Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan, bahwa peruntukan Pasal 4, Pasal 54, Pasal 127 dan Pasal 103 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika merupakan konsep kebijakan hukum yang dibentuk guna dilakukannya upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika, sekaligus
memberikan manfaat dalam proses rehabilitasi. Hal tersebut juga sebagai pencapaian kesejahteraan dan perlindungan masyarakat.
Secara sosiologis pencapaian hukum di tataran organisasi atau institusi pemerintahan, menyimpulkan aturan kebijakan ini sebagai perintah atau norma
hukum. Sebagai kewajiban pemerintah baik legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam melakukan aplikasi untuk pencapaian efektifitas hukum. Pencapaian tujuan
hukum secara filosofis merupakan nilai positif yang tertinggi, yang merupakan tanggung jawab pemerintah dalam mengemban tanggung jawab pelaksana sebagai
subjek hukum
83
.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Penegakan hukum pidana Psikotropika diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 selanjutnya ditulis: UU No. 5 Tahun 1997 mengatur sejumlah
ketentuan pidana psikotropika, yang dirumuskan dalam sejumlah pasal. Pembentukan UU No. 5 Tahun 1997 dilatarbelakangi oleh beberapa
pertimbangan, sebagai berikut.
84
83
Zainudin Ali, “Sosiologi Hukum”, Jakarta: Sinar Grafika, 2006., hlm. 62.
84
Ibid. hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
1. Psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, maka ketersediaannya perlu dijamin.
2. Penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan
nasional. 3. Semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi,
komunikasi, dan informasi telah menyebabkan gejala meningkatnya peredaran gelap psikotropika yang makin meluas serta berdimensi
internasional. Psikotropika menurut UU No.5 Tahun 1997, adalah sebagai zat atau obat,
baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Pasal 2 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1997 dijelaskan bahwa ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika yang diatur dalam UU No.
5 Tahun 1997 segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi menyebabkan sindroma ketergantungan.
Adapun psikotropika yang mempunyai potensi menyebabkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi Pasal 2 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1997:
a. Psikotropika Golongan I; b. Psikotropika Golongan II;
c. Psikotropika Golongan III; dan d. Psikotropika Golongan IV.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan Pengaturan Psikotropika pada Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1997, adalah menjamin 1 ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan
ilmu pengetahuan, 2 mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika, dan 3 memberantas peredaran gelap psikotropika.
Berkaitan langsung dengan ketentuan Pasal 3 diatas, pada Pasal 4 ayat 1,2, dan 3 UU No. 5 Tahun 1997 ditegaskan bahwa:
1 Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan;
2 Psikotropika Golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan; dan
3 Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Psikotropika Golongan I dinyatakan sebagai Barang terlarang.
Pengaturan psikotropika agar sesuai dengan penggunaannya untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan, tidak
terjadi penyalahgunaan sekaligus memberantas peredaran gelap psikotropika, maka dalam UU No. 5 Tahun 1997 dirumuskan ketentuan pidana psikotropika dan
penegakan hukum atas ketentuan pidana tersebut dalam sejumlah pasal. Pasal 59 ayat 1, 2, dan 3 serta pasal 60 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1997
adalah dua pasal yang memuat ketentuan pidana dimaksud. Ketentuan Pasal 59 ayat 1, 2, dan 3 UU No.5 Tahun 1997 berbunyi sebagai berikut.
1 Barangsiapa: a. Menggunakan Psikotropika Golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2;
atau
Universitas Sumatera Utara
b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi Psikotropika Golongan I, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. Mengedarkan Psikotropika Golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 3; atau
d. Mengimpor psikotropika Golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa Psikotropika Golongan I;
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun, paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 seratus
lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 750.000.000,00 tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
2 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama 20 dua puluh tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
3 Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda
sebesar Rp 5.000.000.000 lima miliar rupiah. Ketentuan Pasal 60 ayat 1, 2, 3,4, dan 5 UU No. 5 Tahun 1997
berbunyi sebagai berikut. 1 Barang siapa:
Universitas Sumatera Utara
a. Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standard dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7; atau c. Memproduksi atau mengedarkan Psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1;
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
2 Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah. 3 Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
4 Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14ayat 1, Pasal 14 ayat 2, Pasal 14 ayat 3, dan Pasal 14 ayat 4 dipidana
dengan pidana pejara paling lama 3 tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
5 Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat 3, Pasal 14 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama
Universitas Sumatera Utara
3 tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
Apabila yang menerima itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga bulan.
Keberadaan psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, namun penyalahgunaan
psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, maka ketersediaannya perlu dijamin.
Pengaturan tentang Rehabilitasi dalam UU No. 5 Tentang Psikotropika tersebut pada Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39. Secara jelas dan tegas wujud aturan
kebijakan rehabilitasi adalah sebagai berikut:
85
a. Pasal 37 dan Pasal 38
“penanggulangan pengguna psikotropika dengan mewajibkan untuk ikut serta dalam pengobatan danatau perawatan yang dilakukan pada fasilitas
rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan danatau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial, sedangkan
b. Pasal 39 “Penanggulangan bagi pengguna psikotropika dilaksanakan pada fasilitas
rehabilitasi, yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pelaksanaan rehabilitasi dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri, dan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Merujuk pada arah dan tujuan dari pencapaian Undang-Undang Psikotropika
85
Lihat Penjelasan Pasal 37 dan Pasal 39 Undang-undang No. 5 Tentang Psikotropika.
Universitas Sumatera Utara
guna peraturan atau kebijakan itu dapat terlaksana dalam aplikasinya sebagai suatu perintah yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang bertanggung jawab. Kebijakan
rehabilitasi berupaya melakukan pencegahan dan penanggulangan yang merupakan bagian dari tolak ukur untuk mengemukakann suatu upaya yang rasional dalam
menaggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana penal dan non penal.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional