Koto 900 – 1596 Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II

28 centimeter. Oleh karena hal tersebut sebuah pedang dengan ukuran sepuluh kepalan dapat mencapai 90 centimeter sampai dengan 1 meter panjangnya. Salah satu jenis bilah pedang pada zaman Jokoto adalah jenis bilah pedang Kiriha-zukuri, bilahnya dengan sisi datar namun dengan sudut tajam meruncing pada ujungnya dan tajam pada sisi ha. Pedang lain adalah jenis bilah pedang Kamasu-kissaki atau hira-zukuri yang merupakan pedang dengan bilah datar namun memiliki hasisi tajam di kedua sisinya. Kedua pedang lurus tersebut dipengaruhi oleh mencontoh bentuk pedang China yang sebelumnya diperoleh dari jalur perdagangan semenanjung Korea. Walaupun sudah ditinggalkan zaman karena rentan akan patah dan efisiensinya kedua jenis pedang ini selanjutnya tetap digunakan sebagai salah satu alat persembahan di kuil untuk dewi Amaterasu. Sebuah pedang jenis terakhir pada era Jokoto adalah jenis bilah Kissaki- moroha-zukuri diperkirakan dibuat dan masih digunakan pada sekitar tahun 700 sampai dengan 800 masehi. Pedang ini merupakan pedang era purba Jokoto yang mengalami evolusi metalurgi yang membuat logamnya menjadi lebih kuat. Pedang jenis ini yang paling terkenal diberi nama Kogarasu Maru gagak kecil dibuat pada tahun 900 masehi yang menandai akhir era pedang zaman Jokoto

