48
Jenis dari perjanjian baku sepihak ini dapat bermacam-macam, Remy Sjahdeni membedakan dua jenis perjanjian baku sepihak ini, yaitu:
62
a. Dokumen yang ditandatangani
Yaitu perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan ke dalam dokumen yang harus ditandatangani sebagai tanda kesepakatan. Contohnya adalah
perjanjian kredit di bank, perjanjian kredit sindikasi polis, asuransi, perjanjian pengangkutan kapal dan lain-lain. Umumnya berbentuk formulir yang sudah baku,
dan pihak lain hanya dapat mengisi bagian-bagian umum yang sengaja dikosongkan untuk diisi pihak lainnya, sementara syarat-syarat yang sudah ada tidak dapat
diundangkan lagi.
b. Dokumen yang tidak ditandatangani
Yaitu perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan dalam bentuk dokumen yang diberikan kepada pihak lain yang tidak perlu ditandatangani, dan
dengan menerima dokumen tersebut telah dianggap menyepakati isi dari perjanjian atau syarat-syarat baku itu. Contohnya adalah tiket parkir, kwitansi tanda pembayaran
atau tanda terima dari pembelian barang atau jasa, tiket atau tanda terima pembayaran yang sifatnya massal, dengan mencantumkan klausul-klausul tertentu, dan biasanya
kesempatan untuk membaca dan mempelajari dokumen-dokumen itu sangat singkat, bahkan dapat dikatakan tidak diberikan kesempatan waktu.
2. Fungsi Perjanjian Baku
62
Sjahdeni Sutan Remi, op cit
Universitas Sumatera Utara
49
Fungsi dari perjanjian baku tidak terlepas dari latar belakang dan faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya
perjanjian baku.
Disamping masalah
yang ditimbulkannya, perjanjian baku pada dasarnya memberikan beberapa kegunaan
praktis yang memang dibutuhkan dalam lapangan hukum perjanjian saat ini, seiring dengan kemajuan zaman, teknologi industri dan modernisasi.
Beberapa hal penting yang dapat dikatakan sebagai fungsi perjanjian baku antara lain: a. Untuk digunakan dalam jenis transaksi tertentu dengan menghindari
terjadinya perundingan berulang-ulang. Dalam transaksi tertentu dengan hal yang sama, sulit dilakukan tawar menawar bargaining isi dari suatu
perjanjian. b. Efisiensi, terciptanya kelancaran dalam penyediaan barang dan jasa. Dalam
masa globalisasi dan industrialisasi sekarang ini dipengaruhi juga oleh sifat modern dalam masyarakat yang menghendaki pelayanan barang dan jasa yang
cepat, maka perjanjian baku berfungsi sangat strategis terutama dalam hal waktu, biaya dan tenaga. Ditambahkan pula adanya produksi massal yang
membuat kebutuhan akan perjanjian baku menjadi begitu penting.
c. Memungkinkan pengusaha memperhitungkan dan mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Dengan perjanjian yang sudah baku, maka secara cepat
sudah dapat terhitung apa yang didapat dan resiko apa yang muncul dan segalanya akan lebih pasti disebabkan konsumen tinggal menerima saja apa
yang diinginkan oleh pihak pengusaha yang membuat perjanjian baku tersebut.
d. Memberi keuntungan pelaku usaha dalam hal perselisihan yang menyangkut perjanjian baku tersebut.
63
3. Ciri-ciri Perjanjian Baku
Untuk dapat membedakan dan membagi suatu perjanjian menjadi perjanjian baku perlu kiranya diketahui ciri-ciri umum yang biasanya terdapat dalam perjanjian
baku. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penekanan pengertian perjanjian baku oleh Mariam Darus terletak pada isi dan bentuknya yang sudah dibakukan, dan
63
Atiyah, P.S. 2000, www.library.upnvj.ac.idpdfbab4
Universitas Sumatera Utara
50
Remy Sjahdeni menekankan klausul-klausul yang dibakukan yang tidak memberikan peluang untuk dirundingkan, maka terdapat ciri-ciri lain yang lebih mempersempit
permasalahan dari pengertian perjanjian baku yang lebih luas. Dengan berpedoman pada pengertian perjanjian baku yang diberikan Black’s Law
Dictionary,
64
dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku, antara lain : a. Bentuk yang sudah dibakukan
b. Menyangkut barang dan jasa konvensional c. Penjual berada dalam kedudukan yang lebih kuat dalam tawar menawar
d. Pembeli tidak mempunyai kesempatan nyata untuk mencari perjanjian yang
lebih menguntungkan di tempat lain. e. Pembeli tidak mempunyai kesempatan yang nyata untuk menawar syarat-
syaratnya, perjanjian itu diberikan secara “take it or leave it”. Sedangkan P.S. Atiyah memberikan ciri-ciri perjanjian baku sebagai berikut : “the
typical was made on a set of fixed or standard terms with a few blanks allowing for the insertion of the names of the parties, the particular subject-matter of the contract
the prince, and perhaps one or two other details”.
65
Karakteristik Hukum Perjanjian di Indonesia
Hukum perjanjian di Indonesia sebagaimana dimuat dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata termaksud dalam rumpun civil law system. Berbeda
dengan system common law, menurut sistem ini sebuah kontrak merupakan persetujuan yang mengikat secara hukum. Agar sebuah kontrak mengikat secara
hukum, proses penawaran serta penerimaan yang mengawali penutupan kontrak harus memenuhi persyaratan tertentu seperti :
1. Persetujuan sebagai hasil dari perundingan para pihak belum menghasilkan
perjanjian, persetujuan hanya menunjukkan persetujuan kehendak para pihak tentang beberapa hal.
64
Ibid, Campbell Henry, 1998.
65
Atiyah P.S. 2000
Universitas Sumatera Utara
51
2. Untuk kepentingan hukum, persesuaian kehendak saja tidak cukup, tetap harus
dinyatakan melalui pernyataan atau perbuatan. 3.
Agar penawaran sebagai pernyataan atau perbuatan mengikat secara hukum legally binding, penawaran tersebut harus jelas, tegas dan konkrit.
4. Apabila persyaratan itu belum terpenuhi, maka penawaran offer hanya
dipandang sebagai tindakan ajakan saja. Persyaratan penawaran offer yang mendahului perjanjian atau kontrak
sebagaimana yang dibicarakan di atas, menyebabkan penawaran dalan hukum common law senantiasa dilakukan sedemikian rinci sehingga penawaran tersebut
jelas, tegas dan konkrit. Karakteristik tingkat perincian dan penawaran tidak ditemukan dalam konstruksi hukum perjanjian di Indonesia menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang merupakan hukum perjanjian yang berasal dari rumpun hukum civil law. Karakteristik tingkat yang tinggi inilah yang menyebabkan secara
fisik kontrak di dalam sistem common law memiliki kerincian melebihi kontrak dalam sistem hukum civil law, karena bila di kemudian penawaran yang
mensyaratkan tingkat kerincian yang tinggi tersebut akan menjadi ketentuan dan persyaratan terms and conditions dalam kontrak yang ditutup.
Perjanjian Baku Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen No. Tahun 1999 mengatur mengenai perjanjian baku khususnya dalam hal klausul-klausul baku dalam
perjanjian. Aturan tersebut dicantumkan dalam suatu bab tersendiri yaitu BAB V, yang berjudul “Ketentuan Pencantuman Klausula Baku”. Dalam Pasal 18 ayat 1 nya
Universitas Sumatera Utara
52
diatur mengenai larangan pencantuman klausul-klausul yang merugikan konsumen yaitu
klausul-klausul yang
berisi pengalihan
tanggung jawab
penolakan pengembalian barang ; penolakan penyerahan pengembalian uang yang telah dibayar
; pemberian kuasa untuk melakukan tindakan sepihak ; pengaturan pembuktian batas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa ; pemberian hak kepada pelaku
usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek transaksi ; pernyataan tunduk pada aturan baru, tambahan atau
lanjutan yang dibuat sepihak ; dan pemberian kuasa untuk pembebanan hak yang dibeli secara angsuran ; hak gadai ; atau hak jaminan yang dibeli secara angsuran.
Pelarangan ini dimuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari klausul-klausul yang tidak adil dan merugikan. Pembatasan atas asas kebebasan
berkontrak salah satunya ada dengan undang-undang wet. Dengan demikian terhadap klausul-klausul baku termasuk klausul eksemsi di perjanjian atau dokumen-
dokumen lainnya. Sehingga permasalahan kesepakatan atas klausul-klausul yang tidak wajar tersebut dapat diselesaikan dengan adanya aturan yang melarang klausul-
klausul tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan konsep unconsnability di atas, bahwasannya klausul yang dilarang pencantumannya itu merupakan klausul yang
tidak wajar dan tidak adil. Pelarangan inipun pada akhirnya turut membantu menciptakan peningkatan posisi tawar dari konsumen yang lebih lemah ketika
berhadapan dengan perjanjian baku. Dalam ayat 2 diatur mengenai letak dan bentuk klausul baku, dimana pelaku
usaha dilarang dapat dibaca dengan jelas. Permasalahan yang biasanya timbul dalam
Universitas Sumatera Utara
53
sepakat, adalah pihak konsumen sering mengetahui adanya klausul-klausul tersebut. Dengan tidak terbaca, tidak jelas maupun tidak diketahuinya klausul-klausul tersebut
dapat dikatakan kekhilafan dari pihak konsumen. Kesulitannya yaitu adanya konsep syarat mengetahui kenbaarheid dan dalam aturan hukum common law dikenal
dengan asas duty to read,
66
dengan pengertian bahwa pihak tersebut akan terikat pada perjanjian itu sekalipun untuk bagian tertentu atau bahkan untuk seluruh perjanjian
tersebut ternyata pihak yang bersangkutan tidak pernah membacanya. Kesulitan lainnya adalah Pasal 1322 KUH Perdata yang mengatur tentang
kekhilafan menyatakan bahwa “kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang
menjadi pokok perjanjian.
67
Namun pengertiannya lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. Subekti bahwa kekhilafan atau hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang
sifat-sifat penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Dan kekhilafan itu harus sedemikian rupa hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Dalam perjanjian
baku yang
dibuat dengan
mencantumkan adanya
kesengajaan dari pelaku usaha untuk menyesatkan mempergunakan kekhilafan lawan untuk keuntungannya. Ditambahkan oleh Prof. Subekti mengenai adanya syarat
kekhilafan bahwa kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau sedikitnya sedemikian rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan
66
Ibid, Sjahdeni Sutan Remy, 1987
67
Ibid, Subekti, 1979.
Universitas Sumatera Utara
54
seseorang yang berada dalam kekhilafan.
68
Sehubungan dengan hal itu, cara itikad baik dari pelaku usaha, karena adanya kesengajaan, menunjukkan tidak adanya itikad
baik dalam perjanjian itu. Ayat ketiga 3 dari pasal 18 mengatur mengenai ketentuan bahwa klausul
baku yang mencantumkan ketentuan yang dilarang itu dinyatakan batal demi hukum. Mengenai hal ini perlu dikritisi bahwasannya dengan adanya aturan-aturan yang
mengatur klausul baku ini, permasalahan tidak lagi menjadi permasalahan mengenai kesepakatan. Sebab permasalahan mengenai kesepakatan menyebabkan pembatalan
menyangkut syarat subyektif dari sahnya perjanjian. Permasalahan ini telah menjadi permasalahan syarat ‘sebab yang halal” yaitu
sebagaimana diatur dalam Pasal 1322 ayat 4 jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab dilarang oleh undang-undang, oleh karena itu dinyatakan batal demi hukum
null and void. Pada ayat 4 diatur mengenai ketentuan yang mewajibkan pelaku usaha
menyesuaikan klausul-klausulnya dengan aturan-aturan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini mengingat bahwa pencantuman klausul-klausul
seperti demikian telah menjadi hal umum dalam perjanjian dan perdagangan. Sehingga perlu adanya penyesuaian dari pelaku usaha dan itu pulalah yang
menyebabkan baru diberlakukannya undang-undang tersebut pada tanggal 20 April 2000 atau setahun setelah disahkan yaitu tanggal 20 April 1999.
Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Baku
68
Ibid
Universitas Sumatera Utara
55
Asas kebebasan berkontrak yang didasari oleh liberalisme dan individualisme dengan Laissez Faire-nya, dijadikan dasar pembenaran dan alasan bagi praktek
perjanjian baku. Bahwa para pelaku usaha bebas membuat perjanjian yang dikehendaki dan menguntungkan sehingga bebas untuk dibuat secara baku dan
pelaksanaannya dikembalikan pada kehendak pasar atau pasar bebas sebagai perwujudan dari teori Adam Smith yang menolak campur tangan pemerintah dalam
perekonomian, sebagai akibat selanjutnya adalah situasi sosial ekonomi yang menghendaki adanya perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata hal ini
dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan prinsip di antara paham-paham tersebut sehubungan dengan perjanjian baku.
Dari pengertian perjanjian baku yang diberikan Black’s slaw Dictionary bahwa pihak pelaku usaha mempunyai kedudukan yang lebih kuat dalam tawar
menawar, dan konsumen tidak mempunyai kesempatan nyata untuk menawar syarat- syarat tersebut, maka dapat terlihat ketiadaan keseimbangan dan kesamaan
kedudukan antara para pihak. Demikian pula dari ciri-ciri perjanjian baku yang diberikan Mariam Darus bahwa isi perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh yang
posisi ekonomi nya lebih kuat, dan pihak yang lain tidak menentukan isi perjanjian, mempertegas perbedaan kedudukan kedua belah pihak. Di satu sisi pihak yang
menawarkan syarat-syarat perjanjian sangat kuat danatau menawarkan syarat-syarat perjanjian sangat kuat danatau sangat dibutuhkan pihak lain lebih dirugikan, namun
pihak yang lemah tersebut mau tidak mau harus memenuhi syarat itu karena tidak adanya pilihan lain take it or leave it.
Universitas Sumatera Utara
56
Praktek yang seperti ini merupakan efek samping dari paham liberalisme. Paham liberalisme dalam perkembangannya telah menghasilkan sistem kapitalis,
dimana dalam kapitalisme sistem perekonomian ditekankan pada peranan kapital modal, yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang yang digunakan
dalam produksi barang lainnya.
69
Dengan sistem kapitalisme muncul pemilik-pemilik modal yang menguasai sistem ekonomi dan menciptakan kesenjangan di antara
masyarakat. Oleh Karl Marx,
70
hal ini dilihat secara material is dialektis histories, dalam kritik mengenai kapitalisme, dengan manusia hidup dalam masyarakat bahwa
memahami manusia berarti memahami masyarakat, memahami masyarakat berarti memahami struktur masyarakat, memahami struktur masyarakat terbagi menjadi dua
yaitu 1 suprastruktur dan 2 infrastruktur manusia, dan 1.2 dan sistem politik ; infrastruktur terdiri dari 2.1 sistem sosial dan 2.2 sistem ekonomi. Infrastruktur
menentukan suprastruktur, karenanya sistem ekonomi sangat menentukan struktur yang lainnya sehingga orang memperebutkan sistem ekonomi, sementara sistem
ekonomi dikuasai oleh kaum pemilik modal atau kapitalis. Akibatnya tidak terjadi suatu keadilan sosial dalam masyarakat.
Kapitalisme juga dihubungkan dengan laissez Jaire dan teori ekonomi klasik Adam Smith, dengan membiarkan perekonomian termasuk perjanjian-perjanjian dan
kontrak-kontrak di dalamnya, berjalan dengan sendirinya tanpa aturan dari negara. Akibatnya, karena sistem ekonomi telah dikuasai oleh para pemilik modal maka
69
Ibid, Bagus Lorens, 1996.
70
Suseno Magnis, 1999.
Universitas Sumatera Utara
57
perlindungan bagi yang lemah tidak memadai. Praktek perjanjian baku memanfaatkan keadaan ini sehingga pihak yang kuat tersebut dapat menguasai pihak-pihak yang
lemah dalam perjanjian untuk meraih keuntungan yang besar akibat dari perbedaan kedudukan para pihak.
Hal ini dikatakan merupakan efek samping, karena pada dasarnya paham liberalisme justru menginginkan adanya keadilan bagi tiap individu untuk lepas dari
tekanan dan
tekanan dengan
semboyan Liberte,
Egalite, Fratemite
dan mengagungkan hak asasi manusia. Namun adanya perjanjian baku justru tidak sesuai
dengan semboyan semula, karena yang terjadi adalah penguasaan syarat-syarat dalam perjanjian pihak yang lemah yang berarti tidak ada lagi kebebasan Liberte dan
terjadinya ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian yang berarti ketiadaan asas persamaan Egalite, serta dapat menimbulkan kerugian bagi yang lemah karena
kurangnya perlindungan yang berarti tidak adanya asas persaudaraan atau solidaritas Fraternite. Hal lainnya yang dapat dikatakan tidak sesuai adalah pada dasarnya
teori ekonomi Adam Smith menginginkan suatu pasar bebas yang berlangsung fair, yang tidak menekan orang lain atau pihak lain berada dalam kedudukan yang lebih
lemah.
71
Keseimbangan kedudukan para pihak dalam perdagangan bebas ini dapat disimpulkan dari persyaratan yang dikatakan oleh Adam Smith sendiri, yaitu :
Sebab utama dari pertukaran dagang haruslah bahwa anda jauh lebih membutuhkan barangku daripada yang saya butuhkan, dan saya lebih membutuhkan
barangmu daripada anda sendiri ; oleh karena itu jika tawar menawar dilakukan
71
Ibid, Keraf Sony, 1996.
Universitas Sumatera Utara
58
dengan kearifan yang biasa haruslah pertukaran itu menguntungkan kedua belah pihak.
72
Jadi pada dasarnya pandangan Adam Smith dalam pasar bebas yang menekankan kebebasan berkontrakpun juga berprinsip bahwa perjanjian itu harus
dibuat dengan keadaan yang saling seimbang. Antara kebebasan, yang dijadikan dasar bagi liberalisme, dan kesamaan ini dalam hukum berhubungan erat
sebagaimana digambarkan J.J. Rousseau dalam bukunya “The Social Contract’, sebagai berikut:
Kalau kita pertanyakan dimana letak persisnya kebajikan akhir, yang harus merupakan tujuan setiap sistem hukum, kita akan menemukan dua masalah pokok
yaitu kebebasan, karena ketergantungan individual akan berarti banyak kekuatan yang terserap dari badan negara. Kesamaan, karena kebebasan tak akan bertahan
tanpa kesamaan.
73
Selain itu baik kodifikasi hukum perjanjian maupun paham-paham yang mendasarinya yaitu rasionalisme, liberalisme, dan individualisme, bertitik tolak
pada penghormatan martabat manusia sehingga manusia diakui kemampuan dan martabat manusia untuk membuat suatu perjanjian dengan manusia lainnya,
begitu pula dengan paham hukum kodrat yang turut mempengaruhi dimana prinsip persamaan derajat manusia yang menghargai hak-hak manusia serta
keadilan. Dikatakan John Locke :
72
Ibid, Smith Adam, 1978.
73
Ibid, Rousseau, 1989.
Universitas Sumatera Utara
59
Karena itu, hukum kodrat mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia sederajat dan mandiri tidak boleh merugikan yang lain dalam hidup,
kesehatan, kebebasan atau miliknya. Dalam perjanjian baku pelaku usaha dan pihak yang mempunyai kedudukan
kuat menggunakan manusia atau pihak lainnya sebagai sarana meraih keuntungan. Bahwa hukum mendasari diri pada norma moral, maka kewajiban untuk menghormati
martabat manusia oleh Emanuel Kant dirumuskan sebagai perintah dalam bentuk berikut ini : “Hendaklah memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya dan
tidak pernah sebagai sarana belaka”.
74
Padahal perjanjian merupakan wujud dari
penghargaan terhadap manusia yang mandiri dan mempunyai martabat. Oleh karena itu hakikat dari perjanjian dalam perjanjian baku terutama dalam hal kedudukan para
pihak yang seharusnya seimbang gelijkwaardigheid tidak terpenuhi. Pada umumnya perjanjian baku dibuat oleh perusahaan-perusahaan besar
dengan produksi massal untuk efisiensi dan menghindari tawar menawar antara konsumen dengan pelaku usaha. Barang atau jasa yang diproduksi mempunyai
tingkat kebutuhan tinggi di dalam pasar, oleh karena itu dengan adanya perjanjian baku yang bersifat …. Take it or leave ir” pelaku usaha tidak perlu khawatir akan
pilihan untuk menolak konsumennya karena masih banyak konsumen yang dianggap bersedia bertransaksi sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan dalam perjanjian
baku itu. Kedudukan pelaku usaha disini sangat kuat terutama dalam tiga hal, yaitu 1 dalam hal keunggulan ekonomi sebagai perusahaan yang berproduksi massa, 2
74
Ibid,Tjahyadi Lili, 1991.
Universitas Sumatera Utara
60
dalam hal kekuatan posisi tawar mengenai tingkat kebutuhan barang dan jasa yang ditawarkan dan 3 dalam hal psikologis yaitu dengan perjanjian baku yang massal
tersebut membuat konsumen berada di bawah kekuasan pelaku usaha. Selain itu konsumen yang berhadapan dengan perjanjian baku biasanya bersifat individu-
individu yang terlepas kaitannya satu sama lain. Hal inipun turut mendorong lemahnya pihak konsumen dan memperkuat kedudukan pelaku usaha. Demikian pula
halnya pada perjanjian baku-perjanjian baku yang tidak diproduksi massal. Umumnya perjanjian baku seperti itu dibuat pelaku usaha dengan telah mempertimbangkan
kedudukannya yang lebih kuat dari pihak lain, sehingga bentuk perjanjian baku dianggap sebagai bentuk yang menguntungkan ditambah pula dengan pertimbangan
tingkat kebutuhan barang dan jasa yang ditawarkan serta juga mempertimbangkan bahwa umumnya pelaku usaha yang sejenis akan melakukan hal sama dalam
membuat perjanjian baku untuk bertransaksi. Disini akan terlihat jelas bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian baku, bahwasannya pihak yang dihadapkan
dengan syarat-syarat
perjanjian baku
dalam kedudukan
yang lebih lemah
dibandingkan dengan pelaku usaha. Sehubungan dengan kedudukan para pihak ini, perjanjian baku menjadi
masalah terutama jika disadari bahwa sebagian besar bentuk perjanjian dalam hukum bisnis saat ini berbentuk perjanjian baku.
Namun terdapat pendapat-pendapat yang pro-kontra berkaitan dengan perbedaan kedudukan para pihak ini. Sluijter mengatakan perjanjian baku bukan
perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian adalah seperti pembentuk
Universitas Sumatera Utara
61
undang-undang swasta legie particulariere wegever dan syarat-syarat itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.
75
Pendapat lain yang mendukung perjanjian dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan fictie
van wilen verteouwen yang membangkitkan kepercayaan para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima perjanjian itu, berarti ia sukarela setuju
pada isi perjanjian tersebut.
76
Terhadap pendapat yang kedua ini dapat dikritisi bahwa ia melihat kesukarelaan itu sejalan dengan pernyataan atau tindakan yang diberikan
tanpa melihat keadaan dari kedudukan pihak yang lemah dan latar belakang tindakan yang diberikan tersebut, dan juga tidak melihat hakikat dari perjanjian itu yang
menghendaki adanya kedudukan yang seimbang dari para pihak. Kedudukan para pihak ini akan berpengaruh pada kesepakatan yang
diberikan. Secara mental, psikologis dan kebutuhan, kesukarelaan menjadi hal yang samar dengan suatu keterpaksaan. Oleh karena itu pengaruh perbedaan kedudukan
sangat besar dalam hal pemberian kesepakatan dan faktor kehendak bebas di dalamnya. Sedangkan dalam prakteknya hampir selalu terdapat kedudukan yang tidak
seimbang dari para pihak dalam perjanjian baku, sehingga kesesuaian antara kehendak dan pernyataan dalam posisi seperti dapat dipertanyakan, yang berakibat
pada kekuatan yang mengikatnya perjanjian tersebut.
Unsur Kesepakatan Dalam Perjanjian Baku
75
Ibid, Darus Mariam, 1978.
76
Ibid, Darus Mariam, 1978.
Universitas Sumatera Utara
62
Kata sepakat dari para pihak merupakan esensi sekaligus syarat sah dari perjanjian. Unsur sepakat menurut KUHPerdata diartikan secara negatif, bahwa
sepakat yang diberikan harus dalam keadaan bebas yaitu tanpa adanya paksaan dwang, kekhilafan dwaling dan penipuan bedrog sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320-1328
KUHPerdata. Pada
Niew Nederlands
Burgelijk Wetboek
ditambahkan dengan menyebutkan alasan pembuatan suatu perbuatan hukum adalah ancaman bedreging, penipuan bedrog, kesesatan dwaling dan penyalahgunaan
keadaan misbruik van de omstandingheden. Sepakat itu sendiri merupakan pertemuan dua kehendak. Kehendak itu tidak
akan bisa dikatakan bertemu dan menjadi sepakat apabila tidak diberikan secara bebas. Kehendak tersebut berkaitan dengan kodrat manusia yang bebas dan bahwa
manusia mempunyai kebebasan individu sebagai makhluk yang berakal budi. Seperti yang telah diuraikan bahwa kebebasan individu itu mempunyai beberapa arti yaitu
kesewenang-wenangan, kebebasan moral dan kebebasan eksistensial.
77
Kebebasan kehendak termasuk dalam kebebasan psikologis, dan berkaitan erat dengan manusia
yaitu kebebasan eksistensial. Tanpa kebebasan individual dalam arti demikian, tidak dapatlah suatu keadaan dikatakan bebas. Demikian pula halnya dengan kebebasan
eksistensial tidak terdapat ketika seseorang memberikan persetujuannya, maka sepakat tersebut tidak diberikan secara bebas.
Dalam perjanjian baku pihak yang lemah ataupun pihak yang diajukan syarat- syarat mencari perjanjian yang lebih menguntungkan di tempat lain. Perjanjian baku
77
Ibid, Supra, 2000.
Universitas Sumatera Utara
63
ini bersifat “take it or leave it” sehingga tidak ada pilihan-pilihan didalamnya. Sebenarnya pengertian “take it or leave it” ini merupakan pilihan juga, yang berarti
pilihan menerima atau menolak perjanjian baku tersebut. Namun keadaan ini tidaklah dapat disebut suatu pilihan, sebab pilihan yang ada keduanya tidak menguntungkan.
Di satu sisi jika menerima dihadapkan pada klausul-klausul yang memberatkan, sedangkan di sisi lain jika menolak tidak ada alternatif lain selain perjanjian baku
tersebut, dan juga tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap objek perjanjian sehingga pihak yang berhadapan dengan perjanjian baku terpaksa memenuhinya. Sifat “Take it
or leave it” ini didukung pula dengan penyeragaman syarat-syarat baku atau syarat- syarat itu identik satu sama lain baik karena monopoli maupun karena adanya
“invisible hand” yang mengatur pasar sehinga para pelaku usaha menyeragamkan klausul-klausulnya sebagai tuntutan pasar.
Akibatnya tidak terdapat pilihan-pilihan dalam perjanjian baku. Sedangkan kebebasan kehendak menuntut adanya pilihan-pilihan yang dapat diambil atau
ditentukan sendiri olehnya. Dikatakan oleh Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat-nya yaitu “Kehendak bebas adalah kekuatan makhluk rohani untuk memilih atau tidak
memilih kebaikan yang terbatas yang diketahui terbatas”.
