IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS DI SMA NEGERI 6 YOGYAKARTA.

(1)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS DI SMA NEGERI 6 YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Afif Badawi Trisanta NIM 11110244027

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Wa man jaahada fa-innamaa yujaahidu linafsihi”

“Barang siapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya itu adalah untuk dirinya sendiri.”

(QS Al-Ankabut (29) : 6)

“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” (Penulis)


(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang kepada: 1. Ayah dan ibu tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan,

semangat, kesabaran, dan memberikan doa selama ini. 2. Almamater UNY.


(7)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS DI SMA NEGERI 6 YOGYAKARTA

Oleh

Afif Badawi Trisanta NIM 11110244027

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta yang meliputi Visi dan Misi, Kurikulum yang digunakan, proses pembelajaran, program, evaluasi, dan faktor pendukung serta faktor penghambat proses pembelajaran, program dan evaluasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis. Pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Obyek penelitian adalah SMA Negeri 6 Yogyakarta yang mana penelitian difokuskan pada proses pembelajaran humanis yang diterapkan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif Miles & Hubberman (Reduksi; Penyajian data; Penarikan kesimpulan). Keabsahan data pada penelitian ini menggunakan Triangulasi.

Pelaksanaan pendidikan humanis di SMA N 6 Yogyakarta menekankan pada cara mengajar dan bagaimana menerapkan tata aturan yang harus ditaati oleh segenap peserta pembelajaran. Pendidikan humanis yang didalamnya selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak yang dimaksud adalah hak utuk dihargai sebagai manusia yang mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang merdeka. Selain peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran juga dinstruksikan menerapkan konsep maupun pembelajaran yang humanistik yang mampu memberikan pengertian pada siswa bagaimana dalam bersikap dan dalam interaksinya dengan sesama manusia. Kata kunci: Implementasi Pendidikan Humanis, SMA Negeri 6 Yogyakarta


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, petunjuk, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS DI SMA NEGERI 6 YOGYAKARTA”ini disusun dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan S1, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari dengan segenap hati bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak/Ibu berikut ini.

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyusun skripsi ini hingga selesai.

4. Ibu Dr. Siti Irene Astuti Dwiningrum, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu guna memberi arahan dan bimbingan dengan


(9)

penuh kesabaran serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

5. Bapak Drs. Murtamadji, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan nasehat dan saran kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama di bangku perkuliahan sebagai bekal di masa sekarang dan yang akan datang.

7. Bapak Kepala SMA Negeri 6 Yogyakarta yang telah memberikan izin dan bantuan untuk mengadakan penelitian.

8. Semua pihak yang telah bersedia menjadi subjek penelitian.

9. Ayah Susanto, Ibu Suparsih, Kakak Santi dan Hatmawati, serta sahabat-sahabat dan kekasih tercinta Mousafi Julia Sandi, Dodhy Hyronimus, Irvandra Khalismaya dan Agintia Nindy Susanti yang selalu mendoakan dan memberi dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak.

Yogyakarta, 24 Januari 2017


(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL. ... i

HALAMAN PERSETUJUAN. ... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN. ... iv

HALAMAN MOTTO. ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN. ... vi

ABSTRAK. ... vii

KATA PENGANTAR. ... viii

DAFTAR ISI. ... x

DAFTAR TABEL. ... xiii

DAFTAR GAMBAR. ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN. ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. ... 1

B. Identifikasi Masalah. ... 6

C. Batasan Masalah. ... 7

D. Rumusan Masalah. ... 7

E. Tujuan Penelitian. ... 8

F. Manfaat Penelitian. ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Implementasi. ... 9

B. Pendidikan dan Kekerasan. ... 10


(11)

