Pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950

Pembaharuan yang terjadi semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan. Selain itu, pemerintah juga turut serta mengambil bagian dalam pembangunan tersebut. Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli Selatan berjalan normal sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menganut suatu kepercayaan itu. Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama sangat kental terjaga antara agama Islam yang mayoritas dengan agama Kristen yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman bagi masyarakat untuk terus menjaga toleransi antar umat beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku masyarakat sehingga ketenteraman dan kerukunan akan tetap terjaga dengan baik.

2.4 Pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950

2.4.1 Pemerintahan Tradisional di Tapanuli Selatan Secara etimologi, istilah “Tapanuli” berasal dari gabungan dua kata bahasa daerah, yaitu “tapian” dan “na-uli”. Istilah “tapian” mengandung arti suatu tempat yang airnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, seperti pinggir sungai, telaga, pancuran atau pantai. Istilah “na” yang berada di depan istilah “uli” sama artinya dengan kata “yang” atau “nan” dalam bahasa Indonesia dan istilah “uli” Universitas Sumatera Utara berarti “indah”. Maka kata tapian-na-uli yang kemudian menjadi “Tapanuli” mengandung arti “Teluk Nan Indah”. 18 Di Tanah Batak khususnya Tapanuli Bagian Selatan jauh sebelum masuknya pengaruh asing, sudah terdapat banyak komunitas kecil yang disebut sebagai huta. Kampung-kampung huta itu, yang dikelilingi tembok tanah dan pagar bambu sebagai perlindungan, umumnya kecil. 19 Sekalipun sistem pemerintahan luhat yang terbentuk mirip sistem oligarki dari turunan si pungka huta, namun sesungguhnya sistem demokrasi yang lebih berperan yang direpresentasikan dengan adanya lembaga hatobangon lembaga ketua adat yang fungsinya mendampingi RPB dalam memimpin luhat. Ini berarti setiap Setiap huta tersebut dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Raja Pamusuk RP. Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah genealogis membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung RPB. Dalam menjalankan pemerintahan huta dan luhat para RP dan RPB mengacu pada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan ‘dalihan na tolu’. RPB dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ yang membuka huta di dalam luhat yang bersangkutan. RPB ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau raja adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. 18 Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemda Tk. I Sumatera Utara, 1948, hal 127. 19 Lance Castles, op. cit., hal. 6. Universitas Sumatera Utara warga dari komunitas atau huta terwakili di dalam musyawarah luhat. Mendahulukan sipungka huta yang juga menjadi RPB sudah sepantasnya untuk didudukkan sebagai pemimpin luhat, namun keputusannya terkendali oleh peran ‘lembaga hatobangon’. Suatu komunitas kecil dikatakan sebagai huta jika komunitas tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri hingga dapat berdiri sendiri, dan huta ini diresmikan menjadi bona bulu. Komunitas kecil ini berawal dari tradisi membuka huta di dalam kawasan luhat yang dalam perjalanannya komunitas kecil tersebut lalu berkembang menjadi Bona Bulu. Sebuah huta yang dapat diresmikan menjadi Bona Bulu, manakala telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: 1 terdapat penduduk sekurang-kurangnya tiga keluarga ‘dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi bersaudara, anakboru besan dari pihak perempuan, dan mora besan dari pihak laki-laki; 2 tersedia lahan yang cukup untuk pertanian tanaman