mekanisme objek agunan kredit pada bank rakyat Indonesia dengan jaminan surat keputusan pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintah daerah khusus ibukota Jakarta

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum

Oleh: Faizal

NIM: 1110048000068

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

untuk mengatasi hal tersebut dan untuk mendapatkannya dibutuhkan suatu benda yang dapat menjamin pelunasan kredit tersebut. Jaminan yang digunakan para Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah Surat Keputusan (SK) Pengangkatan mereka sebagai Pegawai Negeri Sipil. Walaupun Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil bukan merupakan benda yang memiliki nilai pengoperan, namun dalam praktik perbankan SK ini dapat diterima sebagai suatu jaminan dalam kredit bank. Sehingga timbul permasalahan mengenai bagaimana kedudukan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil tersebut sebagai jaminan suatu kredit bank mengingat Pegawai Negeri Sipil dalam pekerjaanya sering mengalami gejolak administrasi dan kelembagaan yang tidak jarang meningkatkan risiko timbulnya kredit macet bagaimana prosedur pengikatan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil sebagai jaminan kredit perbankan, apa saja faktor penyebab terjadinya kredit macet tersebut, dan bagaimana prosedur dalam menyelesaikan kredit macet tersebut pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero). Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif yang menggunakan data sekunder. Alat pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen (document study).


(6)

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya yang mampu menerangi jalan menuju kepada kebenaran sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi yang berjudul “Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan doa, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:

1. Kedua Orang Tua, Mama dan Papa yang tidak hentinya melantunkan doa, mencurahkan kasih sayang dan perhatian untuk meluruhkan segala pikiran buruk penulis sehingga dapat selalu berfikir positif guna melanjutkan skripsi ini.

2. Kedua saudara kandung saya, kakak dan adik saya, atas segala kebaikannya selama ini memberikan bantuan dan menyemangati penulis.

3. Bapak Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Arip Purqon, S.H.I., M.A. dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum. selaku sekretaris Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2013-1014.


(7)

7. Seluruh dosen dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

8. Risky Rani Permatasari, yang tidak hentinya memberikan doa, support, semangat, kisah kasih dan waktu untuk membantu selama penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat - sahabat ilmu hukum, Ahmad Ilham Adha, Galuh Hayu Nastiti, Gerry Pamungkas,S.H., Ilham Herdinata, Jentel Chairnosia,S.H., Mona Hasinah, M. Iqrom, Septian Ardiansah dan yang lainnya yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa serta memberikan cerita persahabatan selama masa perkuliahan.

10. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu atas bantuannya dalam terselesainya penyusunan skripsi ini. Semoga amal kebaikan kalian semua dapat dibalas oleh Allah SWT.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 23 Januari 2015


(8)

Persetujuan Pembimbing ... ii

Lembar Pengesahan Penguji ... iii

Lembar Pernyataan ... iv

Abstrak... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Bab I Pendahuluan ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

1.Pembatasan Masalah ... 5

2.Perumusan Masalah ... 5

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.Tujuan Penelitan ... 6

2.Manfaat Penelitian ... 6

D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 7

E.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

1.Kerangka Teoritis... 9


(9)

Bab II Tinjauan Pustaka ... 19

A.Tinjauan Umum Bank ... 19

1.Pengertian Bank ... 19

2.Asas, Fungsi dan Tujuan Bank... 19

3.Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan ... 21

4.Dasar Hukum Kredit Bank ... 22

B.Pengertian dan unsur-unsur Kredit ... 26

C.Tujuan dan Fungsi Kredit ... 28

D.Jenis-Jenis Kredit Dan Jaminan Kredit ... 31

E.pihak pihak dalam perjanjian kredit ... 33

F.Syarat Sahnya Perjanjian kredit ... 34

G.Kredit Macet... 35

Bab III Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja Dan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (SK PNS) ... 38

A.Pengertian Perjanjian Kerja... 38

B.Syarat Sahnya Perjanjian Kerja. ... 39

C.Jenis-Jenis Perjanjian Kerja... 41


(10)

2.Kewajiban pengusaha. ... 46

E.Surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil... 50

1.Pengertian pegawai negeri ... 50

2.Jenis-jenis pegawai negeri ... 51

3.Tugas dan fungsi pegawai negeri sipil ... 53

Bab IV Tinjauan Yuridis Sk Pns Sebagai Objek Jaminan Kredit Perbankan. ... 60

A.Jaminan berupa surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil. .. 61

B.Syarat-syarat wanprestasi bagi debitur bank ... 66

1.kredit macet disebabkan karena instansi tempat debitur bekerja dilebur. ... 67

2.kredit macet disebabkan karena bendahara gaji. ... 69

3.kredit macet disebabkan karena pensiun atau pensiun dini. ... 70

C.Penyelesaian kredit macet ... 76

1.tindakan yang diambil dalam menghadapi debitur yang wanprestasi 76 2.pertanggungan ganti rugi oleh pihak ketiga. ... 77

3.penyelesaian melalui panitia urusan piutang negara (pupn). ... 83

4.penyelesaian melalui pengadilan negeri. ... 86


(11)

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.1 Untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomian dan untuk meningkatkan taraf hidup, hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan. Dari masyarakat yang ekonominya rendah, sampai kepada masyarakat yang ekonominya mapan, dan dari berbagai latar belakang kedudukan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Meningkatnya kebutuhan akan jasa perbankan yang telah berkembang pesat, maka landasan gerak perbankan yang ada dirasakan sudah saatnya diadakan penyesuaian agar mampu menampung tuntutan pengembangan jasa perbankan. Kemajuan yang dialami oleh lembaga perbankan dapat ditingkatkan secara berkelanjutan dan benar-benar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pelaksanaan pembangunan nasional, dan untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, sehingga segala potensi, inisiatif dan kreasi masyarakat dapat dikerahkan dan dikembangkan menjadi suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Sejalan dengan

1M.Bahsan, “

Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta: PT


(13)

kemajuan tersebut, usaha perbankan tumbuh menjadi bisnis yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Beraneka ragam jasa-jasa perbankan serta semakin tingginya tingkat kemajuan teknologi dan fasilitas yang juga diberikan dunia perbankan. Jasa pelayanan (services) yang diberikan kepada masyarakat tersebut dapat mendukung laju pertumbuhan perekonomian.

Kegiatan penyaluran kredit secara umum membutuhkan adanya jaminan utang atau yang disebut jaminan kredit (agunan)2. Agunan yang dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian kredit yaitu agunan berupa benda yang menurut hukum digolongkan sebagai barang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Benda yang menurut hukum digolongkan sebagai barang bergerak seperti kendaraan bermotor yang dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), agunan berupa surat-surat berharga maupun surat-surat yang berharga yang di dalamnya melekat hak tagih, seperti: saham, efek, Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (SK PNS) atau berupa Surat Keputusan Pensiun PNS, dan lain sebagainya.3 Walaupun SK PNS bukan merupakan benda yang dapat dipindahtangankan (yang mempunyai nilai pengalihan), tetapi perkembangan dalam praktik perbankan yang melihat sisi ekonomis pada surat tersebut menjadikannya dapat diterima oleh beberapa bank sebagai

2 Satrio, “

Hukum Jaminan, Hukum Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan”, (PT Citra

Aditya Bakti Bandung, 1997) hal. 26.

3Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad. “

Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 32.


(14)

jaminan kredit. Namun apakah SK PNS yang bersangkutan yang dijadikan sebagai jaminan kredit Bank itu dapat memperkecil risiko timbulnya kerugian yang akan dialami bank mengingat bahwa SK tersebut tidak dapat dialihkan sehingga akan menimbulkan kesulitan terhadap pihak bank untuk dapat melakukan eksekusi apabila terjadi kredit macet dalam masa pelunasan atas kredit dimaksud. Dari praktik perbankan, sering kita liat adanya penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang dilakukan untuk melunasi kredit macet pihak peminjam. Hal tersebut perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkan karena pihak peminjam tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit. Hasil penjualan jaminan kredit tersebut dapat digunakan untuk melunasi utang pihak peminjam kepada bank sehingga diharapkan dapat meminimalkan kerugian bank. Jadi, bisa dikatakan, jaminan kredit berfungsi sebagai pengamanan pengembalian dana bank yang disalurkannya kepada pihak peminjam. Selain itu, jaminaan kredit juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan kesungguhan pihak peminjam untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga akan dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan karedit yang mungkin saja tidak diinginkan pihak peminjam karena nilai (harga) jaminan kredit pada umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang pihak peminjam kepada bank.4 Dalam hukum jaminan, benda atau objek jaminan mempunyai syarat-syarat.

4M.Bahsan, “

Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) Hal. 15.


(15)

Dengan uraian di atas maka Surat Keputusan PNS memungkinkan masuk kategori surat yang berharga, karena tanpa SK tersebut seorang PNS tidak dapat bekerja dan tidak dapat memperoleh haknya sebagai PNS. Dalam pelaksanaannya hampir seluruhnya atau setidaknya kurang lebih 90% Pegawai Negri Sipil menjaminkan Surat Keputusannya namun tidak mengetahui apa yang akan terjadi jika para Pegawai tersebut melakukan cidera janji atau wanprestasi. Banyak pula yang masih mempertanyakan, bisakah Surat Keputusan tersebut di eksekusi apabila seorang penjamin tidak mampu memenuhi kewajibannya. di Indonesia SK PNS tidak termasuk dalam jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan, tetapi termasuk sebagai hak istimewa (prevelege) yang wujudnya dapat berupa ijasah, Surat Keputusan (SK), Surat pensiun dan lain-lain.5 Sehingga dalam perkreditan di Indonesia SK PNS dapat dijadikan sebagai jaminan kredit. Apabila terjadi wanprestasi, yang dapat disebabkan antara lain karena meninggal dunia, mengundurkan diri. berarti secara otomatis juga menyebabkan berakhirnya keanggotaan sebagai Pegawai Negeri Sipil beserta hak istimewanya, maka bank akan sulit untuk mengeksekusi, karena SK PNS bukan benda yang dapat diperjual belikan sehingga tidak bisa dieksekusi secara langsung.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut melalui penelitian dalam bentuk skripsi yang berkaitan

dengan kredit perbankan dengan judul: “Mekanisme Objek Agunan Kredit

5J. Satrio, “

Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), Hal.11.


(16)

Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta ”.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan dan perbankan maka penelitian ini difokuskan mengkaji tentang mekanisme seorang Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan kredit pinjaman menggunakan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil sebagai objek jaminan di Bank Rakyat Indonesia serta langkah-langkah bank sebagai kreditur dalam menangani kredit bermasalah atau kredit macet.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah mekanisme perjanjian kredit dengan jaminan Surat Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ?

b. Bagaimanakah langkah yang akan dilakukan Bank Rakyat Indonesia dalam penyelesaian kredit macet jika Pegawai Negeri Sipil yang menjaminkan Surat Keterangannya wanprestasi?

c. Bagaimanakah upaya hukum kreditur jika Pegawai Negeri Sipil yang menjaminkan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil mengalami pemutusan hubungan kerja?


(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitan

a. Untuk mengetahui mekanisme perjanjian kredit dengan menggunakan jaminan Surat Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil.

b. Untuk mengetahui langkah-langkah yang akan dilakukan Bank selaku kreditur dalam penyelesaian kredit macet apabila Pegawai Negeri Sipil wanprestasi.

c. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh Bank selaku kreditur ketika debitur wanprestasi yang disebabkan pemutusan hubungan kerja antara debitur yang menjaminkan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil dengan instansinya.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

1) Manfaat penelitian yang bersifat teoretis diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran baru di bidang hukum perdata terutama hukum perbankan perihal penyelesaian kredit macet dalam perjanjian kredit perbankan.


(18)

2) Salain itu, hasil penelitian ini akan memberikan informasi mengenai alternatif konsep yang lebih baik dalam pola pemberian kredit lunak kepada Pegawai Negeri Sipil.

b. Manfaat Praktis

1) Manfaat penelitian yang bersifat praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan birokrat, akademisi, praktisi dan bankir dalam menyelesaikan kredit macet sehubungan dengan perjanjian kredit perbankan.

2) Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengungkap berbagai kendala yang timbul dalam perjanjian kredit Pegawai Negeri Sipil, khususnya mengenai penyebab timbulnya kredit macet.

D.Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penelitian dengan judul “Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank

Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian hukum, khususnya di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, belum pernah dilakukan. Namun demikian terdapat beberapa judul penelitian yang terkait dengan judul skripsi penulis melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya, yaitu:


(19)

1. Jefri Lumbantobing, dengan judul skripsi Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Lubuk Pakam);

2. Fitria Dewi Purnamasari, dengan judul tesis Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Salatiga.

Akan tetapi, variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini seperti perumusan masalah, metode pendekatan, maupun lokasi penelitian berbeda. Walaupun ada pendapat melalui kutipan dalam penulisan ini, semata-mata adalah sebagai faktor pelengkap dalam usaha menyelesaikan penelitian, karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan dalam penulisan. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Dalam kedua skripsi diatas, perbedaan terhadap karya penulis saat ini adalah pembahasan serta pendekatannya. Dimana pembahasan yang saat ini penulis fokuskan adalah tindakan pidana yang dilakukan oleh debitur terhadap kreditur dimana penulis menjelaskan apa saja tindak perlawanan hukum yang dilakukan debitur dan apa saja langkah yang ditempuh oleh kreditur.


(20)

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Asas, Fungsi, dan Tujuan Bank

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, karena bank merupakan intisari dari sistem keuangan negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga pemerintah, swasta, maupun perorangan untuk menyimpan dananya, baik melalui kegiatan perkreditan atau jasa perbankan yang lainnya. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian sehingga dengan demikian besar andilnya bagi peningkatan laju pertumbuhan nasional suatu negara.6

Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut Ruddy Tri Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi tabungan, pembayaran, pinjaman, dan fungsi uang.7 Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal ini berarti bahwa

6

Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta : STIE Perbanas, 1999), hal 15 7


(21)

kehadiran bank sebagai salah satu badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun juga untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berkenaan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka fungsi bank mengalami perluasan guna memenuhi keperluan masyarakat. Bank selaku finance company, akhirnya juga berperan sebagai supporting financial yang mengarah kepada fee based income dan jasa konsultasi keuangan.8

Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Kerangka Konseptual

Usaha Perbankan

Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh bank meliputi:9

8

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung : Mandar Maju Jaya, 2000), hal 2 9

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2003), hal. 62


(22)

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

2. Memberikan kredit.

3. Menerbitkan surat pengakuan hutang.

4. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.