2. Tujuan Pendidikan. ... 11

3. Pengertian Kekerasan. ... 13

4. Kekerasan dalam Pendidikan. ... 15

C. Pendidikan Humanis. ... 16

1. Pengertian Pendidikan Humanis. ... 16

2. Tokoh-Tokoh Humanis. ... 19

3. Tujuan Pendidikan Humanis. ... 23

4. Komponen-Komponen Pendidikan Humanis. ... 25

5. Aplikasi Teori Humanistik dalm Pendidikan... 29

D. Kebijakan Pendidikan Peace Education. ... 30

1. Pengertian Kebijakan. ... 30

2. Pengertian Peace Education. ... 31

E. Penelitian yang Relevan. ... 32

F. Kerangka Berpikir. ... 35

G. Pertanyaan Penelitian. ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian. ... 39

B. Tempat dan Waktu Penelitian. ... 40

C. Sumber Data. ... 40

D. Teknik Pengumpulan Data. ... 40

E. Instrumen Penelitian... 42

F. Teknik Analisis Data. ... 43

G. Keabsahan Data. ... 45

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Deskripsi Sekolah. ... 47

B. Hasil penelitian. ... 58


(12)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan. ... 91

B. Implikasi. ... 93

C. Saran. ... 95

DAFTAR PUSTAKA. ... 96


(13)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Data ruangan di SMA Negeri 6 Yogyakarta. ... 51

Tabel 2. Data Sarana Pembelajaran di SMA Negeri 6 Yogyakart. ... 53

Tabel 3. Data Buku Perpustakaan di SMA Negeri 6 Yogyakarta. ... 55


(14)

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Kerangka Pikir. ... 38

Gambar 2. Pola Interaksi Mille‟s dan Hubberman... 45 Gambar 3. Peta Lokasi SMA Negeri 6 Yogyakarta. ... 51


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara, Observasi dan Dokumentasi. ... 99

Lampiran 2. Catatan Lapangan. ... 103

Lampiran 3. Hasil Wawancara. ... 106

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian Fakultas Ilmu Pendidikan. ... 135

Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Pemerintah Kota Yogyakarta. ... 136


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kekerasan bukan realitas yang jauh dari hidup manusia.Kekerasan adalah fakta yang menghiasi perjalanan setiap individu.Tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri dari tindakan destruktif itu.Secara umum kekerasan bukan murni karena faktor instingtual atau dorongan-dorongan naluriah manusia sebagaimana telah ditegaskan oleh kaum behavioris. Kekerasan manusia terkait dengan kondisi eksistensi manusia, yaitu situasi ketika seseorang mendapatkan hambatan untuk berkembang ke arah yang positif (Nurul Ikhsan, 31 ; 2012).

Sekolah merupakan tempat ideal untuk pendidikan anak, di mana melalui sekolah, anak merasakan kenyamanan dalam menimbah ilmu. Kendati demikian sebagian besar kultur sekolah telah terkontaminasi oleh bentuk-bentuk kekerasan yang dibawa siswa dari lingkungan luar.Kehidupan peserta didik di era globalisasi telah dibalut oleh paham moderenitas yang kian merajalela hingga berimplikasi pada menjamurnya kekerasan ke lingkungan sekolah.Bentuk-bentuk kekerasan tersebut seperti adanya penyalagunaan situs internet oleh siswa yang berimplikasi pada kekerasan yang dilakukan di sekolah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan memberi arti bagi peserta didik karena merupakan internalisasi dalam melakukan hubungan dengan sesama, sekaligus tempat untuk belajar, berinteraksi, bekerja sama, hidup berdampingan secara damai, saling memahami, menambah pengalaman hidup. Menurut


(17)

pendapat Zamroni, pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan untuk memberikan kesempatan pada peserta didik untuk memahami kehidupan sehingga kelak bisa hidup layak dan berguna bagi diri dan keluarga dan juga masyarakat. Namun pada kenyataannya, sekolah bukan menjadi tempat mencari ilmu agar menjadi manusia yang terdidik, sebaliknya sekolah dijadikan tempat untuk melampiaskan tindakan kekerasan seperti tawuran antar pelajar dari sekolah yang berbeda maupun dari sekolah yang sama, kekerasan guru terhadap murid, dan bullying(Nurul Ikhsan, 2012: 33).

