5. Adanya motivasi untuk meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen. Bhat 1996 dalam Dwiatmini dan Nurcholis 2001 juga ikut
memberikan adanya motivasi terhadap perataan laba oleh manajemen yang terdiri dari empat faktor yaitu 1 karena adanya keinginan manajemen dalam
memperbaiki persepsi investor terhadap resiko perusahaan yang akan berdampak pada naiknya firm value, 2 menjaga skema kompensasi yang tetap dari waktu
ke waktu bagi manajer guna menunjang prestasi yang dicerminkan melalui kinerja, 3 income smoothing mampu memberikan ukuran yang paling baik bagi
kualitas manajemen sehingga dapat memberikan kesan baik bagi investor, 4 meningkatkan stabilitas harga saham melalui pengurangan dalam fluktuasi laba.
Motivasi lain yang juga dikemukakan oleh Bleidernan dalam Belkaoui 2000 bahwa ada dua alasan yang dipertimbangkan oleh manajemen dalam
melakukan perataan laba yang dilaporkan. Alasan pertama Beidelman mengemukakan asumsi bahwa suatu arus laba yang stabil akan mampu
mendukung tingkat dividen yang lebih tinggi daripada suatu arus laba yang lebih variatif. Hal ini akan memberikan efek menguntungkan terhadap nilai
perusahaan serta mengurangi resiko yang ada. Alasan selanjutnya diungkapkan oleh Bleidernan bahwasanya prilaku
perataan laba merupakan indikasi atas kemampuan perusahaan dalam mengatasi siklus secara alami dalam mengendalikan laba yang dilaporkan dan
kemungkinan dapat mengurangi korelasi antara expected return perusahaan dengan return portofolio pasar. Alasan kedua ini lebih menginginkan akan
adanya pengakuan oleh investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan dalam menormalkan laba serta mengurangi kovarian return pasar, sehingga keuntungan
bagi perusahaan adalah meningkatnya nilai saham yang diperdagangkan.
2.2.6.4. Dimensi Perataan Laba
Universitas Sumatera Utara
Dimensi perataan laba berhubungan dengan alat yang digunakan untuk melakukan perataan angka laba income. Barnea et. al, dalam Belkaoui 2000
membedakan 3 tiga dimensi perataan, sebagai berikut: 1. Perataan melalui terjadinya peristiwa danatau pengakuan; dalam hal ini
manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi serta pengaruhnya terhadap laba yang dilaporakan dan lebih cenderung mengurangi variasinya
dari waktu ke waktu. 2. Perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu; artinya dimensi ini berkaitan
dengan fakta bahwa suatu peristiwa telah terjadi dan memerlukan pengakuan yang tepat, sehingga manajemen memiliki kebebasan yang lebih untuk
mengendalikan penentuan periode yang dipengaruhi oleh kuantifikasi peristiwa tersebut. Misalnya melalui penentuan metode depresiasi atau
amortisasi. 3. Perataan melalui klasifikasi atau disebut perataan klasifikatori; dimensi ini
tergantung dari klasifikasi item-item rugi laba yang dirancang oleh perusahaan untuk mengurangi perbedaan jumlah laba selain daripada laba
bersih yang dilaporkan. Sebagai contoh yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah melalui klasifikasi elemen pendapatan atau biaya dalam
mencari pemisahan antara ordinary dan extraordinary item. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya dimensi perataan laba
berkaitan dengan perataan melalui terjadinya peristiwa danatau pengakuan yang disebut perataan ril serta perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu
disebut perataan artifisial.
Universitas Sumatera Utara
2.2.6.5. Tipe-tipe Perataan Laba
Dascher dan Malcolm dalam Belkaoui 2000 membedakan perataan laba ke dalam 2 dua jenis:
1. Perataan ril real smoothing
Perataan laba yang dilakukan melalui suatu transaksi yang aktual atau tidak dilakukan atas dasar efek perataannya terhadap income, sehingga
perataan jenis ini berkaitan dengan perataan melalui terjadinya peristiwa atau pengakuan. Misalnya perusahaan mengeluarkan sejumlah dana bagi
kepentingan riset dan pengembangan dalam suatu tahun tertentu. Beberapa perusahaan terbukti melakukan perataan laba dengan menggunakan cara ini.
2. Perataan artifisial artificial smoothing
Perataan ini juga sering disebut dengan perataan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan untuk memindahkan biaya atau pendapatan dari
satu periode ke periode lainnya. Sehingga perataan ini berkaitan dengan perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu. Disamping itu Copeland dalam
Zulkarnaini 2007, juga berpendapat bahwa perataan artifisial merupakan perataan income yang melibatkan pemilihan repetitif pengukuran akuntansi
atau aturan pelaporan dalam pola tertentu, dimana pengaruhnya adalah arus income yang dilaporkan menjadi variasi yang lebih kecil dari kecenderungan
yang akan muncul jika tidak dilakukan perataan. Namun dalam praktik, kedua jenis perataan yang telah disebutkan di atas
seringkali tidak dapat dibedakan. Suatu perusahaan secara bersamaan memutuskan besarnya transaksi perataan ril dan sekaligus bagaimana cara
melaporkannya perataan artifisial.
2.2.7. Alasan Dilakukannya Perataan Laba