5. Menempatkan dana pada, meminjam dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain.

6. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.

7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

8. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

9. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.

10.Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yangdibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.


(23)

11.Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit ddan kegiatan wali amanat.

12.Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, meyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

13.Melakukan kegiatan yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain melakukan kegiatan usaha tersebut di atas, bank umum dapat pula:10

a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

b. Melakukan kegiatan dalam penyertaan modal.

c. Melakukan kegiatan dalam penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun, sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pension yang berlaku.

10

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2003), hal. 62


(24)

F. Asumsi

Asumsi adalah anggapan tentang suatu masalah atau fakta yang sudah mengandung kebenaran tanpa melakukan pembuktian. Dengan kata lain masalah yang dipaparkan dalam asumsi tidak perlu lagi diuji kebenarannya, hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan

“Anggapan dasar adalah suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti

yang akan berfungsi sebagai hal yang dipakai untuk tempat berpijak dalam

melaksanakan penelitiannya”. Anggapan dasar adalah suatu titik tolak

pemikirannya diterima oleh penyelidik. Dalam penelitian yang berjudul

“Mekanisme Objek Agunan Kredit Pada Bank Rakyat Indonesia Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta” penulis mengemukakan asumsi sebagai berikut:

1. Objek Agunan haruslah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggunang atau bersifat jelas, dapat dialaihkan atau dipindah tangankan dan mempunyai nilai ekonomis

2. Undang-Undang pokok perbankan mengisyaratkan bahwa dalam pemberian kredit harus didasarkan pada keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai perjanjian.

3. Pegawai Negeri Sipil unsur utama sumber daya manusia yang mempunyai peranan yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.


(25)

G. Metode Penelitian

Metodologi dalam suatu penelitian berfungsi sebagai sarana berbentuk tertulis yang berisi tentang cara bagaimana pendekatan masalah yang digunakan, sumber bahan hukum yang terkait, metode penggumpulan data serta teknik analisa data. Berdasarkan pendapat Bambang Sunggono terhadap penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan hanya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang, di tangan.11

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Hukum Normatif Empiris. Penelitian Hukum Normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 12

1. Tipe penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

11

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009), hal. 27.

12

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Rajawali Pers,Jakarta, 2001), hal. 13


(26)

Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.

2. Pendekatan Masalah

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menanalisis peraturan hukum.13 Dengan menggunakan sifat deskriptif, maka peraturan hukum dalam penelitian dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

13


(27)

meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan nonhukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan


(28)

hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab. I : Merupakan Bab Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab. II : Bab ini terdiri dari beberapa pembahasan yaitu tentang pengertian, fungsi dan penilaian kredit perbankan.

Bab. III : Merupakan bab. Penjelasan tentang perjanjian kerja dan membahas tentang Surat Keputusan Pegwai Negeri Sipil.

Bab IV : Bab ini membahas tentang Surat Keputsan Pegawi Negeri Sipil sebagai jaminan kredit pada perusahaan perbankan. Serta langkah-langkah yang ditempuh pihak Bank apabila debitur wanprestasi

Bab V : Bab yang membahas kesimpulan dari penulisan karya tulis ini serta saran-saran.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Bank

1. Pengertian Bank

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.14

Dari pengertian diatas maka tujuan bank harus terarah, tidak semata-mata hanya memutarkan uang untuk mencari keuntungan. Tetapi, bank harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat sesuai dengan pasal 1 undang-undang perbankan tahun 1992. Oleh karena itu dalam kegiatan perbankan sehari-hari bank tidak boleh terlepas dari kegiatan pembangunan, setiap kegiatan bank harus berguna bagi kepentingan masyarakat.

2. Asas, Fungsi dan Tujuan Bank

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Bank memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, karena bank merupakan intisari dari sistem keuangan negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang

14Supramono, Gatot “


(30)

menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga pemerintah, swasta, maupun perorangan untuk menyimpan dananya, baik melalui kegiatan perkreditan atau jasa perbankan yang lainnya. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian, sehingga dengan demikian besar andilnya bagi peningkatan laju pertumbuhan nasional suatu negara. Dipandang dari peranan ekonominya, bank menurut Ruddy Tri Santoso, menjalankan 4 fungsi pokok yaitu fungsi tabungan, pembayaran, pinjaman, dan fungsi uang.15 Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan, bahwa fungsi perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal ini berarti bahwa kehadiran bank sebagai salah satu badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun juga untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka fungsi bank mengalami perluasan guna memenuhi keperluan masyarakat. Bank selaku finance company, akhirnya juga berperan sebagai supporting financial yang mengarah kepada fee based income dan jasa konsultasi keuangan. Tujuan bank menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan, bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan

15


(31)

pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.16

3. Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan

Prinsip penilaian atau analisis kredit dilakukan secara cermat dan teliti dengan senantiasa memerhatikan atau berpedoman pada ketentuan yang berlaku yang mencakup analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Penilaian setiap permohonan kredit sangat tergantung pada faktor-faktor pokok mengenai kredit, seperti jenis usaha, sektor ekonomi, tujuan penggunaan kredit, jumlah kredit, dan faktor lain sejenisnya. Pada praktik perbankan nasional, prinsip dasar dalam menganalisis kredit dengan mengacu pada faktor-faktor

tersebut di atas lazim dikenal dengan “Prinsip 5C (The 5C’s

Principles)”. Pentingnya penerapan prinsip-prinsip inilah yang

menjadikan keenam prinsip ini sebagai „jaminan awal‟ debitur untuk

dipertimbangkan agar memeroleh kredit yang sebagaimana dimohonkan kepada pihak bank.

Dalam undang-undang perbankan 1967 jenis bank dapat dibedakan dari segi fungsi dan segi kepemilikannya. Dari segi fungsi ada 4 jenis bank yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan. Sedangkan dilihat dari kepemilikannya

16

Rahmadi Halim, “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi Penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Cabang Lumajang)”, Tesis 2006.


(32)

terdapat 3 macam, yaitu Bank Milik Negara, Bank Koperasi dan Bank Swasta.

Namun pada Undang-undang yang baru, Undang-undang Perbankan tahun 1992, jenis bank hanya dilihat dari segi fungsinya saja. Dimana hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (1), yang terdiri dari :17 a. Bank Umum, yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu

lintas pembayaran (pasal 1 butir 2).

b. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (pasal 1 butir 3).

