objek dengan air panas atau dengan deterjen dan agen pembersih lainnya kemudian dicuci dengan cara digosok ataupun disemprot. Pencucian dilakukan
dari area yang tinggi ke rendah dan perhatikan daerah sudut lantai ataupun objek saat mencuci, karena daerah ini dapat menjadi reservoir dari mikroorganisme.
Meskipun berbagai debris dapat bersih dari proses ini, namun biofilm yang terbentuk pada permukaan bakteri setelah proses mencuci dapat
menyebabkan bakteri tersebut menjadi resisten terhadap desinfeksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembilasan terhadap deterjen ataupun sabun yang
digunakan untuk mengurangi dilusi potensi desinfektan pada saat diaplikasikan. 4.
Desinfeksi Desinfection Pemilihan desinfektan harus sesuai dengan mikroorganisme yang
dicurigai dan harus memperhatikan faktor lingkungan serta keselamatan. Ikuti aturan pakai produk desinfektan yang tertera agar sesuai dengan konsentrasi
yang efektif. Selain itu, agar desinfektan efektif, maka permukaan lantai harus basah. Waktu kontak desinfektan juga harus tepat, ini berbeda pada masing-
masing produk. Seperti diatas, untuk daerah yang merupakan reservoir dari mikroorganime maka haruslah dibersihkan terlebih dahulu.
5. Evaluasi Evaluation
Untuk memastikan bahwa agen mikroorganisme telah dihancurkan, maka perlu dilakukan evaluasi tingkat lanjut dari tindakan yang telah dilakukan. Selain
melalui inspeksi, perlu dilakukan pengambilan sampel secara bakteriologis untuk mengetahui efektivitas dari pembersihan yang dilakukan beserta
protokolnya. Kegagalan desinfeksi yang dilakukan mungkin berhubungan dengan pemilihan ataupun penggunaan desinfektan yang tidak efektif, atau
karena faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban.
10
2.1.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Desinfektan
Aktivitas desinfektan tergantung dari sejumlah faktor. Beberapa diantaranya merupakan faktor internal organisme, beberapa lainnya merupakan
faktor lingkungan fisik ekternal dan kimia. Adapun faktor tersebut sebagai berikut;
1. Jumlah dan lokasi mikroorganisme
Selama kondisi lain tetap konstan, semakin besar jumlah mikroba maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan desinfektan untuk membasminya.
Keadaan ini memperkuat alasan dibutuhkannya proses pembersihan cleaning sebelum dilakukan desinfeksi.
Lokasi mikroorganisme juga harus mejadi faktor yang dipertimbangkan. Permukaan yang berlekuk-lekuk akan menjadi sulit dibersihkan. Hanya
permukaan yang berkontak langsung dengan desinfektan yang akan terdesinfeksi.
2. Resistensi bawaan mikroorganisme
Resistensi terhadap proses desinfeksi dan sterilisasi sangat bervariasi. Misalnya, spora yang tahan terhadap desinfektan karena adanya mantel spora
yang berperan sebagai barier, bakteri memiliki dinding sel yang mencegah masuknya desinfektan, dan bakteri Gram negatif memiliki membran
ektraseluler yang berperan sebagai barier penyerapan desinfektan. Dibutuhkan waktu
pemaparan dan
konsentrasi yang
lebih untuk
membasmi mikroorganisme yang resisten ini agar hancur sempurna.
Selain prion, spora bakteri memiliki resistensi tertinggi terhadap desinfektan, diikuti oleh kokidia kriptosporidium, mycobacterium, virus kecil
dan tidak berlipid poliovirus, coxsackievirus, jamur aspergillus, candida, bakteri vegetatif staphylococcus dan pseudomonas, dan virus berukuran
medium dan berlipid herpes, HIV. Secara signifikan, Pseudomonas aeruginosa pada lingkungan alami lebih resisten terhadap beberapa desinfektan
dibandingkan dengan bakteri yang dikultur pada media laboratorium. 3.
Konsentrasi dan potensi desinfektan Pada kondisi variabel lain konstan, dengan semakin besar konsentrasi
suatu desinfektan maka akan semakin besar efektivitas dan semakin pendek waktu yang diperlukan untuk membunuh mikroba.
Spaulding melakukan percobaan terkait hal ini, dengan menggunakan test mucin-loop didapatkan hasil bahwa isopropyl alkohol 70 menghancurkan 10
4
Mycobacterium tuberculosis dalam waktu 5 menit, sedangkan fenol dengan