Persoalan-Persoalan Pengelolaan BUMN Sehingga Diubah Menjadi Persero

BAB IV PENGELOLAAN PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA DENGAN STATUS

PERSERO YANG DIWAJIBKAN MELAKSANAKAN PUBLIC SERVICE OBLIGATION PSO

A. Persoalan-Persoalan Pengelolaan BUMN Sehingga Diubah Menjadi Persero

Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan dan persamaan dari ciri-ciri Perjan, Perum, dan Persero sebagaimana telah di singgung di atas, berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara Kedalam Tiga Bentuk Usaha Negara di atas, bahwa ciri yang paling menonjol untuk Perjan adalah murni melaksanakan pelayanan semata-mata untuk kepentingan publik, sedangkan Perum dan Persero ciri utamanya mencari untung atau laba di samping Perum juga melaksanakan pelayanan publik dan Persero juga dapat ditugasi melaksanakan pelayanan publik. 141 Perusahaan-perusahaan BUMN terbagi dua kelompok: pertama, BUMN yang mempunyai posisi sebagai pelaksana Public Service Obligation PSO atau agent of development dan kedua BUMN yang non PSO yaitu BUMN yang semata-mata sebagai entitas bisnis. Pemerintah memberikan subsidi kepada BUMN PSO sedangkan untuk BUMN non PSO tidak ada tambahan dari negara. 142 Tetapi dalam hal PT. PLN Persero murni mencari untung atau laba, juga ditugasi untuk melaksanakan pelayanan publikPSO, dalam kapasitasnya sebagai salah satu BUMN yang mempunyai posisi sebagai pelaksana Public Service 141 Sugiharto, dkk., hal. 78. 142 Sugiharto, dkk., Op. cit., hal. 22. Universitas Sumatera Utara Obligation PSO atau agent of development sebagai perintah dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 66 ayat 1 UU BUMN. Secara umum rata-rata perusahaan-perusahaan BUMN di Indonesia tidak efisien dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta lebih disebabkan karena dibebani dengan tugas yang diberikan pemerintah, walaupun masih ada BUMN yang mengungguli perusahaan swasta seperti BUMN Semen tidak kalah dari perusahaan swasta. Salah satu faktor penyebab BUMN tidak efektif sesuai dengan teori principal agent memandang peta hubungan antara prinsipal yaitu pemilik perusahaan dalam hal BUMN adalah Pemerintah dan agen yaitu perusahaan BUMN. Sementara di sektor swasta, manajemen perusahaan sebagai agen pasti tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham shareholders. Sedangkan di BUMN tidak bisa dipastikan tunduk dan loyalitasnya kepada siapa. 143 Nuansa politis dari berbagai pihak yang berkepentingan menjadi kental mencampuri urusan BUMN yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh para politisi. Pengelola BUMN pun terpaksa ikut arus kehendak politisi sehingga akan mengganggu ruang geraknya menuju efisiensi. 144 143 A. Tony Prasetiantono, “Masa Depan BUMN dan Ambiguitas Privatisasi”, Makalah, Diambil dari Workshop BUMN di Era Globalisasi dan Ekonomi UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, Bali, Tanggal 22 Agustus 2003, hal. 2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghilangkan intervensi politis sekalipun tidak efektif dapat memberantas pengaruh-pengaruh politik tersebut. Upaya itu itu misalnya menerapkan 144 Ibid., hal. 3. Universitas Sumatera Utara prinsip-prinsip GCG, namun sayangnya penggunaan prinsip-prinsip GCG cenderung misleading . 145 Sebagaimana maksud dari BUMN, privatisasi dilakukan dengan maksud untuk: 146 1. Memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero; 2. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan; 3. Menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baikkuat; 4. Menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; 5. Menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global; 6. Menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar. UU BUMN menghendaki pengelolaan BUMN sesuai dengan harapan atau maksud di atas. Untuk dapat mencapai maksud tersebut harus dilakukan reorientasi pengelolaan BUMN dari yang sebelumnya cenderung dianggap sebagai alat birokrasi menjadi perlakuan atas BUMN sebagai layaknya lembaga usaha. Namun kondisi BUMN saat ini juga saja tidak terlepas dari stigma-stigma dengan kuatnya dominasi pejabat negara di BUMN. Kuatnya dominasi negara tersebut menimbulkan persoalan-persoalan dalam pengelolaan BUMN tampak dari hal-hal yang mengemuka antara lain: 147 1. Produksinya tidak mencapai skala ekonomis. Artinya tingkat produksi berada di bawah skala produksi ekonomis menyebabkan tingginya biaya produksi. 