Perlindungan Hukum Bagi Investor Publik Dalam Penghapusan Pencatatan (Delisting)Saham Pada Kegiatan Pasar Modal Indonesia

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR PUBLIK DALAM

PENGHAPUSAN PENCATATAN (DELISTING) SAHAM PADA

KEGIATAN PASAR MODAL INDONESIA

Tesis Oleh :

MUKHTI

067005075/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

(SEMINAR HASIL)

N a m a : MUKHTI

N I M : 067005075

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR PUBLIK

DALAM PENGHAPUSAN PENCATATAN (DELISTING) SAHAM PADA KEGIATAN PASAR MODAL INDONESIA

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H,M.H. K e t u a

Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,S.H,L.L.M. Dr.Sunarmi,S.H,M.Hum.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur

Prof.Dr.Bismar Nasution, S.H.M.H. Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,M.Sc.


(3)

ABSTRAK

Delisting dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan otoritas bursa

sehingga efek emiten yang bersangkutan tidak lagi diperdagangkan di lantai bursa. Ada dua bentuk delisting. Pertama, delisting yang dilakukan secara paksa (forced

delisting). Bentuk delisting ini terjadi ketika perusahaan tersebut tidak lagi dapat

memenuhi kriteria dan syarat pencatatan yang telah ditetapkan oleh bursa efek. Kedua, mekanisme delisting yang dilakukan secara sukarela (voluntary delisting), dimana emiten mengajukan permohonan untuk keluar dari bursa menurut alasan-alasan internal. Akhir-akhir ini, pasar modal Indonesia kembali dihadapkan oleh permasalahan maraknya aksi delisting secara sukarela. Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan ini berusaha menelaah beberapa pertanyaan fundamental seperti: apa latar belakang terjadinya delisting di bursa efek selama ini. Bagaimana aspek hukum dalam pelaksanaan delisting saham, Bagaimana mekanisme perlindungan hukum yang dilakukan oleh Bapepam bagi investor publik dalam proses delisting saham dan apakah ketentuan dibidang pasar modal yang ada telah memberikan perlindungan hukum bagi investor publik manakala terjadi penghapusan delisting saham.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law

as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui

proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Bapepam menetapkan kriteria penentuan harga saham untuk memberikan perlindungan mengenai kewajaran harga saham Bagi Bapepam, hal utama yang diperhatikan dalam melakukan voluntary delisting atau go private serta dalam melakukan forced delisting saham adalah perlindungan terhadap pemegang saham publik, dimana pemegang saham publik dianggap sebagai Pemegang Saham Independen kecuali yang bersangkutan mengatakan lain. Sehingga diwajibkan untuk memperoleh persetujuan Pemegang Saham Independen terlebih dahulu dan melakukan pembelian saham melalui penawaran tender. Perlindungan hukum yang diberikan oleh Bapepam selaku regulator sudah mencukupi dalam hal perusahaan akan melakukan go private, tetapi masih belum cukup memadai ketika perusahaan selesai melakukan go provate, meskipun belum sepenuhnya menyentuh kepada pemegang saham publik yang tidak mau menjual sahamnya atau tidak menyetujui

voluntary delisting atau go private setelah perusahaan berubah menjadi tertutup

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Investor Publik, Penghapusan Pencatatan


(4)

ABSTRACT

Delisting can be interpreted as an action conducted by stock authority, so that the share of emiten pertinent will no longger being commercialized at stock exchange floor. There is two form of delisting. First, delisting conducted forcibly (forced delisting). Form of this delisting happened when the company will no longger earn to fulfill record-keeping condition and criterion which have been specified by stock exchange. Second, the mechanism of delisting conducted voluntaryly (voluntary delisting), where emiten apply to go out from stock exchage, according to internal reasons. Recently, Indonesia capital market is confronted again by problems the hoisterous the action of voluntary delisting. Leave from problems above, this article tries to analyze some fundamental question like: what is the background the happening of delisting at stock exchange during the time. How's the legal aspect in share delisting, How's the mechanism of the protection of law conducted by Bapepam to public investor in share delisting process and have the rule of existing capital market area given protection of law to public investor when share delisting happened.

The method which used in this research is normative juridist. Research Method of normative referred as research of doctrinal (doctrinal research) that is a research which analysing law both for written in book, (law as it is written in the book), and also law decided by judge through litigation (law it is decided by the judge through judicial process). Law research of normative is based on secunder notes and emphasize on the steps of speculative-teoretic analysis and normative-qualitative analysis.

For Bapepam, especial matter which paid attention in conducting voluntary delisting or go private and forced delisting is the protection to public stockholder, where considered the public stockholder pretended as Independent Stockholder except pertinent tell otherly. so that, obliged to get permission of Independent Stockholder beforehand and conduct purchasing of share through tender offer. Got protection through rule of the tender offer is in the case of share price, and existence of the same opportunity for all public stockholder to sell they owned share. Rule of voluntary delisting or go private at capital market has not yet been arranged clearly, however Bapepam have specified rule fringes related to execution of go private, some taken away by rules which it is true there previously and added with changes to accomodate legal protection aspect to public investor.

Keyword : Legal protection, Public Investor, Delisting


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul tesis ini adalah: “Perlidungan Hukum Bagi Investor

Publik Dalam Penghapusan Pencatatan (Delisting) Saham Pada Kegiatan Pasar Modal Indonesia”

Di dalam menyelesaikan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah


(6)

meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan dalam penulisan tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga tesis ini selesai di tulis.

4. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI, sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis.

5. Dr. Sunarmi, M.Hum, sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan tesis ini.

6. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku

penguji penulis, terima kasih atas segala masukan dan nasehat selama ini.

7. Seluruh Guru Besar dan Staf Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas ilmu dan nasehat selama ini.

8. Kedua Orang Tua Tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepada Allah SWT. 9. Istri dan Anak-anak tercinta atas pengorbanan waktu dan kesabarannya selama

ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu.

10. Kepada Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

11. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana., dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(7)

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan jika tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan disana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan

penulisan tesis ini.

Medan, Agustus 2008

Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Mukhti

Tempat/Tgl. Lahir : Kijang (Kepri)/ 11 April 19 Desember 1974 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Instansi : Induk Koperasi TNI AU Perwakilan Batam

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 029, Tg. Pinang (Lulus Tahun 1986)

- Sekolah Menengah Pertama Negeri 04, Tg. Pinang (Lulus Tahun 1989)

- Sekolah Menengah Atas Negeri 08 Medan (Lulus Tahun 1992)

- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya (Lulus Tahun 1997)

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2008)


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13

G. Metode Penelitian ... 25

BAB II : ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGHAPUSAN PENCATATAN (DELISTING) PADA KEGIATAN PASAR MODAL INDONESIA ... 31

A. Konsep dan Pengertian Delisting dan Go Private... 31

1. Delisting ... 31

2. Go Private ... 32

B. Alasan Delisting ... 37

C. Persetujuan Pemegang saham dan Kreditur... 47

D. Penawaran Tender ... 54

E. Penentuan Harga Saham ... 57

F. Pencatatan Saham Makin Ketat ... 59

BAB III : MEKANISME PERLINDUNGAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH BAPEPAM BAGI INVESTOR PUBLIK DALAM PROSES PENGHAPUSAN PENCATATAN (DELISTING) SAHAM PADA KEGIATAN PASAR MODAL INDONESIA ... 65

A. Ketentuan Umum Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali Saham (Relisting)... 65

1. Penghapusan Pencatatan (Delisting) Saham ... 66

2. Voluntary Delisting dan Forced Delisting ... 71

B. Pencatatan Kembali dan Biaya Pencatatan Saham ... 83

C. Peranan Bapepam dalam Menegakkan Hukum Pasar Modal ... 87

1. Rincian Tugas Bapepam Versi Undang-Undang Pasar Modal . 88 2. Kewenangan Bapepam Sebagai Lembaga Pemeriksa ... 93


(10)

BAB IV : ANALISIS KETENTUAN DI BIDANG PASAR MODAL DIKAITKAN DENGAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR PUBLIK DALAM PENGHAPUSAN PENCATATAN (DELISTING) SAHAM

PADA KEGIATAN PASAR MODAL INDONESIA... 102

A. Delisting dan Hakikat Bursa Efek ... 102

B. Peluang dan Risiko Investasi Saham... 110

C. Kendala-Kendala Bapepam dalam Perlindungan Hukum bagi Investor Publik ... 113

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 121

B. Saran... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 125


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi Indonesia yang termasuk sebagai negara berkembang, untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat yaitu: pertama harus ada economic opportunity (investasi mampu memberikan keuntungan secara ekonomis bagi investor), kedua, ada political stability (investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik), dan ketiga, ada legal certainty atau kepentingan hukum.1

Salah satu tatanan hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan ekonomi adalah ketentuan di bidang pasar modal yang pada saat ini masih didasarkan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608. Dengan adanya Undang-undang Pasar Modal diharapkan pasar modal dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembangunan sehingga sasaran pembangunan di bidang ekonomi dapat tercapai. 2

Pasar modal bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pasar modal mempunyai peran strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia

1

Erman Radjagukguk, ”Hukum Investasi di Indonesia”, makalah disampaikan pada Seminar Pasar Modal yang diselenggarakan FH UI Jakarta, tanggal 23 Juni 2005, hal.40.