Peristiwa tawuran antar pelajar kerap terjadi di kota-kota besar, terutama Jakarta, bandung dan juga Yogyakarta. Aksi demonstrasi memprotes kebijakan lembaga pendidikan tidak hanya terjadi di kampus. Di lingkungan pelajar SMU, bahkan di SLTP, juga marak terjadi demonstrasi yang kadangkala disertai dengan tindak kekerasan.Beberapa asumsi mengenai sumber kekerasan dalam pendidikan bisa diajukan.Pertama, kekerasan dalam pendidikan bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik.Ada pihak yang lebih yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi.Bila sanksi melebihi batas atau atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah tindak kekerasan.Aksi kekerasan susulan bisa terjadi bila antara pelaku dan korban terjadi aksi balas dendam.Tawuran antar-pelajar atau antar-mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini.Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikulum, yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan


(18)

afektif, menyebabkan berkurangnya proses humanis dalam pendidikan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan mungkin pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa. Belakangan ini media massa kerap dengan vulgar memunculkan berita aksi kekerasan. Keempat, kekerasan bisa jadi merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution dan jalan pintas. Kelima, kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi pelaku (Assegaf, 2004:3-4).

Kasus kekerasan antar pelajar dalam beberapa waktu lalu yang mengejutkan publik, aksi kekerasan antar pelajar SMA Negeri 70 dengan SMA Negeri 6 di kawasan Bulungan Jakarta Selatan telah memakan satu korban jiwa. Demikian pula kasus kekerasan antar pelajar di Yogyakarta yang dalam beberapa waktu terakhir ini marak terjadi. Ini merupakan fenomena yang tidak seharusnya terjadi di Yogyakarta, pasalnya predikat kota pendidikan telah melekat sejak lama untuk Yogyakarta.

Beberapa kasus kekerasan antar pelajar yang dikutip dari harian Tibun Jogja, antara lain; Jumat, 22 April 2011 tawuran antara pelajar SMU Gama Yogyakarta dengan pelajar dari SMU Bopkri 2 Yogyakarta terjadi sekitar pukul 12.00 WIB tepatnya di belakang Galeria Mall hingga terjadi aksi penusukan. Sabtu, 29 Oktober 2011 antara SMA Negeri 6 Yogyakarta dengan SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, terdapat seorang pelajar yang terkena luka tusuk. Sabtu, 1 Oktober 2011 aksi kekerasan antara SMK Piri 1 dengan SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, terdapat seorang siswa yang terkena luka benda


(19)

keras di kepala. Kasus antara SMK Piri dan SMK Muhamadiyah berlanjut pada 20 Mei 2014 yang bermula dari aksi konvoi kelulusan. Beberapa kasus kekerasan antar pelajar yang terjadi di Yogyakarta tersebut menjadi gambaran keadaan betapa kekerasan telah menjamur di kalangan pelajar di Yogyakarta.

Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikulum, yang hanya mengandalkan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif, menyebabkan berkurangnya proses humanis dalam pendidikan. Mungkin pula dipengaruhi lingkungan masyarakat dan tayangan media massa. Perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat atau yang lazim disebut dengan perubahan secara revolusi, sehingga bukan tidak mungkin akan menimbulkan sikap instan solution dan jalan pintas sebagai akibat dari kian vulgar nya media massa dalam memunculkan berita kekerasan.

Perlu diketahui bahwa pendidikan bukanlah hanya sekedar mentransfer ilmu dari guru kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yaitu transer nilai. Pendidikan juga merupakan jalan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik agar mencapai kehidupan yang baik. Namun yang terjadi, pendidikan tidak menunjukkan hal yang diinginkan. Justru pendidikan dijadikan alat indoktrinasi berbagai kepentingan. Inilah yang sebenarnya merupakan akar dehumanisasi.

Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, sekolah harus benar-benar serius mencegah dengan menerapkan pendidikan yang mampu sebagai sarana dalam proses humanis melalui tiga komponen utama, yaitu guru, peserta didik, dan


(20)

orang tua siswa. Peran guru adalah sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan. Peserta didik adalah generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa yang diharapkan berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai anti kekerasan pada rekan sebaya. Orang tua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung, dan mengembangkan aktualisasi atau implementasi budaya damai tanpa kekerasan.Caranya adalah membawa salah satu isu yang mengarah pada terciptanya situasi yang kondusif bagi peserta didik dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Setidaknya, cita-cita besar dari proses penciptaan perdamaian lewat pendidikan, nantinya di masa depan tidak terjadi kasus yang selalu berulang, yaitu kekerasan (Nurul Ikhsan, 2012:35-36).

