai 200 unit dan Sumatera Utara 700 unit. Berdasar kan ukuran kapal dan alat tangkapnya, armada pukat cincin di daerah ini dapat dibedakan menjadi
pukat cincin mini, sedang (medium) dan besar. Selain rumpon, digunakan juga
alat bantu penangkapan yang berupa lampu halogen dan lampu listrik (BRPL 2004).
(18)
Prinsip penangkapan ikan dengan pukat cincin adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, sehingga jaring tersebut membentuk dinding vertikal, dengan demikian gerakan ikan ke arah horizontal dapat dihalangi. Setelah itu, bagian bawah jaring dikerucutkan untuk mencegah ikan lari ke arah bawah jaring ( Sudirman dan Mallawa 2004).
Menurut Martasuganda et al. (2004) pukat cincin dioperasikan dengan
cara melingkari gerombolan ikan yang sebelumnya telah dideteksi keberadaannya.
Penurunan (setting) dan penarikan (hauling) alat tangkap dilakukan pada sisi
lambung bagian kanan kapal. Posisi kapal diatur sedemikian rupa agar jaring tidak terpintal pada baling-baling kapal. Setting berturut-turut dari salah satu ujung bagian pelampung dan badan serta bagian bawah jaring sampai akhirnya
pada bagian ujung sayap lainnya. Disela -sela setting tersebut beberapa ABK
menyiapkan cincin dan tali kerut pada ris bawah jaring yang telah dipasangi tali ring.
Ada beberapa tahapan dalam kegiatan penangkapan ikan dengan pukat cincin, yaitu : (1) menentukan kawanan ikan terlebih dahulu, (2) menentukan atau mendeteksi kualitas dan kuantitas kawanan ikan, (3) menentukan faktor-faktor oseanografi seperti kekuatan, kecepatan dan arah angin maupun arus, serta menentukan arah dan kecepatan renang kawanan ikan, (4) melakukan
penangkapan ikan dengan melingkari jaring dan menarik purse line dengan cepat
supaya kawanan ikan tidak dapat meloloskan diri dari arah vertikal maupun
horizontal, (5) jaring diangkat dan ikan dipindahkan dari bagian bunt ke palka
dengan scoop net (Ayodhyoa 1981).
Untuk lebar (depth) dari pukat cincin (purse seine) harus ditentukan
dengan memperhatikan tingkah laku (behaviour) dari ikan yang akan ditangkap
dan kondisi perairan setempat. Minimum lebar dari jaring mengikuti swimming
depth dari scoaling ikan. Kedalaman dari jaring dikatakan cukup apabila ujung
bawah jaring tersebut pada permulaan proses penarikan purse line lebih dalam
(19)
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu : tahap pengambilan data lapangan dan tahap pengolahan dan analisis citra satelit SPL. Pengambilan data lapangan dilaksanakan di lokasi operasi penangkapan ikan kembung dan stasiun pengukuran salinitas tertera pada Gambar 1. Pengolahan dan analisis data satelit dilakukan di Laboratorium Instalasi Lingkungan dan Cuaca PUSBANGJA Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada bulan Agustus-Desember 2005.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Pantai Timur Sumatera Utara
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Citra SPL hasil pengukuran dari sensor AVHRR satelit NOAA, (2) Peta Lingkungan Laut Nusantara (LLN) perairan Sumatera Utara dengan skala 1 : 500.000, (3) Peta batimetri (4) Peta digital Indonesia dan (5) Kuisioner untuk wawancara dengan nelayan.
Alat yang digunakan antara lain : (1) Global Positioning System (GPS)
untuk menentukan posisi geografis, (2) Refraktometer untuk mengukur salinitas
(20)
yaitu ER. MAPPER 6.4 untuk pengolahan citra SPL, ArcView GIS 3.3 dan AdobePhotoshop 7.0 untuk memperbaiki tampilan SP L, SPSS 12.0 untuk analisis statistik.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari berbagai sumber, antara lain :
(1) Citra SPL hasil pengukuran sensor AVHRR satelit NOAA diperoleh dari LAPAN. Citra diambil dari bulan Juli 2004 - Juni 2005, untuk citra bulan Juli 2004 - April 2005 dipilih satu buah citra yang bersih dari awan untuk mewakili masing-masing bulan. Citra SPL untuk bulan Mei-Juni 2005 dari hasil inventarisasi citra terdapat 3 buah citra yang mewakili bulan Mei 2005 dan 7 citra untuk bulan Juni 2005 yang dapat dianalisis lebih lanjut. Pemilihan citra dilakukan secara visual dan dipilih citra yang bebas awan untuk masing-masing bulan. SPL rata-rata bulanan tahun 2000-2004
diperoleh dari basis data National Aeronautics and Space Administration-Jet
Propultion Laboratory (NASA -JPL).
(2) Data salinitas diperoleh dari hasil pengukuran langsung pada saat operasi
penangkapan dilakukan dengan mengunakan refraktometer. Dalam penelitian
ini dilakukan sebanya k sembilan kali pengukuran salinitas yang mewakili masing-masing bulan Mei dan Juni 2005.
(3) Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan diperoleh dari tangkahan (gudang ikan) yang ada di sepanjang Teluk Nibung Tanjung Balai Asahan. Penentuan gudang ika n yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan besar kecilnya usaha perikanan yang dilakukan. Berdasarkan hasil survei di lapangan terdapat delapan buah gudang ikan yang besar, yakni : SBU, Selama Abadi, Nusantara, BLC, BTL, Karya, GH dan Horas. (4) Data posisi daerah penangkapan serta hasil tangkapan pada bulan Mei-Juni
2005 diperoleh langsung dari lapangan dengan pengisian log book yang
berisikan posisi daerah penangkapan ikan (lintang dan bujur), hasil tangkapan (kg), dan ukuran ika n (cm).
(5) Data sekunder meliputi curah hujan diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Asahan.
(21)
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.4.1 Pengolahan suhu permukaan laut
Penghitungan SPL dilakukan dengan pemrosesan citra kanal 4 dan 5 dari data sensor AVHRR. Tahapan dalam proses pengolahan citra NOAA-AVHRR untuk mendapatkan peta SPL adalah sebagai berikut :
(3) Import data dari raw data ke dalam format ER Mapper.
(4) Analisa liputan awan. Analisa ini bertujuan untuk mendapatkan citra yang
bebas awan. Hanya citra dengan awan maksimal 50% yang akan diolah selanjutnya.
(5) Koreksi geometrik. Koreksi ini bertujuan untuk menyamakan koordinat citra
ke dalam sistem koordinat bumi dengan menggunakan peta perairan Sumatera Utara.