4. Dasar Hukum Kredit Bank

Pengaturan perbankan pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, dimulai ketika dilakukan nasionalisasi perusahaan perbankan kolonial yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap De Javasche Bank N.V., yang mana bank ini merupakan bank sentral yang bersifat pertikelir dan merupakan milik pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pemodal. Nasionalisasi ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. pada tanggal 15 Desember 1951. Pengundangan UU ini menjadi sejarah terhadap pengambilalihan bank sentral dari tangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda ke tangan Pemerintah Republik Indonesia

17Supramono, Gatot “


(33)

sekaligus awal dimana Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Sebagaimana judul undang-undang tersebut, dalam undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal terkait dengan perubahan nama, pengambilalihan saham dan modal, dan hal teknis lainnya dalam melaksanakan nasionalisasi De Javasche Bank N.V. tersebut menjadi Bank Indonesia. Oleh karenanya, dalam undang-undang ini tidak ada mengatur bahkan menyebut mengenai kredit bank yang merupakan kegiatan usaha perbankan yang diawasi oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pasca nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terhadap De Javasche Bank N.V., pada tanggal 2 Juni 1953 Pemerintah kembali mengesahkan dan mengundangkan Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur mengenai tugas, pengurus, neraca, laba, dan hal pokok lainnya terkait Bank Indonesia. Pada undang-undang ini, kata-kata kredit telah disebutkan pada Pasal 7 ayat (3) sampai dengan ayat (5), Pasal 7 ayat (5) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 ini memerintahkan agar Pemerintah segera membentuk suatu peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengawasan terhadap urusan kredit secara khusus. Dan dengan didasari ayat (5) tersebut, maka pada tangga l 4 Februari 1955 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit yang kemudian


(34)

mengalami perubahan dan penambahan beberapa pasal dengan pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit pada tanggal 2 Mei 1964. Kemudian pada tahun 1966 tepatnya pada tanggal 5 Juli 1966, ditetapkanlah Ketetapan MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memerintahkan untuk dilakukannya perbaikan kemerosotan perekonomian negara yang disebabkan oleh tata kelola negara yang salah serta pemberontakan gerakan kontra revolusi G.30.S/PKI dan juga penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu target pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan dalam Tap MPRS tersebut adalah sektor perbankan, sebagaimana Pasal 55 yang berbunyi:

“Dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya

dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Bank Sentral.”

Atas perintah Tap MPRS ini terutama Pasal 55 tersebut, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan pada tanggal 30 Desember 1967 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral pada tanggal 7 Desember 1968. Kredit perbankan dalam undang-undang


(35)

perbankan mulai mendapat perhatian yang terlihat pengaturannya dalam UU ini yakni pada Bab V mengenai Usaha-Usaha Perbankan; Pasal 23 sampai Pasal 25 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Umum; Pasal 26 sampai Pasal 27 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Tabungan; serta Pasal 28 dan Pasal 29 untuk kredit yang diberikan oleh BankPembangunan.

Pada Bab V ini, jumlah kredit yang dapat dapat diberikan oleh masing-masing bank tersebut harus berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercamtum pada Pasal 25 ayat (1) untuk Bank Umum, Pasal 27 untuk Bank Tabungan, dan Pasal 29 ayat (2) untuk Bank Pembangunan. Hal ini mengandung arti bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sekaligus kewenangan untuk menetapkan jumlah atau besaran kredit yang dapat diberikan oleh bank-bank yang telah disebutkan itu. Dengan demikian pada masa berlakunya Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan ini, Bank Indonesia memiliki tugas dan kewenangan hanya sebatas penetapan jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank dimaksud.

Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas, mendorong dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan tujuan agar perbankan nasional dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat guna menunjang pelaksanaan pembangunan


(36)

nasional. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undamg-Undang Pokok-Pokok Perbankan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk mengenai pengaturan kredit perbankan. Sehingga kredit sebagai kegiatan usaha perbankan dijalankan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kredit perbankan secara khusus menyebabkan pengaturan kredit tersebut bergantung kepada UU perbankan sebagai lembaga penyalur kredit perbankan itu sendiri.

Hingga kini, yang menjadi dasar hukum pemberian kredit perbankan di Indonesia yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dimana peraturan pelaksana kredit secara teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan lebih lanjut diatur dalam peraturan masing-masing bank.

B. Pengertian dan unsur-unsur Kredit

Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank


(37)

dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.18

Dari pengertian di atas dapatlah dijelaskan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya di ukur dengan uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima kredit (debitur), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut:

1. Kepercayaan

Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu di masa datang.19

2. Kesepakatan

Di samping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit.

18Kasmir, “

Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2011), hal. 96.

19Kasmir, “

Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2011), hal. 98.


(38)

Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing-masing-masing. 3. Jangka Waktu

Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bias berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang.

4. Risiko

Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja.

5. Balas Jasa

Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.

C. Tujuan dan Fungsi Kredit

Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pemberian kredit tersebut tidak akan terlepas dari misi bank tersebut


(39)

didirikan. Adapun tujuan utama pemberian suatu kredit adalah sebagai berikut:

1. Mencari keuntungan

Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank. Jika bank yang terus menerus menderita kerugian, maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidasi (dibubarkan).

2. Membantu usaha nasabah

Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dan investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluaskan usahanya.

3. Membantu pemerintah

Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor.

Kemudian disamping tujuan di atas suatu fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan daya guna uang

Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang


(40)

berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.

2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.

3. Untuk meningkatkan daya guna barang

Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat.

4. Meningkatkan peredaran barang

Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayahh lainnya sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar.

5. Sebagai alat stabilitas ekonomi

Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dapat pula kredit membantu dalam mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri sehingga meningkatkan devisa negara.


(41)

6. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan

Semakin banyak kredit yang disalurkan, akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja sehingga dapat pula mengurangi pengangguran, Di samping itu, bagi masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan pendapatannya seperti membuka warung atau menyewa rumah kontrakan atau jasa lainnya.

7. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha

Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan. 8. Untuk meningkatkan hubungan internasional

Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit. Pemberian kredit oleh negara lain akan meningkatkan kerja sama di bidang lainnya.

D. Jenis-Jenis Kredit Dan Jaminan Kredit

Kredit yang diberikan bank umum dan bank perkreditan rakyat untuk masyarakat terdiri dari berbagai jenis. Secara umum jenis-jenis kredit antara lain sebagai berikut:

a. Kredit Investasi

Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi.


(42)

b. Kredit modal kerja

Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya.

Seperti sudah dibahas diatas bahwa kredit dapat diberikan dengan jaminan atau tanpa jaminan. Kredit tanpa jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat jika nasabah mengalami suatu kemacetan, maka akan sulit untuk menutupi kerugian terhadap kredit yang disalurkan. Sebaliknya dengan jaminan kredit relatif lebih aman mengingat setiap kredit macet akan dapat di tutupi oleh jaminan tersebut.

Adapun jaminan yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut:

1. Dengan jaminan

a. Jaminan benda berwujud, yaitu barang-barang yang dapat dijadikan jaminan seperti tanah, bangunan, kendaraan bermotor, mesin-mesin/peralatan, barang dagangan, tanaman/kebun/sawah dan lainnya.

b. Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda-benda yang merupakan surat-surat yang dijadikan jaminan seperti sertifikat saham, sertifikat obligasi, sertifikat tanah, sertifikat deposito, rekening tabungan yang dibekukan, rekening giro yang dibekukan, promes, wesel dan surat tagihan lainnya.


(43)

c. Jaminan orang

Yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit tersebut macet, maka orang yang memberikan jaminan itulah yang menanggung risikonya.

2. Tanpa Jaminan

Kredit tanpa jaminan maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan bukan dengan jaminan barang. Biasanya diberikan untuk perusahaan yang benar-benar bonafit dan profesional sehingga kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil. Dapat pula kredit tanpa jaminan hanya dengan penilaian terhadap prospek usahanya atau dengan pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha ekonomi lemah.

E. pihak pihak dalam perjanjian kredit

Dalam suatu perjanjian kredit terdapat 2 (dua) pihak yaitu pemberi kredit (bank) dan penerima kredit. Adapun kriteria dari kedua pihak tersebut adalah sebagai berikut:20

a. Pihak Pemberi Kredit (Bank)

Pemberi kredit ini dapat dilakukan oleh bank pemerintah dan bank swasta. Dalam Pasal 1 sub 2 Undang-undang No. 10 tahun 1998 dinyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka

20Jatmiko Winarno, ”

SK Pegawai Negeri Sebagai Jaminan Kredit di Bank” Jurnal Karya


(44)

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Didalam akta perjanjian kredit bank yang pada umumnya mengatur mengenai hak dan kewajiban bank namun didalam kenyataan yang lebih menonjol adalah ketentuan mengenai hak dibanding dengan ketentuan mengenai kewajiban dari bank, karena dalam hal ini perjanjian hanya ditentukan secara sepihak oleh pemberi kredit.

b. Pihak Penerima Kredit

Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 pasal l ayat 18 terdapat adanya pengertian penerima kredit/nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-undang No. 10 tahun 1998 menyatakan bahwa penerima kredit mempunyai kewajiban pokok melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu, dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

F. Syarat Sahnya Perjanjian kredit

Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi 4 (empat) unsur seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu,


(45)

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyektif atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena mengenai syarat obyek perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dan syarat obyektif, sebab dalam syarat obyektif jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian ini batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan, jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya tidak bebas. Perjanjian demikian dinamakan Voidable.

G. Kredit Macet

Dalam prosesnya nasabah-nasabah yang memperoleh kredit dari bank tidak seluruhnya dapat mengembalikan dengan baik tepat pada waktuya, sebagian nasabah tidak bisa mengembalikan kredit kepada bank yang telah meminjamnya. Akibat nasabah tidak dapat membayar lunas utangnya, maka perjalanan kredit terhenti atau macet.

Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut wanprestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan


(46)

perjanjian pinjam uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas utangnya setelah jangka waktunya habis, adalah wanprestasi.21

Dalam kredit macet ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain :

1. Berasal dari nasabah

a. Nasabah menyalahgunakan kredit yang diperolehnya.

Dimana nasabah memperjanjikan tujuan kreditnya namun nasabah menyimpang. Misalnya kredit nasabah diperuntukan untuk jasa pengangkutan, tetapi dipergunakan untuk usaha pertanian.

b. Nasabah kurang mampu mengelola usahanya.

Hal ini terjadi kepada nasabah yang tidak memiliki cukup kemampuan dibidang usahanya namun nasabah mampu meyakinkan pihak bank untuk memberikan kredit. Oleh karena itu usaha yang dijalankan menghasilkan produksi yang kualitasnya rendah sehingga tidak mampu bersaing.

c. Nasabah tidak beritikad baik.

Dimana nasabah ini dari awal sudah mempunyai itikad buruk, dengan menghindari pembayaran kredit sebelum jatuh tempo dengan cara melarikan diri atau menghindari tanggung jawab dengan segala daya dan upaya.

2. Berasal dari bank

a. Persaingan antar bank.

21

Supramono, Gatot “Perbankan dan Masalah Kredit” (Jakarta:Djambatan, 1996) hal.131


(47)

Jumlah bank yang beroperasi terus meningkat menyebabkan persaingan antar bank kian ketat. Dalam melakukan persaingan tersebut bank selalu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat agar mendapatkan nasabah yang banyak dan nasabah yang sudah ada tidak berpaling ke bank lainnya. Dalam kondisi seperti ini banyak bank yang bertindak spekulatip, dengan memberikan fasilitas yang mudah untuk nasabahnya dengan mengabaikan prinsip-prinsip perbankan yang sehat.

b. Hubungan ke dalam.

Hubungan ini banyak terjadi dilingkungan bank swasta. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan bank dengan perusahaan perusahaan yang tergabung dalam kelompoknya dan juga hubungan dengan para pengurus serta pemegang saham. Dari hubungan tersebut bank cenderung setia melayani nasabah yang mempunyai hubungan dalam ini dengan segala kemudahan walaupun proyek yang dibiayai kurang menguntungkan. Itulah yang menjadi salah satu faktor jatuhnya usaha bank.

c. Pengawasan.

Pengawasan dilakukan baik oleh bank itu sendiri melalui bagian pengawasan kredit maupun oleh Bank Indonesia. Terlepas dari pengawasan yang dilakukan, apabila pengawasan lemah maka prinsip-prinsip perbankan tidak dapat dijalankan dengan baik.


(48)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA DAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (SK PNS)

A. PENGERTIAN PERJANJIAN KERJA.

Perjanjian kerja mempunyai manfaat yang sangat besar bagi para pihak yang membuat perjanjian kerja tersebut, karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan di taati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan dalam bekerja serta menjadi jaminan akan kepastian hak dan kewajiban para pihak yang terkait. Dengan demikian produktivitas dapat meningkat sehingga para pengusaha dapat mengembangkan perusahaannya menjadi lebih luas dan membuka lapangan kerja yang baru, maka berarti pula ikut dalam berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Perjanjian kerja yang baik memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:22

1. Menerbitkan suatu hubungan yang diperatas, yaitu hubungan antar pekerja dan atasan. Dimana pihak yang satu berhak memberikan perintah – perintah kepada pihak yang lain bagaimana pekerja harus melakukan pekerjaannya.

2. Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa uang, tetapi ada juga (sebagian) berupa pengobatan dengan percuma, kendaraan, makanan, penginapan, pakaian, dan sebagainya.

22

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubugan Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 23.


(49)

3. Dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah satu pihak.

Dalam undang-undang ketenagakerjaan memang tidak dijumpai syarat-syarat seorang pengusaha berhak atau tidak membuat perjanjian kerja, dan tidak ada tentang syarat seseorang berhak atau tidak menjadi pengusaha. Oleh karena itu untuk meninjau hal ini harus kembali melihat ketentuan KUH perdata di dalam pasal 1330 KUH perdata dimana orang yang belum dewasa, orang yang dalam pengampuan dan orang gila tidak berhak membuat suatu persetujuan, terlebih lagi menjadi seorang pengusaha.

B. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN KERJA.

Setiap perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis dan lisan. Dalam perjanjian kerja tertulis maupun lisan, harus dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini adalah syarat syarat dalam membuat perjanjian kerja:23

1. Kesepakatan kedua belah pihak

2. Kemempuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. 3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan

4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

23

Repubik Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pasal 52.


(50)

Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak ataupun salah satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian tersebut bisa dibatalkan. Sedangkan jika perjanjian tersebut dibuat tanpa adanya pekerjaan yang diperjanjikan ataupun pekerjaan yang diperjanjikan melanggar ketertiban hukum, kesusilaan, dan undang-undang yang berlaku, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:24

1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha. 2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja. 3. Jabatan atau jenis pekerjaan.

4. Tempat pekerjaan.

5. Besarnya upah dan cara pembayarannya.

6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja.

7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja. 8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.

9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Perjanjian kerja harus dibuat sekurang-kurangnya rankap dua, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja maupun pengusaha masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.

24

Repubik Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pasal 54.


(51)

C. JENIS-JENIS PERJANJIAN KERJA.

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa indonesia dan huruf latin serta harus memenuhi syarat-syarat, antara lain:

a. Harus mempunyai jangka waktu tertentu.

b. Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam kurun waktu tertentu. c. Tidak mempunyai syarat-syarat masa percobaan.

Jika perjanjian kerja untuk waktu tertentu bertentangan dengan ketentuan diatas maka perjanjian tersebut akan dianggap sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.

c. Pekerjaan yang bersifat musiman.

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.


(52)

Untuk perusahaan yang ingin memperpanjang jangka waktu paling lambat tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir memberitahukan secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

Perjanjian untuk waktu tidak tertentu adalah suatu perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki jangka waktu berlakunya. Dengan demikian maka perjanjian kerja waktu tidak tertentu akan berlaku terus sampai:

a. Pihak pekerja memasuki usia pensiun.

b. Pihak pekerja diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan karena membuat kesalahan.

c. Pekerja meninggal dunia.

d. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja telah melakukan tidak pidana sehingga perjanjian kerja tidak dapat dilanjutkan.

Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu tidak akan berakhir dikarenakan pengusaha atau pemilik perusahaan meninggal atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh penjualan perusahaan, pewarisan perusahaan ataupun dihibahkannya perusahaan tersebut. Apabila hal itu terjadi maka hak para pekerja beralih menjadi tanggung jawab pengusaha yang baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian peralihan yang tidak mengurangi hak-hak para pekerja. Namun apabila pengusaha meninggal dunia dan mewarisi


(53)

perusahaannya ahli waris dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah melakukan perundingan kepada pekerja yang bersangkutan.

Tidak seperti perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulias maupun lisan. Namun apabila perjanjian dibuat secara lisan, pengusaha harus membuat surat pengangkatan bagi para pekerja, dengan sekurang kurangnya memuat tentang:25

a. Nama dan alamat pekerja. b. Tanggal mulai bekerja. c. Jenis pekerjaan.

d. Besarnya upah.

D. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA

1. Kewajiban pekerja.

Dalam KUH perdata pasal 1603d dinyatakan bahwa pekerja yang baik adalah :

“pekerja yang menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan

baik, yang dallam hal ini kewajiban untuk elakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan sama, seharusnya

dilakukan atau tidak dilakukan”

Selanjutnya dalam KUH perdata (yang sampai sekarang dipakai sebagai pedoman) dirinci kewajiban pekerja sebagai berikut :

25

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubugan Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 74.


(54)

a. Pekerja berkewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya.

b. Pekerja atau buruh berkewajiban melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seijin pengusaha pekerja bisa menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.

c. Pekerja wajib taat terhadap peraturan mengenai hal melakukan pekerjaannya.

d. Pekerja yang tinggal pada pengusaha, wajib berkelakuan baik menurut tata tertib rumah tangga pengusaha.

Selain itu pekerja berkewajiban melakukan tugas-tugas antara lain sebagai berikut:

Melakukan pekerjaan.

Pengertian pekerjaan dan seperti apa pekerjaan yang haru dikerjakan oleh pekerja atau buruh tidak dijumpai dalam peraturan ketenagakerjaan(Undang-undang No.13 Tahun 2003). Pekerjaan yang diperjanjikan oleh pekerja atau buruh harus dikerjakan sendiri oleh pekerja tersebut, apalagi kalau pekerjaan itu adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu akan menimbulkan ketidakmungkinan untuk diganti oleh orang lain, tidak bisa pula pekerja tersebut menyuruh salah seorang keluarganya untuk menggantikannya masuk bekerja apabila pekerja berhalangan masuk.


(55)

Petunjuk pengusaha.

Petunjuk pengusaha adalah petunjuk-petunjuk yang harus diperhatikan oleh pekerja dalam menjalankan pekerjaannya. Petunjuk petunjuk inidiberikan oleh penguasa atau oleh orang yang dikuasakan untuk itu selama pekerja tersebut melaksanakan pekerjaannya. Sebetulnya ketentuan tentang adanya petunjuk pengusaha dalam melaksanakan pekerjaan ini didasarkan atas ketentuan KUH perdata, khususnya pasal 1603b yang menentukan

bahwa : “buruh wajib menaati aturan tentang hal melaksanakan

pekerjaan dan aturan yang ditujukan kepada perbaikan tata tertib dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh orang atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan

perundang-undangan, atau bila tidak ada, menurut kebiasaan.”26

Namun kita mempunyai pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar falsafah negara. Pancasila itu harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, termasuk dalam kehidupan ketenagakerjaan, maka ketentuan pasal 1603b khususnya dan ketentuan KUH perdata bab 7a umumnya harus diserasikan dengan pancasila.

Dengan adanya hubungan pancasila ini, jelaslah bagaimana kedudukan KUH perdata sekarang di dalam dunia ketenagakerjaan kita. KUH perdata sekarang hanya dapat dipakai sebagai pedoman, itupun bagi ketentuan yang serasi dengan hubungan pancasila,

26


(56)

sedangkan yang tidak sesuai dibuang atau dengan kata lain tidak berlaku lagi.

2. Kewajiban pengusaha.

Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan atau perjanjian kerja dengan pekerjanya adalah membayar upah atau gaji kepada pekerja. Namun selain membayarkan gaji atau upah tersebut perusahaan juga berkewajiban memberikan surat keterangan kepada pekerjanya yang dengan kemauan sendiri hendak berhendi dari pekerjaan yang ia kerjakan di dalam perusahaan. Dengan begitu perusahaan mempunyai dua kewajiban yang harus dipenuhi terhadap para pekerjanya, yaitu:

a. Membayar upah.

Dalam melakukan pekerjaan ada beberapa makna yang dapat diperoleh oleh pekerja, antara lain dari segi indidu merupakan gerak dari badan dan pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup badaniah dan juga rohania sedangkan ditinjau dari segi sosial adalah melakukan pekerjaan untuk menghasilkanbarang ataupun jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat luas. Selain itu ditinjau dari segi spiritual merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memulihkan dan mengabdi kepada Tuhan Yang Masa Esa.


(57)

Oleh karena itu pembayaran gaji ataupun upah oleh perusahaan sangatlah memegang peranan penting karena untuk memelihara kelangsungan hidup badaniah dan rohaniah.

1) Pengertian upah.

Secara umum upah adalah pembayaran yang di terima oleh pekerja selama ia melakukan pekerjaan ataupun dipandang melakukan pekerjaan. Namun menurut Pasal 1

angka 30 UU No.13 Tahun 2003 upah adalah “hak pekerja

yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu pejanjian kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atau suatu

pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan”27

Walaupun demikian, upah bagi masing-masing pihak adalah suatu hal yang berbeda. Bagi pengusaha upah adalah biaya produksi yang harus dikeluarkan dan ditekan pengeluarannya serendah rendahnya agar harga barang yang di produksi tidak terlalu tinggi. Namun bagi para pekerja upah adalah sejumlah uang yang mereka terima pada waktu tertentu, yang lebih pentting lagi adalah jumlah barang

27

Repubik Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 1 Anga 30.