pangan, peternakan atau perikanan; 3 ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap semua keluarga di dalam komunitasnya; 4 mendapat pengakuan atas keberadaan calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat. 20 Untuk meresmikan sebuah huta menjadi bona bulu, perlu dilangsungkan sebuah horja godang pesta besar yang dipimpin secara adat oleh RPB. Puncak acara peresmian ketika RPB luhat manabalkon mengukuhkan nama keluarga Si pungka Huta Si pendiri Huta menjadi Raja Pamusuk di huta yang baru berdiri dan menyebutkan gelarnya. Acara lalu dilanjutkan dengan pidato Si pungka Huta yang 20 Akhir Matua Harahap, Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta Luhat Hingga Zaman Desa Urban, http:akhirmh.blogspot.com , diakses tanggal 05 Juli 2013. Universitas Sumatera Utara mengumumkan bahwa huta yang baru berdiri menjadi huta asal dari “Marga H” yang mendirikannya. Raja Pamusuk lalu menanam bambu duri yang diiringi istrinya menanam pandan, pihak anakboru menanam biji jagung ber- banjar-banjar, dan disusul oleh pihak mora menanam butiran padi. Huta-huta yang belum diposisikan sebagai huta Bona Bulu, dan kebutuhan warganya masih tergantung dari bantuan huta lain, huta serupa ini dinamakan pagaran anak huta. Di dalam satu luhat, umumnya terdapat banyak huta yang berstatus pagaran dan bernaung ke dalam Huta Bona Bulu terdekat. Dengan demikian, huta selain berfungsi sebagai tempat bermukim para warganya, juga wilayah tempat usaha pertanian dan sumber ekonomi yang berasal dari hutan, waduk, sungai laut. Hutan, lembah, sungai, danau dan gunung menjadi sumber penghidupan huta dan menjadi wilayah territorial huta semacam hak ulayat pada masa sekarang. Kehidupan sosial, budaya dan ekonomi huta penggunaannya diatur oleh warga luhat bersama Raja Panusunan Bulung RPB. Huta yang banyak penduduknya karena subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya juga dipimpin Raja Pamusuk yang dibantu kepala ripe dalam menjalankan pemerintahan huta untuk menegakkan tertib umum dalam bermasyarakat demi meraih kesejahteraan hidup bersama. Sesungguhnya, seorang raja di Tanah Batak RPB atau RP bukanlah individu yang memiliki nama, tetapi seorang bijak yang dituakan di antara para tetua terbaik di luhat atau huta. Dengan kata lain RPB atau RP di dalam luhat yang berlandaskan ‘dalihan na tolu’ tidak identik dengan sistem feodal melainkan sebagai ‘primus interpares’ di dalam masyarakat luhat atau huta. Universitas Sumatera Utara Luhat tradisional yang pernah ada di Tapanuli Bagian Selatan adalah sebagai berikut: 21 1. Luhat Sipirok 5. Luhat Barumun 2. Luhat Angkola 6. Luhat Sipiongot 3. Luhat Marancar 7. Luhat Mandailing 4. Luhat Padang Bolak 9. Luhat Natal 5. Luhat Barumun 10. Luhat Pakantan Pada tahun 1816-1838 terjadi Perang Padri di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Utara, yang mana pada awalnya merupakan perang antara kaum adat dengan ulama atau yang dijuluki sebagai kaum Padri. Perang ini meluas sampai ke daerah Tapanuli Selatan tepatnya daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Sejak berkuasanya kaum Paderi di wilayah mandailing yang kemudian menyebar ke daerah Tapanuli Selatan lainnya, pemerintahan tradisional yang ada setelah kaum Paderi menguasai daerah ini, dan agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat, telah merubah struktur dan sistem pemerintahan yang ada. Bila sebelumnya Raja Panusunan Bulung yang membawahi beberapa huta, hanya mempunyai peranan tertentu saja, yaitu dalam masalah adat istiadat. Sedangkan Raja Pamusuk mempunyai peranan yang lebih dominan dalam setiap huta yang dikuasainya. Akan tetapi setelah wilayah ini dikuasai oleh kaun Paderi, atau agama Islam lebih eksis dari pada adat istiadat, maka sistem dan struktur pemerintahan itu mengalami perubahan. 