(6) Pemotongan citra. Pemotongan citra bertujuan untuk mendapatkan citra yang
sesuai dengan daerah penelitian
(7) Koreksi radiometrik. Koreksi ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh
atmosfer pada citra. Dalam proses koreksi digunakan dua faktor koreksi yaitu koefisie n koreksi gain dan koefisien koreksi intercept. Gain adalah faktor
pangali dari digital number (DN) citra satelit. Intercept adalah faktor
penambah terhadap digital count yang sudah dikalikan dengan faktor gain. Dalam proses ini besaran DN yang terekam pada citra satelit dikembalikan ke nilai asli yang direkam sensor yaitu irradiansi. Besaran irradiansi dinyatakan
sebagai fungsi dari DN dikalikan koefisien gain, ditambah dengan koefisien
intercept, dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
i i i
i G X I
N = +
Keterangan :
N = nilai radiansi masing-masing kanal 4 dan kanal 5
X = digital number masing-masing kanal
G = koefisien gain I = koefisien intercept i = menunjukkan kanal
Nilai gain dan intercept masing-masing kanal diperoleh dari penghitungan
header data NOAA yang diproses untuk setiap lintasan satelit. Selanjutnya dilakukan konversi kedalam suhu kecerahan dan koreksi emisivitas air.
(22)
(8) Tahap selanjutnya adalah estimasi SPL menggunakan formula McMillin dan Crosby (1984) dengan formula sebagai berikut:
(
)
0,582 273702 ,
2 4 5
4+ − − −
=T T T
SPL
dimana T4 (suhu kecerahan kanal 4) dan T5 (suhu kecerahan kanal 5) yang
dinyatakan dalam bentuk energi elektromagnetik yang diterima oleh antena penerima NOAA-AVHRR da lam bentuk paket energi.
(9) Citra SPL yang sudah dikoreksi dan dihitung suhu permukaan lautnya
kemudian dibuat konturnya dengan menggunakan software Er.Mapper 6.4
sehingga terbentuk peta SPL
(10) Menghitung rata-rata SPL
Rata-rata SPL perairan Pantai Timur Sumatera Utara dihitung dari penghitungan rataan nilai SPL dominan setiap citra pada setiap wilayah, dengan formula sebagai berikut :
∑
∑
=
f f n xt i i
Keterangan :
xt = rataan nilai SPL pada waktu - t n = nilai SPL dominan
f = frekuensi masing-masing piksel
i = urutan nilai SPL dominan dengan interval kelas yang digunakan pada
setiap piksel ke - i
3.4.2 Analisis daerah penangkapan potensial ikan kembung
Untuk menentukan daerah penangkapan potensial digunakan beberapa indikator, yaitu hasil tangkapan (berat), ukuran ikan (cm), SPL optimum dan salinitas. Masing-masing indikator tersebut dievaluasi secara parsial dan diberi nilai (skor). Selanjutnya hasil evaluasi indikator menurut kategori tersebut akan digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan potensial, baik dan sedang.
3.4.2.1 Jumlah hasil tangkapan
Hasil tangkapan pada bulan Mei-Juni 2005 dikelompokkan sesuai dengan posisi daerah penangkapan masing-masing, daerah penangkapan yang paling
(23)
banyak hasil tangkapa nnya merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial, sebaliknya daerah penangkapan yang paling sedikit hasil tangkapannya merupakan daerah penangkapan ikan yang tidak potensial.
3.4.2.2 Ukuran ikan
Ikan kembung lelaki untuk pertama kali matang gonad berukuran rata-rata 20 cm (Nurhakim 1993). Menurut Luther (1973) ukuran ikan kembung lelaki untuk penangkapan di Pulau Andaman berkisar antara 21 cm - 29 cm. Ikan kembung perempuan matang gonad berukuran 16 cm (Suhendrata dan
Rusmadji 1991). Ukuran ikan yang diperoleh dari log book dikelompokkan
berdasarkan posisi masing-masing daerah penangkapan, kemudian akan terlihat kisaran ukuran ikan yang paling dominan pada masing-masing daerah penangkapan. Jika daerah penangkapan didominasi oleh ikan ukuran kecil dan ikan yang berukuran matang gonad maka daerah penangkapan tersebut bukan merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial, sebaliknya jika daerah penangkapan ikan didominasi oleh ukuran ikan yang berukuran diluar ukuran matang gonad merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial.
3.4.2.3 Salinitas
Wyrtki (1956), yang diacu dalam Potier et al. (1989) menyatakan bahwa
salinitas untuk pemijahan ikan kembung lelaki berkisar antara 32‰ - 34‰. Ditambahkan oleh Dhebataron dan Chotiyapatt (1974) bahwa salinitas untuk
pemijahan ikan kembung lelaki berkisar antara 32‰ – 32,5‰. Menurut Nugroho
et al. (1996) gerombolan ikan pelagis kecil seperti layang, kembung ditemukan pada salinitas 29‰ - 31‰ di bagian Selatan Kalimantan. Data salinitas yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan dihubungkan dengan data hasil tangkapan. Jika salinitas daerah penangkapan ikan berkisar pada kisaran salinitas untuk pemijahan maka daerah penangkapan tersebut bukan merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial, sebaliknya jika salinitas berada diluar kisaran pemijahan maka daerah penangkapan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial.
(24)
3.4.2.4 Suhu permukaan laut optimum
Suhu permukaan laut untuk pemijahan ikan kembung lelaki berkisar antara
28,00oC – 29,39oC (Dhebataron dan Chotiyapatt 1974). Menurut Anawat et al.
(2000) SPL untuk pemijahan dan penangkapan ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) di sekitar Teluk Thailand berkisar antara 28,00oC –
29,60oC. Ditambahkan oleh Suwarso dan Hariati (2003) SPL untuk penyebaran
ikan pelagis kecil seperti layang dan kembung berkisar antara 28,70oC – 31,10oC. Daerah penangkapan ikan yang mempunyai kisaran SPL untuk pemijahan (Mei-Oktober) bukan merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial, sebaliknya jika ditemukan daerah penangkapan dengan SPL diluar dari kisaran SPL untuk pemijahan merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial.
Untuk melihat kisaran SPL optimum bagi ikan kembung, maka dilakukan analisis hubungan hasil tangkapan harian (Me i-Juni 2005) ikan kembung
terhadap SPL pada waktu dan tempat yang sama dengan menggunakan regresi
linear. Dari sebaran jumlah hasil tangkapan pada berbagai kisaran SPL, maka SPL optimum dapat diprediksi.