(58)

kebutuhan hidup yang mereka bisa dapatkan dengan uang upah atau gaji yang telah mereka dapatkan.

2) Jenis jenis upah.

a. Upah nominal.

Upah nominal adalah upah yang diterima oleh para pekerja dengan tunai sesuai dengan pengarahan jasa-jasa atau pelayanan dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.

b. Upah nyata.

Upah nyata adalah uang nyata yang harus benar-benar diterima oleh pekerja yang berhak. Biasanya upah nyata ditentukan oleh daya belu upah tersebut seperti besar kecilnya uuang tersebut ataupun besar kecilnya biaya hidup yang diperlukan.

c. Upah hidup.

Upah hidup ialah upah yang relatif cukup untuk memenuhi keperluan hidup secara luas para pekerja yang berhak menerima upah tersebut. Tidak hanya kebutuhan pokoknya saja, namun juga kebutuhan sosialnya sperti asuransi,rekreasi dan juga pendidikan.

d. Upah minimum.

Upah minimum adalah upah terendah yang dijadikan sebagai standardoleh pengusaha dalam menentukan upah


(59)

yang sebenarnya dari pekerja yang bekerja di perusahaanya. Upah minimum ini biasanya ditentukan oleh pemerintah daerah atau gubernur. Oleh karena itu setiap daerah memiliki upah minimum yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah tersebut.

b. Memberikan surat keterangan.

Kewajiban perusahaan memberikan surat keterangan ini dapat dikatakan sebagai kewajiban tambahan untuk para pengusaha.. Surat keterangan ini biasanya dibutuhkan unutuk pekerja yang berhenti bekerja pada suatu perusahaan sebagai tanda bukti pengalaman kerjanya yang berisi nama pekerja, tanggal mulai bekerjadan tanggal berhenti bekerja serta jenis pekerjaan yang pekerja lakukan di perusahaan tempat ia bekerja. Oleh karena itu apabila seorang pekerja hendak berhenti bekerja dan meminta surat keterangan tersebut maka perusahaan wajib memberikan surat keterangan yang diminta. Apabila perusahaan menolak memberikan surat keterangan yang diminta, maka perusahaan harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pekerja tersebut. Hal ini sesuai

dengan Pasal 1602 y KUH perdata “pengusaha yang baik

wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusanya dilakukan atau tidak


(60)

dilakukan dalam lingkungan perusahaannya” dengan kata lain perusahaan harus bijak dalam berbuat dan bertindak terhadap para pekerjanya.

E. SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

1. Pengertian Pegawai Negeri

Di dalam masyarakat yang selalu berkembang, manusia senantiasa mempunyai kedudukan yang makin penting, meskipun negara Indonesia menuju kepada masyarakat yang berorientasi kerja, yang memandang kerja adalah sesuatu yang mulia, tidaklah berarti mengabaikan manusia yang melaksanakan kerja tersebut.

Demikian juga halnya dalam suatu organisasi, unsur manusia sangat menentukan sekali karena berjalan tidaknya suatu organisasi kearah pencapaian tujuan yang ditentukan tergantung kepada kemampuan manusia untuk menggerakkan organisasi tersebut ke arah yang telah ditetapkan.

Manusia yang terlibat dalam organisasi ini disebut juga pegawai. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan pendapat beberapa ahli mengenai defenisi pegawai. A.W. Widjaja berpendapat bahwa,

“Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah

maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok dalam usaha


(61)

kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi).”28

Selanjutnya A.W. Widjaja mengatakan bahwa, “Pegawai adalah

orang-orang yang dikerjakan dalam suatu badan tertentu, baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam badan-badan usaha.”29

Sedangkan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah ”Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesiayang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabatyang berwenang dan diserahi tugas negara lainnya, dan digajiberdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Dari pengertian diatas bahwa setiap warga negara berhak untukmenjadi pegawai negeri sipil sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, dan dapat diangkat oleh pejabat yang berwenang dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri.

2. Jenis-jenis Pegawai Negeri

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 jenis Pegawai Negeri terdiri dari:

a) Pegawai Negeri Sipil ;

28

A.W.Widjaja, Administraasi Kepegawaian. Rajawali, 2006, hal.113. 29


(62)

b) Anggota Tentara Nasional Indonesia ;

c) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil juga dibedakan menjadi dua yaitu Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000, pengertian Pegawai Negeri Sipil Pusat disebutkan :

”Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang

gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Kejaksaan Agung, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Militer, Sekretariat Presiden, Sekretariat Wakil Presiden, Kantor Menteri Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara, Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal didaerah Propinsi / Kabupaten / Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk

menyelenggarakan tugas negara lainnya”.

Demikian pula menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang dimaksud Pegawai Negeri Sipil Daerah :

”Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil


(63)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada

pemerintahan daerah, dipekerjakan diluar instansi induknya”.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang melalui Kantor Pusat maupun Daerah Propinsi / Kabupaten / Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara / Daerah dan bekerja pada Pemerintahan, atau diperkerjakan diluar instansi induknya.

3. Tugas dan fungsi pegawai negeri sipil

Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Sehubungan dengan kedudukan Pegawai Negeri maka baginya dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan sudah tentu di samping kewajiban baginya juga diberikan apa-apa saja yang menjadi hak yang didapat oleh seorang pegawai negeri.

Pada Pasal 4 Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian setiap pegawai negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintahan. Pada umumnya yang dimaksud dengan kesetiaan dan ketaatan adalah suatu tekad dan kesanggupan dari seorang pegawai negeri untuk


(64)

melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara, abdi masyarakat wajib setia dan taat kepada Pancasila, sebagai falsafah dan idiologi negara, kepada UUD 1945, kepada Negara dan Pemerintahan. Biasanya kesetiaan dan ketaatan akan timbul dari pengetahuan dan pemahaman yang mendalam, oleh sebab itulah seorang Pegawai Negeri Sipil wajib mempelajari dan memahami.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1974 (pasal ini tidak diubah oleh UU No.43 Tahun 1999) Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan setiap pegawai negeri wajib mentaati segala peraturan perundangan yang berlaku dan melaksanakan kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian kesadaran dan tanggung jawab. Pegawai Negeri Sipil adalah pelaksana pearturan perundang-undangan, sebab itu maka seorang Pegawai Negeri Sipil wajib berusaha agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh anggota masyarakat.

Sejalan dengan itu pegawai negeri sipil berkewajiban memberikan contoh yang baik dalam mentaati dan melaksanakan segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam melaksankan peraturan perundang-undangan, pada umumnya kepada pegawai negeri diberikan tugas kedinasan untuk melaksanakan dengan baik. Pada pokoknya pemberian tugas kedinasan itu adalah


(65)

merupakan kepercayaan dari atasan yang berwenang dengan harapan bahwa tugas itu nantinya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Maka Pegawai Negeri Sipil dituntut penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas kedinasan.