2

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608, Penjelasan Umum.


(12)

usaha, termasuk usaha menengah dan kecil untuk pembangunan usahanya, sedangkan di sisi lain pasar modal juga merupakan wahana investasi bagi masyarakat, termasuk pemodal kecil dan menengah.

Pasar modal merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal menyediakan berbagai alternatif investasi lainnya seperti menabung di bank, membeli emas, asuransi, tanah dan bangunan, dan sebagainya.3

Pasar modal bertindak sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang seperti : obligasi, saham dan lainnya.

Sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi, maka pasar modal memiliki peran dan manfaat sebagai berikut :4

a. Pasar modal merupakan wahana pengalokasian dana secara efisien. Investor dapat melakukan investasi pada beberapa perusahaan melalui pembelian efek-efek yang baru ditawarkan ataupun yang diperdagangkan di pasar modal. Sebaliknya, perusahaan dapat memperoleh dana yang dibutuhkan dengan menawarkan instrumen keuangan jangka panjang melalui pasar modal tersebut.

b. Pasar modal sebagai alternatif investasi. Pasar modal memudahkan alternatif berinvestasi dengan memberikan keuntungan dengan sejumlah risiko tertentu.

3

Republik Indonesia, Bapepam, Buku Panduan, Investasi di Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Bapepam Press, 2006), hal.1.

4


(13)

c. Memungkinkan para investor untuk memiliki perusahaan yang sehat dan berprospek baik. Perusahaan yang sehat dan mempunyai prospek yang baik, sebaiknya tidak hanya dimiliki oleh sejumlah orang-orang tertentu saja, karena penyebaran kepemilikan secara luas akan mendorong perkembangan perusahaan menjadi lebih transparan.

d. Pelaksanaan manajemen perusahaan secara profesional dan transparan.

Keikutsertaan masyarakat dalam kepemilikan perusahaan mendorong perusahaan untuk menerapkan manajemen secara lebih profesional, efisien dan berorientasi pada keuntungan, sehingga tercipta suatu kondisi GCG (good corporate

governance) serta keuntungan yang lebih baik bagi para investor. Sehubungan

dengan pelaksanaan good corporate governance, Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) menganjurkan setiap perusahaan publik untuk memiliki suatu komite audit.

e. Peningkatan aktivitas ekonomi nasional. Dengan keberadaan pasar modal, perusahaan-perusahaan akan lebih mudah memperoleh dana, sehingga akan mendorong perekonomian nasional menjadi lebih maju, yang selanjutnya akan menciptakan kesempatan kerja yang luas, serta meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah.


(14)

Perusahaan memperoleh dana di pasar modal dengan melaksanakan penawaran umum (public offering) dan penempatan investasi penawaran terbatas (private placement). Perusahaan ini dikenal sebagai emiten.5

Mengingat pasar modal memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, kegiatan pasar modal perlu mendapatkan pengawasan agar dapat dilaksanakan secara teratur, wajar, dan efisien. Untuk itu secara operasional Bapepam diberi kewenangan dan kewajiban untuk membina, mengatur, dan mengawasi setiap pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal. Pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk aturan, pedoman, pembimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan, dan pengenaan sanksi.

Selanjutnya, agar kegiatan di pasar modal dapat berjalan dan dilaksanakan secara teratur dan wajar, serta agar masyarakat pemodal dapat terlindungi dari praktek yang merugikan dan tidak sejalan dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang ini, maka Bapepam diberi kewenangan untuk melaksanakan dan menegakkan ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut. Kewenangan tersebut antara lain kewenangan untuk melakukan penyidikan, yang pelaksanaannya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.6

5

Ibid., hal. 6

6


(15)

Perkembangan pasar modal global yang dinamis dan cepat, menuntut para regulator untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Sehingga mampu untuk bersaing di tingkat internasional. Mengamati fenomena-fenomena yang terjadi pada pasar modal global beberapa tahun ke belakang, regulator pasar modal Indonesia berupaya untuk mengantisipasi perkembangan tersebut yang terjadi di masa kini dan masa depan nantinya dengan membuat suatu koridor yang jelas yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk peraturan.

Gagalnya regulator untuk mengamati perkembangan yang terjadi atau kurang cepatnya beradaptasi dengan perkembangan tersebut, dapat mengakibatkan, ditinggalkannya pasar modal Indonesia oleh para investor.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Undang-undang Pasar Modal mengatur secara jelas aturan-aturan main sebelum dan sesudah Perusahaan melakukan penawaran umum. Akan tetapi dalam Undang-undang Pasar Modal tidak diatur lebih lanjut apabila suatu perusahaan yang sudah melakukan penawaran umum itu, ingin keluar dari industri pasar modal atau disebut juga dengan istilah “go

private”. Acuan yang dipakai sekarang berupa kebijakan Ketua Bapepam kepada

perusahaan yang akan melakukan proses go private.

Prosedur yang biasa dilakukan oleh emiten atau Perusahaan Publik dalam rangka go private adalah dengan melakukan tender offer atas kepemilikan saham publik dengan harga di atas harga pasar tetapi masih di antara harga wajar saham yang ditetapkan oleh penilai independen atau bahkan di atasnya.


(16)

Sebelum melakukan penawaran tender, didahului dengan penyampaian informasi yang tertuang dalam surat edaran kepada pemegang saham, dimana Bapepam melakukan penelaahan atas kecukupan keterbukaan informasi surat edaran ditinjau dari aspek keterbukaan, aspek akuntansi dan aspek hukum.

Keterbukaan merupakan suatu kewajiban bagi setiap perusahaan yang telah menjual sahamnya melalui lantai bursa. Prinsip keterbukaan (disclosure principles) merupakan suatu yang harus ada baik untuk kepentingan pengelola bursa, Bapepam dan pemodal atau investor. Informasi yang harus di-disclose adalah seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum manajemen, dan harta kekayaan perusahaan kepada masyarakat. Keterbukaan terhadap kondisi perusahaan yang melakukan emisi saham menyebabkan calon investor dapat memahami dan memutuskan kebijakan investasinya.7

Menurut Bismar Nasution, setidaknya ada tiga fungsi prinsip keterbukaan dalam pasar modal. Pertama, prinsip keterbukaan berfungsi untuk memelihara kepercayaan publik terhadap pasar. Tidak adanya keterbukaan terhadap pasar membuat investor tidak percaya terhadap mekanisme pasar. Sebab prinsip keterbukaan mempunyai peranan penting bagi investor sebelum mengambil keputusan untuk melakukan investasi karena melalui keterbukaan bisa membentuk

7


(17)

suatu penilaian (judgement) terhadap investasi, sehingga investor dapat secara optimal menentukan pilihan terhadap portfolio mereka.8

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Indonesia pada tahun 2005 sampai dengan 2007 ini, menunjukkan kenaikan yang amat signifikan. Kenaikan ini terjadi karena didasari oleh perbaikan keadaan fundamental perekonomian Indonesia, dan ekspektasi investor asing maupun domestik bahwa perekonomian Indonesia akan terus membaik di masa yang akan datang. Namun, fenomena penghapusan pencatatan saham (delisting) yang masih terjadi di bursa saham Indonesia telah menimbulkan sedikit kecemasan tentang prospek pasar saham di masa yang akan datang.9

Kinerja pasar modal Indonesia pada tahun 2005 sampai dengan 2007 ini, cukup luar biasa. IHSG mengalami kenaikan yang signifikan dan berkelanjutan (sustainable) sejak akhir tahun 2005. Dan pada bulan Januari 2006 IHSG mencapai 1232,3, naik sebesar 17,9 persen dibandingkan dengan level pada bulan Januari tahun 2005 yang berada pada 1045,4. Seiring dengan berkembangnya sentimen positif terhadap prospek perekonomian Indonesia, IHSG terus mengalami kenaikan sepanjang tahun 2005. IHSG mencapai level sekitar 1757,3 pada bulan Januari tahun 2007, atau mengalami kenaikan sebesar sekitar 68 persen dibandingkan dengan level pada bulan Januari 2006. Dengan kinerja yang demikian, pasar modal Indonesia merupakan salah satu pasar modal yang menunjukkan kinerja tertinggi (dilihat dari

8

Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2001), hal. 9

9


(18)

kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan) di dunia pada tahun 2006.10

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada masalah atau potensi masalah di bursa saham Indonesia. Isu delisting merupakan salah satu masalah yang sedang dihadapi pasar modal Indonesia sekarang. Akhir-akhir ini persoalan delisting (penghapusan pencatatan efek perusahaan di bursa efek). Untuk selanjutnya penulisan penghapusan pencatatan efek perusahaan di bursa efek dalam tesis ini akan menggunakan istilah kata delisting. Beberapa perusahaan potensial yang sudah lama mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak tanggal 1 Desember 2007 BEJ dan BES dijadikan satu yaitu BEI (Bursa Efek Indonesia) tiba-tiba mengumumkan rencananya kepada pihak otoritas bursa untuk melakukan go private secara sukarela.