Ada sebuah pandangan yang mengemuka di kalangan ahli pendidikan yaitu pendidikan sebagai proses humanisasi atau biasa disebut dengan proses pemanusiaan manusia. Proses pemanusiaan manusia tentu tidak sekedar bersifat fisik, akan tetapi harus menyangkut seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan realitas yang mengitarinya. Hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia kreatif yang terwujud di dalam budayanya (Tilaar, 2005:112).

Salah satu sekolah yang dinilai telah mampu menerapkan pendidikan sebagai proses humanis di dalam manajemen sekolahnya adalah SMA Negeri 6 Yogyakarta. Sekolah tersebut yang pada awalnya sangat identik dengan tawuran pelajar yang salah satu kasusnya telah dipaparkan diatas, saat ini


(21)

mampu merubah predikat sekolah tawuran yang telah tertanam di masyarakat.Saat ini SMA Negeri 6 menjadi salah satu sekolah pilihan dengan mengusung pendidikan berbasis riset. Bagaimana cara SMA N 6 menerapkan pendidikan sebagai proses humanis tentunya adalah hal yang perlu dikaji agar hal tersebut dapat dijadikan panutan bagi sekolah-sekolah lain yang saat ini didalam proses pendidikannnya masih sering terjadi kekerasan baik dalam pembelajaran ataupun kekerasan yang dilakukan oleh para peserta didik.

B.Identifikasi Masalah

1. Bentuk-bentuk kekerasan, seperti pelecehan di internet tengah mengalami peningkatan dan telah menjadi “gudang persenjataan baru bagi kekerasan di sekolah-sekolah”.

2. Dampak kekerasan bisa terjadi pada individu serta sekolah itu sendiri, dan sifat kerusakan akibat tindakan itu bisa bersifat psikologis, fisik, maupun materi.

3. Sekolah dijadikan tempat untuk melampiaskan tindakan kekerasan seperti tawuran antar pelajar dari sekolah yang berbeda maupun dari sekolah yang sama, kekerasan guru terhadap murid, dan bullying.

4. Di lingkungan pelajar SMU, bahkan di SLTP, juga marak demonstrasi yang kadangkala disertai dengan tindak kekerasan.

5. Kekerasan dalam pendidikan bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Ada pihak yang lebih yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi.


(22)

6. Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku.

7. Kekerasan dalam pendidikan mungkin pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa dan penyalahgunaan internet.

8. Sekolah harus benar-benar mencegah dengan menerapkan pendidikan yang mampu sebagai sarana proses humanis melalui tiga komponen utama, yaitu guru, peserta didik, dan orang tua siswa.

C.Batasan Masalah

Agar penelitian ini tidak keluar dari konteks yang diharapkan, peneliti membatasi masalah penelitian pada bagaimana cara SMA N 6 menerapkan pendidikan sebagai proses humanis.

D.Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana implementasi pendidikan humanis di SMA N 6 Yogyakarta?

2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi pendidikan humanis di SMA N 6 Yogyakarta?


(23)

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakan masalah maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendeskripsikan implementasi pendidikan humanis di SMA Negeri

6 Yogyakarta.

2. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritik

Manfaat yang dicapai dari hasil penelitian adalah sebagai bahan pengembangan khasanah teoritis terkait pendidikan humanistik di kalangan pelaku pendidikan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi lembaga pendidikan dapat dijadikan masukan dalam upaya meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di sekolah.

b. Bagi para pendidik dapat menjadi bahan masukan dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran selanjutnya untuk meningkatkan dan prestasi belajar siswa.

c. Bagi siswa sebagai pengalaman baru dalam proses pembelajaran dan sebagai motivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar.


(24)

BAB II KAJIANPUSTAKA

A. Pengertian Implementasi

Implementasi dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang telah disusun secara matang dan terperinci. Pada umumnya, implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan telah dianggap sempurna.

Menurut Nurdin Usman (2002:70) dalam bukunya Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, memaparkan bahwa implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implementasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.

Senada dengan pendapat sebelumnya, Guntur Setiawan (2004:39) dalam Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya mengenai sebuah definisi implementasi, yakni, implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.

Sedangkan menurut ahli lain, Hanifah Harsono (2002:67) dalam Implementasi Kebijakan dan Politik berpendapat bahwa implementasi ialah suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik kedalam administrasi. Pengembangan suatu kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program.