21 Rusli Harahap, Tanah Batak, http:rusliharahap.wordpress.com, diakses tanggal 10 Juli 2013. Universitas Sumatera Utara Raja Panusunan Bulung yang secara formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa huta, atau wilayah kenegerian, dirubah sebutannya menjadi kepala kuria. Istilah kuria ini berasal dari Bahasa Arab ‘qoriah’, yang artinya adalah wilayah. Sedangkan penguasanya di sebut sebagai khadi, yang dapat juga berarti “hakim”. Dengan demikian seorang Raja Panusunan Bulung yang mengepalai sebuah kuria, nama itu sudah berubah menjadi khadi, dan kekuasaannya juga bertambah luas. Para khadi setiap kuria, bukan saja berkuasa dibidang keagamaan, melainkan juga dibidang politik, ekonomi, dan sosial. Jelasnya kalau sebelumnya tokoh-tokoh tradisional memerintah berdasar adat, pada masa Paderi tokoh-tokoh tersebut memerintah berdasar pada syariat norma-norma menurut ajaran agama Islam. 22 Hal ini terus berlanjut sampai kolonial Belanda menguasai Tanah Mandailing dan Tapanuli Selatan secara keseluruhan. 2.4.2 Tapanuli Selatan Masa Kolonial Belanda. Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan yaitu pada tahun 1833 dari arah Natal Pantai Barat yang ketika itu di Tapanuli sendiri masih dalam suasana Perang Padri 1816-1838. Pada masa itu kaum adat yang tidak dapat mengalahkan kaum ulama meminta bantuan kepada pihak Belanda sehingga yang awalnya perang hanya antara kaum adat dengan kaum Padri berubah menjadi perlawanan terhadap Belanda. Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan yang merupakan daerah paling dekat dengan Sumatera Barat untuk menyatakan 22 Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintah Departemen Dalam Negeri di Provinsi Dati I Sumatera Utara, Sumatera Utara, 1990, hal. 37. Universitas Sumatera Utara keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di Daerah Pasaman. Setahun kemudian, pada tahun 1834 Belanda memulai pemerintahan sipil di Tanah Batak, diawali dari selatan dengan didirikannya Onder Afdeeling Mandailing yang dipimpin Controleur Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan Multatuli, berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis Pasaman, Sumatera Barat. Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat di mana setiap luhat mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada di bawah pengaruh siapa pun. Pemerintahan sipil ini kemudian dipindahkan ke Panyabungan, lalu ditingkatkan menjadi Afdeeling MandailingAngkola yang dipimpin Asistent Resident T.J. Willer yang berkoordinasi dengan Gouverneur van Sumatra Westkust Gubernur Pantai Barat Sumatera yang berkedudukan di Sibolga. Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling Padang Sidimpuan untuk daerah Tapanuli Selatan. Sementara yang lainnya dinamakan Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba dan Tarutung sebagai ibukotanya, dan Afdeeling Sibolga untuk daerah Tapanuli Tangah. Kemudian pada tahun 1884 ketiga afdeeling ini digabung menjadi satu keresidenan yang dikenal sebagai Keresidenan Tapanuli di dalam lingkungan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera yang berkedudukan di Padang Sidimpuan yang masih menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berpusat di Padang, Sumatera Barat. Universitas Sumatera Utara Sejak tahun 1906, pemerintahan Belanda di Tanah Batak lantas dipisahkan dari Sumatera Barat dan sepenuhnya dibentuk keresidenan yang berdiri sendiri dengan Residen yang berkedudukan di Sibolga. Dengan keputusan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia langsung mengendalikan pemerintahannya dari pusat ke seluruh Tanah Batak yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tidak lagi berpusat di Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa mulai membuat struktur pemerintahan baru versi Belanda di wilayah Tanah Batak yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli ke dalam tujuh tingkat pemerintahan: 1. Tingkat pertama, resident adalah pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli. 2. Tingkat kedua, asisten resident. Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi dua afdeeling, yaitu: Afdeeling Tapanuli Utara berkedudukan di Tarutung dan Afdeeling Tapanuli Selatan berkedudukan di Padang Sidimpuan. Setiap afdeeling dipimpin seorang asistent resident. Afdeeling adalah wilayah setingkat kabupaten di Jawa yang dipimpin seorang bupati. 3. Tingkat ketiga, controleur. Afdeeling dibagi menjadi beberapa onder- afdeeling yang dipimpin seorang controleur. Onder-afdeeling adalah wilayah setingkat kecamatan. Di seluruh Afdeeling Tapanuli Selatan terdapat tiga onder-afdeeling, yaitu: Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan Mandailing- Natal. Universitas Sumatera Utara 4. Tingkat keempat, demang. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan wilayah district setingkat kewedanaan di bawah onder-afdeeling yang dipimpin oleh seorang demang. 5. Tingkat kelima, asisten demang. Di bawah district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan onder-district yang dipimpin seorang asistent demang. 6. Tingkat keenam, kepala kuria. Di bawah onder-district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah hakuriaan yang dipimpin seorang Kepala kuria. Hakuriaan menggantikan sebutan luhat untuk membawahi sejumlah huta yang berdekatan, mengacu pada masa kekuasaan kaum Paderi. 7. Tingkat ketujuh, kepala kampung, tingkat terendah di bawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘kampung’ untuk menggantikan sebutan huta. Kampung dipimpin seorang kepala kampong. Ini berarti sebutan Raja Pamusuk RP dan Raja Panusunan Bulung RPB yang memimpin sebuah huta atau bona bulu dihilangkan dengan menggantikannya dengan kepala kampung. 23  Onder Afdeeling Pada masa pendudukan Belanda, wilayah Tapanuli Bagian Selatan disebut Afdeeling Padang Sidimpuan dikepalai oleh seorang residen yang berkedudukan di Padang Sidimpuan. Afdeeling Padang Sidimpuan dibagi atas tiga onder-afdeeling. 23 Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op. cit., hal. 160. Universitas Sumatera Utara Setiap onder-afdeeling dikepalai oleh seorang contreleur yang dibantu oleh seorang demang. Tiga onder-afdeeling tersebut, yaitu: • Onder-Afdeeling Angkola-Sipirok ibukota di Padang Sidimpuan. • Onder-Afdeeling Padang Lawas ibukota di Sibuhuan. • Onder-Afdeeling Mandailing-Natal ibukota di Kotanopan. 24 Sebelumnya onder-afdeeling Mandailing terdiri dari onder-afdeeling yang meliputi Mandailing Godang, Mandailing Julu, Ulu dan Pakantan dan Natal terdiri dari onder-afdeeling yang meliputi Natal dan Batang Natal.  District Distrik Setiap onder-afdeeling terdiri dari distrik. Distrik dikepalai oleh seorang asisten demang. Nama-nama distrik menurut onder-afdeeling adalah sebagai berikut: Tabel I Nama-nama Distrik menurut Onder Afdeeling di Tapanuli Selatan Onder Afdeeling Angkola- Sipirok Onder Afdeeling Padang Lawas Onder Afdeeling Mandailing dan Natal • Distrik Angkola ibukota di Padang Sidimpuan • Distrik Batangtoru ibukota di Batangtoru • Distrik Sipirok ibukota di Sipirok • Distrik Padang Bolak ibukota di Gunung Tua • Distrik Barumun dan Sosa ibukota di Sibuhuan • Distrik Panyabungan ibukota di Panyabungan • Distrik Kotanopan ibukota di Kotanopan • Distrik Muara 24 Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2007, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. ix. Universitas Sumatera Utara • Distrik Dolok ibukota di Sipiongot Sipongi