Bursa Efek Indonesia akan melakukan evaluasi terhadap saham-saham kategori kecil dari Bursa Efek Surabaya (BES). Bursa Efek Indonesia mendapatkan saham limpahan BES 14 saham status perdagangan aktif, sementara sisanya sekitar 12 saham dan statusnya dihentikan sementara atau disebut dengan suspensi.11

Beberapa di antaranya bahkan pernah dihilangkan (delisting) dari Bursa Efek Indonesia (BEI), karena tidak memenuhi ketentuan seperti PT. Toba Pulp Lestari Tbk. dan PT. Bukaka Teknik Utama Tbk.

10

Medan Bisnis, Rubrik Ekonomi, 12 Januari 2007, hal. 7

11

Suspensi merupakan Penghentian sementara perdagangan saham, contoh kasus ini adalah Suspensi terhadap PT.Adaro di BEI.


(19)

Direktur pencatatan BEI, Eddy Sugito menjelaskan bahwa masuknya kembali saham-saham yang pernah di-delisting oleh BEI papan pengembangan BEI, dikarenakan adanya komitmen antara BEJ dan BES sebelumnya.12

Berbagai alasan dikemukakan oleh perusahaan-perusahaan yang memutuskan untuk keluar dari bursa saham. Salah satu alasan yang sering disebut oleh perusahaan multinasional adalah adanya program konsolidasi regional dan konsolidasi finansial yang dilakukan oleh perusahaan induk.

Selain itu, ada beberapa alasan lain yang masih perlu dikaji kebenarannya lebih lanjut melalui suatu analisa dan survei yang lebih mendalam, misalnya kurangnya insentif-insentif khusus yang diberikan pemerintah, seperti perpajakan atau kemudahan perijinan bagi perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa. Sementara itu otoritas pasar modal juga dipandang melakukan pengawasan yang terlalu kaku sehingga mempersulit perusahaan terbuka dalam proses pengambilan kebijakan.

Tentu saja alasan-alasan yang disebutkan oleh perusahan-perusahaan di atas belum sepenuhnya benar. Walaupun demikian, satu hal yang perlu disadari adalah fenomena delisting saat ini masih terjadi di bursa saham Indonesia. Hal ini, apabila berlanjut terus, tentunya akan berdampak tidak terlalu baik bagi bursa saham Indonesia. Untuk mencegah terjadinya delisting secara berkelanjutan diperlukan pemahaman yang mendasar tentang faktor-faktor penyebab utama terjadinya delisting di bursa saham Indonesia secara komprehensif.

12


(20)

Sebagai contoh, beberapa pendapat hukum telah membicarakan motivasi kerjasama seperti membentuk hal yang baik di hari ulang tahun yang ke lima belas, yang dimulai dengan sebuah kampanye untuk menarik investor, menghindari

delisting di bursa saham dan memelihara hubungan harmonis dengan kreditor. 13

Studi ini dilakukan untuk menganalisa faktor-faktor pemicu utama terjadinya

delisting secara lebih komprehensif. Dalam studi ini, faktor-faktor mikro pemicu

tersebut akan juga dikaitkan dengan kondisi makro dan iklim usaha Indonesia secara keseluruhan. Hal ini dilakukan karena adanya dugaan bahwa maraknya delisting yang dilakukan terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasional juga terkait dengan tidak kondusifnya iklim usaha secara makro di Indonesia. Aspek lingkungan bisnis ini diduga turut pula mempengaruhi keputusan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan-perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing), untuk melakukan

voluntarily delisting. Studi ini diharapkan dapat memberikan jawaban yang lebih jelas

tentang penyebab delisting, sekaligus langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah trend delisting yang berkelanjutan di pasar modal.

13

For Instance, some judicial opinious have discussed corporate motivation such as performs especially well in a fiftieth–anniversary year, beginning a campaign to attract new investors, avoiding delisting by a stock exchage, and maintaining favorable relationship with creditors. Lihat West Law International, Florida Law Review, The Ubiquity of Greed, a Contextual Model for Analysis of Creditor, (Florida : West Law International, 1998), hal.1


(21)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana aspek hukum dalam pelaksanaan penghapusan pencatatan

(delisting) pada kegiatan pasar modal Indonesia?

2. Bagaimana mekanisme perlindungan hukum yang dilakukan oleh Bapepam bagi investor publik dalam proses penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia?

3. Apakah ketentuan di bidang pasar modal yang ada telah memberikan

perlindungan hukum bagi investor publik manakala terjadi penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui aspek hukum dalam pelaksanaan penghapusan pencatatan (delisting) pada kegiatan pasar modal Indonesia.

2. Untuk mengetahui mekanisme perlindungan hukum yang dilakukan oleh

Bapepam bagi investor publik dalam proses penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia.


(22)

3. Menganalisa ketentuan di bidang pasar modal yang ada apakah telah memberikan perlindungan hukum bagi investor publik manakala terjadi penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum pasar modal serta seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah perlindungan hukum bagi investor publik dalam penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam pasar modal Indonesia.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat) serta konsultan hukum pasar modal serta badan pengawas pasar modal, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam pasar modal mempunyai persepsi yang sama.


(23)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang perlindungan hukum bagi investor publik dalam penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang pasar modal. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Penghapusan pencatatan (delisting) adalah penghapusan efek dari daftar efek yang tercatat di bursa sehingga efek tersebut tidak dapat diperdagangkan di bursa.

Pengertian dari konsep “korporasi” ada berbagai macam, salah satunya menurut terminologi hukum “korporasi” (corporation) adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama melaksanakan urusan finansial, keuangan, ideologi atau urusan pemerintahan.14 Di lain pihak pengertian korporasi termasuk di dalamnya pengertian dari badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan dan organisasi.

14


(24)

Untuk mendukung pemahaman dalam penulisan tesis ini dapat disampaikan beberapa kerangka teori tentang apa yang disebut sebagai pemegang saham independen atau pemegang saham minoritas dan teori suatu keputusan penting yang menyangkut kepentingan pemegang saham minoritas turut diputuskan oleh pemegang saham minoritas tersebut sebab bila diserahkan kepada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) biasa, pemegang saham minoritas pasti kalah.15

Aktualitas pemegang saham minoritas dalam Perseroan Terbatas atau di singkat dengan PT perlu di kaji lebih mendalam, karena pemegang saham minoritas dalam PT harus memiliki bargaining position (posisi tawar) yang baik, untuk mengantisipasi jika terjadi benturan kepentingan dengan pemegang saham mayoritas. Oleh karena itu, pemegang saham minoritas perlu diberi kewenangan tertentu, antara lain berupa hak untuk meminta diadakan RUPS dan meminta diadakan pemeriksaan terhadap PT berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, serta meminta kepada Pemegang Saham Mayoritas atau PT agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar. Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas dalam konsep GCG (Good

Corporate Governance) cukup penting, karena prinsip fairness memberlakukan

pemegang saham dalam perusahaan secara adil.

Pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas dalam GCG mendapat tempat dan posisi yang proporsional. Diberikan hak untuk memperoleh informasi perusahaan dengan benar dan akurat sesuai pengungkapan kepada perseroan secara transparan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus

15


(25)

perseroan. Dalam penerapan prinsip-prinsip GCG secara internasional, maka prinsip

fairness memberlakukan secara adil kepada seluruh pemegang saham dan

memberikan hak yang sesuai menurut klasifikasi saham, terutama perlakuan yang sama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing.

Direksi dan komisaris dalam Perseroan Terbatas berkewajiban menciptakan GCG yang berprinsip melindungi pemegang saham minoritas, sehingga tirani yang mungkin akan dilakukan oleh pemegang saham mayoritas maupun minoritas dapat dicegah secara dini.16

Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas yang selama ini dilaksanakan, umumnya memberikan sejumlah hak yang dijamin oleh undang-undang. Namun demikian, ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 sekarang diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) belum cukup melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Di samping itu, keadaan pemegang saham minoritas yang umumnya lemah dan sikap pemegang saham mayoritas. Direksi dan komisaris yang kurang bermoral dalam mengurus PT dan tidak beritikad baik dalam membuat perjanjian-perjanjian.

Adanya prinsip one share, one vote yang berlaku pada Perseroan Terbatas telah menciptakan hubungan asimetris antar pemegang saham. Persoalan yang timbul adalah bagaimanakah menempatkan kepentingan-kepentingan masing-masing

16

Misahardi Wilamarta, “Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance”, Cet.1, (Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2002), hal.87-88.


(26)

pemegang saham pada porsinya, agar tidak terjadi tirani pemegang saham mayoritas maupun tirani pemegang saham minoritas.

Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas penting, karena kenyataannya dalam suatu Perseroan Terbatas dapat terjadi pertentangan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Pada saat RUPS perseroan dilaksanakan, sering terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang tertindas, dirasakan perlu sekali adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas.

Perlindungan hukum bagi pemegang saham termasuk minoritas menjadi lebih penting dalam era baru yang bersifat ekonomi global. Dalam sistem penentuan pengambilan keputusan dalam RUPS dilakukan pemungutan suara (voting). Maka demikian perlu diberikan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas.17

Dalam pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas dalam Perseroan Terbatas, teori utama yang digunakan adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek18. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang

17

Ibid., hal.4.

18


(27)

mengatur tentang susunan perekonomian Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan ketentuan dasar mengenai demokrasi ekonomi Indonesia. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivistis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu.

Menurut W. Friedman, maka corak tersebut merupakan penggabungan kedua tuntutan antara kolektivitasme dengan individualisme.19 Teori-teori pendukung untuk meneliti perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas dalam Perseroan Terbatas, terutama dalam rangka implementasi GCG adalah sebagai berikut:20

Teori Pengayoman dari Soedirman Kartohadiprodjo, yang menyatakan

bahwa fungsi hukum adalah pengayoman. Hukum itu mengayomi anggota masyarakat. Hukum itu melindungi manusia secara aktif dan pasif.

Teori Perlindungan yang dikemukakan oleh Telders, Vander Grinten dan

Molengraaf, suatu norma baru dapat dianggap dilanggar, apabila suatu kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh norma itu dilanggar. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu tuntutan dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan melanggar hukum.

Alasan adanya keharusan bagi direksi dan komisaris untuk melindungi pemegang saham minoritas, dikarenakan didalam praktik sering didapat adanya perlakuan yang kurang adil oleh pemegang saham mayoritas dan pengurus perseroan

19

Ibid., hal. 14.

20


(28)

terhadap pemegang saham minoritas. Ada tiga faktor yang menyebabkan perlakuan tidak adil tersebut, yaitu:21

Pertama, kurangnya ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang melindungi hak-hak pemegang saham minoritas. Pada kenyataannya sekalipun ketentuan-ketentuan tersebut ada, dirasakan masih belum cukup. Hal itu terbukti dari seringnya pemegang saham minoritas yang dirugikan kepentingannya oleh pemegang saham mayoritas yang beritikad buruk dalam melaksanakan UUPT. Selain itu, adanya kewenangan yang diberikan oleh UUPT kepada organ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mentapkan kebijakan perseroan, secara tegas tidak mengatur adanya kewajiban partisipasi aktif bagi pemegang saham minoritas untuk mengajukan pendapatnya, akibatnya pemegang saham mayoritas begitu dominan dan dapat dengan mudah mengabaikan hak-hak pemegang saham minoritas tersebut.

Kedua, sikap dan perilaku pemegang saham mayoritas, Direksi atau Komisaris yang memiliki karakter moral hazard. Faktor sikap tersebut, pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian pada Perseroan Terbatas.

Ketiga, posisi lemah dari pemegang saham minoritas karena kurang modal, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan untuk mengelola Perseroan Terbatas, sehingga pemegang saham minoritas tersebut tidak berdaya dalam menghadapi sikap dan perilaku dari pemegang saham mayoritas yang memiliki itikad tidak baik.22

21

Ibid., hal. 88-89.

22


(29)

Ketiga faktor tersebut menyebabkan pemegang saham minoritas mengalami ketidakberdayaan. Padahal adanya perselisihan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas atau pertentangan antara pemegang saham minoritas dengan pengurus perseroan, dapat mengakibatkan kerugian pada perseroan.

Berikut beberapa definisi yang dikutip dari buku Misahardi Wilamarta, yaitu mengenai definisi mengenai pemegang saham mayoritas menurut sistem hukum

common law adalah sebagai berikut :23

”Majority stockholder: One who owns or controls more than 50% of the stock

of a corporation, through effective control may be maintaned with far less than 50% if most of the stock is widely held. In close corporation, majority shareholders may owe fiduciary, partners-like duties to minority shareholders. Majority shareholder : A shareholder who owns or controls more than half the corporation’s stock.”

Di samping itu, definisi pemegang saham minoritas menurut sistem hukum

common law adalah sebagai berikut :

“Minority stockholder: those stockholders of a corporation who hold so few

shares in relation to the total outstanding that they are unable to control the management of the corporations or to elect directors. Minority shareholder: A shareholder who owns less than half the corporation’s management or singlehandedly elect directors”.

Pemegang saham minoritas adalah satu atau sejumlah pemegang saham yang relatif hanya menguasai sejumlah saham, yang kalah banyaknya terhadap satu atau sekelompok pemegang saham lainnya.

Sementara itu, di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, definisi tentang pemegang saham minoritas tidak diatur secara

23


(30)

eksplisit. Meskipun demikian, secara implisit dapat dipahami melalui beberapa ketentuan, bahwa pemegang saham minoritas adalah satu pemegang saham atau lebih, yang masing-masing atau bersama-sama mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dalam perseroan.

Jadi, pemegang saham minoritas adalah satu atau beberapa pemegang saham yang relatif memiliki lebih sedikit sahamnya daripada pemegang saham lainnya dan yang masing-masing atau sendiri-sendiri memiliki tidak lebih dari 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dalam perseroan, yang tidak mampu melawan putusan yang dibuat oleh RUPS.

Kedudukan pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas menjadi tidak seimbang karena adanya majority rule. Majority rule memberi kekuasaan yang dominan bagi pemegang saham mayoritas, sehingga pemegang saham mayoritas dapat dengan mudah menyisihkan pemegang saham minoritas. Dominasi pemegang saham mayoritas melalui majority rule.

Majority rule menurut sistem hukum common law adalah: 24

“Rule by the choice of the majority of those entitled participate of whether a

majority of those entitled participate”.

Majority rule erat hubungannya dengan majority vote dalam pemungutan

suara (voting) pada saat RUPS mengambil keputusan. Voting yang erat kaitannya dengan korum diatur dalam UUPT. Korum adalah jumlah suara yang sah. Dalam UUPT dikenal 2 (dua) macam kuorum, yaitu kuorum kehadiran dan korum

24


(31)

keputusan. Korum-korum tersebut mempunyai perhitungan matematika, yaitu suara terbanyak biasa (simple majority), suara terbanyak mutlak (absolute majority) dan suara terbanyak khusus (qualified/special majority).25

Prinsip pemungutan suara berdasarkan majority rule yang berlaku untuk segala macam keputusan RUPS mengakibatkan pemegang saham mayoritas menjadi arogan dan berkuasa. Sebaliknya, pemegang saham minoritas menjadi lemah tak berdaya dan mudah disisihkan serta dirugikan kepentingannya oleh pemegang saham mayoritas. Hal tersebut terjadi karena UUPT menentukan setiap saham yang dikeluarkan oleh Perseroan Terbatas mempunyai satu hak suara (one share, one vote).