78
Jadi ketiadaan pilihan yang disebabkan oleh sifat “take it or leave it” dari perjanjian baku menyebabkan
ketiadaan kehendak bebas merupakan unsur utama dalam sepakat. Sebagai subjek dalam perjanjian, manusia diakui sebagai subyek yang konkrit sebagai perwujudan
78
Ibid, Bagus Lorens, 1978.
Universitas Sumatera Utara
64
eksistensi manusia. Dengan eksistensinya, manusia dapat bertindak dan menentukan pilihannya sendiri. Dikatakan oleh Huijbers :
“Dasar kebebasan yang ada pada manusia terletak dalam hal ini, bahwa ia mempunyai pandangan yang luas atas beberapa kemungkinan yang ada pada
dirinya sendiri maupun pada lapangan tindakannya. Pandangan macam ini menimbulkan
alternatif bertindak
disebut pandangan
universal. Lalu
menyusul apa yang bersifat hakiki bagi kebebasan manusia yakni bahwa tindakannyapilihannya berasal dari dirinya sendiri”.
79
Alasan-alasan pembatasan perjanjian yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat subyektif : dalam hal sepakat yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan, tidak
dapat diartikan secara sempit seperti yang sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal KUHPerdata. Tidak adanya pilihan dalam perjanjian baku merupakan juga tidak
terpenuhinya sepakat bagi syarat subyektif sehingga perjanjian tersebut dapat saja dibatalkan. Karena adanya pilihan-pilihan termasuk sebagai kebebasan seperti
dikatakan selanjutnya oleh Huijbers bahwa : “Kebebasan berupa inisiatif atau pilihan bebas bertindak, bebas memilih disebut kebebasan ‘dari’, yakni kebebasan dari
halangan dan paksaan”.
80
Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian baku juga mempengaruhi kebebasan ini, terutama dalam hal kebebasan moral. Pihak pelaku
usaha atau pihak yang memberikan syarat-syarat baku berada pada tingkatan yang
79
Ibid, Huijbers, 1995.
80
Ibid,Huijbers, 1995
Universitas Sumatera Utara
65
lebih dibutuhkan sedangkan pihak lainnya dalam keadaan membutuhkan. Dalam keadaan demikian “kesukarelaan” dapat dipertanyakan, karena merasa dalam posisi
yang lemah, seseorang dapat memberikan pernyataannya atau tindakannya dengan terpaksa dalam arti tidak sukarela. Maka unsur sepakat sebagai pertemuan dua
kehendak secara bebas sulit dapat terpenuhi karena tidak adanya kesukarelaan akibat dari tidak seimbangnya kedudukan para pihak.
Klausula Baku dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dalam Kerangka Hukum Perjanjian Menurut Hukum KUH Perdata
Apabila dianalisa berdasarkan konstruksi hukum perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen
tersebut yang mengandung klausul baku dapat didekati pertama dari segi sahnya berdasarkan pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPerdata. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa untuk sahnya perjanjian harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu adanya kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian ; kedua para pihak yang
melakukan perjanjian adalah cakap, dalam pengertian mampu untuk melakukan hak dan kewajiban sebagai akibat ditutupnya perjanjian; yang ketiga adanya hal tertentu;
dan yang terakhir adalah mempunyai kausa yang halal. Sepakat sebagai salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah suatu hal
yang logis, karena dalam suatu perjanjian setidak-tidaknya harus terdapat sekurang- kurangnya dua orang atau lebih yang saling berhadapan dan keduanya mempunyai
kehendak timbal balik.
Universitas Sumatera Utara
66
Kalau kita cermati lebih lanjut yang namanya sepakat mempunyai substansi bahwa suatu penawaran yang disepakati atau diterima oleh lawan dalam perjanjian
tersebut. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen penawaran lessee diterima atau diakseptasi oleh lessor. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur
yang paling penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Penawaran diartikan sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian yang ditujukan kepada pihak lawan
janjinya, usul mana yang telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.
Dalam perjanjian baku mekanisme penawaran dan penerimaan atau akseptasi terwujud, namun akseptasi tersebut lebih didasarkan pada kelemahan posisi tawar
bukan didasarkan pada hal-hal yang objektif rasional. Lain dengan masalah-masalah tidak mengetahui apa yang disepakati dan ini tidak dapat dijadikan dasar untuk
membatalkan. Terdapat anggapan bahwa orang yang menandatangani suatu perjanjian tahu dan karenanya menghendaki isi perjanjian tersebut. Jika pihak yang
satu tidak membaca isi sebelum menandatanganinya, maka hal itu adalah kelalaiannya sendiri.
Apabila perjanjian yang dilakukan antara lessor dengan lessee adalah suatu tindakan hukum, dan tindakan hukum berupa penutupan perjanjian pembiayaan
konsumen harus ada kehendak para pihak. Kehendak tersebut sudah tentu ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki. Suatu persetujuan
pada prinsipnya tidak akan timbul tanpa adanya pertemuan kehendak para pihak, akan tetapi kehendak tersebut bersifat abstrak, oleh karena itu kehendak para pihak
Universitas Sumatera Utara
67
harus diwujudkan melalui suatu kesepakatan penawaran dan penerimaan dalam suatu kontrak. Adanya kesepakatan dapat diketahui dengan adanya dokumen-
dokumen kaitannya dengan perjanjian pembiayaan konsumen. Akan tetapi dokumen perjanjian itu otentik ataupun di bawah tangan semua merupakan macam atau cara
menyatakan kehendak. Hal itu tidak merupakan kehendak bebas hasil dari kesepakatan. Jadi sebuah kontrak serta akta dapat dikatakan sebagian tidak semuanya
wujud adanya pernyataan kehendak kesepakatan antara para pihak bahwa mereka menghendaki timbulnya hubungan hukum.
Kita ketahui bahwa cara menyatakan kehendak terdapat beberapa macam baik secara tegas maupun secara diam-diam. Kehendak secara tegas dapat dengan cara
lisan tertulis atau dengan tanda atau isyarat. Kehendak yang diwujudkan secara tertulis dapat berupa akta otentik atau akta bawah tangan.
Dapat dikatakan adanya kehendak dari lessee untuk menggunakan jasa pembiayaan menjadi pemilik kendaraan mobil, serta kehendak lessor untuk
mendapatkan margin keuntungan dengan menyalurkan pembiayaan dengan cara pembiayaan konsumen belum merupakan suatu kesepakatan walaupun dibuat dengan
akta otentik. Kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain.
81
Kehendak lessee serta kehendak dari pihak lessor saling dimengerti dan pihak lessor menerima atau menyetujui kehendak lessee
maka kesepakatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1320 dalam KUH Perdata sudah terpenuhi. Sepakat dari para pihak merupakan substansi sekaligus
81
Ibid, Satrio, J. 2000.
