Laju Penyusutan Bobot Perubahan kekerasan Warna Total Padatan terlarut Uji Organoleptik

23

D. Pengamatan

1. Laju Penyusutan Bobot

Penurunan susut bobot dilakukan berdasarkan persentase penurunan berat bahan sejak awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung susut bobot adalah sebagai berikut : Susut bobot = 100 × − W W W a ........................................................ 6 dimana : W = bobot bahan awal penyimpanan gr W a = bobot bahan akhir penyimpanan gr

2. Perubahan kekerasan

Kekerasan diukur menggunakan Rheometer. Irisan sirsak yang akan diukur nilai kekerasannya diletakkan pada alat kemudian ditusuk pada tiga titik berbeda dengan tiga kali pengulangan. Alat di set pada beban maksimum 2 kg dengan kedalaman tusukan 10 mm. Dilakukan 3 kali ulangan untuk tiap perlakuan.

3. Warna

Pengujian warna menggunakan Chromameter CR-200. Data warna dinyatakan dengan nilai L kecerahan. Nilai L menyatakan kecerahan cahaya pantul yang menghasil warna akromatik putih, abu-abu dan hitam, bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Nilai L yang semakin kecil menunjukkan buah sirsak sudah tidak dalam kondisi yang baik karena warnanya semakin keruh dan coklat.

4. Total Padatan terlarut

Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refraktometer. Irisan sirsak yang akan diukur total padatan terlarutnya di hancurkan kemudian diukur kadar gulanya o Brix. Dilakukan 3 kali ulangan untuk tiap perlakuan. 24

