BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Sejak krisis ekonomi 1998 telah banyak terjadi skandal keuangan diperusahaan publik dengan melibatkan persoalan laporan keuangan yang pernah
diterbitkanya, diantaranya yang ada di indonesia adalah seperti insider trading pada saham PT Bank Central Asia tahun 2001 maupun kasus laporan keuangan ganda PT
Bank Lippo pada tahun 2002 yang diterbitkan oleh pihak manajemen perusahaan yang melibatkan pelaporan keuangan financial reporting yang berawal dari
terdeteksi adanya manipulasi, Boediono 2005. Penyalahgunaan informasi keuangan ini banyak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan terutama para investor yang
akan menanamkan modalnya. Selanjutnya kejadian krisis global yang terjadi pada tahun 2008 tepatnya awal
bulan oktober yang melanda hampir seluruh dunia, termasuk di Indonesia khususnya pada sektor perbankan, harga saham perbankan mengalami penurunananjlok pada
perdagangan di lantai bursa efek Indonesia. Akibatnya berdampak likuiditas perbankan yang semakin sulit. Lantai Bursa Efek Indonesia yang sempat suspensi
penghentian sementara perdagangan saham selama 3 hari tanggal 8, 9 dan 10 Oktober 2008 yang menyebabkan banyak insvestor – investor asing yang
meninggalkan lantai bursa efek Indonesia. Hal ini berakibat pada harga saham perbankan di Indonesia makin merosot tajam dan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing yang makin terpuruk pada saat itu, sehingga Bank Indonesia BI mengambil tindakan dengan meningkatkan suku bunga Bank Indonesia sebesar 25
basis poin menjadi 9,50 dan meningkatkan batas jaminan deposito dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 milyar untuk menenangkan issue negative yang membuat semakin
terpuruknya perekonomian Indonesia. Salah satu dampak krisis global tahun 2008 di Indonesia adalah kasus PT
Bank Century dimana bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas karena
Universitas Sumatera Utara
mengalami kekalahan kliring akibat adanya penarikan dana besar yang dilakukan nasabah potensial. Kalah kliring yang menimbulkan antrian panjang nasabah yang
kesulitan mencairkan uangnya ini juga tersiar ke publik hingga menimbulkan negative signalment.
I ndikasi ketidaksehatan Bank Century dimulai sejak tahun 2003, krisis
tahun 2008 memicu Capital Adequacy Ratio CAR bank tersebut menjadi negatif 3.53. Hal ini dapat kita lihat pada sejarah laporan keuangan bank
tersebut. Pada tahun 2003 dan 2004, bank century menduduki posisi Non Performing Loan NPL terburuk yaitu 19,77 2003 dan 13,37 2004
,meskipun pada tahun-tahun berikutnya NPL Bank Century membaik. Pada tahun 2004, Bank Century membukukan tingkat CAR terendah diantara bank-
bank lain yaitu 9,44. Pada tahun 2005, CAR Bank Century justru menurun hingga 8,08, pada tahun 2006 mengalami peningkatan hingga 11,38 namun
tetap merupakan CAR terendah diantara bank-bank lain. Pada tahun 2005, 2006 dan 2007, Bank Century juga membukukan tingkat Loan to Deposit Ratio LDR
terendah yaitu masing-masing hanya 23,84, 21,35, dan 36,39 www.bi.co.id.
Pada 2007, portofolio efek Bank Century melebihi penyaluran kredit dengan rasio antara keduanya sekitar 140 Rp. 4,4 triliun berbanding dengan
Rp. 3,1 triliun, per September 2007. Kondisi ini terjadi akibat tiadanya penerapan good corporate governance dan adanya praktik moral hazard. Pada September
2008, lebih dari 90 dari total efek yang dikelola jatuh tempo, sehingga sangat rentan mendatangkan risiko likuiditas bagi bank. Belakangan diketahui, banyak
di antaranya tidak terbayar default pada saat jatuh tempo, sehingga menimbulkan kerugian besar. Dampak dari kondisi diatas adalah hilangnya
kepercayaan, kerugian yang dialami nasabah dan banyak dari nasabah merasa tertipu oleh manajemen bank terebut. Hal ini juga berdampak pada information asymmetry
ketidakmerataan informas i yang disampaikan dilaporkan manajemen.
Universitas Sumatera Utara
Fenomena yang terjadi di atas mengundang terjadinya propensity income smoothing yang dibanyak negara di dunia khususnya di Indonesia telah menjadi
hal yang umum dilakukan, khususnya pada industri yang lebih beresiko Sholihin dan Na’im, 2004. Ashari et. al, 1994, tindakan perataan laba
cenderung dilakukan oleh perusahaan yang profitabilitasnya rendah, dan perusahaan dalam industri yang lebih beresiko. Masalah tersebut dapat
mengganggu keakuratan informasi laporan keuangan yang disajikan. Menurut Statement of Financial Concepts SFAC No.1, informasi laba
merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen. Laporan keuangan Income statement perusahaan merupakan
komponen penting yang seringkali dijadikan alat untuk menginformasikan kinerja perusahaan khususnya laba. Laba sebagai salah satu informasi potensial
yang terkandung di dalam laporan keuangan dan yang sangat penting bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan. Informasi laba ini sering menjadi target
rekayasa tindakan oportunis manajemen untuk memaksimumkan kepuasaannya, tetapi hal ini dapat merugikan pemegang saham atau investor.
Informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan yang bertujuan untuk menilai kinerja manajemen, membantu mengestimasi
kemampuan laba yang representatif dalam jangka panjang, dan menaksir risiko investasi. Disamping itu informasi laba juga dapat digunakan oleh pemilik
maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam membantu memprediksi earning power perusahaan di masa yang akan datang.
Bleidernan dalam Belkaoui 2000 menyatakan bahwa ada dua alasan yang dipertimbangkan oleh manajemen dalam melakukan perataan laba yang
dilaporkan. Alasan pertama Beidelman mengemukakan asumsi bahwa suatu arus laba yang stabil akan mampu mendukung tingkat dividen yang lebih tinggi
daripada suatu arus laba yang lebih variatif. Hal ini akan memberikan efek menguntungkan terhadap nilai perusahaan serta mengurangi resiko yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Alasan selanjutnya diungkapkan oleh Bleidernan bahwasanya prilaku perataan laba merupakan indikasi atas kemampuan perusahaan dalam mengatasi
siklus secara alami dalam mengendalikan laba yang dilaporkan dan kemungkinan dapat mengurangi korelasi antara expected return perusahaan
dengan return portofolio pasar. Alasan kedua ini lebih menginginkan akan adanya pengakuan oleh investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan dalam
menormalkan laba serta mengurangi kovarian return pasar, sehingga keuntungan bagi perusahaan adalah meningkatnya nilai saham yang diperdagangkan.
Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan adanya tindakan perataan laba yang dilakukan oleh manajer untuk menghindari peningkatan kerugian atau
penurunan laba. Perataan laba menjadi penting karena laba dan arus kas merupakan prediktor yang baik untuk arus kas di masa depan Supriyadi, 1998 dalam Kustono,
2009. Tindakan manajemen perusahaan untuk melakukan perataan laba umumnya didasarkan atas berbagai alasan. Diantaranya untuk memuaskan
kepentingan pemilik perusahaan, seperti menaikkan nilai perusahaan, sehingga muncul anggapan bahwa perusahaan yang bersangkutan memiliki risiko yang
rendah, menaikkan harga saham perusahaan, maupun untuk memuaskan kepentingannya pribadi oportunistik, seperti mempertahankan posisi
jabatannya dan mendapatkan kompensasi. Tehnik perataan laba adalah perilaku meratakan laba dari waktu ke waktu
sehingga pelaporan nilainya tidak berfluktuasi. Kepercayaan investor akan semakin
tumbuh sehingga pihak manajemen memiliki peluang untuk mengendalikan perusahaan sebaik-baiknya dalam rangka menarik minat investor baik asing
maupun lokal. Agar investor merasa aman untuk berinvestasi, maka perlindungan
terhadap investor tercermin kuat melalui Peraturan Pencatatan Efek Nomor 1-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa Keputusan
Direksi PT Bursa Efek Jakarta No. Kep-315BEJ062000 yang kemudian diubah dengan keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-339BEJ072001,
Universitas Sumatera Utara
butir F.1.f menyebutkan bahwa perusahaan tercatat dilarang untuk melakukan tindakan rekayasa keterbukaan informasi.
Propensity income smoothing adalah kecendrungan manajemen dalam melakukan perataan laba untuk meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen
mungkin melakukan perilaku slack organisasional, perilaku slack peranggaran atau perilaku menghindar resiko, masing-masing perilaku mengharuskan
keputusan yang mempengaruhi penyerapan danatau alokasi biaya cost diskresioner Masodah, 2007. Menurut Jin dan Machfoedz 1998, perataan laba
dapat didefinisikan sebagai suatu cara yang digunakan oleh pihak manajemen untuk mengurangi fluktuasi laporan pendapatan agar dapat mencapai target
secara artifisial melalui metode akuntansi atau secara ekonomis melalui transaksi.
Dalam agency theory praktik perataan laba merupakan salah satu bentuk
masalah agency antara pemilik yang pada prinsipnya menginginkan informasi yang dilaporkan adalah akurat dan benar, sedangkan manajer di lain pihak
memiliki peluang untuk memanipulasi laporan keuangan dalam rangka mencapai kemakmurannya Meilani Baridwan, 2000. Disamping hal tersebut juga
adanya information asymmetry antara manajer dengan pemegang saham, dimana dalam keadaan seperti ini manajer merupakan pihak yang memiliki informasi
lebih banyak secara keseluruhan dibandingkan pemilik. Teori keagenan Agency theory menyatakan, manajemen memiliki
informasi yang lebih banyak mengenai perusahaan dibandingkan pemilik perusahaan yang sering terdorong untuk melakukan tindakan yang dapat
memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri dysfunctional behaviour dan atau perusahaannya. Adanya kecenderungan untuk lebih memperhatikan kondisi laba
perusahaan ini, telah disadari oleh pihak manajemen, khususnya yang menyangkut kinerjanya yang diukur atas dasar informasi tersebut, telah
mendorong terjadinya berbagai penyimpangan prilaku dysfunctional behavior. Adanya perubahan informasi atas laba bersih suatu perusahaan melalui berbagai
Universitas Sumatera Utara
cara akan memberikan dampak yang cukup berpengaruh terhadap tindak lanjut para pengguna informasi yang bersangkutan Juniarti dan Corolina, 2005.