Universitas Sumatera Utara
68
syarat sah dari perjanjian. Unsur sepakat dari KUH Perdata diartikan secara negatif, bahwa sepakat yang diberikan harus dalam keadaan bebas yaitu tanpa adanya paksaan
dwang, kekhilafan dwaling, dan penipuan bedrog sebagaimana ditegasan dalam pasal 1320 sampai dengan pasal 1328 KUH Perdata. Sepakat itu sendiri pada
dasarnya pertemuan dua kehendak sebagaimana diuraikan di atas. Kehendak itu tidak akan bisa dikatakan bertemu dan menjadi kesepakatan apabila tidak diberikan secara
bebas. Kehendak itu berkaitan dengan kodrat manusia yang bebas dan bahwa manusia mempunyai kebebasan individu sebagai makhluk yang berakal budi.
Kebebasan kehendak termaksud dalam kebebasan psikologis, dan berkaitan erat dengan kebebasan moral serta kebebasan yang tertinggi manusia yaitu kebebasan
eksitensial. Tanpa kebebasan individu dalam arti demikian tidak dapat suatu keadaan dikatakan bebas. Demikian pula halnya dengan sepakat, apabila kebebasan
psikologis, kebebasan moral dan kebebasan eksitensial tidak terdapat ketika seseorang memberikan persetujuannya, maka sepakat tersebut tidak diberikan secara
bebas. Dalam perjanjian yang menggunakan klausula baku pihak lessee tidak mempunyai kesempatan yang nyata untuk menawar syarat-syarat tertentu yang lebih
menguntungkan. Dalam perjanjian yang dilakukan antara lessor dengan lessee, semua dokumen
perjanjian sudah dipersiapkan sebelumnya oleh pihak lessor secara standart. Di samping itu pihak lessee tidak ada peluang untuk menyatakan atau mewujudkan
kehendak dalam suatu perjanjian. Dengan demikian perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata jo pasal 18 UU
Universitas Sumatera Utara
69
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 18 ayat 3 UU No.8 Tahun 1999 perjanjian yang mengandung klausula baku adalah batal demi
hukum. Namun ada hal yang berbeda dari segi konstruksi sahnya antara konsep
sahnya perjanjian menurut KUH Perdata dengan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut konsepsi KUH Perdata, apabila syarat
subyektif tidak terpenuhi bukannya batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan. Syarat subyektif adalah terpenuhinya kualitas obyek yang melakukan perjanjian yaitu
kecakapan. Kedua adanya kesepakatan atau sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian perjanjian itu sah atau mempunyai
kekuatan hukum kecuali pihak yang mana tidak memberikan kesepakatannya atau pihak yang tidak cukup mengajukan pembatalan.
Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999, perjanjian yang mencantumkan klausula baku mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian tersebut void ab initio atau
dianggap tidak ada perjanjian atau batal demi hukum. Sementara dilihat dari perspektif KUH Perdata adanya klausula baku merupakan indikasi tidak adanya
kesepakatan. Perjanjian yang mengandung cacat dalam kesepakatan mengandung dua kemungkinan. Pertama perjanjian itu berlaku bagi pihak-pihak yang menutup
perjanjian itu. Kedua perjanjian itu batal karena adanya pembatalan dari pihak dengan siapa ia menutup perjanjian.
Namun kita kembali pada prinsip perundang-undangan bahwa apabila terdapat dua buah undang-undang yang mengatur hal yang sama maka kita menggunakan
Universitas Sumatera Utara
70
undang-undang yang bersifat khusus lex specialiteit derogt lex generalis. Dalam hal ini Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan
perundang-undangan yang
sifatnya khusus
mengatur tentang
Perlindungan Konsumen. Sementara Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan perundang-
undangan yang sifatnya general di bidang hukum perdata. Hukum perikatan diatur secara umum di dalam buku III KUHPerdata namun tidak secara spesifik mengatur
tentang klausula baku dalam perlindungan konsumen. Oleh karena itu maka yang diterapkan adalah ketentuan pembatalan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai ketentuan yang spesifik.
C. Para Pihak Dalam Pembiayaan Konsumen
Para pihak yang terlibat dalam transaksi pembiayaan konsumen adalah : 1.
Pihak Perusahaan Pembiayaan Pihak perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan dana bagi
kepentingan konsumen. Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang melakukan kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan
barang berdasarkan
kebutuhan konsumen
dengan sistem
pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga barang secara tunai kepada
pemasoksupplier. Antara perusahaan dan konsumen harus ada terlebih dulu kontrak pembiayaan konsumen yang sifatnya pemberian kredit. Dalam kontrak tersebut
perusahaan wajib menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen sebagai harga
Universitas Sumatera Utara
71
barang yang dibelinya dari pemasok, sedangkan pihak konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada perusahaan tersebut
82
Kewajiban pihak-pihak dilaksanakan berdasarkan kontrak pembiayaan konsumen. Sejumlah uang dibayarkan tunai kepada pemasok untuk kepentingan konsumen,
sedangkan pemasok menyerahkan barang kepada konsumen. Dengan penyerahan tersebut barang yang bersangkutan menjadi milik konsumen. Pihak konsumen wajib
membayar secara angsuran sampai lunas kepada perusahaan sesuai dengan kontrak. Selama angsuran belum dibayar lunas, maka barang milik konsumen tersebut menjadi
jaminan hutang secara fidusia. 2.
Pihak DealerSupplier Pihak dealersupplier adalah pihak penyedia barang yang dibutuhkan
konsumen. Pihak dealersupplier adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Hubungan
kontraktual antara pihak dealer dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan
pembiayaan konsumen. Antara pihak dealer dan konsumen terdapat hubungan kontraktual, dimana dealer wajib menyerahkan barang kepada konsumen dan
konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran kepada perusahaan yang telah melunasi harga barang secara tunai.
82
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit., hal. 248.
Universitas Sumatera Utara
72
Antara pihak ketiga perusahaan pembiayaan konsumen dan dealer tidak ada hubungan kontraktual, kecuali sebagai pihak ketiga yang disyaratkan. Oleh karena
itu, apabila pihak ketiga melakukan wanprestasi, padahal kontrak jual beli dan kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilaksanakan, maka jual beli bersyarat
tersebut dapat dibatalkan oleh dealer dan pihak konsumen dapat menggugat pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen berdasarkan wanprestasi.