Konsekuensi dari pemberlakuan prinsip tersebut adalah dengan hanya terkumpulnya pemegang saham mayoritas saja, maka korum telah terpenuhi. Jadi RUPS sudah dapat diselenggarakan dan dapat mengambil keputusan tanpa melibatkan pemegang saham minoritas

Prinsip majority rule sebagai salah satu cara pengambilan keputusan dalam RUPS, sekalipun dianggap cukup demokratis, namun jika dihubungkan dengan asas kekeluargaan dan asas keseimbangan yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan RUPS secara musyawarah untuk mufakat, maka jelas prinsip tersebut dapat menimbulkan permasalahan bagi pemegang saham minoritas. Sehubungan dengan kekuasaan yang dimiliki pemegang saham mayoritas yang mempunyai kemampuan mengendalikan RUPS, maka pemegang saham mayoritas dapat dengan mudah

25


(32)

melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan pemegang saham minoritas.26

Hubungan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas dalam Perseroan Terbatas, sudah seharusnya seimbang dan harmonis berdasarkan asas yang universal (Pacta sunt servanda). Oleh karena itu, pemegang saham minoritas dan mayoritas sudah wajar mengemban tugas atau kewajiban kepercayaan (fiduciary duties), menjalin hubungan yang kokoh dan kompak.27

Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas di Amerika Serikat untuk persyaratan mayoritas dalam pengambilan keputusan RUPS antara lain pengambilan keputusan berdasarkan ketentuan mayoritas biasa dapat dipengaruhi oleh pembatasan hak untuk mengeluarkan suara berdasarkan persyaratan hak untuk mengeluarkan suara berdasarkan persyaratan kuorum dalam RUPS.

Contoh, persyaratan korum berdasarkan undang-undang dapat mengakibatkan diterimanya suatu keputusan yang disetujui oleh korum yang lebih sedikit dibandingkan dengan suara mayoritas dari seluruh saham perseroan yang ditempatkan. Mayoritas yang lebih besar biasanya dibutuhkan untuk keputusan-keputusan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan substansial, seperti

merger atau penjualan aset perseroan.

Modifikasi suara mayoritas dalam RUPS biasanya dibicarakan antara para pemegang saham, direksi dan para karyawan perseroan. Anggaran Dasar Perseroan

26

Ibid., hal. 98

27


(33)

Terbatas (ADPT) dapat mengatur besar kecilnya korum RUPS, namun undang-undang negara bagian dapat menetapkan batas-batas hak mengeluarkan suara minimal (minimum voting right).

Perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas terdiri dari hak-hak yang diatur dalam UUPT, baik yang berasal dari negeri Belanda (civil law), maupun dari negara Amerika Serikat (common law).

Perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas sudah diatur hak-haknya dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Namun hak-hak demikian pengaturannya terlalu umum, tidak seperti hak-hak pemegang saham dalam Perseroan Terbatas yang diatur dalam hukum perseroan dan dijelmakan dalam UUPT, sehingga mudah penerapannya. Bentuk-bentuk hak pemegang saham minoritas tersebut adalah

personal right (hak perseorangan), dan appraisal right, pre emptive right, derivative right, dan enquete rightt.28 Berkaitan dengan permasalahan pelaksanaan go private maka akan diuraikan dua hak pemegang saham minoritas, yaitu : personal right dan

appraisal right.

Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum

28


(34)

antara persoon dengan persoon lainnya. Appraisal right adalah hak pemegang saham minoritas untuk membela kepantingannya dalam rangka menilai harga saham.29

2. Kerangka konsepsi

Perseroan Terbatas (PT), yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.30

Perseroan Terbuka adalah perseroan publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.31 Perseroan publik adalah perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.32

Investor publik adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai saham dan atau menanamkan modalnya pada perusahaan yang go publik di pasar modal Indonesia. Delisting ialah penghapusan pencatatan efek perusahaan di bursa efek

29

Ibid.

30

Republik Indonesia, Undang-undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 1

31

Ibid., Pasal 1 angka 7

32


(35)

Sedangkan pengertian perusahaan yang dipandang dari sudut pandang ekonomi, menurut Molangraaft diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan. Seperti yang telah disebutkan bahwa suatu korporasi adalah suatu legal person (rechts-persoon) menurut hukum perdata, yang juga merupakan suatu badan hukum. Pengertian badan hukum itu sendiri menurut Wiryono Prodjodikoro adalah suatu badan yang disamping manusia perseorangan, juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.33

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.34 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang

33

Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung : Alumni, 1998), hal. 20.

34

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Rineka Cipta, 1994), hal. 105.


(36)

diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge

through judicial process).35 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder

dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.36

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.37 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal

35

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal.118

36

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.

37

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.


(37)

adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.38 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam kasus perlindungan hukum bagi investor publik dalam penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal indonesia.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute

approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.39 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan hukum investor publik dalam penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia.

38

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal. 42.

39


(38)

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari :

Bahan hukum primer merupakan badan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder:

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi


(39)

mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.40

c. Bahan hukum tersier :

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.41

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : 42

Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian

40

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141.

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Grafitti Press, 1990), hal. 14.

42


(40)

konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.43 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum investor publik dalam penghapusan pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal di Indonesia;

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

43


(41)

BAB II

ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGHAPUSAN PENCATATAN (DELISTING) PADA KEGIATAN PASAR MODAL

INDONESIA A. Konsep dan Pengertian Delisting dan Go Private 1. Delisting

Perusahaan yang beroperasi sebagai perusahaan publik, pada dasarnya harus siap dengan berbagai konsekuensi dan permasalahannya, yaitu memenuhi ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan beserta aturan pelaksanaan yang mengikutinya.

Kecilnya angka perusahaan yang mencatatkan dirinya di BEI sebagian juga disebabkan oleh tingginya angka perusahaan yang mengalami delisting. Sejak tahun 2002, terdapat 63 perusahaan yang mengalami delisting, dimana 17 perusahaan di antaranya melakukan go private secara sukarela. Namun, dapat disimpulkan bahwa dalam periode tahun 2002-2006, perusahaan-perusahaan yang mengalami delisting secara paksa (forced delisting) oleh BEI masih lebih dominan dibandingkan perusahaan yang delisting secara sukarela (voluntarily delisting).44

Banyak faktor mengapa saham kurang diminati oleh pemodal, antara lain buruknya kinerja fundamental emiten sehingga secara signifikan mempengaruhi kelangsungan usaha. Misalnya emiten mengalami kerugian beberapa tahun secara berturut-turut. Hal tersebut tentu akan berdampak pada return yang akan diterima oleh pemodal, dalam hal ini adalah dividen yang diterima oleh pemodal akan turun

44

Indra Safitri, “Transparansi Independensi Pengawasan Kejahatan Pasar Modal”, (Jakarta : Global Book & Publication Book Division, 1998), hal.6.


(42)

atau bahkan nol. Pada gilirannya daya tarik emiten tersebut tidak ada, sehingga para pemodal enggan meng-investasi-kan dana mereka pada saham tersebut, atau faktor keterbukaan informasi (information disclosure). Faktor keterbukaan ini penting, sebab meskipun fundamental perusahaan baik, tetapi emiten kurang terbuka, sehingga peminatnya tidak ada. Faktor lainnya yaitu apabila emiten melanggar peraturan-peraturan di bidang pasar modal. Apabila hal tersebut terjadi pada perusahaan go

public (emiten) tersebut bisa dihapus dari pencatatan bursa, atau disebut dengan delisting.45

Delisting adalah tindakan mengeluarkan suatu saham yang tercatat di bursa

efek karena memenuhi kriteria yang ditentukan oleh manajemen bursa efek (force

delisting), sehingga saham tersebut tidak dapat diperdagangkan lagi di bursa efek

tersebut.

2. Go Private

Go private merupakan kebalikan dari go public. Go public merupakan suatu

proses perusahaan tertutup berubah menjadi perusahaan terbuka (public). Go private merupakan, sebaliknya, yaitu proses suatu perusahaan terbuka (public) berubah menjadi perusahaan tertutup. Kasus go private PT. Praxair Indonesia merupakan pengalaman pertama di pasar modal Indonesia. PT. Praxair Indonesia yang pada tahun 1989 go public dengan harga perdana sebesar Rp. 8.800,- per saham dengan

45


(43)

nama PT. Sepanjang Surya Gas. Saham yang dimiliki oleh publik ada sebanyak satu juta lembar.46

Karena kondisi keuangan serta kinerja perusahaan yang semakin memburuk, sampai tahun 1995 harga sahamnya di BEI mencapai Rp.525,- per saham, yang berarti tinggal 5,96% dari harga perdananya. Kesulitan keuangan yang semakin memburuk hingga pada awal tahun 1997, maka memaksa direksi untuk memberikan usulan go private sebagai jalan penyelamatan PT. Praxair Indonesia dari kebangkrutan.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk melaksanakan proses go private suatu perusahaan publik adalah :

a. Delisting

b. Persetujuan Bapepam untuk go private.

Kedua tahapan tersebut tentunya harus disetujui oleh pemegang saham independen di dalam RUPS. Langkah pertama adalah delisting saham dan bursa efek dimana perusahaan publik tersebut tercatat. Dengan dilakukannya delisting, maka saham-saham perseroan tersebut sudah tidak dapat diperdagangkan lagi di bursa efek. Selanjutnya melalui persetujuan Bapepam, pemegang saham mayoritas harus membeli kembali saham-saham yang dimiliki oleh publik dengan harga yang wajar.