3.4.3 Metode pembobotan (scoring)
Bobot terhadap indikator-indikator daerah penangkapan ikan (jumlah hasil tangkapan, ukuran ikan, salinitas dan SPL) digunakan nilai 1 - 3. Komposisi jumlah hasil tangkapan terlebih dahulu dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu rendah (sedikit), sedang dan banyak (tinggi). Selanjutnya pada masing-masing kelas diberi bobot, yaitu bobot 1 untuk kategori hasil tangkapan rendah, bobot 2 untuk sedang dan bobot 3 untuk kategori tinggi.
Pembobotan indikator ukuran ikan dilakukan dengan mengelompokkan indikator tersebut menjadi dua kelas yaitu kelas ukuran memijah dan ukuran diluar memijah. Pada masing-masing kelas diberi bobot, yaitu bobot 1 untuk kategori ukuran memijah dan bobot 3 untuk kategori ukuran diluar memijah. Untuk indikator salinitas dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu kelas pemijahan, penyebaran dan diluar pemijahan dan penyebaran. Selanjutnya pada masing-masing kelas diberi bobot, yaitu bobot 1 untuk kategori pemijahan, bobot 2 untuk kategori diluar pemijahan dan penyebaran dan bobot 3 untuk kategori penyebaran. Indikator SPL juga dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu kelas pemijahan, penyebaran dan kelas diluar pemijahan dan penyebaran.
(25)
Kemudian pada masing-masing kelas diberi bobot, yaitu bobot 1 untuk kategori pemijahan, bobot 2 untuk kategori diluar pemijahan dan penyebaran dan bobot 3 untuk kategori penyebaran.
Untuk penentuan zona penangkapan ikan potensial bobot dari keempat indikator (jumlah hasil tangkapan, ukuran ikan, salinitas dan SPL) pada masing-masing daerah penangkapan ikan tersebut akan diakumulasikan. Setelah diperoleh nilai bobot akumulatif pada masing-masing daerah penangkapan ikan, maka dilakukan klasifikasi kategori daerah penangkapan ikan berdasarkan sebaran nilai bobot akumulatif tersebut. Dalam hal ini daerah penangkapan ikan diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu daerah penangkapan ikan sedang, baik dan potensial.
3.4.4 Hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan kembung
Data bulanan SPL rata-rata dan hasil tangkapan ikan kembung dalam kurun waktu lima tahun (2000–2004) dianalisis untuk mengetahui hubungan antara SPL dengan hasil tangkapan ikan kembung, maka digunakan formula (Makridakis et al. 1999). Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.
( )
( )
( ) ( )
( )
( )
y x xy
yy xx
xy xy
xy
S S
k C C
C k C k
k
r = = =
0 0
ρ
Keterangan :
r = ñ = korelasi silang
x = SPL (oC)
y = hasil tangkapan ikan kembung (ton)
C = kovarians silang
k = sela waktu
(26)
Gambar 2 Diagram alir penelitian
Mulai
Wilayah penelitian
Experimental fishing harian (Mei -Juni 2005)
Inventarisasi data citra Pengukuran salinitas perairan Data hasil tangkapan (hasil tangkapan, posisi penangkapan
dan ukuran ikan)
Citra satelit NOAA-AVHRR pada posisi penangkapan Data salinitas Data produksi dan
upaya penangkapan bulanan ikan kembung tahun 2000-2004 Analisa liputan awan Pemotongan citra Program SPL kanal 3, 4 dan 5
Pengolahan citra Distribusi SPL Analisis salinitas Profil salinitas Analisis produksi Analisis tangkapan Komposisi ukuran hasil tangkapan menurut spesies Komposisi jumlah hasil tangkapan menurut spesies Kecenderungan produksi dan upaya penangkapan Bebas awan
Analisis zona penangkapan ikan
Informasi zona penangkapan ikan
Selesai
Ya
(27)
4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis dan Administrasi
Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Asahan
berada pada 2o 03’ 00’’ – 3o 26’ 00’’ LU, 99o 01’ 00’’ – 100o 00’ 00’’ BT. Letak Kabupaten Asahan sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu dan Toba
Samosir, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.
Luas Kabupaten Asahan adalah 4.624,41 km2 atau 462.441 Ha. Kabupaten
Asahan terdiri dari 20 kecamatan, 34 kelurahan serta 237 desa. Wilayah kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Bandar Pulau dengan luas sekitar 735
km2 (15,89%). Luas wilayah kecamatan yang terkecil adalah Kecamatan Kisaran
Barat yaitu 32.96 km2 (0,7%). Dari 20 kecamatan tersebut hanya 8 kecamatan
yang memiliki garis pantai, yaitu : Sei Kepayang, Tanjung Balai, Air Joman, Tanjung Tiram, Talawi, Lima Puluh, Sei Suka, dan Medang Deras. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Asahan tahun 2003, jumlah desa pantai dari 9 kecamatan tersebut adalah 36 desa, dengan jumlah desa pantai terbanyak terdapat di Kecamatan Sungai Kepayang berjumlah 9 desa (25% ), Tanjung Tiram 7 desa pantai (19,4%) dan Kecamatan Tanjung Balai 6 desa (16,7%).
4.2 Kondisi Oseanografis 4.2.1 Batimetri
Secara umum perairan Pantai Timur Sumatera Utara merupakan perairan yang dangkal dengan lereng dasar perairan yang landai. Hal ini terjadi karena perairan pantai Timur ini merupakan daerah pengendapan yang terjadi akibat pasokan sedimen dari muara sungai dan pergerakan sedimen sepanjang pantai. Pantai yang terdapat di Kabupaten Asahan kurang berlekuk-lekuk dan garis pantainya jauh le bih panjang jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara (sekitar 118 km). Sepanjang pantai
(28)
terdapat pelumpuran dengan ketebalan yang bervariasi antara 1 km sampai 3 km dari garis pantai. Kelandaian dasar perairan untuk kontur kedalaman 5 m, 10 m sangat bervariasi dan tidak mengikuti pola garis pantai. Garis pantai pada kedalaman 20 m mempunyai pola yang mengikuti garis pantai pada jarak 10 - 14 km dari garis pantai pada hampir semua pantai kecuali di bagian ujung Barat Laut. Pada bagian ini kontur kedalaman 20 m berlekuk-lekuk tidak mengikuti pola garis pantai. Selain itu ke arah laut terdapat lagi perairan yang dangkal dengan kedalaman 5 - 10 m. Lebih jelas disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta batimetri perairan Kabupaten Asahan
4.2.2 Pasang surut
Pasang surut merupakan fenomena alam yang terlihat berupa naik turunnya muka (paras) laut secara periodik. Pasang surut dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap bumi. Pasang surut di perairan Kabupaten Asahan dipengaruhi oleh perambatan pasang surut semi-harian yang berasal dari Laut Andaman yang bergerak dari arah Barat menuju Tenggara. Ramalan pasang surut Tahun 2002 yang diterbitkan oleh Dinas
Hidro-Oseanografi TNI-AL hanya terdapat pada dua lokasi yang terletak
(29)
dan Bagan Asahan/Muara Sungai Asahan (03o 01’ 00” LU dan 99o 01’ 00” BT). Tipe pasang surut pada kedua lokasi tersebut adalah tipe semi-harian (ganda). Kisaran pasang surut di Kuala Tanjung berkisar antara 0,9 m saat pasang perbani sampai 2,8 m saat pasang purnama. Di Bagan Asahan (Muara Sungai Asahan) pasang surutnya berkisar antara 1,1 m saat pasang perbani sampai 3,9 m saat pasang purnama.