2.3 Koto 900 – 1596

Pada periode Heian 794-1185, ketika ibu kota berada di Kyoto, Jepang telah membuat kemajuan dibidang impor bijih besi. Berbeda pada era pedang Jokoto dimana pedang pada masa itu lebih dominan digunakan sebagai peralatan Universitas Sumatera Utara 29 keagamaan, pedang pada era Koto banyak digunakan dalam pertempuran. Pada zaman ini juga para tosho memulai menandatangani pangkal besi genggaman pedang. Salah satu pedang tertua yang masih ada di museum Jepang yang memiliki tanda tangan tosho adalah pedang yang di tempa oleh Sanjo Munechika . Pedang pada era Koto disebut dengan Tachi digunakan dalam pertempuran berkuda kalveleri. Teknik pertarungan diatas kuda gaya pasukan Jepang lebih mengutamakan menyayat atau memotong, daripada menusuk. Dalam situasi gaya pertarungan tersebut, pedang dengan bilah melengkung lebih menguntungkan daripada bilah yang lurus. Pedang tachi harus ringan untuk dapat dipegang dengan satu tangan dalam penggunaannya dengan mengendarai kuda. Pedang pada era Koto berukuran 1 meter, hampir sama dengan ukuran pedang era Jokoto. Namun perbedaan jelas terletak pada bentuknya yang melengkung. Pedang ini digunakan dengan memakai sarung pedang saya diselipkan di pinggang dengan kissaki dan sisi tajam menghadap kebawah. Pedang ini menggunakan bentuk fumbari yaitu bilah yang lebih luas di motohaba dibanding sakihaba, kebalikan dari bentuk Shinken. Pada beberapa temuan pedang ini masih ditemukan hamon yang masih terjaga. Untuk jenis pedang Tachi yang masih ada sampai sekarang tergolong sebagai peninggalan era sangat awal lahirnya pedang Jepang yang digunakan dalam pertempuran. Tidak banyak diketahui tentang Tosho pada zaman ini. Hanya saja mulai zaman ini para penempa pedang pada saat itu sangat erat hubungannya dengan hal religi yang berbau kuil dan upacara keagamaan. Hal tersebut dikarenakan pendeta Jepang ambil andil dalam produksi pedang di zaman ini. Karena hal tersebut para Universitas Sumatera Utara 30 penempa pedang memiliki hak ekslusif dalam memproduksi bilah-bilah pedang. Banyak ditemukan Tachi dari zaman ini dengan ukiran motif horimono Buddha pada bagian Yasurime .Yoshinda, 1987:22. Horimono motif religi yang ditemukan pada bilah pedang semenjak era Heian sampai Nambokucho adalah motif Buddha pelindung Fudo, motif dewa perang dan pemanah Hachiman, motif dewi matahari Amaterasu, dan motif dewa kuil Kasuga. Dimana hal tersebut menunjukkan pedang para samurai dianggap suci dan membuat para samurai dilindungi oleh para dewa Sato, 1983:64. Seiring perubahan zaman Heian menjadi zaman Kamakura 1185-1333 , pembuatan pedang menjadi lebih maju. Jepang berada dibawah kekuasaan kelas ksatria. Periode Kamakura sering di sebut sebagai zaman keemasan pedang Jepang. Perkembangan ini didorong oleh kaisar Gotoba 1180-1239 yang memerintahkan untuk mengumpulkan pandai besi dan penempa pedang yang terbaik pada saat itu sehingga penggunaan baja karbon kualitas tinggi banyak digunakan dalam penempaan pedang di zaman tersebut. Pedang pada era Kamakura dibagi menjadi 3 sub periode, yaitu era awal pedang Kamakura 1184 – 1231, era pertengahan pedang Kamakura 1232-1287, dan era akhir pedang kamakura 1288 – 1333. Pada era awal pedang Kamakura keshogunan Kamakura dan bangsawan di Kyoto saling merebut kekuasaan politik yang menyebabkan perpecahan internal di dalam keshogunan Kamakura itu sendiri. Oleh karena hal tersebut, permintaan akan pedang meningkat diseluruh negeri. Periode ini adalah masa transisi dimana bentuk pedang zaman Heian yang halus di ubah menjadi bentuk pedang yang perkasa pada periode berikutnya. Sori Universitas Sumatera Utara 31 kelengkungan terlihat terlalu melengkung dengan titik sori berada dekat dengan sisi nakago. Jenis sori ini disebut Koshi-zori yang berarti pedang melengkung di pinggang bilah tang. Lebar dekat kissaki Monouchi tidak begitu berbeda dari dekat Nakago Habakimoto, jenis kissaki, relatif relative lebih pendek dan disebut ko-kissaki kissaki kecil. Bentuk bilah tersebut mendominasi pada periode ini mungkin karena tachi ini digunakan dengan berkuda untuk menusuk tenggorokan musuh, yang dianggap lebih efisien daripada menebas. Panjang standar dari periode ini adalah sekitar 79-80cm. Hamon pada periode ini didasarkan pada Sugu-ha, yaitu lurus Sato, 1983:52. Pedang era pertengahan Kamakura dipengaruhi oleh terjadinya perang pada tahun 1232, keluarga Hojo memegang kekuasaan dan kewenangan shogun pun semakin diperluas. Kamakura menjadi pusat budaya Samurai dan permintaan akan pedang pun meningkat. Keshogunan Kamakura menarik beberapa tosho dengan keterampilan unggul dari Kyoto dan Okayama. Para tosho pindah dengan membawa keluarga untuk tinggal permanen, sehingga Kamakura menjadi tempat pusat produksi pedang. Bentuk pedang pada zaman ini menjadi lebih kuat dari zaman sebelumnya. Bilah menjadi lebih lebar, tetapi ada perbedaan antara lebar kissaki dengan nakago. Bilah menjadi lebih tebal dari sebelumnya, selain itu, kissaki berubah menjadi Ikubi dan sisi tajam menjadi Hamaguri-ba karena bagian tersebut menjadi menjadi