2. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi. Analogi yang dimaksud disini adalah tidak berpegang lagi pada aturan yang ada,
sehingga bertentangan dengan azas ini. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Azas legalitas pada dasarnya merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberikan batas-batas aktivitas apa yang dilarang
secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi apa
yang boleh dan apa yang dilarang. Saat ini hukum pidana mengalami suatu pertumbuhan yang dapat dipidana.
Bahkan menurut Roeslan Saleh telah terjadi “inflasi hukum pidana”. Terjadinya inflasi hukum ini menurut Hanafi dikarenakan dalam hukum positif, tiap-tiap tindak
pidana disebutkan seteliti-telitinya dengan menentukan unsur-unsur materiilnya. Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang merugikan yang terus berkembang yang
tidak diatur dengan rinci unsur-unsurnya dalam perumusan tindak pidana tidak terjangkau oleh hukum pidana
b. Instrumen Hukum Nasional Terkait Dengan Narkotika 1.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pembentukan Undang-Undang tentang Narkotika merupakan konsistensi sikap proaktif Indonesia mendukung gerakan dunia Internasional dalam memerangi
segala bentuk tindak pidana narkotika. Proaksi tersebut disimbolisir oleh penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Ratifikasi United Nations
Universitas Sumatera Utara
Convention Against Illicit Traffin in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran
Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol
Tahun 1972.
81
Narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pembentukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika,
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna
dan pecandu Narkotika. Pasal 4 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut di atas, yakni
huruf d menyebutkan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan
81
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 89.
Universitas Sumatera Utara
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan Pecandu Narkotika. Untuk pelaksanaan rehabilitasi sendiri diatur dalam UU No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 54, yakni menyebutkan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Secara tegas kaitan antara pasal di atas mengakui pengkategorian
penyalahgunaan narkotika adalah merupakan seorang korban. Serta merta kedudukan Negara sebagai penanggung jawab untuk memfasilitasi pemenuhan
layanan manfaat rehabilitasi tersebut, guna membantu proses pemulihan dari ketergantungan narkotika.
82
Tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, dan banyak
menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi muda bangsa yang membahayakan kehidupan masyarakat. Konteks pencegahan dari teori kebijakan
pencegahan dan penanggulangan harus menunjang tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat.
Ketentuan pidana Narkotika bentuk tindak pidana yang dilakukan serta ancaman sanksi pidana bagi pelakunya yang diatur dalam Undang-Undang
Narkotika tercantum lebih dari 30 Pasal, yaitu Pasal 111 sampai dengan Pasal 142 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Bab XV Pasal 127 ayat 1 menyebutkan bahwa, setiap Penyalah Guna:
82
Lihat penjelasan Pasal 54, yang dimaksud dengan “korban penyalahgunaan narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa danatau diancam untuk menggunakan narkotika.
Universitas Sumatera Utara
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun.
Sedangkan ayat 2 menyatakan, dalam memutus perkara sebagaimana yang dimaksud ayat 1, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. Ayat 3 menyebutkan, dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dibuktikan atau terbukti
sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 103 ayat 1 menyatakan, hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
b. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti
bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau c. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
danatau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, sedangkan
Ayat 2 menyatakan, masa menjalani pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a diperhitungkan
sebagai masa menjalani hukuman.
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan, bahwa peruntukan Pasal 4, Pasal 54, Pasal 127 dan Pasal 103 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika merupakan konsep kebijakan hukum yang dibentuk guna dilakukannya upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika, sekaligus
memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi. Hal tersebut juga sebagai pencapaian kesejahteraan dan perlindungan masyarakat.
Secara sosiologis pencapaian hukum di tataran organisasi atau institusi pemerintahan, menyimpulkan aturan kebijakan ini sebagai perintah atau norma
hukum. Sebagai kewajiban pemerintah baik legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam melakukan aplikasi untuk pencapaian efektifitas hukum. Pencapaian tujuan
hukum secara filosofis merupakan nilai positif yang tertinggi, yang merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengemban tanggung jawab pelaksana sebagai
subjek hukum
83
.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika