rhizogenes bakteri Gram negatif termasuk dalam kelompok

akar transformasi, sedang gen TR-DNA mengkode biosintesis opin dan auksin meskipun tidak selalu ditemukan Nasir 2002. Gambar 2. Plasmid Ri Jacobsen 2004 A.2. Transformasi gen oleh A. rhizogenes Sheng Citovsky 1996 menyatakan bahwa tiga komponen genetik harus dimiliki oleh Agrobacterium untuk melaksanakan transfer T-DNA yaitu: 1 T-DNA ditransfer ke tanaman, 2 berbagai gen virulensi vir terdiri atas vir A, vir B, vir D dan vir G berfungsi untuk proses terjadinya transfer T-DNA dari bakteri ke tanaman, vir C dan vir E meningkatkan efisiensi transfer T-DNA ke sel tanaman dan, 3 beberapa gen pada kromosom Agrobacterium yaitu Chromosomal virulence chv terdiri dari chv A dan chv B, sebagai penyandi enzim untuk sintesis dan ekspresi β -1,2 glukan dari sel Agrobacterium berfungsi untuk pelekatan bakteri ke dalam sel tanaman. Gelvin 2000 menyatakan sedikitnya terdapat tujuh langkah dalam proses transfer molekul T-DNA sel Agrobacterium ke sel tanaman yaitu : 1 pengenalan sel tanaman rentan, 2 induksi ekspresi gen vir, 3 kopi T-DNA yang ditransfer, 4 transfer kompleks T-DNA ke dalam membran bakteri, 5 transfer kompleks T- DNA membran bakteri ke sitoplasma tanaman, 6 tranfer kompleks T-DNA sitoplasma tanaman ke membran inti, dan 7 integrasi T-DNA ke dalam genom inti tanaman Zambryski 1998. Proses transfer T-DNA sel Agrobacterium ke sel tanaman Gambar 3 Winans 1992 menyatakan bahwa proses inisiasi transfer T-DNA diawali pengenalan Agrobacterium terhadap sel tanaman luka. Interaksi ini merupakan respons kemotaksis terhadap metabolit, dikeluarkan oleh sel tanaman luka berupa monosiklik fenolik seperti asetosiringon dan monosakarida seperti glukosa dan galaktosa, dan Agrobacterium akan bergerak aktif menuju sel tanaman. T-DNA ditransfer lebih dari satu molekul T-DNA, situs integrasi T-DNA pada kromosom tanaman bersifat acak, dan T-DNA akan terintegrasi stabil pada kromosom tanaman Giri Narasu 2000. Senyawa metabolit dikeluarkan oleh sel tanaman luka, berfungsi sebagai inducer mengaktifkan gen vir. Senyawa gula dan pH bersifat asam merupakan faktor penting dalam proses induksi gen vir, di samping senyawa asetosiringon Baron Zambryski 1995. Mekanisme selanjutnya induksi faktor vir mengatur pemotongan dan pemindahan T-DNA ke dalam sel tanaman. Faktor vir terinduksi akibat senyawa fenol yang dikeluarkan oleh tanaman yang dilukai. Beberapa senyawa fenol dapat menginduksi faktor vir yaitu asetosiringon, hidroksi asetosiringon, konifenil alkohol, koniferin feniproponoid glukosida dan etil firulat Winans 1992. Apabila asetosiringon tidak diproduksi, monosakarida seperti glukosa, galaktosa, arabinosa, fruktosa dan silosa menginduksi faktor vir Cangelosi et al. 1989. Terdapat enam faktor virulens diketahui berfungsi untuk proses pemindahan T-DNA, yaitu vir A, vir B, vir C, vir D, vir E dan vir G. Senyawa fenolik dikeluarkan menginduksi vir A memproduksi suatu protein vir A. Protein vir A mengalami autofosforilasi dan menginduksi fosforilasi protein vir G. Selanjutnya potein vir G mengaktifkan gen vir lain. Produk berupa protein vir D1, dan vir D2 memotong T-DNA pada daerah flanking daerah susunan DNA berulang . Daerah tersebut sebagai pembatas kiri left border dan pembatas kanan right border T-DNA. Komponen pembatas kanan mutlak diperlukan dalam transfer T-DNA . Adanya pemotongan gen vir D menyebabkan terbentuk molekul DNA utas tunggal ss-DNA atau disebut T-strand. Struktur T-strand ditransfer sel Agrobacterium ke sel tanaman berupa DNA-protein kompleks Powell et al. 1989. Transportasi kompleks T-DNA ke sel tanaman dibantu oleh vir D4, 11 protein vir B dan hidrolisis ATP. Protein vir B akan