4.2.3 Arus permukaan
Sirkulasi arus permukaan di perairan Kabupaten Asahan dipengaruhi oleh sirkulasi arus permukaan di Selat Malaka. Pergerakan arus permukaan Selat Malaka tidak dipengaruhi oleh arah tiupan angin tetapi secara umum selalu bergerak ke arah Barat Laut menuju Laut Andaman dengan kecepatan 2 - 8 cm/detik dan mencapai kecepatan tertinggi yakni 34 cm/detik pada bulan November. Arus yang mengalir ke Tenggara terjadi pada bulan Februari mencapai 34 cm/detik (Wyrtki 1961). Menurut Khan (2004) kecepatan arus permukaan di Pulau Pandan Kabupaten Asahan berkisar antara 8 - 12 cm/detik.
Selain arus permukaan yang mengikuti pola sirkulasi regional, massa air juga dapat mengalir karena adanya fenomena pasang surut dan geraka n ini disebut arus pasang surut. Hasil pengamatan lapangan oleh Dinas Perikanan (1999) di perairan Bagan Asahan menemukan arus pasang surut dengan kecepatan sekitar 60 - 70 cm/detik ke arah Timur Laut (meninggalkan muara sungai) saat air surut. Arus pasang surut ini mengalir ke arah Barat Daya (ke hulu sungai) saat air pasang kecepatannya berkisar 40 - 50 cm/detik. Sebagai pelengkap disajikan
peta arus permukaan laut berdasarkan hasil pengukuran in-situ tahun 1900-1993
dari Japan Oceanographic Data Center (JODC) yang didapat dari website
http://www.petalaut.infobcs.com pada Lampiran 1.
4.2.4 Suhu permukaan laut
Suhu permukaan laut di daerah tropis umumnya tinggi, akan tetapi variasi musiman dan tahunannya kecil, karena variasi intensitas penyinaran matahari
tidak besar. SPL di Selat Malaka bervariasi antara 27,50oC – 29,00oC (Wyrtki
1961). Pengukuran SPL oleh Dinas Perikanan (2000) pada berbagai lokasi di sekitar pantai dan muara sungai di Kecamatan Talawi, Tanjung Tiram dan
(30)
BPPT (2004) berdasarkan pengukuran SPL in-situ di bagian Utara perairan
Kabupaten Asahan menunjukkan SPL berkisar antara 28,20oC – 31,20oC.
Sedangkan menurut penelitian Khan (2004) SPL di sekitar perairan Pulau Pandan Kabupaten Asahan berkisar antara 30,00oC – 31,00oC.
BRKP (2002) menyatakan bahwa SPL di perairan Kabupaten Asahan
berkisar antara 28,00oC – 31,00oC. SPL pada musim Barat berkisar antara
28,00oC – 29,00oC. SPL pada musim peralihan pertama berkisar antara 29,00oC –
30,00oC. SPL pada musim Timur berkisar antara 30,00oC – 31,00oC, sedangkan
SPL pada musim peralihan kedua berkisar antara 29,00oC – 30,00oC.
4.2.5 Salinitas
Salinitas di perairan Selat Malaka lebih bervariasi baik secara spasial maupun temporal dibandingkan dengan SPL (Wyrtki 1961). Variasi spasial terjadi akibat pengaruh masukan air tawar, sehingga salinitas pada perairan dimana sungai bermuara akan lebih rendah dibanding lokasi yang jauh dari muara sungai. Variasi temporal terjadi akibat perubahan curah hujan dan debit air sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Menurut Wyrtki (1961), salinitas bulanan rata -rata di Selat Malaka bervariasi antara 29,8‰ - 31,5‰ dimana salinitas minimum terjadi pada bulan Desember dan salinitas maksimum terjadi pada bulan Juli.
Hasil pengukuran yang dilakukan oleh BPPT (2004) menunjukkan bahwa salinitas permukaan di perairan bagian Utara Kabupaten Asahan berkisar antara
30‰ - 33‰. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Khan (2004) menunjukkan
salinitas permukaan di sekitar perairan Pulau Pandan Kabupaten Asahan berkisar antara 25,5‰ – 30‰. Menurut BRKP (2002) salinitas permukaan di perairan Selat Malaka berkisar antara 31‰ – 32‰.
4.3 Operasi Penangkapan Ikan Kembung dengan Pukat Cincin
Usaha penangkapan ikan kembung (Rastrelliger spp) di Kabupaten
Asahan secara umum didominasi oleh perikanan pukat cincin atau dalam bahasa daerahnya pukat langgar. Perikanan pukat cincin sebagian besar hanya terdapat di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Tanjung Balai, Sei Kepayang dan Tanjung Tiram. Dari ketiga kecamatan tersebut hasil tangkapan umumnya didaratkan di tangkahan-tangkahan yang ada di Kecamatan Tanjung Balai. Di Kecamatan Tanjung Balai telah didirikan pelabuhan perikanan tetapi tidak
(31)
berfungsi sebagaimana mestinya, karena masing-masing pemilik kapal yang umumnya warga keturunan Tionghoa telah memiliki tangkahan atau gudang ikan masing-masing sehingga kegiatan mulai dari proses pembekalan untuk ke laut sampai bongkar muat hasil tangkapan dilakukan di tangkahan atau gudang ikan masing-masing pemilik kapal, akibatnya pelabuhan yang telah dibangun tidak berfungsi maksimal.