Penilaian atas status suatu bank apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak oleh Bank Indonesia BI menggunakan laporan keuangan sebagai
dasar dalam menentukannya. Oleh karena itu, manajer memiliki inisiatif untuk melakukan manajemen laba supaya perusahaan mereka dapat memenuhi kriteria yang
disyaratkan oleh BI Setiawati dan Na,im, 2001, dan Rahmawati dan Baridwan, 2006 dalam Nasution dan Setiawan 2007.
Hasil penelitian Jatiningrum 2000 yang menguji pengaruh faktor-faktor ukuran perusahaan, profitabilitas dan sektor industri terhadap praktik perataan
laba, menunjukkan bahwa hanya faktor profitabilitas yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba, dan hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Ashari et.
al, 1994 namun bertentangan dengan hasil penelitian Zuhroh 1996. Selanjutnya hasil penelitian Juniarti dan Corolina 2005 menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan atas ukuran perusahaan dan sektor industri antara perusahaan yang tergolong dalam smoothing dan non-smoothing,
sedangkan untuk profitabilitas terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua klasifikasi perusahaan.
Ditinjau dari financial leverage, berdasarkan debt covenant hypothesis dalam teori akuntansi dikemukakan bahwa perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi
cenderung untuk melakukan pengelolaan atas laba untuk menghindari pelanggaran perjanjian utang Arik dan Wirawan, 2009. Gaver dan Keneth 1993 menemukan
bukti bahwa perusahaan yang pertumbuhannya tinggi cenderung mempunyai nilai financial leverage yang rendah.
Syukriy dan Abdul 2000 menguji enam faktor yang dianggap mempengaruhi perataan laba yaitu leverage operasi, profitabilitas ROI dan ROE dan faktor
fundamental perusahaan PER, PBV, dan EPS. Dalam hasilnya menyatakan bahwa faktor fundamental perusahaan PER, PBV, dan EPS memiliki pengaruh terhadap
perataan laba. Menurut Key 1997 bahwa perusahaan yang besar akan
Universitas Sumatera Utara
menanggung biaya politis yang besar pula, sehingga perlu untuk menurunkan laba pada saat publikasi laporan keuangan. Penelitian Kustono 2007 dan Key
1997, menemukan bahwa pertumbuhan perusahaan mempengaruhi praktik perataan laba. Hasil ini mengindikasi bahwa pada pengelola perusahaan,
manajemen merasa perlu untuk melakukan paralelisasi antara pertumbuhan dengan laba.
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecendrungan praktik perataan laba pada perusahaan publik yang listing pada Bursa Efek
Indonesia juga telah banyak dilakukan. Namun hasil penelitian tersebut masih ditemukan perbedaan hasil meski dilakukan pada objek yang sama. Oleh karena
itu, penelitian ini menguji kembali pengaruh variabel profitabilitas, financial leverage dan pertumbuhan perusahaan terhadap propensity income smoothing
pada perusahaan perbankan. Industri perbankan merupakan industri “kepercayaan”, jika investor berkurang kepercayaannya karena laporan keuangan yang bias karena
tindakan manajemen laba atau propensity income smoothing, maka investor akan melakukan penarikan dana secara bersama-sama yang dapat mengakibatkan rush.
Rasionalitas yang mendasari penelitian studi ini adalah adanya hubungan antara laba dengan profitabilitas, financial leverage dan pertumbuhan perusahaan.
Bila laba dimanipulasi maka rasio keuangan dalam laporan keuangan juga akan dimanipulasi. Hal ini berdampak pada pengguna laporan keuangan, dimana pihak
pengguna menggunakan informasi yang telah dimanipulasi untuk tujuan pengambilan keputusannya, sehingga keputusan yang diambil tidak sepenuhnya sesuai yang
diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian ini, maka penelitian
dilakukan untuk meneliti kembali faktor-faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba. Disamping itu periode pengamatan akan dilakukan selama
enam tahun yaitu periode 2004 sampai dengan 2009 dengan pertimbangan bahwa waktu enam tahun tersebut akan lebih memperlihatkan validitas dalam
mengidentifikasi kecendrungan perusahaan dalam melakukan perataan laba dan
Universitas Sumatera Utara
bukan perata dibandingkan jangka waktu 2 sampai 4 tahun Copeland dalam Suwito dan Herawaty, 2005. Dengan demikian variabel-variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah profitabilitas, financial leverage dan pertumbuhan perusahaan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia BEI dengan judul ”Pengaruh Profitabilitas, Financial Leverage dan Pertumbuhan Perusahaan terhadap Propensity Income
Smoothing pada Perusahaan Perbankan yang Go Publik di Bursa Efek Indonesia.”
1.2. Perumusan Masalah