Dengan dibelinya kembali semua saham yang dimiliki oleh publik, maka jumlah pemegang saham menjadi berkurang dan 100 pemegang saham, yang berarti

46

Anonim, “Langkah, Go Private’masih wajar”, Rubrik Editorial, Media Indonesia, tanggal 16 November 2005., hal. 2


(44)

tidak memenuhi syarat sebagai perusahaan publik. Selanjutnya setelah melalui persetujuan Bapepam dan Menteri Kehakiman, maka perseroan tersebut berubah statusnya menjadi perusahaan tertutup.47

Istilah go private merupakan hal yang lazim di pasar modal Indonesia, sering diartikan sebagai lawan kata istilah go public. Sehingga go private dikatakan sebagai keluarnya emiten48 atau perusahaan publik dari industri pasar modal, biasanya dengan melakukan pembelian atas saham perusahaan yang dimiliki oleh investor publik atau dengan penghapusan pencatatan (delisting).

Sebagai hasilnya saham perusahaan berhenti diperdagangkan atau dengan kata lain tidak dapat lagi diperjualbelikan melalui bursa efek dimana saham tersebut dicatatkan, tetapi saham yang dimiliki oleh pemegang saham masih dapat diperjualbelikan di antara para pihak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar perseroan.

Definisi dari go private, antara lain :

1. Henry Campbell Black mengartikan going private yaitu :

“The process of changing a public corporation intoa close corporation

by terminating the corporation’s status with the secure as a publicly held corporatin and by having its outstanding publicly held shares acquired by a single shareholder or a small group”.49

2. “Going private : The repurchasing of all of a company’s outstanding stock by

employees or a private investor. As a result of such an initiative, the company stops being publicly traded. Sometimes, the company might have to take on significant debt to finance the change in ownership structure. Companies

47

Dikutip dari www.indoexhange.com, Ibid., hal.2

48

Ibid.

49

Bryan A. Garner, “Black Law Dictionary-Seventh Edition”, (West Law Group, 1999), hal.192


(45)

might want to go private in order to restructure their bussiness (when they feel that the process might affect their stock prices poorly in the short run). They might also want to go private to avoid the expenseand regulations associated with remaining listed on a stock exchange”.50

Kecenderungan untuk melakukan go private tidak diimbangi dengan pengaturan yang jelas oleh Bapepam sebagai regulator, sehingga menimbulkan persepsi bahwa regulator enggan untuk memuluskan jalan bagi emiten atau perusahaan publik keluar dari industri pasar modal. Hal ini didukung dengan adanya ketentuan khusus yang mengatur go private meskipun telah beberapa kali perusahaan melakukan go private. Go private untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1996 oleh PT.Praxair Indonesia Tbk. Dan sampai dengan bulan September 2005 tercatat ada 11 (sebelas) perusahaan yang telah melakukan go private di antaranya PT. Komatsu Indonesia Tbk, PT Multi Agro Persada Tbk, PT. Indosiar Visual Mandiri Tbk, PT. Central Proteinaprima Tbk, PT. Surya Hidup Satwa Tbk, PT. Bayer Indonesia Tbk, PT. Singer Industries Indonesia Tbk, PT. Indocopper Investama Corp Tbk, PT. Miwon Indonesia Tbk, PT. Pfizer Indonesia Tbk, dan PT. Praxair Indonesia Tbk.

Berbagai kemungkinan alasan perusahaan melakukan go private, baik secara sukarela maupun secara paksa (delisting) contohnya adalah Komatsu Ltd memutuskan untuk menarik sejumlah anak perusahaannya, termasuk Komatsu Indonesia, dari pencatatan di berbagai bursa saham dunia. Sedangkan rencana

50


(46)

keluarnya Aqua dari BEI sejalan dengan kebijakan Danone Asia meneruskan konsolidasi anak-anak perusahaannya.51

Perubahan kondisi ekonomi, bisa memicu peningkatan jumlah perusahaan yang merasa bahwa mereka lebih baik menjadi perusahaan tertutup dibandingkan menjadi perusahaan publik.

Prosedur yang digunakan sebagai acuan oleh Bapepam mengarah kepada kebijakan yang pernah diambil sebelumnya dan dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan karakteristik perubahan waktu, tanpa mau menganalisa dan melakukan penelitian terhadap masalah go private. Go private itu sendiri merupakan hal yang pasti tidak akan terpisahkan bagi sebuah pasar modal yang juga memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk go public.

Bagi perusahaan yang akan melakukan go private diwajibkan oleh Bapepam untuk memperoleh persetujuan pemegang saham independen dalam Rapat Umum Pemegang Saham Independen, dimana hal tersebut dilakukan guna melindungi kepentingan pemegang saham publik atau minoritas.

Proses perubahan perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka bukan hanya sekedar untuk memperoleh dana dari masyarakat, akan tetapi juga meliputi segala aspek baik internal maupun eksternal. Aspek internal meliputi perubahan dalam pengelolaan perusahaan dimana perusahaan menjadi terbuka misalnya dengan penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) sesuai dengan Kepututsan

51

Koran Media Indonesia, “Langkah Go Private Masih Wajar”, Lihat www.mediaindo.com/ Edisi Cetak Tanggal 16 November 2005, Diakses tanggal 21 Mei 2008, hal. 13


(47)

Menteri BUMN No.117/M-MBU/2002, dibentuknya komite audit, adanya komisaris independen dan lain sebagainya. Sedangkan aspek eksternal meliputi hubungan dengan investor, pengungkapan informasi material, penyampaian laporan secara berkala maupun insidentil dan lain sebagainya.

Bagi Bapepam, hal utama yang diperhatikan dalam go private adalah perlindungan terhadap pemegang saham publik. Karena itu, untuk melakukan go

private ini pihak yang melakukan pembelian saham wajib melakukan penawaran

tender. Perlindungan yang didapat melalui ketentuan penawaran tender tersebut adalah dalam hal harga saham, dan adanya kesempatan yang sama bagi semua pemegang saham publik untuk menjual saham yang dimilikinya.

Memang ketentuan go private di pasar modal belum diatur secara jelas, akan

tetapi Bapepam telah menetapkan rambu-rambu ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan go private, beberapa memang diambil dari ketentuan-ketentuan yang memang sudah ada sebelumnya ditambah dengan perubahan-perubahan untuk menampung aspek perlindungan hukum bagi investor publik.

Apabila suatu Perusahaan Terbuka atau emiten akan melakukan perubahan menjadi perusahaan tertutup, maka hal-hal yang wajib diperhatikan dengan rambu-rambu ketentuan yang ada, akan dituangkan dalam surat Ketua Bapepam kepada calon emiten yang go private.52

52


(48)

B. Alasan Delisting

Perusahaan publik yang kemudian memilih untuk melakukan penghapusan pencatatan secara sukarela atau voluntary delisting menjadi perusahaan private (go

private) bukanlah hal yang baru. Go private merupakan masalah yang sering terjadi

di pasar modal di seluruh dunia. Perdebatan tentang go public dan go private menjadi topik yang cukup hangat diperbincangkan di kalangan ekonomi maupun ahli finansial dunia. Sebagian berpendapat go private adalah suatu langkah yang baik, namun ada juga yang berpendapat go publik adalah langkah yang lebih baik bagi suatu perusahaan. Bab ini membahas pandangan sebagian kalangan tentang alasan perusahan-perusahaan mengambil pilihan menjadi tidak publik lagi.

1. Alasan go private.53

Di dunia finansial sering disebutkan bahwa perusahaan yang berstatus publik memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan perusahaan yang berstatus

private. Sering disebutkan bahwa suatu perusahaan yang berstatus publik, digabung

dengan pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan, akan memberikan keuntungan ke perusahaan tersebut dalam bentuk : kemudahan akses ke pasar modal; spesialisasi dalam kemampuan manajemen; diversifikasi kekayaan investor dengan port folio yang likuid; peliputan intensif dari media; diversifikasi risiko dari pendiri perusahaan dan entrepreneur; penggunaan sistem remunerasi berdasarkan kinerja saham perusahaan di pasar modal, dan lain-lain.

Namun, ada juga risiko yang cukup besar bagi suatu perusahaan yang

53


(49)

berstatus publik yaitu tata kelola perusahaan yang tidak akuntabel dan tidak transparan dapat meningkatkan biaya pengelolaan perusahaan yang akhirnya akan menghacurkan nilai perusahaan tersebut di pasar. Ineffisiensi yang timbul ini disinyalir akan mengakhiri era perusahaan publik. Pernyataan ini memang tampaknya terlalu berlebihan, karena sampai saat ini perusahaan yang berstatus publik masih marak di dunia.