membentuk pori trans membran yang berhubungan dengan sel tanaman. vir D2 dan vir E2 memungkinkan masuknya kompleks T-DNA ke inti sel melalui nuclear pore complex NPC. T-DNA berintegrasi dengan genom tanaman dan ekspresi gen membentuk opin dan hormon pertumbuhan menyebabkan terjadinya proliferasi akar melimpah pada bagian tanaman terinfeksi Baron Zambryski 1995. Gambar 3. Mekanisme transfer T-DNA Agrobacterium ke dalam sel tanaman Gelvin 2000 A.3. Ekspresi T-DNA pada genom tanaman T-DNA mengandung gen berperan biosintesis senyawa opin yaitu turunan gula dan asam amino. Opin diekskresikan tanaman ke lingkungan, dan dimetabolisasi oleh Agrobacterium. Opin dimanfaatkan Agrobacterium sebagai sumber karbon dan nitrogen. Tujuan Agrobacterium menginfeksi sel tanaman adalah untuk mensintesis senyawa opin Nillson Olsson 1997. Selain gen sintesis opin, T-DNA mengandung onkogen yaitu gen penyandi pembentukan hormon pertumbuhan auksin dan sitokinin. Integrasi T-DNA di dalam kromosom tanaman mengakibatkan ketidak seimbangan hormon sel tanaman, sehingga terjadi over produksi hormon. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkontrol, dan ekspresi gen tersebut membentuk akar rambut. T r a n s f e r T -D N A d a r i A.rhizogenes k e t a n a m a n Induksi gen vir V i r A V i r G Plasmid R i Eksisi T D N A Vir E 2 Vir D2 A T P Vir D4 Vir B R e s e p t o r tanaman O C H 3 OH C C H 3 O O C H 3 Asetosiringon p H a s a m Gula Pelukaan Sitoplasmik transport Opine Integrasi Sitokinin Auksin S e l Tanaman N P C H a iry root A.rhizogenes A.4. Faktor yang mempengaruhi kultur akar rambut Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan akar rambut antara lain, medium tumbuh, nutrisi, lingkungan biotik dan abiotik. Medium tumbuh di dalam kultur jaringan ada tiga jenis yaitu padat, semi padat dan cair. Medium tumbuh harus dicukupi unsur makro dan mikro nutrien, baik kualitatif maupun kuantitatif tergantung keadaan fisiologi jaringan atau eksplan yang dikultur. Susunan nutrien, tekanan osmosis dan kekuatan ion timbul di dalam sel berpengaruh pada pertumbuhan akar rambut Sikuli Demeyer 1997. Ernawati 1990 memperoleh media terbaik perangsang pertumbuhan akar rambut P. tinchlorium. Ait., pada media Marashige dan Skoog MS 1962 yang mengandung 2mM NH 4 NO 3 1650 mgl. Di samping itu dengan penurunan unsur fosfor media dapat meningkatkan kandungan flavonoid. Vitamin sering digunakan dalam kultur jaringan, di antaranya tiamin vitamin B 1 , asam nikotinat niasin dan pyridoksin B6. Vitamin berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat dan protein. Kecuali susunan medium buatan, pilihan penggunaan medium padat atau cair menentukan keberhasilan suatu kultur tumbuhan. Pilihan medium padat atau cair umumnya dilakukan sesuai kebutuhan dan tujuan penelitian serta fasilitas yang tersedia Gunawan 1992. Lingkungan tumbuh mencakup suhu, kelembaban udara, pH dan cahaya, berpengaruh pada pertumbuhan kultur akar rambut. Lingkungan tumbuh optimum untuk pertumbuhan kultur akar bervariasi antar spesies. Toivonen et al. 1992 memperoleh pertumbuhan akar rambut Catharanthus roseus paling cepat apabila dikulturkan pada suhu 32 o C dibandingkan dengan suhu 19,5 o C dan 24 o C. Pada kedua suhu tersebut akar berwarna cokelat dan terbentuk kalus. Selain gen penyandi sintesis auksin dan sitokinin di dalam sel akar rambut, gen tersebut adalah gen ipt berasal dari transformasi bakteri A. rhizogenes dan rantai samping isopentil asam mevalonat. Biosintesis zeatin terutama terjadi di ujung akar dalam bibit yang berkecambah. Translokasi zeatin terutama melalui xilem Wattimena 1992. Sitokinin sintetik terdiri dari zeatin, benzil adenin purin BAP, 2- iP, dan Kinetin.