ibukota di Muara Sipongi • Distrik Natal ibukota di Natal • Distrik Batang Natal ibukota di Muara Soma Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan  Hakurian Setiap distrik dibagi atas beberapa hakuriaan yang dikepalai oleh seorang Kepala Kuria. Sebelum munculnya istilah ‘hakuriaan’ versi pemerintah kolonial Hindia Belanda, penduduk di Tanah Batak telah lama menggunakan sebutan ‘luhat’ atau ‘banua’ untuk menyatakan sebuah wilayah yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung RPB dalam adat Batak. Luhat versi Belanda yang dikenal sebagai hakuriaan menurut distrik adalah sebagai berikut: Tabel II Luhat di Tapanuli Selatan menurut Distrik Distrik Padang Sidimpuan 1. Hutaimbaru 2. Pijor Koling 3. BatunaduaPargarutan 4. Muaratais Distrik Batang Toru 1. Marancar 2. Batangtoru Distrik Panyabungan 1. Pidoli Bukit 2. Kota Siantar 3. Panyabungan Julu 4. Panyabungan Tonga 5. Gunung Baringin 6. Gunung Tua Distrik Kotanopan Universitas Sumatera Utara Distrik Sipirok 1. Sipirok Godang 2. Baringin 3. Parau Sorat Distrik Padang Bolak Distrik Barumun dan Sosa 1. Ujung Batu 2. Simangambat Distrik Dolok 1. Sipiongot 1. Tamiang 2. Manambin 3. Kotanopan 4. Panombangan 5. Maga Distrik Muara Sipongi 1. Pakantan Lombang 2. Pakantan Doeali 3. Oleoe Distrik Natal 1. Natal Distrik Batang Natal 1. Muara Soma Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan  Kampung Setiap luhat dibagi atas beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kampung kampong hoofd. Jika sebuah kampung mempunyai penduduk yang jumlahnya banyak maka kepala kampung dibantu oleh seorang kepala ripe. Demikianlah beberapa tingkatan pemerintahan yang pernah ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Tapanuli Selatan, namun dalam perkembangannya masyarakat setempat pun tidak hanya menerima kebijakan ini dengan begitu saja. Hal tersebut terbukti dengan mulai bermunculannya perlawanan-perlawanan masyarakat terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Universitas Sumatera Utara Pada September 1933 seorang anggota kelompok pemuda Muslim di Hutapungkut Djulu, Mandailing, dipanggil oleh demang untuk menjelaskan mengapa dia menulis “Lebih baik mati dan dikubur dari pada hidup di negeri yang diperbudak” di pintu kantor mereka. Penjelasan bahwa dia menuliskan kalimat tersebut di pintu hanyalah sebagai pengingat pribadi karena tidak mempunyai kertas, tidak bisa diterima. Di dinding dalam tertulis “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan “Sekarang Indonesia Merdeka Sekarang”. 25 Pergerakan ini sulit dirumuskan. Ada gerakan politik yang ingin bebas dari Belanda, ada gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan dan berbagai penyimpangan, ada juga gerakan sosial kaum muda dan lain-lain lagi yang tidak senang pada status mereka yang rendah di bawah adat, dan menentang para pemimpin dan tetua berikut berbagai pengekangan yang mereka berlakukan. Inilah suara pergerakan yang pada tahun 1930-an mulai bermunculan di Tapanuli Selatan sebagai bentuk perlawanan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda. Lance Castles mengelompokkan pergerakan politik di Tapanuli selatan menjadi tiga bagian berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. 1. Gerakan politik yang bebas dari penjajahan Belanda. 2. Gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan sebagai penyimpangan dan 3. Gerakan sosial kaum muda yang tidak senang dengan status mereka yang rendah di bawah adat. 25 Lance Castles, op. cit., hal. 173. Universitas Sumatera Utara Pergerakan politik di Tapanuli Selatan selama Pemerintahan Kolonial Belanda menjadikan masyarakat terpragmentasi dalam sekat-sekat organisasi karena persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan anggota. Pemimpin adat dan ahli agama yang konservatif dihinggapi nafsu harajoan Batak tidak jauh berbeda dengan Batak di Tapanuli utara. Kalau masyarakat adat mengisolasi penduduk secara lokal berdasarkan status, organisasi sosial menyatukan mereka berdasarkan suka rela dan tempat berpijak yang sama. Pemimpin adat menganggap pergerakan politik mengancam statusnya dalam adat yang tinggi sekalipun sesungguhnya mereka sendiri terkadang merupakan penyimpangan. 