Pengertian Implementasi Pendidikan dan Kekerasan

9

BAB II KAJIANPUSTAKA

A. Pengertian Implementasi

Implementasi dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang telah disusun secara matang dan terperinci. Pada umumnya, implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan telah dianggap sempurna. Menurut Nurdin Usman 2002:70 dalam bukunya Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, memaparkan bahwa implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implementasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan. Senada dengan pendapat sebelumnya, Guntur Setiawan 2004:39 dalam Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya mengenai sebuah definisi implementasi, yakni, implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif. Sedangkan menurut ahli lain, Hanifah Harsono 2002:67 dalam Implementasi Kebijakan dan Politik berpendapat bahwa implementasi ialah suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik kedalam administrasi. Pengembangan suatu kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program. 10

B. Pendidikan dan Kekerasan

1. Pengertian Pendidikan Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan sekolah, perguruan tinggi atau lembaga- lembaga lain, dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai keterampilan, dan generasi ke generasi Dwi Siswoyo dkk, 2008:18. Ki Hajar Dewantara dalam buku Dwi Siswoyo, dkk 2008:18-19 mengatakan yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan yang setinggi- tingginya. Selanjutnya menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dari proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangakan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara Dwi Siswoyo,dkk:2008:19 Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia1991 Pendidikan diartikan sebagai pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan 11 pelatihan. Adapun pendapat lain yaitu Poerbakawatja dan Harahap menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya Sugiharto dkk, 2007 ; 3. 2. Tujuan Pendidikan Bagi bangsa Indonesia, tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pendidikan seperti UU No. 20 tahun 2003, adalah tujuan umum atau tujuan pendidikan nasional bagi kegiatan pendidikan di Indonesia. Menurut pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tujuan pendidikan nasional yaitu “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhalak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggun g jawab” Dwi siswoyo dkk, 2008:82 Adapun tujuan pendidikan, M.J Langeveld dalam buku Dwi Siswoyo dkk, 2008:81-82 mengemukakan ada enam tujuan pendidikan, yaitu: a. Tujuan Umum, adalah tujuan yang paling akhir dan merupakan keseluruhankebulatan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan. Bagi Lavengeld tujuan umum atau tujuam akhir akhirnya adalah kedewasaan, yang salah satu cirinya adalah telah hidup dengan pribadi mandiri. Untuk orang atau ahli lain tujuan umum atau akhir ini dapat saja berbeda. Sedangkan menurut Notonagoro, tujuan akhir pendidikan adalah tercapainya kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan sempurna menurut Notonagoro adalah suatu keadaan yang menimbulkan 1 kepuasan yang sepuas-puasnya 2 tidak menimbulkan keinginan lagi dan 3 kekal atau abadi. 12 b. Tujuan Khusus, adalah pengkhususan tujuan umum atas dasar berbagai hal, misalnya usia, jenis kelamin, intelegensi, bakat minat, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan persyaratan pekerjaan dan sebagainya. c. Tujuan tak lengkap, adalah tujuan yang hanya menyangkut sebagian aspek kehidupan manusia. Misalnya aspek psikologis, biologis, sosiologi saja. Aspek psikologis misalnya hanya emosi atau pemikirannya saja. d. Tujuan sementara, adalah tujuan yang hanya dimaksudkan untuk sementara saja, sedangkan kalau tujuan sementara itu sudah dicapai, lalu tinggalkan dan diganti dengan tujuan yang lain. Misalnya orangtua ingin agar anaknya berhenti merokok, dengan dikurangi uang sakunya. Kalau sudah tidak merokok, lalu ditinggalkan dan diganti tujuan lain misalnya agar tidak suka bergadang. e. Tujuan Intermedier, yaitu tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. Misalnya anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar ia kelak mempunyai rasa tanggung jawab. f. Tujuan Insidental, yaitu tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, seketika, spontan. Misalnya guru menegur anak yang bermain kasar pada waktu bermain sepak bola, orang tua meminta anaknya agar duduk dengan sopan, dan sebagainya. Semuanya itu adalah tujuan insidental atau seketika. 13 3. Pengertian Kekerasan Kekerasan dalam makna pertama banyak dibahas dari aspek biologi, fisiologi, dan psikologi, ketika perilaku dimaknai sebegai sebuah kecenderungan biologis sebagai hasil bawaan atau akibat adanya faktor genetika yang mendukung munculnya kekerasan. Makna kedua mengasumsikan bahwa kekerasan bukan hanya berasal dari tindakan aktor atau kelompok melainkan dorongan biologis semata, yang diperluas oleh adanya struktur yang berperan menghasilkan kekerasan. Struktur dalam hal ini masih dimaknai secara konvensional, yaitu struktur negara dengan aparatnya. Pemaknaan ketiga berupaya melihat kekerasan sebagai serangkaian jejaring dengan dialektis antara aktor dengan struktur. Definisi ini menunjukkan adanya hubungan dialektis antara kekerasan, aktor, dan struktur, serta setiap hubungan kekerasan yang membentuk jejaring yang saling berkaitan Nanang Martono, 2012:38. Bourdieu dalam Nanang Martono2012:39 mengatakan kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka dalam proses dominasi tersebut menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi, kekerasan dan kekuasaan merupakan dua konsep tidak dapat dipisahkan. Sedangkan menurut D. Douglas dan Frances Chalut Waksler Assegaf, 2004:39-42, istilah kekerasan violence digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, secara terbuka 14 overt, maupun tertutup covert, baik yang bersifat menyerang offensive maupun bertahan deffensive. Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa indikator kekerasan. Pertama, kekerasan bersifat terbuka, yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Kedua, kekerasan yang bersifat tertutup, yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut dan tertekan. Ancaman dinilai sebagai bentuk kekerasan ketika seseorang atau suatu pihak mempercai kebenaran adanya ancaman dan tentang kemampuan pengancam untuk mewujudkan ancamannya. Akan tetapi selama ancaman tersebut belum dinyatakan, maka ia termasuk dalam kategori potensi kekerasan, atau belum menjadi kekerasan itu sendiri. Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif offensive, yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini tingkatannya lebih tinggi dari dua jenis kekuatan kekerasan sebelumnya, dan sudah masuk dalam perilaku kriminal, dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi hukum. Kekerasan kategori ini dimasukkan ke dalam kelompok kekerasan dalam pendidikan sepanjang pelaku atau korbannya membawa nama lembaga pendidikan, dan khasusnya diliput oleh media massa. Keempat, kekerasan yang bersifat defensif, yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo atau lainnya. 15 4. Kekerasan dalam Pendidikan Dalam buku Abdurrahman Assegaf, kekerasan dalam pendidikan didefinisikan sebagai sikap agresif pelaku yang melebihi kapasitas kewenangannya dan menimbulkan hak bagi si korban. Kekerasan dalam pendidikan diasumsikan terjadi sebagai akibat kondisi yang melatarbelakanginya, baik faktor internal dan eksternal, dan tidak timbul secara begitu saja, melainkan dipicu oleh suatu kejadian. Kondisi antecedent variable, faktor independent variable dan pemicu intervening variable tindak kekerasan dalam pendidikan dependent variable terangkai dalam hubungan yang bersifat spiral, dapat muncul sewaktu-waktu, oleh pelaku siapa saja yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai adanya pemicu kejadian. Eric Hoffer mengatakan, pemicu kekerasan utamanya adalah hal-hal mempersatukan gerakan massa, seperti rasa benci kolektif, perilaku meniru rekannya, bujukan pihak tertentu, karena ajakan pemimpin atau yang ditokohkan, karena adanya aksi pembuka kekerasan, adanya unsur kecurigaan, dan upaya penggalangan atau persatuan massa Assegaf, 2004 : 38. Sedangkan menurut Eric Hoffer unsur pendorong timbulnya aksi bersama adalah keterkaitan dengan kelompok gank, club, dan sebagainya, perilaku pura-pura bergaya, frustasi atau meremehkan kondisi masa kini, unsur supranatural atau “hal yang tak nampakada”, doktrin yang diyakiniya, dan karena karakter gerakan massa itu sendiri. Pelaku ataupun korban kekerasan menyangkut pihak antar gurupimpinan sekolahkampus, pelajar atau mahasiswa, dan masyarakat. Untuk mencegah terulangnya kekerasan, 16 ditawarkan solusi yang berupa penanaman nilai-nilai agama, budaya, pendidikan afektif dan humanisasi pendidikan Assegaf, 2004:38.

C. Pendidikan Humanis