5. Uji Organoleptik

Jumlah panelis sebanyak 15 orang. Uji yang dilakukan adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Parameternya adalah warna, kekerasan, aroma, dan rasa. Pada tingkat ini panelis diminta untuk mengemukakan tingkat kesukaan pada irisan sirsak. Digunakan 5 skala hedonik berurutan mulai dari 1 sangat tidak suka, 2 tidak suka, 3 netral, 4 suka, dan 5 sangat suka. Batas penolakan konsumen adalah 3.5. 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengukuran Laju Respirasi Irisan Sirsak Berdasarkan pengukuran, rata-rata konsentrasi O 2 pada suhu 5 o C berkurang dari 21 menjadi 19.50. Sedangkan pada konsentrasi CO 2 bertambah dari 0.03 menjadi 1.93 selama 312 jam. Pada jam ke 192 irisan sirsak sudah terlihat kusam agak ke kuningan. Pada jam ke 312 pengamatan dihentikan karena irisan sirsak sudah mengalami browning. Pada suhu 10 o C rata-rata konsentrasi O 2 berkurang dari 21 menjadi 15.47. Sedangkan pada konsentrasi CO 2 bertambah dari 0.03 menjadi 2.44 selama 72 jam. Pengamatan diberhentikan pada jam ke-72 karena sudah mulai tumbuh jamur pada daging buah sirsak. Dari data yang diperoleh, didapatkan gambaran, bahwa penurunan konsentrasi gas O 2 pada suhu ruang dari 21 menjadi 11.37. Sedangkan konsentrasi CO 2 bertambah dari 0.03 menjadi 14.88 selama 48 jam. Pengamatan diberhentikan pada jam ke-48 karena irisan sirsak sudah berlendir dan berjamur. Berdasarkan hasil pengamatan, laju respirasi irisan sirsak pada suhu 5 o C lebih kecil dari pada laju respirasi pada suhu 10 o C. Begitu pula dengan laju respirasi pada suhu 10 o C lebih kecil dari pada laju respirasi pada suhu ruang. Hasil pengukuran laju konsumsi O 2 pada suhu 5 o C, 10 o C, dan suhu ruang berturut-turut adalah 11.81 mlkg.jam, 30.69 mlkg.jam, dan 114.12 mlkg.jam. Untuk pengukuran laju kenaikan CO 2 pada suhu 5 o C, 10 o C, dan suhu ruang berturut-turut adalah 15.34 mlkg.jam, 29.51 mlkg.jam, dan 118.76 mlkg.jam. Perubahan laju respirasi irisan sirsak terolah minimal pada suhu 5 o C, 10 o C dan pada suhu ruang disajikan pada grafik dalam Gambar 5-7 serta tabel pada Lampiran 1. 26 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 50 100 150 200 250 300 350 Jam ke - L a ju r esp ir as i m l kg .j am O2 CO2 Gambar 5. Laju produksi CO 2 dan laju konsumsi O 2 irisan sirsak terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 5 o C. 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 20 40 60 80 Jam ke- L aj u resp ir asi m l kg .j am O2 CO2 Gambar 6. Laju produksi CO 2 dan laju konsumsi O 2 irisan sirsak terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 10 o C. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 180.00 200.00 10 20 30 40 50 60 Jam ke- L a ju r e s p ir a s i m lk g .ja m O2 CO2 Gambar 7. Laju produksi CO 2 dan laju konsumsi O 2 irisan sirsak terolah minimal selama penyimpanan pada suhu ruang. 27 Dari grafik terlihat bahwa pola laju respirasi irisan sirsak terolah minimal pada suhu 5 o C, 10 o C dan pada suhu ruang memiliki pola yang hampir sama dengan laju respirasi yang berbeda. Semakin tinggi suhu, semakin besar laju respirasi. Hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa laju respirasi irisan sirsak terolah minimal pada suhu 5 o C lebih rendah dibandingkan laju respirasi pada suhu 10 o C dan suhu ruang. Apabila dibandingkan dengan grafik pola respirasi yang ada pada Gambar 2 pola respirasi buah sirsak utuh mulai dari setelah pemetikan, pola respirasi pada irisan sirsak terolah minimal Gambar 5, 6 dan 7 dimulai dari fase pematangan buah climacteric riseripening stage in fruit yaitu pada puncak respirasi ke dua pada Gambar 2. Buah-buahan dan sayur-sayuran setelah dipanen masih tetap mengalami proses hidup, yaitu masih berlangsungnya kegiatan respirasi, menyerap oksigen O 2 serta memproduksi CO 2 dan gas ethylene. Respirasi sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat kesegaran, sehingga akan mempengaruhi atau menyebabkan penurunan kualitas buah-buahan atau sayur-sayuran. Semakin tinggi laju respirasi maka waktu penyimpanan akan lebih pendek. Hal ini menyatakan bahwa laju respirasi dapat dijadikan sebagai indikator untuk memperkirakan daya simpan suatu komoditi. Kecepatan laju respirasi buah akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu penyimpanan. Penyimpanan buah-buahan atau sayur-sayuran pada suhu rendah merupakan cara untuk menghambat laju respirasi. Pola konsumsi O 2 sedikit berbeda dengan pola produksi CO 2 . Perbedaan ini selanjutnya akan mempengaruhi nilai RQ respiratory Quotient. Nilai RQ merupakan perbandingan produksi CO 2 terhadap konsumsi O 2 . RQ digunakan untuk menentukan sifat substrat yang digunakan dalam proses respirasi, sejauh mana reaksi respirasi telah berlangsung, dan sejauh mana proses itu bersifat aerobik atau anaerobik. Nilai RQ untuk suhu penyimpanan 5 o C, 10 o C dan suhu ruang berturut- turut adalah 1.30, 0.96 dan 1.04. Bila nilai RQ lebih besar dari 1 seperti diperlihatkan pada suhu penyimpanan 5 o C yaitu sebesar 1.30, kemungkinan ada substrat lain selain heksosa yang dipergunakan dalam proses respirasi. Nilai RQ untuk asam malat, asam tartat dan asam oksalat berturut-turut adalah 1.33, 1.6, 28 dan 4.0. Sebaliknya, bila nilai RQ lebih kecil dari 1 seperti yang ditunjukkan pada suhu penyimpanan 10 o C yaitu sebesar 0.96, kemungkinan substrat lain dari kelompok asam lemak atau protein dipergunakan dalam respirasi. Nilai RQ untuk asam oleat, tripalmitat dan protein berturut turut adalah 0.71, 0.70, dan 0.8-0.9. Nilai RQ lebih rendah dari 1 mungkin juga disebabkan karena proses oksidasi belum tuntas atau kemungkinan bahwa karbon dioksida yang dihasilkan digunakan untuk proses metabolisme lain seperti pembentukkan asam malat dari piruvat Pantastico, 1986. Sementara itu bila nilai RQ sama dengan 1 seperti yang diperlihatkan pada suhu ruang yaitu sebesar 1.04, kemungkinan substrat utama yang dipergunakan dalam respirasi adalah heksosa. Pengukuran laju respirasi irisan sirsak terolah minimal dilakukan dengan menggunakan stoples kedap udara yang dilengkapi dengan 2 dua buah selang seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 8. Stoples kedap udara untuk pengukuran laju respirasi irisan sirsak terolah minimal. Pada pengamatan laju respirasi, berat rata-rata yang digunakan pada irisan sirsak terolah minimal adalah 330 gram dengan volume bebas 3043 ml. Didasari bahwa laju respirasi irisan sirsak terolah minimal pada suhu 5 o C lebih kecil dibanding laju respirasi irisan sirsak terolah minimal pada suhu 10 o C dan suhu ruang, maka suhu 5 o C dipilih untuk melakukan penelitian tahap selanjutnya. 29

B. Penentuan Komposisi Atmosfer Optimum untuk Penyimpanan