Akan tetapi, pandangan tersebut di atas tidak salah sepenuhnya. Hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan publik yang berubah status menjadi perusahaan

private. Di tahun 1980-an misalnya, transaksi perubahan status dari publik ke private

di Amerika Serikat mencapai USD 250 milyar. Kecenderungan melakukan voluntary

delisting atau go private ini tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat saja,

perusahaan-perusahaan di Inggris pun banyak yang memilih untuk go private. Namun, gelombang go private di Inggris tidak setinggi di Amerika Serikat. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2003 tercatat sebanyak 177 perusahaan berubah status dari publik ke private.

Ada bermacam-macam hipotesa yang digunakan untuk menjelaskan fenomena dalam proses melakukan voluntary delisting atau go private. Namun pada dasarnya hipotesa-hipotesa tersebut dapat dikelompokkan ke dalam: penghematan pajak; pengurangan biaya agency (karena penyesuaian insentif, konsentrasi kendali perusahaan, atau pengurangan dari cash flow); transfer kemakmuran dari stakeholder ke shareholder; pengurangan biaya transaksi; perlindungan terhadap usaha pengambilalihan perusahaan; dan penilaian perusahaan yang lebih rendah dari


(50)

seharusnya. Penjelasan detail dari masing-masing hipotesa tersebut akan dibahas dalam paragraf berikutnya. 54

a. .Hipotesa keuntungan dari pajak.

Sebagian besar transaksi go private di dunia sering disertai dengan kenaikan yang signifikan dari leverage perusahaan tersebut, dimana kenaikan dari pengurangan keuntungan (interest deductions) dapat menjadi sumber yang penting yang depat memberikan kenaikan kekayaan (wealth). Dalam hal ini, Interest Tax Deductibility dari pinjaman baru dapat memberikan suatu perusahaan untuk go private. Tentu saja pengaruh hal ini di suatu negara akan sangat bergantung pada kebijakan fiskal negara tersebut, juga amat tergantung pada marginal tax rate yang harus dibayar oleh suatu perusahaan. Diperkirakan bahwa keuntungan pajak dari kegiatan melakukan

voluntary delisting atau go private di Amerika Serikat dapat mencapai antara 21%

dan 72% (untuk tahun 80-an) dari premium yang yang dibayarkan ke pemegang saham untuk membawa perusahaan tersebut menjadi perusahaan private.

Dalam hipotesa ini, perusahaan publik yang mempunyai kewajiban pajak yang besar akan diuntungkan bila perusahaan tersebut melakukan voluntary delisting atau

go private terutama karena jumlah utang yang besar yang digunakan untuk

membiayai transaksi (go private) menciptakan tambahan tax shield yang cukup besar, yang menambah nilai perusahaan sebelum di rekapitulasi.

54

Dikutip dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/07/0038.html, Diakses tanggal 10 Mei 2008, hal. 1


(51)

Keuntungan dari pemegang saham (dari perusahaan yang melakukan

voluntary delisting atau go private) berkorelasi positif dengan tingginya tingkat pajak

yang harus dibayar, dan dengan leverage ratio yang rendah dari perusahaan tersebut sebelum melakukan voluntary delisting atau go private.

b. Hipotesa masalah biaya agen (pengelola perusahaan)

Dalam hipotesis ini, ada tiga alasan utama yang menjelaskan terjadinya proses melakukan voluntary delisting atau go private yaitu penyesuaian insentif (incentive

realignment), kendali (control), dan uang menganggur (free cash flow). Incentive realignment manajer dan pemilik saham sering mempunyai kepentingan yang

berbeda. Manajer dapat saja meningkatkan keuntungan pribadi mereka (dengan berupaya tidak maksimal) dan mengurangi nilai dari perusahaannya.

Kebutuhan untuk menyesuaikan lagi insentif dari manajemen dan pemegang saham sering pula disebut-sebut sebagai salah satu alasan untuk melakukan voluntary

delisting atau go private. Di dalam hipotesis ini, penyatuan kembali kepemilikan dan

kendali perusahaan akan memperbaiki struktur insentif dan diharapkan dapat meningkatkan usaha manajemen untuk memaksimalkan nilai dari perusahaan. Keuntungan dari pemegang saham (perusahaan go private) berkorelasi negatif dengan kepemilikan equity management di perusahaan sebelum go private.55

Kendali (control) pada perusahaan publik terdapat masalah monitoring keputusan-keputusan manajemen perusahaan, hal ini terjadi karena perusahaan publik itu dimiliki oleh banyak pemegang saham. Karena investasi dalam hal monitoring

55


(52)

yang dilakukan oleh seorang pemegang saham menjadi public good untuk seluruh pemegang saham, pemegang saham individu yang memiliki hanya sedikit saham akan cenderung underinvest di dalam aktivitas monitoring. Kehadiran kepemilikan dengan konsentrasi yang kecil akan menciptakan kegiatan monitoring yang ketat oleh pemilik saham sebelum proses melakukan voluntary delisting atau go private berlangsung dapat berarti keuntungan untuk go private tidak akan terlalu besar karena perusahaan tersebut sebelum go private kecil sekali kemungkinannya mengalami agency cost yang tinggi.

Keuntungan yang dapat diharapkan oleh pemegang saham (perusahaan private) dalam melakukan langkah go private akan berbanding terbalik dengan tingkat konsentrasi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemegang saham dari luar.

Uang menganggur atau disebut dengan free cash flow didefinisikan sebagai

cash flow sisa setelah dikurangi kebutuhan dana untuk membiayai semua proyek yang

memiliki net present value yang positif (setelah di-discount dengan cost capital yang relevan). Manajer mempunyai insentif untuk menahan dana (resource) dan untuk menumbuhkan perusahaan melebihi batas optimalnya (sering disebut sebagai empire

building), yang mana hal ini berlawanan dengan interest dari para pemegang saham.

Masalah ini sering terjadi di industri yang memiliki banyak uang tunai, tetapi memiliki prospek pertumbuhan yang rendah.56

Dengan menukarkan equility dengan hutang, manajer secara kredibel telah membuat komitmen untuk membayarkan cash flow di masa datang daripada menahan

56


(53)

cash flow tersebut dan menginvestasikannya di dalam proyek yang memilki NPV

negatif. Meningkatnya resiko default yang timbul karena proses rekapitalisasi tersebut akan menumbuhkan motivasi untuk membuat perusahaan tersebut menjadi lebih efisien.

Banyak dari keuntungan menjadi perusahaan private berasal dari fungsi kontrol dari utang (debt). Teori carrot and stick dari Lowenstein untuk perusahaan yang melakukan voluntary delisting atau go private. Carrot-nya, dalam hal ini, adalah meningkatnya kepemilikan saham dari para manajer yang membuat para manajer dapat menikmati keuntungan yang lebih besar dari usahanya. Sedangkan stick-nya adalah utang yang besar yang diambil oleh perusahaan untuk perusahaan meminjam dalam jumlah yang besar akan memaksa manajer perusahaan untuk menjalankan perusahaan dengan efisien untuk mencegah terjadinya default.

Dalam hipotesis ini, leverage yang tinggi karena proses melakukan voluntary

delisting atau go private akan mencegah terjadinya pemborosan free cash flow karena

proses go private tersebut akan mengikat manajer untuk membayar lebih banyak cash

flow untuk membayar utang.

Harapan keuntungan dari pemegang saham (perusahaan private) dari suatu proses go private akan berkorelasi positif dengan level free cash flow dari perusahaan tersebut sebelum melakukan voluntary delisting atau go private.57

c. Hipotesa biaya transaksi

Banyak kalangan yang menyebutkan salah satu alasan untuk melakukan

57


(54)

voluntary delisting atau go private adalah karena biaya untuk menjadi perusahaan

yang listed di bursa tidaklah murah. Untuk perusahaan di inggris, misalnya, sebuah perusahaan yang memiliki market cap 100 juta Pound harus membayar sekitar 43.700 Pound (di tahun 2003) untuk bisa listed di London Stock Exchange (LSE), dengan

listing fee tahunan sebesar 6,280 Pound. Biaya ini akan bervariasi sesuai dengan

ukuran perusahaan dan jenis pasar dimana perusahaan tersebut terdaftar. Di samping itu, perusahaan Inggris yang listed harus membayar ke pialang saham, registrar, pengacara, bank, dan perusahaan PR finasial, juga biaya jual-beli, auditing, pencetakan dan pendistribusian account, yang jumlahnya dapat mencapai 250.000 Poundsterling.