3. Pihak Konsumen
Pihak konsumen adalah pihak yang membutuhkan barang. Konsumen adalah pihak pembeli barang dari pemasok atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu
perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen tersebut dapat berstatus perorangan individual dapat pula perusahaan bukan badan hukum. Dalam hal ini ada 2 dua
hubungan kontraktual, yaitu : 1
Perjanjian pembiayaan yang bersifat kredit antara perusahaan dan konsumen; 2
Perjanjian jual beli antara pemasok dan konsumen yang bersifat tunai. Pihak
konsumen umumnya
masyarakat, karyawan,
buruh tani
yang berpenghasilan menengah ke bawah yang belum tentu mampu membeli barang
kebutuhannya itu secara tunai dan ada juga para pengusaha yang tidak mau uangnya tertanam untuk pembelian kendaraan. Dalam pemberian kredit, resiko menunggak
angsuran oleh konsumen merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena ini, pihak perusahaan dalam memberikan kredit kepada konsumen masih memerlukan jaminan
terutama jaminan fidusia atas barang yang dibeli itu, disamping pengakuan hutang promissory notes dari pihak konsumen. Dalam perjanjian jual beli antara pemasok
Universitas Sumatera Utara
73
dan konsumen, pihak pemasok menetapkan syarat bawa harga akan dibayar oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Apabila karena alasan apapun,
perusahaan tersebut melakukan wanprestasi, yaitu tidak melakukan pembayaran sesuai dengan kontrak, maka jual beli barang antara pemasok dan konsumen akan
dibatalkan. Dalam perjanjian jual beli, pihak pemasok menjamin barang dalam keadaan baik, tidak ada cacat tersembunyi dan pelayanan purnajual after sale
service. Prinsip dasar dari transaksi pembiayaan konsumen dapat dilihat dari hubungan
hukum pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi pembiayaan konsumen tersebut, sebagai berikut:
a Hubungan Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen.
Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak perusahaan pembiayaan
berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana uang untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak konsumen berkewajiban untuk membayar
kembali uang tersebut secara angsuran cicilan kepada pihak perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyediaan dengan
konsumen adalah sejenis perjanjian kredit. Secara yuridis apabila kontrak pembiayaan tersebut sudah ditandatangani oleh
para pihak dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang tersebut sudah langsung menjadi hak milik
konsumen, meskipun harganya belum dibayar lunas. Dalam hal ini berbeda
Universitas Sumatera Utara
74
dengan kontrak leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor, terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih opsinya untuk memiliki
barang tersebut pada akhir kontrak. b
Hubungan pihak konsumen dengan supplier Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan jual beli,
dalam hal ini jual beli bersyarat, dimana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan syarat bahwa harga akan
dibayar oleh pihak ketiga, yaitu pihak perusahaan pembiayaan. Syarat tersebut mempunyai arti bahwa apabila pihak perusahaan pembiayaan tidak jadi batal
memberikan dana, maka jual beli antara supplier dengan konsumen menjadi batal pula.
c Hubungan Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier.
Antara pihak perusahaan pembiayaan dengan suppler tidak mempunyai hubungan hukum yang khusus, kecuali pihak perusahaan pembiayaan hanya
pihak ketiga yang disyaratkan, yaitu disyaratkan untuk menyediakan dana untuk dipergunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak supplier dengan pihak
konsumen. Karena itu, jika perusahaan pembiayaan wanprestasi ingkar janji dalam menyediakan dananya, sementara kotrak jual beli maupun kontrak
pembiayaan sudah selesai dibuat, maka jual beli bersyarat antara supplier dengan konsumen itu akan batal.
Universitas Sumatera Utara
75
D. Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Jaminan-jaminan yang dapat diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank biasa,
khususnya kredit konsumsi. Untuk itu dapat dibagi menjadi:
83
1. Jaminan Utama Dalam suatu kredit yang adalah juga termasuk bagian dari bisnis maka dalam
hal transaksi pembiayaan konsumen yang menjadi jaminan utama adalah kepercayaan dari kreditur pada debitur konsumen, bahwa pihak konsumen
dapat dipercaya dan sanggup membayar hutang-hutangnya. Jadi disini prinsip- prinsip pemberian kredit berlaku. Misalnya prinsip 5 C Collateral, Capacity,
Character, Capital, Condition of Economic. 2. Jaminan Pokok
Sebagai jaminan pokok terhadap transaksi pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana tersebut. Jika dana tersebut diberikan
misalnya untuk membeli mobil, maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk Fiduciary
Transfer of Ownership fidusia. Karena adanya fidusia ini maka biasanya seluruh
dokumen yang berkenaan dengan
kepemilikan barang yang
bersangkutan akan dipegang oleh pihak kreditur pemberi dana hingga kredit lunas.
83
Munir Fuady, Op Cit hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
76
Fidusia merupakan lembaga jaminan, yang lahir berdasarkan kesulitan- kesulitan gadai. Perbedaan mendasar antara fidusia dan gadai adalah, bahwa
obyek gadai penguasaannya diserahkan kepada penerima gadai pemegang gadai.Sedangkan fidusia, penguasaannya berada pada pemberi fidusia.
3. Jaminan Tambahan Di samping jaminan utama dan jaminan pokok sering juga diminta jaminan
tambahan terhadap transaksi pembiayaan konsumen ini, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian kredit bank. Biasanya jaminan tambahan
terhadap transaksi seperti ini berupa pengakuan hutang Promissory Notes dan
kuasa menjual barang.
Disamping itu, sering juga dimintakan
“persetujuan istrisuami”
untuk konsumen
pribadi dan
persetujuan komisarisRUPS untuk konsumen perusahaan, sesuai ketentuan Anggaran
Dasarnya.
E. Fidusia
Fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan.
84
Berdasarkan arti kata fidusia tersebut, maka hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dan
kreditur penerima fidusia merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan
hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya
84
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
77
penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.
Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fiducia cum creditore dan
fiducia cum amico.
85
Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk
yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta, yang berarti janji kepercayaan
yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa
kreditur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas
hutangnya dengan
kesepakatan bahwa
kreditur akan
mengalihkan kembali
kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.
86
Lembaga jaminan fidusia pertama kali timbul untuk mengatasi kesulitan- kesulitan yang ditimbulkan dengan menggunakan lembaga jaminan gadai dan
lembaga jaminan lainnya, yang menggunakan syarat “inbezitstelling”, sehingga benda jaminan harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai sebagaimana diatur
dalam Pasal 1152 ayat 2 KUHPerdata. Dalam memenuhi syarat inbezitstelling ini adakalanya dirasakan berat oleh pemberi gadai, karena benda-benda jaminan justru
sangat dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari atau keperluan menjalankan usaha.
87
85
Ibid.
86
Ibid, hal. 124.
87
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro: Semarang, 2003, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
78
Adanya kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan usahanya dengan cara memperoleh kredit tetapi masih membutuhkan benda-benda yang hendak dijaminkan
tetap berada dalam penguasaan si debitur melahirkan lembaga fidusia. Untuk mengatur jaminan fidusia sebagai salah satu sarana membantu kegiatan usaha dan
guna memberi kepastian hukum pada para pihak yang berkepentingan, dibuat Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, selanjutnya
disingkat UUJF. Adapun ciri-ciri Lembaga Jaminan Fidusia menurut Purwahid Patrik dan
Kashadi:
88
1. Memberikan kedudukan yang terdahulu kepada kreditor penerima fidusia terhadap kreditor lainnya Pasal 27 UUJF
Hak didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia. Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi obyek jaminan fidusia kepada kantor
pendaftaran fidusia. 2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada
droit de suite Pasal 20 UUJF. 3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan
memberikan jaminan
kepastian hukum
kepada pihak-pihak
yang berkepentingan. Pasal 6 dan Pasal 11 UUJF
88
Ibid, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
79
Akta Jaminan Fidusia dibuat oleh notaris memuat hal-hal sbb: a.
Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; b.
Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c.
Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; d.
Nilai Penjaminan; e.
Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan ke kantor
pendaftaran fidusia. 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara : a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia artinya langsung
melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. b. Melalui pelelangan umum
c. Penjualan dibawah tangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Jaminan Fidusia, yang menjadi obyek
dan subyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut: 1.
Obyek Jaminan Fidusia Obyek jaminan fidusia adalah benda yang dapat dimiliki dan dialihkan
kepemilikannya, baik berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan atau hipotek. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus disebut dengan jelas dalam akta Jaminan Fidusia baik identifikasi
Universitas Sumatera Utara
80
benda tersebut, maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis
bendanya dan kualitasnya. 2
Subyek Jaminan Fidusia Subyek Jaminan Fidusia menurut UUJF adalah Pemberi Fidusia yaitu orang
perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan Penerima fidusia dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi
yang menerima piutang yang pembayarannya dijamin dengan fidusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUJF, utang yang dapat dijamin dengan fidusia
dapat berupa : a. Utang yang telah ada;
b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau
c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Utang yang dimaksud adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian.
Proses terjadinya fidusia dilakukan melalui dua tahapan yaitu : 1. Pembebanan Jaminan Fidusia
Pembebanan fidusia dibuat dengan akta notaris dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Dalam akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya
memuat:
Universitas Sumatera Utara
81
a. Identitas Para Pihak; b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; d. Nilai penjaminan;
e. Nilai benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia. 2. Pendaftaran Jaminan Fidusia
Jaminan Fidusia harus didaftarkan dengan tujuan untuk melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia, memberi kepastian kepada kreditor
lain mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditor serta untuk memenuhi asas
spesialitas. Sesuai dengan ketentuan UUJF Bagian Ketiga, dapat dilakukan pengalihan
terhadap jaminan fidusia. Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia dapat dilakukan dan ini mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan
kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditur baru accessoir, dan hal ini harus didaftarkan oleh kreditor baru ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha
perdagangan. Namun hal ini tidak berlaku bila terjadi cidera janji oleh debitor. Benda yang menjadi obyek fidusia yang telah dialihkan wajib diganti oleh Pemberi fidusia
dengan obyek yang setara.
Universitas Sumatera Utara
82
Untuk jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan maka pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain,
kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 UUJF, maka jaminan fidusia hapus karena
hal-hal sebagai berikut : 1. Hapusnya utang yang dijamin fidusia;
2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia 3. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
Dalam hal jaminan fidusia hapus maka penerima fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia dengan melampirkan pernyataan
mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, dan Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan
Fidusia dari Buku Daftar Fidusia, dan menerbitkan Surat Keterangan yang menyatakan Bukti Pendaftaran Fidusia tidak berlaku lagi. Perjanjian Fidusia yang
tidak didaftar tidak mempunyai hak yang didahulukan preferent baik di dalam maupun di luar kepailitan dan atau likuidasi.
F. Pembiayaan Konsumen pada Astra Credit Companies ACC Medan
1. Gambaran Umum Astra Credit Companies ACC Medan
Astra Credit Companies ACC adalah salah satu dari sekian banyak lembaga pembiayaan konsumen yang mengkhususkan pada pembiayaan konsumen kendaraan
bermotor di Indonesia. Astra Credit Companies ACC membuka cabang di berbagai kota di Indonesia, kantor cabang di Medan merupakan salah satu dari 55 kantor
Universitas Sumatera Utara
83
cabang yang dimiliki oleh Astra Credit Companies ACC yang tersebar di 26 kota di Indonesia.
Astra Credit Companies ACC yang telah berpengalaman selama lebih dari 30 tahun dalam dunia pembiayaan di Indonesia, dan cukup ekspansif. Hal ini terbukti
dari dukungan yang diterimanya dari 1600 dealer dan showroom di seluruh Indonesia, melayani seluruh merek mobil Astra yaitu BMW, Peugeot, Toyota,
Daihatsu, Isuzu, Nissan Diesel, dan Non Astra yaitu Audi, Chevrolet, Daewoo, Ford, Honda, KIA, Land Rover, Mitsubishi, Mazda, Nissan, Jaguar, Renault, Opel, Subaru,
Ssangyong, Suzuki, Volvo, VW dan dengan total customer mencapai lebih dari 750.000 customer.
89
Kendaraan bermotor roda empat yang dibiayai tidak hanya terbatas pada kendaraan baru new car saja, namun juga kendaraan bermotor roda
empat bekas used car, dengan sistem yang disebutnya C2C. Astra Credit Companies ACC merupakan lembaga pembiayaan milik Astra
Group. Perusahaan yang tergabung dalam Astra Group ini sebanyak 7 perusahaan yaitu :
- PT. Astra Sedaya Finance. - PT. Swadharma Bhakti Sedaya Finance.
- PT. Estika Sedaya Finance. - PT. Stacomitra Sedaya Finance.
- PT. Astra Multi Finance. - PT. Astra Auto Finance.
89
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
84
- PT. Surya Artha Nusantara Finance. Namun sebagai brand yang dipakai ketujuh penopang funding ini, keluar
menggunakan dan atau dikenal dengan nama Astra Credit Companies ACC. Astra Credit Companies ACC Cabang Medan terbagi 2 yaitu ACC Medan 1
yang berkantor di Jl H Adam Malik 28, Selalas, Medan Barat, dan ACC Medan 2, dimana diadakannya penelitian berkantor di Komp Delta Jl Juanda medan dipimpin
oleh Seorang Kepala Cabang, dan memiliki 3 departemen, yaitu Departemen Sales, yang terbagi menjadi Sales untuk Brand Toyota, dan Sales untuk Brand Non Toyota,
Departemen Service serta Departemen Recovery Management Officer RMO Collection.
Departemen Sales adalah Departemen yang melakukan kegiatan pemasaran, yaitu mencari konsumen, hingga melakukan proses kegiatan penerimaan pengajuan
aplikasi pembiayaan dari konsumen pemohon, sampai persetujuan aplikasi pembiayaan itu sendiri. Sedangkan Departemen Service adalah departemen yang
sehari-hari bertugas untuk mengelola keuangan perusahaan dari mulai penerimaan pembayaran dari konsumen administrasi kredit, melakukan proses awal dalam hal
terjadi kredit bermasalah konsumen, melakukan penjualan lelang kendaraan tarikan, hingga melakukan write off atas piutang-piutang yang tidak mungkin tertagih lagi.
Akan halnya dengan Departemen Recovery Management Officer RMO atau sebelumnya disebut Departemen Collection, sehari-hari bertugas melakukan tindakan
lebih lanjut berdasarkan laporan dari Departemen Service bilamana terjadi piutang kredit bermasalah. Departemen ini melakukan kunjungan-kunjungan terhadap
Universitas Sumatera Utara
85
konsumen yang bermasalah kreditnya guna penyelesaian masalah kreditnya tersebut, hingga melakukan penarikan barang jaminan.
2. Pemberian Dana dari Astra Credit Companies ACC ke Konsumen