(25)

B.Pendidikan dan Kekerasan 1. Pengertian Pendidikan

Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai keterampilan, dan generasi ke generasi (Dwi Siswoyo dkk, 2008:18).

Ki Hajar Dewantara dalam buku Dwi Siswoyo, dkk (2008:18-19) mengatakan yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan yang setinggi-tingginya.

Selanjutnya menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dari proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangakan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Dwi Siswoyo,dkk:2008:19)

Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia(1991) Pendidikan diartikan sebagai pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan


(26)

pelatihan. Adapun pendapat lain yaitu Poerbakawatja dan Harahap menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya (Sugiharto dkk, 2007 ; 3). 2. Tujuan Pendidikan

Bagi bangsa Indonesia, tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pendidikan seperti UU No. 20 tahun 2003, adalah tujuan umum atau tujuan pendidikan nasional bagi kegiatan pendidikan di Indonesia. Menurut pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tujuan pendidikan nasional yaitu “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhalak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Dwi siswoyo dkk, 2008:82)

Adapun tujuan pendidikan, M.J Langeveld dalam buku (Dwi Siswoyo dkk, 2008:81-82) mengemukakan ada enam tujuan pendidikan, yaitu:

a. Tujuan Umum, adalah tujuan yang paling akhir dan merupakan keseluruhan/kebulatan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan. Bagi Lavengeld tujuan umum atau tujuam akhir akhirnya adalah kedewasaan, yang salah satu cirinya adalah telah hidup dengan pribadi mandiri. Untuk orang atau ahli lain tujuan umum atau akhir ini dapat saja berbeda. Sedangkan menurut Notonagoro, tujuan akhir pendidikan adalah tercapainya kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan sempurna menurut Notonagoro adalah suatu keadaan yang menimbulkan (1) kepuasan yang sepuas-puasnya (2) tidak menimbulkan keinginan lagi dan (3) kekal atau abadi.


(27)

b. Tujuan Khusus, adalah pengkhususan tujuan umum atas dasar berbagai hal, misalnya usia, jenis kelamin, intelegensi, bakat minat, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan persyaratan pekerjaan dan sebagainya.

c. Tujuan tak lengkap, adalah tujuan yang hanya menyangkut sebagian aspek kehidupan manusia. Misalnya aspek psikologis, biologis, sosiologi saja. Aspek psikologis misalnya hanya emosi atau pemikirannya saja.

d. Tujuan sementara, adalah tujuan yang hanya dimaksudkan untuk sementara saja, sedangkan kalau tujuan sementara itu sudah dicapai, lalu tinggalkan dan diganti dengan tujuan yang lain. Misalnya orangtua ingin agar anaknya berhenti merokok, dengan dikurangi uang sakunya. Kalau sudah tidak merokok, lalu ditinggalkan dan diganti tujuan lain misalnya agar tidak suka bergadang.

e. Tujuan Intermedier, yaitu tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. Misalnya anak dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar ia kelak mempunyai rasa tanggung jawab.

f. Tujuan Insidental, yaitu tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, seketika, spontan. Misalnya guru menegur anak yang bermain kasar pada waktu bermain sepak bola, orang tua meminta anaknya agar duduk dengan sopan, dan sebagainya. Semuanya itu adalah tujuan insidental atau seketika.


(28)

3. Pengertian Kekerasan

Kekerasan dalam makna pertama banyak dibahas dari aspek biologi, fisiologi, dan psikologi, ketika perilaku dimaknai sebegai sebuah kecenderungan biologis sebagai hasil bawaan atau akibat adanya faktor genetika yang mendukung munculnya kekerasan. Makna kedua mengasumsikan bahwa kekerasan bukan hanya berasal dari tindakan aktor atau kelompok melainkan dorongan biologis semata, yang diperluas oleh adanya struktur yang berperan menghasilkan kekerasan. Struktur dalam hal ini masih dimaknai secara konvensional, yaitu struktur negara dengan aparatnya. Pemaknaan ketiga berupaya melihat kekerasan sebagai serangkaian jejaring dengan dialektis antara aktor dengan struktur. Definisi ini menunjukkan adanya hubungan dialektis antara kekerasan, aktor, dan struktur, serta setiap hubungan kekerasan yang membentuk jejaring yang saling berkaitan (Nanang Martono, 2012:38).