145 Ibid. 146 Pasal 74 ayat 1 UU BUMN. 147 Mawardi Simatupang, dalam Sugiharto, dkk., Op. Cit, hal. 70-72. Universitas Sumatera Utara 2. Teknologi yang digunakan tidak efisien. Artinya teknologi yang digunakan ketinggalan dibandingkan dengan teknologi yang digunakan perusahaan- perusahaan swasta. 3. Manajemen yang tidak profesional. Dalam hal ini manajemen yang tertutup dan kaku di dalam BUMN akan menghambat efisiensi BUMN dalam menjalankan bisnis. 4. Terdapatnya banyak biaya lain-lain selain biaya usahaoperasi. Saat ini BUMN cenderung dibebani tugas yang tidak produktif bahkan cenderung didistorsi kegiatan utamanya. Makin banyak jenis biaya ini akan menurunkan tingkat efisiensi perusahaan. Kendatipun pemerintah melalui menteri yang ditunjuk danatau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero 148 Prosedur birokratisasi yang rumit di BUMN salah satu faktor penghambat proses bisnis. Proses tersebut terjadi karena perusahaan tersebut sudah menjadi besar dan cenderung terlambat untuk menetapkan pola manajemen yang terdesentralisasi untuk mengurangi birokrasi. Analogi ini dimungkinkan karena BUMN merupakan bentukan pemerintah, maka polanya cenderung langsung menjadi birokrasi. Oleh karena persoalan-persoalan demikianlah maka banyak BUMN meninggalkan pola , namun persoalan di BUMN menimbulkan stigma antara lain , faktor politis, korupsi, mismanagen, birokrasi yang berbelit-belit, sentralistik, dan besarnya dominasi atau pengaruh pemerintah sebagai pemegang saham. 148 Pasal 1 angka 5 UU BUMN. Universitas Sumatera Utara birokrasi menjadi korporasi yang sesungguhnya. 149 Perusahaan-perusahaan swasta bernaung di bawah UUPT berbeda dengan BUMN bernaung di bawah UU BUMN. Perusahaan-perusahaan swasta cenderung mengedepankan hakikat bisnis dengan melihat isu permasalahan bisnis pada substansinya, keputusan atau eksekusi bisnis dilakukan dengan lebih cepat, dan pengelolaan usaha dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Salah satunya adalah PT. PLN Persero. Budaya cara menghadapi masalah pada perusahaan-perusahaan BUMN cenderung mengedepankan prosedur birokrasi daripada penyelesaian masalah bisnis. Konsekuensinya, keputusan bisnis menjadi lebih lambat karena setiap isu dibahas lebih kepada prosedurnya daripada substansi masalahnya sendiri. Bahkan cenderung terjadi memandang persoalan substansi adalah proses itu sendiri. 150 Budaya perusahaan-perusahaan swasta cenderung memberikan penghargaan reward sesuai dengan kinerja yang dicapai atau dilampaui, setiap karyawan tidak dibedakan usianya tetapi bersaing untuk memberikan kinerja yang terbaik bagi perusahaannya. Tetapi dalam BUMN reward cenderung diberikan dengan lebih mengutamakan kepada unsur senioritas. Budaya kerja pada perusahaan-perusahaan swasta cenderung disiplin, terbuka, lugas, transparan, komunikatif. Gagasan cerdas dan jenius untuk kemajuan perusahaan pasti mendapat respon, mengalir dengan cepat dengan efektif ke setiap bagian perusahaan. Sedangkan pola kerja di dalam BUMN 149 Arwin Rasjid, dalam Sugiharto, dkk., Op. cit., hal. 194. 150 Ibid., hal. 195. Universitas Sumatera Utara cenderung terhambat lebih disebabkan sistim komunikasi yang berjenjang, tertutup, tidak transparan, terkotak-kotak antara satu divisi kerja dengan divisi lain, yang berakibat menutup gagasan, ide-ide cemerlang dan jenius. Gagasan-gagasan cerdas sering kali terhambat, tidak muncul ke permukaan, dan dapat berakibat terhadap sumber daya menusia yang cerdas menjadi stress dan tertekan sehingga akan mengganggu kapasitas individualnya.

B. Kerangka Hukum dan Mekansime Kewajiban Pelaksanaan Pelayanan Umum