tebal. Sori adalah Koshi-zori dan pusat sori berpindah lebih ke atas dan nakago menjadi sedikit lebih panjang dari bentuk periode sebelumnya. Pada bagian hamon pola-pola menjadi semakin mencolok, terutama dari sekolah tosho yaitu Fukuoka Ichimonji di Bizen prefektur Okayama Universitas Sumatera Utara 32 dimana mereka membuat hamon dengan pola obusa choji atau nama lainnya juka choji yang merupakan pola hamon yang popular pada zaman tersebut. Pedang era akhir Kamakura dipengaruhi oleh invasi perang besar-besaran tentara Mongol ke Jepang pada tahun 1274 dan 1281 yang menyebabkan negara Jepang saat itu menghadapi krisis militer. Pada invasi pertama, Jepang terselamatkan karena badai besar yang menghanyutkan tentara mongol. Dalam persiapan menghadapi invasi kedua bakufu mengirim pengumuman sebuah perintah kepada seluruh provinsi untuk meningkatkan pertahanan dan kemampuan militernya. Salah satu dampak dari pengumuman tersebut adalah lahirnya sebuah karya baru yang luar biasa yang merubah gaya pemakaian pedang tachi, dimana bilahnya menjadi lebih lebar, lebih tebal dan lebih berat. Daerah kissaki menjadi lebih lebar, dan daerah hamon menjadi lebih mengeras, dengan demikian bagian tersebut dapat dipoles dan diasah berkali-kali sehingga ketajamannya menjadi luarbiasa, semua hal tersebut merupakan kemajuan teknologi yang signifikan pada untuk menghadapi gaya pertempuran tentara mongol. Namun karena perubahan ukuran tersebut beratnya juga semakin bertambah, sehingga membuat tachi akhirnya terpaksa menggunakan kedua tangan yang merubah teknik pemakaian pedang sampai dengan sekarang. Hal-hal tersebut dilakukan karena gaya berperang tentara Mongol dengan jarak dekatYoshindo 1987:22. Para tosho yang terkenal dalam pembuatan pedang gaya baru ini adalah Rai Kuniyuki, Niji Kunotoshi, Ichimonji Sukezane, Saburo Kunimure, Osafune Mitsutada dan beberapa tosho lain dengan semangat peperangan melawan mongol ditengah krisis militer Sato, 1983:54. Universitas Sumatera Utara 33 Setelah periode pedang era Koto Kamakura berganti menjadi pedang era Koto periode Nambokucho 1333-1392, kaisar Godaigo 後醍醐 melakukan pemberontakan untuk menggulingkan Keshogunan dalam upaya mengembalikan kekuatan istana kekaisaran dan memperoleh kendali negara. Tapi setelah hanya dua tahun berkuasa Ashikaga Takauji i 足利 尊氏 mengangkat Kaisar sendiri yaitu Komyo 光 明 untuk berkuasa. Kekuatan terbelah dua pemerintahan, Godaigo memerintah di Yoshino Nara dan Komyo membangun pemerintah di Kyoto. Bagian utara Nan dan selatan Hoku yang menyebabkan peperangan terjadi selama 60 tahun. Perang saudara tersebut membentuk suatu strategi peperangan baru yang membuat pedang menjadi semakin flamboyan dengan bilah pisau lebar, jenis fumbari yang mengecil. Selama periode Nambakucho sebuah tipe hamon baru tercipta dan disebut dengan Hitatsura yang digunakan untuk pertama kalinya pada pedang produksi provinsi Sagami. Pada hamon bergaya hitatsura tanda yang tertinggal karena proses tempering teknik pembakaranpemanasan logam muncul di daerah di sekitar daerah pinggir pedang. Dimana pada tipe tersebut akan mempengaruhi sejarah pembuatan pedang Jepang kedepannya. Karakteristik hamon lain pada periode ini adalah Sakachojimidare dari sekolah pedang Aoe dari provinsi Bichu dimana garis tempernya ber-ombak, tajam dan sangat jelas, membentuk tonjolan seperti gelombang yang menunjuk ke arah ujung pisau kissaki. Hamon dengan bentuk seperti sakachojimidare maupun yang lainnya pada periode Nambakucho mengindikasikan kepopuleran hamon dengan bentuk variasi dasar secara luas pada zamannya. Beberapa nama dan Universitas Sumatera Utara 34 bentuk hamon pada era ini adalah hamon bentuk klasik notare lebar dan memiliki garis gelombang dan gunome garis gelombang yang tajam Sato, 1983:6. Pada tahun 1392, di akhir era Nambokucho, dua kubu yang berperang menjadi satu. Ashokaga Yoshimochi 足 利 義 持 1386-1428 membentuk pemerintahan Muromachi distrik Kyoto. Suasana damai terbentuk, tetapi hal tersebut berlangsung singkat, karena kenyataannya. Shogun Ashikaga secara de facto tidak berdaya, dan kekuasaan sesungguhnya dipegang oleh Daimyo. Kondisi yang sangat berbahaya ini mau tidak mau meninggalkan sebuah masalah. Pertempuran untuk kekuasaan sesungguhnya dimulai pada 1467 dengan apa yang disebut perang Onin yang memulai terjadinya Sengoku Jidai zaman perang saudara. Jepang berada dalam keadaan perang yang konstan selama hampir seratus tahun lamanya, sampai Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieasu akhirnya berhasil memperoleh kekuasaan dan menenangkan negara. Selama perang tersebut berlangsung, samurai secara bertahap mulai merubah cara bertarung yang mempengaruhi penggunaan pedang dan memulai perubahan evolusi ukuran tachi yang semakin memendek, yang menjadi cikal bakal lahirnya katana shinken. Horimono baru pada bilah pedang periode Muromachi pun lahir sehingga membuat makna atau pandangan baru akan pedang dan pengguna pedang itu sendiri. Ukiran Buddha Daikokuten, Bishamonten dan Marishiten bermunculan untuk pertamakalinya, yang menginformasikan