Bourdieu dalam Nanang Martono(2012:39) mengatakan kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka dalam proses dominasi tersebut menghasilkan sebuah kekerasan. Jadi, kekerasan dan kekuasaan merupakan dua konsep tidak dapat dipisahkan.

Sedangkan menurut D. Douglas dan Frances Chalut Waksler (Assegaf, 2004:39-42), istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, secara terbuka


(29)

(overt), maupun tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (deffensive). Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa indikator kekerasan. Pertama, kekerasan bersifat terbuka, yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Kedua, kekerasan yang bersifat tertutup, yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut dan tertekan. Ancaman dinilai sebagai bentuk kekerasan ketika seseorang atau suatu pihak mempercai kebenaran adanya ancaman dan tentang kemampuan pengancam untuk mewujudkan ancamannya. Akan tetapi selama ancaman tersebut belum dinyatakan, maka ia termasuk dalam kategori potensi kekerasan, atau belum menjadi kekerasan itu sendiri.

Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif (offensive), yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini tingkatannya lebih tinggi dari dua jenis kekuatan kekerasan sebelumnya, dan sudah masuk dalam perilaku kriminal, dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi hukum. Kekerasan kategori ini dimasukkan ke dalam kelompok kekerasan dalam pendidikan sepanjang pelaku atau korbannya membawa nama lembaga pendidikan, dan khasusnya diliput oleh media massa. Keempat, kekerasan yang bersifat defensif, yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo atau lainnya.


(30)

4. Kekerasan dalam Pendidikan

Dalam buku Abdurrahman Assegaf, kekerasan dalam pendidikan didefinisikan sebagai sikap agresif pelaku yang melebihi kapasitas kewenangannya dan menimbulkan hak bagi si korban. Kekerasan dalam pendidikan diasumsikan terjadi sebagai akibat kondisi yang melatarbelakanginya, baik faktor internal dan eksternal, dan tidak timbul secara begitu saja, melainkan dipicu oleh suatu kejadian. Kondisi (antecedent variable), faktor (independent variable) dan pemicu (intervening variable) tindak kekerasan dalam pendidikan (dependent variable) terangkai dalam hubungan yang bersifat spiral, dapat muncul sewaktu-waktu, oleh pelaku siapa saja yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai adanya pemicu kejadian. Eric Hoffer mengatakan, pemicu kekerasan utamanya adalah hal-hal mempersatukan gerakan massa, seperti rasa benci kolektif, perilaku meniru rekannya, bujukan pihak tertentu, karena ajakan pemimpin atau yang ditokohkan, karena adanya aksi pembuka kekerasan, adanya unsur kecurigaan, dan upaya penggalangan atau persatuan massa (Assegaf, 2004 : 38).

Sedangkan menurut Eric Hoffer unsur pendorong timbulnya aksi bersama adalah keterkaitan dengan kelompok (gank, club, dan sebagainya), perilaku pura-pura bergaya, frustasi atau meremehkan kondisi masa kini, unsur supranatural atau “hal yang tak nampak/ada”, doktrin yang diyakiniya, dan karena karakter gerakan massa itu sendiri. Pelaku ataupun korban kekerasan menyangkut pihak (antar) guru/pimpinan sekolah/kampus, pelajar atau mahasiswa, dan masyarakat. Untuk mencegah terulangnya kekerasan,


(31)

ditawarkan solusi yang berupa penanaman nilai-nilai agama, budaya, pendidikan afektif dan humanisasi pendidikan (Assegaf, 2004:38).

C. Pendidikan Humanis

1. Pengertian Pendidikan Humanis

Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dan generasi ke generasi (Dwi Siswoyo dkk,2008:18).

Menurut John Dewey pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya (Dwi Siswoyo dkk, 2008 : 18).

Disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha seseorang yang sistematis, terarah, yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar menuju perubahan tingkah laku dan kedewasaan anak didik, melalui proses memberikan pengalaman kepada peserta didik, memberikan pengetahuan baik secara formal maupun nonformal.

