proses pemisahan cairan silase dan ampas silase. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan kain blacu atau kain saring. Molase yang bersifat kental dan
lengket menyebabkan masih banyak mineral dan protein yang masih menempel pada ampas silase. Masih tingginya kadar protein dan abu pada ampas silase juga
akibat dari kurang sempurnanya pencucian yang dilakukan.
4.2 Penelitian Tahap II
Penelitian tahap II merupakan lanjutan dari penelitian tahap I yaitu pembuatan kitosan dari ampas silase. Penelitian tahap II ini menggunakan ampas
silase yang merupakan residu dari pembuatan silase pada penelitian tahap I. Ampas silase yang digunakan berasal dari silase dengan konsentrasi molase 5 ,
15 dan 25 . Pembuatan kitosan ini melalui proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Metode pembuatan kitosan pada penelitian ini
mengikuti metode dari Suptijah et al. 1992 . Kitosan yang diperoleh dijemur pada sinar matahari selama 1 – 2 hari
sampai kering dan dianalisis mutunya, meliputi kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi. Pada proses deasetilasi digunakan suhu 100
o
C. Sedangkan menurut metode dari Suptijah et al. 1992 suhu deasetilasi berkisar
antara 120 – 140
o
C. Penggunaan suhu 100
o
C mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astuti 2006 , bahwa pada suhu ini kitosan
yang dihasilkan sudah dapat memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories.
4.2.1 Rendemen
Rendemen kitosan pada penelitian ini berkisar antara 26,40 – 32,28 . Nilai rendemen terendah yaitu pada kitosan yang dibuat dari ampas silase dengan
penambahan molase 15 . Sedangkan nilai rendemen tertinggi dimiliki kitosan yang dibuat dari ampas silase dengan konsentrasi molase 25 Gambar 7 .
Suptijah et al. 1992 dalam percobaannya menunjukkan bahwa rendemen kitosan yang dihasilkan berkisar antara 20 – 30 .
29.25 26.4
32.28
5 10
15 20
25 30
35
5 15
25
Konsentrasi Molase Ren
d emen
Gambar 7 Histogram nilai rata-rata rendemen kitosan dari ampas silase Rendemen kitosan yang diperoleh merupakan hasil dari proses
demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Hal ini berhubungan dengan terbuangnya komponen-komponen mineral, protein dan gugus asetil yang
terkandung pada kitin. Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya rendemen kitosan, misalnya pada penggunaan konsentrasi reagen dan suhu
proses. Semakin tinggi konsentrasi reagen dan suhu yang digunakan, maka energi yang dihasilkan juga semakin besar, sehingga pemutusan ikatan dengan mineral,
protein dan N-asetil dari kitin menjadi lebih mudah. Proses pencucian yang kurang baik juga akan mempengaruhi rendemen
bahkan mutu kitosan. Komponen-komponen mineral, protein dan gugus asetil yang tidak terbuang secara sempurna saat pencucian akan berikatan kembali
dengan kitosan yang menyebabkan kenaikan berat molekul kitosan. Keadaan ini akan mempengaruhi nilai rendemen kitosan walaupun nilainya kecil.
4.2.2 Kadar abu
Kadar abu kitosan menunjukkan banyaknya kandungan mineral yang terdapat pada kitosan, yaitu sisa-sisa mineral yang tertinggal setelah proses
demineralisasi. Oleh karena itu kadar abu merupakan salah satu parameter yang penting untuk menunjukkan keefektifan proses demineralisasi dilihat dari
penurunan kadar abunya.
Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0,018 – 0,123 . Nilai ini sudah memenuhi standar mutu kitosan
menurut Protan Laboratories, yaitu ≤ 2 . Kadar abu terendah dimiliki oleh
kitosan yang berasal dari ampas silase dengan penambahan molase 25 , sedangkan kadar abu tertinggi adalah kitosan yang berasal dari ampas silase
dengan penambahan molase 5 Gambar 8 .
0.123 0.115
0.018 0.02
0.04 0.06
0.08 0.1
0.12 0.14
5 15
25
Konsentrasi Molase N
ila i R
a ta
-r a
ta - K
a da
r A b
u
Gambar 8 Histogram nilai rata-rata kadar abu kitosan dari ampas silase Dari Gambar 8 dapat terlihat bahwa kitosan dari ampas silase yang
diperoleh dari proses silase dengan penambahan molase sebesar 25 mempunyai kadar abu paling rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
penambahan konsentrasi molase pada penelitian tahap I memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu kitosan. Hal ini juga terlihat dari kadar abu dari
ampas silase yang semakin rendah seiring dengan meningkatnya konsentrasi molase.
Semakin meningkatnya konsentrasi molase yang ditambahkan pada silase menyebabkan makin bertambahnya jumlah bakteri, dan jumlah bakteri yang
bertambah dapat mengefektifkan aktivitas bakteri itu sendiri. Kemungkinan selama proses pembuatan silase tersebut bakteri dapat mengubah struktur kimia
yang terdapat dalam kulit ampas udang menjadi suatu ikatan kimia yang labil. Sehingga pada saat proses demineralisasi yang menambahkan asam kuat dan
disertai dengan pemanasan menyebabkan ikatan kimia semakin lemah dan
mineral-mineral yang terkandung di dalamnya dapat dengan mudah terpisah dan terbuang secara sempurna saat pencucian.
Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang rendah menunjukkan bahwa proses demineralisasi telah berjalan dengan baik. Proses demineralisasi akan
berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai dengan pengadukan yang konstan.
Pengadukan ini diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen dan asam yang digunakan dapat bereaksi sempurna dengan bahan Karmas 1982, diacu
dalam Luhur, 2006 . Pada proses demineralisasi, senyawa kalsium dalam kulit udang akan
bereaksi dengan HCl dan menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut dalam air. Pada saat pemisahan ketiga senyawa ini akan terpisah
sebagai filtrat melalui air Bastaman 1989, diacu dalam Alamsyah 2000 .
4.2.3 Kadar nitrogen