2.4.3 Tapanuli Selatan masa Pendudukan Jepang Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang pada tanggal 24 Maret 1942 sampai 1945 tidak mengalami perubahan yang sangat nyata pada struktur pemerintahan Tapanuli Selatan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, kecuali pemberian nama-nama dan personalia baru yang diberikan oleh pemerintah Militer Jepang, yaitu: a. Setiap residensi disebut shu di bawah pengawasan seorang militer gunseibu. Di sampingnya ada seorang residen merangkap kepala polisi yang mengatur pemerintahan sipil sehari-hari yang disebut dengan shu chokan, yang berwenang mengeluarkan peraturan di bidang peradilan. Peraturan ini disebut dengan shu rei, yang juga merupakan seorang militer Jepang. Hubungan antara satu Residensi dengan residensi yang lain sangatlah sulit dan harus dengan surat izin dari Universitas Sumatera Utara masing-masing gubseibu untuk membuat kebijakan sendiri asal mengikuti aturan dasar yang ditentukan oleh atasannya. b. Kabupaten dalam setiap keresidenan disebut bun, kewedanan disebut gun. c. Asisten residen disebut bun shu cho juga dipegang oleh militer Jepang. d. Daerah kecamatan disebut son dan kepala wilayahnya disebut dengan son cho yang umumnya dipegang oleh masyarakat pribumi yang pro Jepang. 26 Untuk membantu pemerintah Jepang maka dibentuklah suatu Badan Pertimbangan Pusat yang diberi nama cuo sang in yang anggota-anggotanya diambil dari wakil-wakil daerah tiap keresidenan dan berkedudukan di Bukit Tinggi. Maka di Keresidenan Tapanuli terdapat Dewan Pertimbangan Daerah Tapanuli suo sang kai. Sebagai pimpinan sipil yang tertinggi untuk bangsa Indonesia di Tapanuli maka diangkatlah Dr. Ferdinan Lumbantobing sebagai Ketua Badan Pertahanan Negeri BAPEN oleh pemerintah Jepang sebagai fuku chokan yaitu wakil residen, karena beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang sangat disegani di wilayah Tapanuli. Di setiap kota besar di Tapanuli selalu ada cabang BAPEN dan diinstruksikan untuk mengkoordinir setiap desa agar para pemudanya mengikuti pelatihan militer, latihan pemadam kebakaran dan menjaga keamanan desa, berjaga malam, dan mereka dilatih oleh tentara Jepang. 27 26 Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op. cit., hal. 171. Selain itu, di setiap desa tentara Jepang juga membentuk barisan seikedan Sekedan guna menjaga keamanan desa serta membuat pos-pos penjagaan. 27 Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, op. cit., hal. 337. Universitas Sumatera Utara Pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 setengah tahun di Indonesia memang tidak banyak memberi perubahan terhadap tatanan pemerintahan di Indonesia baik itu dari pemerintahan pusat sendiri maupun sampai ke pemerintahan di daerah-daerah. Selain hanya dengan beberapa penggantian istilah kepemimpinan dan penyesuaian dengan pemerintah Jepang sendiri tidak ada hal lain perubahan yang terlihat jelas, selain tentu saja beberapa pergantian pemimpin di beberapa kursi kepemimpinan yang ditunjuk sesuai dengan kebijakan dari pemerintah Jepang pada masa itu. Universitas Sumatera Utara BAB III PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH TINGKAT II KABUPATEN TAPANULI SELATAN 1950-1999

3.1 Pengertian dan Hubungan Pemerintahan Daerah dengan Pemerintahan NegaraPusat