Gambar 4 Pelabuhan perikanan di Kabupaten Asaha n
Di wilayah perairan Kabupaten Asahan terdapat dua jenis ikan kembung, yaitu : ikan kembung perempuan dan ikan kembung lelaki. Berdasarkan statistik perikanan Indonesia, ikan pelagis dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil. Ikan kembung termasuk ikan kelompok pelagis kecil sekelompok dengan spesies lain seperti ikan alu-alu, layang, selar, tetengkek, daun bambu, sunglir, jalung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-parang, terubuk, ikan terbang, belanak dan kacang-kacang. Ikan kembung terdiri dari tiga spesies, yaitu : kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dan
Rastrelliger faughni.
Waktu operasi penangkapan ikan dengan menggunakan pukat cincin
biasanya berangkat dari fishing base (tangkahan) pada pukul 11.00 WIB saat
terjadi pasang surut permukaan laut. Mengingat tangkahan-tangkahan yang ada di daerah ini berada pada bagian muara sungai dengan tingkat pendangkalan yang tinggi, maka nelayan harus menunggu air pasang agar kapal tidak kandas.
(32)
Dalam satu unit kapal pukat cincin biasanya terdapat 20 - 30 orang anak buah kapal (ABK) dengan perincian tugas sebagai berikut : (1) satu orang nakhoda yang dinamakan dengan ”tekong”. Tekong ini merupakan orang paling bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya operasi penangkapan, (2) satu orang wakil nakhoda (wakil tekong), bertugas mengantikan posisi nakhoda jika nakhoda lagi istirahat, (3) 15 - 20 anak buah kapal (ABK), bertugas menurunkan dan menaikkan alat tangkap, (4) dua orang juru masak, bertugas menyiapkan makanan dan minuman bagi awak kapal.
Untuk mencapai daerah penangkapan ikan kembung perempuan diperlukan waktu sekitar 3 - 4 jam bagi kapal pukat cincin yang tidak menggunakan alat bantu rumpon (tuasan). Untuk kapal pukat cincin yang menggunakan rumpon (tuasan) diperlukan waktu sekitar 7 - 9 jam untuk mencapai daerah penangkapan ikan kembung lelaki.
Penurunan (setting) dan penarikan (hauling) alat tangkap dilakukan pada sisi lambung bagian kanan kapal. Posisi kapal diatur sedemikian rupa agar jaring tidak terpuntal pada baling-baling kapal. Setting berturut-turut dari salah satu ujung bagian pelampung dan badan serta bagian bawah jaring sampai akhirnya pada bagian ujung sayap lainnya. Disela-sela penurunan jaring (setting) tersebut beberapa ABK menyiapkan cincin dan tali kerut pada tali ris bawah jaring yang telah dipasang tali ring.
(33)
Untuk melihat gerombolan ikan biasanya ada tanda-tanda tertentu seperti warna air laut yang agak kehitaman dibandingkan dengan daerah sekitarnya, disamping itu juga ditandai dengan burung-burung yang berterbangan mengejar gerombolan ikan. Tanda-tanda gerombolan ikan untuk setiap spesies biasanya berbeda. Ikan kembung biasanya ditangkap pada malam hari sekitar jam 24.00 kebawah, tanda -tanda gerombolan ikan kembung ini biasanya ditandai dengan sekumpulan warna air laut yang agak keperak-perakan, sedangkan untuk ikan tongkol yang biasanya tertangkap pada siang hari ditandai dengan adanya sekumpulan burung-burung laut yang terbang sambil bercengkrama dengan ikan
tersebut serta adanya percikan-percikan dan ikan-ikan yang bermunculan ke arah permukaan. Ikan kembung termasuk jenis ikan pelagis yang hidup
bergerombol, baik di perairan pantai maupun lepas pantai.
Dalam melakukan pemburuan gerombolan ikan sangat sulit sekali, hal ini disebabkan karena gerombolan ikan tersebut terus bergerak dan jika tidak seksama gerombola n itu hilang dari pantauan nakhoda. Ketika telah ditemukan gerombolan ikan yang kira-kira dapat ditangkap dan mempunyai kuantitas yang
tinggi baru alat tangkap diturunkan. Dalam satu kali setting alat tangkap ini
memerlukan waktu sekitar 30 menit.
Gambar 6 Gerombolan ikan kembung tampak di permukaan laut
Waktu setting alat tangkap yang pertama kali diturunkan adalah
(34)
dilengkapi dengan lampu sehingga memudahkan nakhoda dala m menentukan titik awal pelepasan alat tangkap. Setelah pelepasan pelampung tanda diikuti dengan cincin dan badan jaring sampai habis sehingga membentuk lingkaran. Agar gerombolan ikan tidak keluar melalui celah antara badan jaring maka beberapa anak buah kapal (ABK) melemparkan bambu atau besi ke dalam air yang berfungsi untuk menakuti ikan agar tidak keluar melalui celah badan jaring yang belum tertutup. Sementara itu mesin kapal terus menarik cincin kembali ke arah semula diikuti dengan penarikan badan jaring, sehingga akhirnya akan terbentuk sebuah wilayah yang berupa mangkok dan ikan tidak bisa lagi keluar dari badan jaring.
Setelah ikan terkumpul maka ikan diangkat dengan menggunakan sero yang telah dilengkapi dengan katrol sehingga dapat dengan mudah diangkat ke kapal. Untuk jenis ikan kembung biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan spesies lain seperti ikan tongkol dan kakap. Hal ini disebabkan karena ukuran ikan kembung yang lebih kecil dibandingkan kedua spesies ikan tersebut, sehingga ikan ini banyak menempel pada tubuh jaring dan
memerlukan waktu yang lebih lama dalam penanganan haulingnya. Dalam satu
hari operasi penangkapan paling banyak dilakukan setting 2 - 3 kali setting
tergantung pada gerombolan ikan yang ditemukan.
(35)
4.4 Unit Penangkapan Pukat Cincin
Usaha penangkapan ikan kembung di Kabupaten Asahan didominasi oleh kapal pukat cincin. Pukat cincin merupakan alat tangkap ikan pelagis kecil yang paling efe ktif sejak diperkenalkan pada tahun 70-an di perairan Selat Malaka. Perikanan pukat cincin telah berkembang pesat baik dalam hal upaya penangkapan (ukuran kapal, jumlah unit kapal, jumlah trip) maupun daerah penangkapan yang semakin luas. Untuk wilayah Kabupaten Asahan usaha penangkapan ikan kembung dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk menangkap ikan kembung lelaki digunakan kapal pukat cincin yang menggunakan tuasan atau rumpon, sedangkan untuk menangkap ikan kembung perempuan digunakan kapal pukat cincin yang tidak menggunakan tuasan.