Kedinasan lain sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil wajib menyimpan rahasia jabatan dan seorang pegawai negeri dapat mengemukakan rahasia jabatan atas perintah perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undang-undang (Pasal 6 Undang-Undang No.8 Tahun 1974 tidak dicabut oleh UU No.43 Tahun1999).

Yang dimaksud dengan rahasia adalah: rencana, kegiatan yang akan, sedang atau telah dilakukan yang dapat mengakibatkan kerugian yang besar atau dapat menimbulkan bahaya, apabila diberitahukan atau diketahui oleh orang yang tidak berhak. Rahasia jabatan adalah rahasia mengenai atau ada hubungannya dengan jabatan. Rahasia jabatan dapat berupa dokumen tertulis seperti surat, notulen rapat, peta dan dapat juga berupa keputusan lisan dari seorang atasan. Dilihat dari sudut pentingnya, maka rahasia jabatan ditentukan tingkat klasifikasinya seperti:

a. Sangat rahsia b. Rahasia


(1)

Dalam hal eksekusi pembayaran uang Pengadilan negeri akan melakukan sita eksekusi yaitu melakukan penyitaan terhadap barang-barang tergugat baik bergerak ataupun tidak bergerak. Penyitaan terhadap barang-barang tergugat dilakukan sampai dianggap cukup sebagai pengganti jumlah yang harus dibayar ditambah jumlah biaya menjalankan eksekusi.

5. Penjualan Lelang

Penjualan lelang harus dilakukan dengan perantaraan Kantor Lelang hal ini sesuai dengan pasal 200 ayat 1 HIR (Herziene Inlansch Reglemet). Dari pasal 200 ayat 1 HIR (Herziene Inlansch Reglemet) ini dapat diperinci sebagai berikut :

1. Penjualan di muka umum harta kekayaan tergugat yang telah dieksekusi.

2. Penjualan di muka umum hanya boleh dilakukan di depan juru lelang. 3. Cara penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat

menurut melalui penawaran secara tertulis.

4. Sebelum lelang dilakukan maka lelang tersebut harus diumumkan terlabih dahulu. Pengumuman lelang biasa dimuat dalam surat kabar.

Dari hasil lelang tersebut diambilkan untuk pemenuhan piutang tergugat . piutangnya meliputi tagihan pokok tergugat ditambah biaya eksekusi. Jika dari hasil lelang ini masih kurang maka ketua Pengadilan Negeri berhak memerintahkan eksekusi lanjutan terhadap harta kekayaan tereksekusi.

Tetapi jika hasil lelang telah cukup dan bahkan lebih untuk membayar tagihan pokok biaya eksekusi maka kelabihannya dikembalikan kepada tereksekusi. Sedangkan lelang menurut PUPN lain


(2)

89

lagi. PUPN juga berhak melakukan persitaan terhadap barang debitur dan melakukan lelang. Setelah PUPN menyita barang-barang debitur, PUPN akan mengumumkan lelang tersebut dalam surat kabar, baru lelang dilakukan. Pada waktu lelang dilakukan pihak bank dapat diundang untuk mengahadiri lelang tersbut. Hasil lelang itu harus memenuhi jumlah piutang debitur.

Penyelesaian hukum ini untuk melindungi bank dari kerugian yang ditimbulkan akibat wanprestasi yang dilakuakan oleh debitur. Sedang bagi debitur juga ada manfaatnya yaitu supaya debitur tidak mendapat perbuatan sewenang-wenang dari bank. Dengan jalur hukum ini debitur akan mendapat perlindungan hukum karena kreditur tidak dapat bertindak diluar aturan hukum yang ada.


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mekanisme perjanjian kredit dengan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil di Bank Rakyat Indonesia terbilang cukup mudah. Calon debitur hanya diminta menyerahkan permohonan pinjaman yang dapat diajukan ke kantor cabang Bank Rakyat Indonesia di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki kerjasama oleh intansi tempat calon debitur.

2. Langkah-langkah awal yang dilakukan oleh kreditur apabila debitur wanprestasi adalah melalui jalur non litigasi atau jalur kekeluargaan dimana pihak bank melakukan pengamatan mendalam terhadap sebab-sebab debitur wanprestasi, mencari apa saja faktor penghalang debitur dalam melaksanakan kewajibannya serta bagaimana solusi yang tepat agar debitur bisa melanjutkan kewajibannya kembali.

3. Jika jalur kekeluargaan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, maka kreditur melakukan jalur hukum. Dimana kreditur menggugat debitur ke pengadilan untuk mendapatkan hak-haknya. Krditur bisa memilih proses hukum yang akan dilakukannya, melalui PUPN (panitia Urusan Piutang Negara) atau melalui Pengadilan Negeri yang berhujung kepada penyitaan harta kekayaan sesuai dengan besaran hutang debitur.


(4)

91

B. Saran.

1. Perjanjian kredit sebaiknya diseragamkan dalam suatu bentuk perjanjian kredit yang telah disahkan oleh pemerintah. Perjanjian kredit tersebut sebaiknya langsung mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang sama dengan putusan pengadilan yang dapat langsung dilaksanakan eksekusinya.

2. Dapatkan jaminan tambahan. Tindakan ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Karena kreditur (bank) memperoleh jaminan yang kuat secara yuridis dari debitur.

3. Sertakan pihak ketiga atau asuransi dalam perjanjian kredit agar apabila debitur wanprestasi pihak ketiga atau pihak asuransi mampu melunasi utang debitur, sehingga bank tidak mengalami kerugian.


(5)

Asyhadie Zaeni. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubugan Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.

A.W.Widjaja. Administraasi Kepegawaian. Rajawali. 2006.

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. 2007.

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011. Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis, Bandung. Alumni. 1994.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2007.

Muhammad,Djumhana. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

2000.

Johannes Ibrahim. Cross Default Dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah. Bandung : Refika Aditama. 2004.

Peter M Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2011. Ruddy, Tri Santoso. Kredit Usaha Perbankan. Yogyakarta. 1996.

Satrio. Hukum Jaminan, Hukum Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. PT Citra Aditya Bakti Bandung. 1997.

Suyatno. dkk. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta : STIE Perbanas. 1999.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers. Jakarta. 2001.

Usman,Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia

Putaka Utama. 2004.

Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. 2003.

Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad. Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2004.


(6)

Perturan Perundang-undangan dan Peraturan Lainnya:

Repubik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor

43 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974.

Repubik Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003.

Repubik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 Perubahan Atas Pertaturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Perubahan Atas Pertaturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 Tentang wewenang pengangkatan pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.


Dokumen yang terkait

Mekanisme objek agunan kredit pada Bank Rakyat Indonesia dengan jaminan surat keputusan pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintahan daerah khusus ibukota Jakarta

0 8 104

TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT BANK PASAR KABUPATEN KLATEN

0 2 95

ASPEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL ASPEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi di PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi Unit Palur).

0 1 12

PENDAHULUAN ASPEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi di PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi Unit Palur).

0 2 16

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 8

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 1

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 32

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 3

Penyelesaian Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Surat Keputusan Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Dipecat (Studi Pada PT. Bank Aceh Cabang Kota Sabang)

0 0 13