status seorang samurai pada saat dihormati sebagai dewa perang dilihat dari horimono pedangnya Sato, 1983:64. Dikarenakan anggapan akan dewa perang tersebut, Universitas Sumatera Utara 35 samurai percaya roh seorang pemakai pedang akan tetap berada pada pedangnya apabila pemilik tersebut mati dalam pertempuran. Hal ini berlangsung sampai masa kini, baik pedang uchigatana maupun katana shinken yang merupakan peninggalan leluhur dianggap memiliki roh didalamnya. Untuk melihat perubahan pedang tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian era pedang Muromachi, yaitu era awal pedang Muromachi 1394-1466, era pedang pertengahan Muromachi 1467-1554 dan era pedang akhir Muromachi 1555-1595. Pada era awal pedang Muromachi, dengan berubahnya strategi peperangan yang tadinya kavaleri berkuda menjadi infantry berjalan kaki yang membuat kekuatan dan taktik perang pasukan berubah. Maka teknik bertarung dengan menggunakan pedang dan jenis pedang yang digunakan pun terpengaruh. Walaupun pada era ini tachi masih di produksi dan dipakai, namun pedang uchigatana yang penggunaan awalnya sebagai pendamping tachi mengalami pembuatan besar-besaran oleh para tosho dikarenakan intensitas pemakaiannya yang meningkat tajam. Uchigatana mudah dibawa, pusat kelengkungannya sori tepat berada ditengah bilah besi pedang, penempatan pedang berada di Obi sabuk dengan sisi tajam menghadap keatas yang merupakan kebalikan dari posisi tachi dan membuatnya dapat cepat ditarik dari sarung untuk langsung melakukan Battōjutsu 抜刀術 atau seni mencabut pedang dari saya sarung pedang yang akan menjadi cikal bakal pemakaian katana shinken kedepannya. Pada era ini pedang uchigatana memiliki panjang 69,7 cm sampai dengan 72,7 cm dengan bilah menyempit menuju kissaki. Universitas Sumatera Utara 36 Era pertengahan pedang Muromachi, dimana pergerakan pasukan yang strategis dan efisien semakin penting, membuat ukuran pedang menjadi semakin pendek. Kebanyakan pedang yang diproduksi pada periode ini memiliki panjang sekitar 24 inci atau 60 cm. Pedang era ini dapat digunakan menggunakan satu tangan untuk memotong dan cepat dalam melakukan battojutsu. Tidak ada perbedaan lebar antara monouchi dan habakimoto. Nakago menjadi lebih pendek yang memungkinkan pedang digunakan dengan genggaman satu tangan. Peranan tachi digantikan dalam dunia militer oleh uchigatana pada era ini. Meningkatnya kebutuhan pedang pada era ini membuat pedang diproduksi secara massal sehingga hanya sedikit saja pedang yang ditemukan memiliki kualitas tinggi. Istilah Kazuuchimono atau Taba - gatana digunakan untuk menunjukkan pedang dari segi kualitas pada zaman ini . Kazu-uchi berarti diproduksi secara massal dan Taba-gatana berarti mereka dijual dalam bundelpaket. Pedang jenis ini dijual dan di ekspor ke China pada saat dinasti Ming sebanyak sepuluh ribu bilah. Era akhir pedang Muromachi, tepatnya pada tahun 1543, wajah peperangan di Jepang berubah selamanya. Pada tahun tersebut portugis memperkenalkan senjata api kepada Jepang yang dikenal dengan nama Tanegashima Teppo yang merupakan senjata api jenis arquebuses yang merupakan senjata api yang menggunakan peluru bulat dan bubuk mesiu. Pertama kali diperkenalkan di kepulauan Kyushu tepatnya pulau Tanegashima dimana portugis terdampar dikarenakan badai yang menghantam kapal mereka. Tanegashima Tokitaka 1528–1579 penguasa pulau membeli dua buah arquebuses untuk dicontoh agar dapat dibuat kembali. Tidak lama setelah Portugis berhasil memperbaiki kapal dan keluar dari Jepang setahun kemudian, Universitas Sumatera Utara 37 Tanegashima teppo pun berhasil dibuat. Daimyo segera menyadari potensi senjata seperti itu, dan semenjak saat itu Jepang menjadi negara dengan jumlah arquebuses tertinggi didunia. Teppo tersebut secara total menggantikan yumi yang merupakan busur tradisional. Oda Nobunaga menggunakan 3000 teppo dengan sangat efektif dalam pertempuran Nagashino pada tahun 1573. Pasukan dari klan Takeda yang dianggap terbaik dan tak dipukul mundur oleh Ashigaru pasukan infantry yang tidak cakap dalam berperang, tetapi dilatih untuk menggunakan teppo. Dikarenakan maraknya penggunaan teppo maka evolusi baju zirah pasukan infantry sampai kelas samurai pun berubah. Beberapa baju zirah menjadi berat dan tebal untuk melindungi dari peluru yang malah menyebabkan pedang uchigatana tidak mampu menembusnya sehingga di periode selanjutnya katana muncul untuk menggantikan pedang uchigatana. Setelah kematian Oda Nobunaga, negara Jepang bersatu di bawah penerusnya Toyotomi Hideyoshi, Sengokujidai dan era pedang koto pun berakhir. Pada tahun 1588 pemerintahan Toyotomi Hideyoshi mengeluarkan dekrit yang melarang petani di seluruh negeri memiliki pedang. Hal ini menandai awal dari sebuah perubahan besar. Semenjak saat itu, hak kepemilikan pedang dibatasi dan Jepang mengalami tahun damai tanpa peperangan, sudut pandang pedang sebagai senjata menjadi kurang penting daripada pedang sebagai obyek hiasan atau sebagai indikator status sosial seseorang pada zaman ini Yoshinda, 1987:20. Universitas Sumatera Utara 38