Pada dasarnya, hipotesa biaya transaksi menunjukkan bahwa keutungan dari

go private sebagian besar berasal dari penghapusan biaya-biaya langsung maupun tak

langsung yang berhubungan dengan status listed saham perusahaan tersebut. Keuntungan pemilik saham (perusahaan private) dari suatu proses go private berkorelasi positif dengan penghematan yang dilakukan dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan listed.58

d. Hipotesa perlindungan terhadap usaha pengambilalihan

Sebagian perusahaan disinyalir menempuh langkah melakukan voluntary

delisting atau go private sebagai pertahanan terakhir terhadap pengambilalihan paksa

(hostile shareholder or tender offer). Para manajer merasa ketakutan kehilangan pekerjaan mereka bila pengambilalihan paksa tersebut dibiarkan terjadi. Karena itu,

58


(1)

Fuady, Munir, Pasar Modal Modern, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

---, “Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek”, Buku kesatu, Bandung: PT Citra Adithya Bakti, 1996.

---, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, Bandung: PT Citra Adithya Bakti, 1994

---, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, Bandung: PT Citra Adithya Bakti, 1996

---, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT Citra Adithya Bakti, 1995.

---, Hukum Tentang Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT Citra Adithya Bakti, 1996.

Garner, Bryan A., “Black Law Dictionary-Seventh Edition”, Inggris :West Law Group, 1999

Hartini, Rahayu,Hukum Komersil, Malang: UMM Press, 2005.

Heller, Disclosure Requirements Under Federal Securities Regulation, Bussiness

Law, 16th Edition, 1961

Irsan, Nasarudin, dkk, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, , Jakarta: Prenada Media, 2004.

J.Bond, Helen & Peterkan, Business Law, London: Blackstone Press Umited,1995. Jensen, M.C., Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers.

American Economic Review 76, 1986.

---, The eclipse of the public corporation. Harvard Business Review 67, 1989.

Kaplan, S.N., a. The effects of management buyouts on operating performance and

value. Journal of Financial Economics 24, 1989

---, b. Management buyouts: evidence on taxes as a source of value.

Journal of Finance 44, 1989


(2)

Kansil, C.S.T., dkk, Pokok-Pokok Hukum Pasar Modal, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Kusumaatmadja, Mochtar Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 2000 Lowenstain, L., Management buyouts. Columbia Law Review 85, 1985.

Mahmud, Peter Marzuki, “Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1996.

Murphy, K.J., Corporate performance and managerial renumeration: an empirical

analysis, Journal of Accounting and Economics 7, 1985.

Nasution, Bismar, Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta : FH UI, 2001.

Opler, T., Titman, S., The determinants of leveraged buyout activity: Free cash flow

versus financial distress costs. Journal of Finance 48, 1993.

Pranoto,Toto, ”Quo Vadis Good Corporate Governance”, Usahawan No.08, Tahun XXIX, Agustus, 2000.

Rachmadi, F., “Public Relations Dalam Teori dan Praktek-Aplikasi dalam Badan

Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah, Jakarta: Gramedia Pustaka Media,

1994.

Republik Indonesia, Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Republik Indonesia, Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Safitri, Indra, Transparansi, Independensi dan Pengawasan Kejahatan Pasar Modal,

cet 1., Jakarta: Go Global Book & Publication Book Division, 1998. Salman, Otje, Anton F Susanto, Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2004 Saliman, Abdul R, dkk. Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,

Jakarta: Prenada Media, 2005.

Seligman, Joel., “Colloquim The SEC’s Unifinished Soft Information Revolution”, Fordham law Review, vol.63, 1995.

Setiawan, R.,. Pokok-Pokok Hukum Perikatan”, cetakan kedua., Bandung: Bina cipta, 1979.


(3)

Simanjuntak, Pangaribuan, Emmy, ”Hukum Dagang Surat-Surat Berharga”,

Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1993.

Sunariyah, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal”, Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 1997.

Surya, Indra, “Penerapan Good Corporate Governance, Jakarta: Kencana, 2006. Suta, I Putu Gede Ary, Menuju Pasar Modal Modern, Jakarta: Yayasan Sad Satria

Bhakti, 2000.

Usman, Marzuki, Singgih Riphat, dan Syahrir Ika, Pengetahuan Dasar Pasar Modal, Jakarta: Jurnal Keuangan dan Moneter dan IBI, 1999.

Winarto, Jassoed., Pasar Modal Indonesia: Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi


(4)

DAFTAR ISTILAH

Absolute Majority : Suara terbanyak mutlak.

ADPT : Anggaran Dasar Perseroan Terbatas.

Annual listing fee : Biaya pencatatan tahunan.

Appraisal right : Hak pemegang saham minoritas untuk membela

kepentingannya dalam rangka menilai harga saham.

Asimmetric information : Informasi asimetris

Bapepam : Badan Pengawas Pasar Modal.

Bargaining position : Posisi tawar.

BEI : Bursa Efek Indonesia. BEJ : Bursa Efek Jakarta. BES : Bursa Efek Surabaya.

Capital gain : Laba dari penjualan aktiva.

Capital loss : Kerugian penjualan aktiva

Control : Kendali.

Corporate action : Tindakan korporasi.

Corporate plan : Rencana korporasi.

Debt : Utang.

Disclosure Principles : Prinsip keterbukaan.

Emiten : Perusahaan publik.

Forced Delisting : Aturan baru mengenai delisting yang merupakan putusan bursa yang lebih memerhatikan aspek substansi kelangsungan usaha emiten.

Fund manajer : Manajer Keuangan.

GCG : Good Corporate Governance.

Go public : Suatu proses perusahaan tertutup berubah menjadi perusahaan terbuka (public).

Go private : Proses suatu perusahaan terbuka (public) berubah menjadi perusahaan tertutup.

IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan.

Interest tax deductibility : Pengurangan pajak keuntungan. Initial listing fee : Biaya pencatatan awal.

Investor publik : Orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai saham dan atau menanamkan modalnya pada perusahaan yang go publik di pasar modal Indonesia.

Incentive Realignment: Penyesuaian Insentif.

KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Korporasi (corporation) : Sekelompok orang yang secara bersama-sama melaksanakan urusan finansial, keuangan, ideologi atau urusan pemerintahan. Korporasi menurut Wiryono Prodjodikoro adalah suatu badan yang disamping manusia perseorangan, juga dianggap dapat bertindak dalam hukum


(5)

dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

Leverage : Hutang pokok perusahaan.

Listed : Tercatat.

Monitoring : Pengawasan.

Net tangible asset : Aktiva berwujud bersih.

Penghapusan pencatatan (delisting) : penghapusan efek dari daftar efek yang tercatat di bursa sehingga efek tersebut tidak dapat diperdagangkan di bursa.

Perseroan Terbatas (PT) : yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Pemegang saham minoritas : Satu atau sejumlah pemegang saham yang relatif hanya menguasai sejumlah saham, yang kalah banyaknya terhadap satu atau sekelompok pemegang saham lainnya. Atau pemegang saham minoritas adalah satu atau beberapa pemegang saham yang relatif memiliki lebih sedikit sahamnya daripada pemegang saham lainnya dan yang masing-masing atau sendiri-sendiri memiliki tidak lebih dari 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dalam perseroan, yang tidak mampu melawan putusan yang dibuat oleh RUPS.

Perpetual : Terus menerus

Perseroan Terbuka : Perseroan publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan undangan di bidang pasar modal.

Personal right : Hak perseorangan

Perseroan publik : Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Perusahaan menurut Molangraaft : perbuatan yang dilakukan secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan.

PMA : Penanaman Modal Asing.

Private placement : Penempatan investasi penawaran terbatas.

Public Offering : Penawaran umum .

Qualified/Special Majority : Suara terbanyak khusus.

Relisting : Pencatatan kembali saham di bursa.


(6)

Simple Majority : Suara terbanyak biasa.

Suspensi : Penghentian sementara perdagangan saham di BEI.

Take Over : Pengambilalihan perusahaan terbuka.

Tax shield : Perlindungan pajak.

Tender Offer : Penawaran Tender.

Transaksi yang mempunyai benturan kepentingan : Jika suatu transaksi di mana seorang direktur, komisaris, pemegang saham utama atau atau pihak terafiliasi dari direktur, komisaris atau pemegang saham utama mempunyai benturan kepentingan, maka transaksi dimaksud terlebih dahulu harus disetujui oleh para pemegang saham independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam RUPS sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam No.IX.E.1. Persetujuan mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam bentuk akta notaris.

UUPT : Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undervaluation : Di bawah penilaian

Uang menganggur (free cash flow) : Aliran sisa uang setelah dikurangi kebutuhan dana untuk membiayai semua proyek yang memiliki net

present value yang positif (setelah di-discount dengan cost capital yang relevan).