Kapal pukat cincin yang beroperasi pada umumnya berbobot 30 - 40 Gross Ton (GT). jaring pukat cincin yang digunakan mempunyai panjang 1000 - 1500 meter dengan kedalaman antara 120 - 150 m (4800 mata). Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan kembung lelaki, beroperasi di sekitar tuasan (rumpon) yang terbuat dari daun kelapa atau bambu dan batu. Lama operasi penangkapan untuk kapal pukat cincin yang menangkap ikan kembung lelaki biasanya memakan waktu operasi penangkapan 6 - 7 hari per trip mengingat wilayah penangkapan yang jauh dari wilayah pantai Asahan. Kapal pukat cincin yang menangkap ikan kembung perempuan biasanya memakan waktu 3 - 4 hari per trip, tapi jika musim penangkapan ikan waktu satu trip operasi penangkapan bisa mencapai 2 hari atau 3 kali dalam semingggu, seperti pada bulan Mei-Juli.
(36)
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Suhu Permukaan Laut Hasil Pengukuran Satelit
Pada tanggal 13 Desember 2004, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 30,00oC. SPL dominan berkisar antara 28,10oC - 29,00oC yang tersebar hampir merata di daerah perairan Pantai Timur Sumatera Utara. SPL minimum
(27,10oC - 28,00oC) terdapat di bagian Utara perairan Pantai Timur Sumatera
Utara, sedangkan SPL maksimum (29,10oC - 30,00oC) terdapat di bagian Selatan
Tanjung Siapi-api Kota Tanjung Balai Asahan. Secara geografis semakin ke Utara SPL semakin rendah. SPL semakin ke arah Selatan semakin tinggi, sedangkan ke arah Barat dan Timur SPL relatif sama (Gambar 8a).
Pada tanggal 20 Januari 2005, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 28,00oC. SPL dominan berkisar antara 26,00oC - 27,00oC yang tersebar merata di seluruh perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis semakin ke arah Timur SPL semakin tinggi, sedangka n dilihat dari arah Selatan dan Utara SPL relatif sama. SPL yang rendah sangat mendominasi pada citra bulan ini (Gambar 8b).
Pada tanggal 06 Februari 2005, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 31,00oC. SPL dominan berkisar antara 29,10oC - 30,00oC yang tersebar hampir merata di seluruh perairan Pantai Timur Sumatera Utara. SPL minimum
(27,10oC - 28,00oC) terdapat pada bagian Utara, sedangkan SPL tertinggi
(30,10oC - 31,00oC) hanya terdapat pada beberapa titik di sekitar perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis semakin ke Utara SPL semakin rendah, sedangkan ke arah Selatan tidak dapat dianalisis lebih lanjut karena sebagian besar tertutup awan. Arah Barat SPL yang lebih tinggi sangat mendominasi jika dibandingkan ke arah Timur perairan Pantai Timur Sumatera Utara (Gambar 8c).
(37)
(a) Tanggal 13 Desember 2004
(b) Tanggal 20 Januari 2005 Gambar 8 Peta tematik SPL musim Barat
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat Awan
26,00oC – 27,00oC
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
Sumber : Citra satelit NOAA - AVHRR
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat
Awan
26,00oC – 27,00oC
Sumber : Citra satelit NOAA - AVHRR
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
(38)
(c) Tanggal 06 Februari 2005 Gambar 8 (Lanjutan) Peta tematik SPL musim Barat
Pada tanggal 10 Maret 2005, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 32,00oC. SPL dominan berkisar antara 28,10oC - 29,00oC yang tersebar
dari arah Barat sampai Utara Selat Malaka. SPL minimum (27,10oC - 28,00oC)
terdapat di bagian Utara. SPL maksimum (31,10oC - 32,00oC) terdapat di bagian Timur yakni di sekitar perairan Negara Bagian Perak Malaysia. Secara geografis semakin ke arah Utara dan Timur SPL relatif sama, jika dilihat dari arah Barat dan Timur semakin ke Timur SPL semakin tinggi. Pada citra terlihat adanya gangguan berupa garis lurus berwarna putih yang kemungkinan disebabkan kesalahan detektor, hal ini terjadi pada sensor karena adanya perbedaan respon dari tiap
band (Gambar 9a).
Pada tanggal 10 April 2005, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 32,00oC. SPL dominan berkisar antara 28,10oC - 29,00oC yang tersebar
di bagian Timur Selat Malaka. SPL minimum (27,10oC - 28,00oC) tersebar pada
bagian Barat perairan Pantai Timur Sumatera Utara. SPL maksimum (30,10oC -
31,00oC) terdapat pada bagian Selatan Selat Malaka yakni pada perairan Bagan
Siapi-api Provinsi Riau. Secara geografis SPL semakin ke Utara semakin rendah,
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat Awan
26,00oC – 27,00oC
Sumber : Citra satelit NoOAA - AVHRR
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
30,10oC – 31,00oC
(39)
ke Selatan semakin tinggi. SPL semakin ke Barat semakin rendah, ke Timur semakin tinggi (Gambar 9b).
Pada tanggal 18 Mei 2005, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 32,00oC. SPL dominan berkisar antara 30,10oC - 31,00oC yang tersebar hampir merata di daerah perairan Pantai Timur Sumatera Utara. SPL minimum (27,10oC - 28,00oC) tersebar di beberapa titik seperti yang terdapat di sekitar
Pantai Cermin Kabupaten Deli Serdang. SPL maksimum (31,10oC - 32,00oC)
terdapat di bagian Timur tepatnya pada perairan Negara Bagian Selangor Malaysia. Secara geografis semakin ke Timur SPL semakin meningkat, ke Selatan dan Utara SPL relatif sama (Gambar 9c).
(a) Tanggal 10 Maret 2005 Gambar 9 Peta tematik SPL musim peralihan pertama
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat
Awan
26,00oC – 27,00oC
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
30,10oC – 31,00oC
31,10oC – 32,00oC
Sumber : Citra satelit NOAA - AVHRR
(40)
(b) Tanggal 10 April 2005
(c) Tanggal 18 Mei 2005
Gambar 9 (Lanjutan) Peta tematik SPL musim peralihan pertama
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat Awan
26,00oC – 27,00oC
Sumber : Citra satelit NOAA - AVHRR
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
30,10oC – 31,00oC
31,10oC – 32,00oC
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat Awan
26,00oC – 27,00oC
Sumber : Citra satelit NOAA - AVHRR
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
30,10oC – 31,00oC
(41)
Pada tanggal 12 Juni 2005, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 32,00oC. SPL dominan berkisar antara 31,10oC - 32,00oC yang tersebar
pada bagian Utara perairan Pantai Timur Sumatera Utara. SPL minimum (27,10oC
- 28,00oC) tersebar di bagian Selatan di sekitar perairan Tanjung Siapi-api Kota
Tanjung Balai Asahan. SPL maksimum (31,10oC - 32,00oC) tersebar di bagian
Utara di sekitar Pantai Cermin Kabupaten Deli Serdang. Secara geografis semakin ke Utara SPL semakin tinggi. Semakin ke Selatan SPL semakin rendah, semakin ke Barat dan Timur SPL relatif sama (Gambar 10a).