B. Cendawan Mikorhiza Arbuskula CMA

B.1. Struktur umum CMA Mikorhiza merupakan asosiasi cendawan dengan akar tanaman dalam bentuk simbiosis. Pada kondisi alami, hampir sebagian besar tanaman darat di dunia bersimbiosis dengan mikorhiza. Namun, CMA adalah tipe mikorhiza paling umum dijumpai sekitar 80 spesies tanaman darat de-Souza 2005, Heijden Sanders 2002, Smith Read 1997. Pada saat ini sudah diakui secara luas peran penting simbiosis mikorhiza pada ketersediaan hara tumbuhan. Pada pertanian berkelanjutan, simbiosis CMA dengan tanaman memainkan peran kunci membantu tidak hanya ketahanan hidup tanaman, tetapi menjadikan lebih produktif pada kondisi tanah marjinal Jeffries et al. 2003 Banyak sekali jenis CMA dalam tanah, misalkan Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata. CMA tersebut telah diteliti untuk tanaman perkebunan dan buah di antaranya adalah, kelapa sawit, kakao Widiastuti 2004, Baon 1995, dan tanaman manggis Lucia 2005. CMA tersebut digunakan untuk perkembangan in vitro, yaitu G. margarita dan A. tuberculata. Gambar 4. Spora CMA genus Acaulospora dan Gigaspora Lucia 2005. A. Acaulospora tuberculata, B . Acaulospora rehmi, C. Gigaspora microsporophora, D. Gigaspora margarita A D B C D A B.2. Karakteristik interaksi CMA dan simbion Genus Gigaspora dan Acaulospora, merupakan CMA yang mempunyai ciri specifik yaitu, Gigaspora dengan bulbus suspensor, dan substanding hifa sporophore, dinding luar terdiri dari satu lapis, dan halus. Sedang ciri specifik Acaulospora adanya hyphal terminus, pada spora matang terdapat lubang kecil disebut ciatrik, sebagai penghubung spora dan hifa terminus. Dinding luar terdiri tiga lapis, dan permukaan kasar seperti kulit jeruk Gambar 3. Kedua genus tersebut disebut azygospora, karena spora terbentuk tidak langsung, berasal dari hifa, tetapi spora berkembang dari suspensor Delvian et al. 2001, Lucia 2005. B.3. Mekanisme infeksi CMA Sebelum terjadi infeksi, spora CMA berkecambah dan terjadi pertumb uhan hifa. Selanjutnya terjadi kontak antara hifa dengan permukaan akar inang dan menghasilkan apresoria. Jaringan akar yang terinfeksi akan membentuk hifa interseluler dan intraseluler, hifa eksternal, dan arbuskula. Sedang beberapa spesies lain membentuk vesikula. Jaringan akar spesifik seperti epidermis dan korteks membentuk koloni, karena CMA tidak mempunyai enzim untuk degradasi lignin dan suberin. Secara umum proses infeksi CMA akar tanaman melewati empat tahap yaitu, 1 induksi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa, 2 kontak hifa dan permukaan akar, menyebabkan pengenalan dan pembentukan apresorium, 3 penetrasi hifa ke dalam akar, dan 4 perkembangan struktur arbuskula internal, sehingga terjadi simbiosis fungsional Bonfante Perotto 1995. Mekanisme infeksi akar, baik secara in vitro maupun konvensional in vivo hampir tidak berbeda. Perbedaan hanya pada perlakuan inokulum, untuk in vitro proses sterilisasi permukaan spora, dan stratifikasi pendinginan untuk mencegah dormansi , sedang untuk in vivo tanpa melalui proses tersebut. Untuk spora in vitro spora yang dihasilkan steril, dan sebaliknya secara konvensional sering tercemar. Juge et al. 2001 menyatakan bahwa perawatan dengan stratifikasi dingin dapat memecahkan spora dorman, dan perawatan tersebut tidak hanya mempengaruhi perkecambahan spora, tetapi dapat mempercepat pemecahan tabung perkecambahan, sehingga mampu mendorong percepatan perkecambahan