2.4 Shinto 1596 – 1780

Dokumen yang terkait

Perubahan Dimensi Hasil Cetakan Polivinil Siloksan Setelah Direndam Dalam Larutan Daun Mimba 15% Dengan Waktu yang Berbeda

1 63 66

Analisis Fungsi dan Makna Kata Tame dalam Novel Watashi no Kyoto Karya Watanabe Junichi ( Ditinjau dari Segi Semantik )

3 55 73

Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Fungsi Hutan (Studi Deskriptif tentang Kehadiran Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara)

3 41 87

Fungsi Dan Makna Arak Putih Dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Di Medan 中国白酒文化对棉兰华裔的作用、意义分析 (Zhōngguó Báijiǔ Wénhuà Duì Mián Lán Huáyì De Zuòyòng, Yìyì Fēnxī)

4 145 90

Perbedaan Perubahan Strong Ion Difference Plasma Setelah Pemberian Larutan Ringer Asetat Malat Dibanding Ringer Laktat Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Spinal

3 90 99

Analisis Fungsi Dan Makna Shuujoshi –Yo Dalam Komik Akachan To Boku Volume 1 Karya Marimo Ragawa

16 112 68

Analisis Fungsi Dan Makna “Mon” Dalam Kalimat Pada Komik “Gals!” Karya Mihona Fujii Mihona Fujii No Sakuhin No “Gals!” No Manga No Bun Ni Okeru “Mon” No Kinou To Imi No Bunseki

1 57 87

Analisis Fungsi dan Makna Fukushi Chotto dalam Komik “Klinik Dr. Kouto” Karya Takatoshi Yamada ditinjau dari Segi Semantik

6 87 74

BAB II TINJAUAN UMUM KATANA SHINKEN - Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN - Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II

0 0 14