Pada tanggal 18 Juli 2004, SPL bervariasi yang berkisar antara 26,00oC - 32,00oC. SPL dominan berkisar antara 30,10oC - 31,00oC yang tersebar
hampir merata di perairan Pantai Timur Sumatera Utara. SPL minimum (27,10oC
- 28,00oC) tersebar di beberapa titik perairan. SPL maksimum (31,10oC - 32,00oC) tersebar di bagian Selatan di sekitar perairan Tanjung Siapi-api Kota Tanjung Balai Asahan. Secara geografis semakin ke Selatan SPL semakin tinggi (Gambar 10b).
(a) Tanggal 12 Juni 2005 Gambar 10 Peta tematik SPL musim Timur
Peta Tematik Suhu Permukaan Laut
(SPL)
Keterangan : Darat Awan
26,00oC – 27,00oC
Sumber : Citra satelit NOAA - AVHRR
27,10oC – 28,00oC
28,10oC – 29,00oC
29,10oC – 30,00oC
30,10oC – 31,00oC
(1)
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Sebaran SPL dominan di perairan Pantai Timur Sumatera Utara adalah antara 26,31oC – 31,55oC, dengan SPL rata -rata adalah antara 26,67oC – 29,43oC. SPL optimum untuk penyebaran daerah penangkapan ikan kembung lelaki berkisar antara 28,82oC – 30,48oC. SPL optimum untuk penyebaran daerah penangkapan ikan kembung perempuan berkisar antara 28,78oC – 29,96oC. Salinitas untuk penyebaran daerah penangkapan ikan kembung lelaki berkisar antara 31‰ – 33‰, sedangkan untuk ikan kembung perempuan berkisar antara 27‰ – 30‰. Zona potensial penangkapan ikan kembung lelaki terdapat di sekitar Pulau Berhala pada posisi 03o 40’ 00” – 03o 50’ 00” LU, 99o 40’ 00”- 100o 00’ 00” BT , sedangkan untuk ikan kembung perempuan terdapat di bagian Timur Tanjung Siapi-api Kota Tanjung Balai Asahan pada posisi 03o 10’ 00” – 03o 20’ 00” LU, 100o 20’ 00”-100o 30’ 00” BT.
7.2 Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan SPL diikuti denga n peningkatan hasil tangkapan. Namun apakah peningkatan hasil tangkapan ini berhubungan juga dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a, untuk itu disarankan untuk menganalisis korelasi antara konsentrasi klorofil-a dan hasil tangkapan.
Untuk mendapatkan informasi tentang pola pergerakan spasial dari masing-masing spesies ikan kembung disarankan melakukan penelitian hasil tangkapan secara spasial.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Anawat PR, Sadhotomo B, Ghofar A. 2000. Pelagic fisheries and environmental variability In The Southeast Asian Seas. Thailand. 28 p.
Atmaja SB, Suwarso A, Krissunari D. 1991. Pendugaan kelangsungan hidup ikan banyar (Rastrelliger kanagurta). Laporan Penelitian Perikananan Laut III:51-57.
Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dwi Sri. 95 halaman.
Barnes H. 1988. Oceanography and marine biology. An Annual Review. Volume 22. Aberdeen: Aberdeen University Press.
Birowo, Arief. 1983. Upwelling atau penaikan massa air. Pewarta Oceana. II (3). Jakarta: LON-LIPI.
[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2004. Kondisi oseanografis perairan Kabupaten Asahan. Jakarta.
[BPS-BAPPEDA Kabupaten Asahan] Badan Pusat Statistik – Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Asahan. 2003. Asahan Dalam Angka 2002. Kisaran: Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan. 380 halaman.
[BRKP] Balai Riset Kelautan dan Perikanan. 2002. Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 48 halaman.
[BRPL] Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. Departemen Kela utan dan Perikanan. 116 halaman.
Burhanuddin, Djamali A. 1977. Penelaahan fekunditas ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) Cuvier di perairan Pulau Panggang, Pulau – pulau Seribu dengan catatan musim memijah. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI. Halaman 413-420
Burhanuddin, Martosewojo S, Adrim M, Hutomo M. 1984. Sumberdaya Ikan Kembung. Jakarta: Lemba ga Oseanologi Nasional-LIPI. 50 halama n.
Butler MJA, Mouchot MC, Barale V, Le Blanc C. 1988. The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries. An Introduction Manual. FAO Fisheries Technical Paper. 295 p.
Chisastit C. 1962. Progress report on tagging exsperiment of chub mackerel (Rastrelliger spp) in The Gulf of Thailand in The Year 1961. IPFC. Proceeding 10th Session Section II. 1962: 22-23.
(3)
Colette BB, Nauen CE. 1983. FAO spesies cataloque. Vol. 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated cataloque of tunas, mackerels, bonitos, and related species knows to date. FAO Fish. Synop. Vol.2: 137 p.
Cuvier. 1817. FAO/SIDP spesies identification sheets. http://www.oceanatlas.org/ world_fisheries_and_aquaculture/html/resources/capture/mainspec/spe cies/sp2478.htm.[19 Juli 2005].
Denmann KL. 1984. Effect of physical process on planktonic ecosystem in the coastal ocean. Oceanography Marine Biology. Ann. Rev. 22.
Dhebataron Y, Chotiyapatt K. 1974. Review of the Mackerel Fishery (Rastrelliger spp) in Gulf of Thailand. Proc. Indo – Pacific Fish. Coun, 15 (III): 265-286.
Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara. 1999. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1999. Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara. 125 halaman.
________. 2000. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 2000. Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara. 114 halaman.
[DJP] Direktorat Jenderal Perikanan. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut Bagian I Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting. Jakarta: Departemen Pertanian.
Fischer W, Whitehead PJP. 1974. FAO Spesies identification sheet for fishery purposes. Eastern Indian Ocean (Fishery Area 57) and Western Central Pacific (Fishing Area 71). Vol IV. ISW. ISEW. Teleoster Identification Sheet, Taxonomi, Geographic Distribution. Fisheries, Vercular Names, Rome: FAO.
Gaol JL. 2003. Kajian karakter oseanografi Samudera Hindia bagian Timur dengan menggunakan multi sensor citra satelit dan hubungannya dengan hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus). Disertasi (tidak dipublikasikan) Program Doktor Teknologi Kelautan IPB. Bogor. 86 halaman.
Gaol JL, Wudianto, Pasaribu B, Manurung D, Endriani R. 2004. The fluctuation of chlorophyll-a concentration derived from satellite imagery and catch of oily sardine (Sardinella lemuru) in Bali Strait. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. IReSES. Vol (I) : 24 – 30.
Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.149 halaman.
Hardenberg JA. 1955. Preliminary report on migration of fish in The Java Sea. Trendea Dell. 246 p.
(4)
Hariati T, Taufik M, Zamroni A. 2005. Beberapa aspek reproduksi ikan layang (Decapterus ruselli) dan ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Selat Malaka Indonesia. JPPI Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Volume 11(2): 47-56.
Hasyim B. 1999. Analisis distribusi suhu permukaan laut dan kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. ISBN: 979-95760-1-6: III-22 – III-46.
Hasyim B. 2003. Kajian daerah penangkapan ikan dan budidaya laut berdasarkan data penginderaan jauh dan SIG di wilayah Situbondo (tesis).Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 136 halaman.
Hayes LM, Laevestu T. 1982. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. England. 199 p.
[JODC] Japan Oceanographic Data Center. Oceanographic data from Western Park of ASEAN waters. http://www.petalaut.infobcs.com. [25 Juli 2005]
Kartasasmita M. 1999. Beberapa pemikiran operasional aplikasi teknologi penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta. ISBN;979-95760-1-6. (I-2, I-6).
Kasim KY, Nasir M. 1998. Sea surface temperature distribution mapping of The exclusive economic zone Of Malaysia. Malaysia. http:/www. mfrdmd.org.my/sumber/suppl%20vol/Kkasim1ZEE/Kkasim1ZEE.htm. [19 Juli 2005]. 18 p.
Khan AM. 2004. Studi pengembangan ekowisata bahari di Kabupaten Asahan. Studi kasus Pulau Pandan (tesis). Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.85 halaman.
Kriswantoro M, Sunyoto. 1986. Mengenal Ikan Laut. Jakarta: Badan Penerbit Karya Bani. 99 halaman.
Laevastu T, Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. London: Fishing News Books. 223 p.
Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries Oseanography and Ecology. London: Fishing News(Books) Ltd. 199 p.
Luther G. 1973. Observation on the biology and fishery of the Indian mackerel (Rastrelliger kanagurta) from Andaman Island. Indian Journal of Fisheries, 1973;20:425-447.
(5)
Makridakis S, McGee VE, Wheelwright SC 1999. Meto de dan Aplikasi Peramalan.Edisi ke-2. Jilid I. Penerjemah; Andriyanto US, Basith A editor. Jakarta. Penerbit Erlangga. 532 halaman.
Mann KH, Lazier JRN. 1996. Dynamics of Marine Ecosystems. Biological-Physical Interaction in The Ocean. Blackwell Scientific Publication. 466 p.
Martasuganda S, Sudrajat AO, Saad S, Purnomo J, Basuki R, Asyik MN, Rustam S, Cristanto D. 2004. Teknologi Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Seri Alat Tangkap Ikan. Jakarta: CV. Cipta Sarana. Departemen Kelautan dan Perikana n. 92 halaman.
Martasuganda S. 2004. Pemantapan dan Bimbingan Teknis Usaha Perikanan Tangkap. Modul Pelatihan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 44 halaman.
McMillin LM, Crosby DS. 1984. Theory and validation of the multiple windows sea surface temperature technique. Journal of Geophysical Research.
89(03): 3655-3661.
McClain EP, Pichel WG, Walton CC. 1985. Comaparative preformance of AVHRR-based multichannel sea surface temperatures. Journal of Geophysical Research. 90, 11587-11601.
Menon MD, Radhakrishnan N. 1974. Present status of knowledge regarding the biology on indian mackerel (Rastrelliger kanagurta). Proc. Indo-Pacific Fish. Coun. 15 (III) : 343-350.
Merta IGS. 1995. Review of the lemuru fishery in The Bali Strait. Pelfish, Jakarta. Reports on the “Biodynex” Seminar, Biology, Dynamic and Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea.
Nikolsky KV. 1963. The Ecology of Fisheries. Academic Press. London and New York. 352 p.
Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. 368 halama n.
. 1993. Pengolahan sumberdaya kelautan Indonesia dengan tekanan utama pada perairan pesisir. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Hang Tuah. Surabaya.
Nurhakim S. 1993. Beberapa aspek reproduksi ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 81 : 8-20.
Nugroho D, Pedir D, Cotel P, Luang N. 1996. Pelagic fish shoals in the Java seas. Pelagic Fishery Assessment Project. Scientific and Technical Document
(6)
Potier M, Boely, Nurhakim S. 1989. Study on the big purse seiners fisheries in The Java Sea. Environment of the Java Sea. J. Mar. Fish. Res. 51: 79-100.
Reddy MP. 1993. Influence of the various oceanographic parameters on the abundance of fish catch. Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries. India, 7-11 December 1993.
Robinson IS. 1991. Satellite Oceanography, An Introduction for Oceanographer and Remote Sensing Scientist. England: Ellis Horwood Limited. John Wiley and Sons. 455 p.
Soemarto. 1985. Daerah Penangkapan Ikan . Jakarta: Akademi Usaha Perikanan.
Sudirman, Mallawa A. 2004. Teknologi Penangkapan Ikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Jakarta.168 halaman.
Suhendrata B, Badrudin M. 1990. Sumberdaya perikanan demersal di perairan pantai Utara Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 5:1-7.
Suhendrata B, Rusmadji. 1991. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad dan perbandingan kelamin ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) di perairan sebelah Utara Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 64:59-63.
Sujastani T. 1974. The spesies of Rastrelliger kanagurta in the Java Sea, their taxonomy and morphometry (Perciforme, Scombridae). Mar. Res. Indonesia. 16 : 1-29.
Suwarso A, Hariati T. 2003. Biologi dan ekologi ikan pelagis kecil di pantai Utara Jawa Barat dan Selat Sunda . JPPI Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9(7): 29 – 36.
Valiela I. 1984. Marine Ecological Processes. New York : Springer-Verlag. 546 p.
Widodo J. 1999. Aplikasi teknologi penginderaan jauh untuk perikanan di Indonesia. Prosiding seminar validasi data Inderaja untuk bidang perikanan. BPPT-Jakarta. ISBN;979-95760-1-16:II-1 – II-21.
Wyrtki K. 1956. Monthly charts of surface salinity in Indonesian and adjacent waters. J Cons. Int. Explore. Mer. 21. 268-279.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. California: The University of California. La Jolla II. 195 p.