Humanis berasal dari kata latin humanis yang mempunyai akar kata “homo” yang berarti manusia. Humanis berarti “bersifat manusiawi”, sesuai dengan kodratnya. Semula humanisme merupakan sebuah gerakan yang mempromosikan harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai aliran


(32)

pemikir kritis yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan harkat, peranan, dan tanggungjawab manusia (Mangunhadjana, 1997:93)

Abdurrahman Mas‟ud (2004:135) mengemukakan bahwa humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial. Menurut pandangan ini, individu selalu dalam proses menyempurnakan diri.

Katahumanispadahakikatnyaadalahkatasifatyangmerupakan

sebuahpendekatandalampendidikan(Mulkhan, 2002 : 95).Jadidapat diketahui bahwapendidikan humanistik adalah sebuah teori pendidikan yang menjadikan humanisme sebagai pendekatan. Tidak berbeda dengan teori pendidikan lainnya, pendidikan humanistik berupaya untuk mengembangkan potensi manusia.

Olafson dalamtheEncyclopediaofEducationmendefinisikan pendidikan humanistik sebagai berikut:

“Pendidikan humanistik(humanistic education) adalah pendidikanyang bersumberdariajaranasumsihumanisme.Model pendidikan inilebih merupakan pendidikan kemanusiaan daripada pendidikantentang pengetahuan-pengetahuanyang khususuntuk profesitertentu.Pendidikan humanistikadalah pendidikan umum sehingga bukanpendidikanspesialis.Penafsiranterhadapkekuatan manusiayang unikpadadasarnyadapatmenghasilkanbentukyang sama dengan pendidikan non-spesialisyang disebutdengan humanistik.”

Menurut Mangunwijaya (2001 ; 160) konsep utama dari pemikiran pendidikan humanis adalah menghormati harkat dan martabat manusia. Hal mendasar dalam pendidikan humanis adalah keinginan untuk mewujudkan


(33)

lingkungan pendidikan yang menjadikan siswa terbebas dari kompetisi hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan ketakutan gagal.

Rahman (2002:135) mendefinisikan pendidikan humanistic dalam Islam sebagai proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius,„abdullahdankhalifatullah,serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensinya.

Baharudin dan Moh. Makin (2009 : 22-23) menyebutkan pendidikan humanistik hendak membentuk manusia memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan individual namun juga berada di tengah masyarakat. Dengan demikian, ia mempunyai tanggung jawab moral untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat untuk kemaslahatan masyarakatnya.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulan bahwa pendidikan humanis berarti pendidikan yang di dalamnya selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yangmerdeka. Hak yang dimaksud adalah hak untuk dihargai sebagai manusia yang mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang merdeka.


(34)

2. Tokoh-tokoh Humanistik a. Abraham Maslow

Abraham Maslow adalah pakar psikologi asal Rusia.Ia mempunyai pandangan yang positif kepada manusia bahwa manusia mempunyai potensi untuk maju dan berkembang. Dalam teori needs yang ia kemukakan, Maslow mengatakan bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan. Kebutuhan itu dibedakan menjadi dua yaitu basic needs dan meta needs.

Basic needs atau kebutuhan dasar meliputi lapar, kasih sayang, rasa aman, harga diri. Sementara meta needs meliputi keadilan, kesatuan, kebaikan, keteratur, keindahan (Lilik, 2011 : 83). Selanjutnya Maslow menyusun kebutuhan itu secara hirarkis dari kebutuhan terendah sampai tertinggi.

1) Physiological needs

Physiological needs adalah kebutuhan dasar manusia yang paling mendesak untuk dipenuhi karena berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan ini berupa makan, minum, oksigen, istirahat, dan keseimbangan temperatur. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar manusia bisa meraih kebutuhan yang lebih tinggi.


(35)

2) Safety needs

Safety needs yaitu kebutuhan akan rasa aman. Merupakan kebutuhan psikologi yang fundamental dan perlu dipenuhi karena bisa mempengaruhi kepribadian yang serius. Kebutuhan rasa aman dibedakan menjadi dua macam yaitu aman secara fisik dan aman secara psikologis.

3) Love and Belongingness

Love and Belongingness adalah kebutuhan akan kasih sayang dan kebersamaan. Kebutuhan ini timbul di lingkungan keluarga, berkembang ke lingkungan sebaya dan akhirnya menuju pada kelompok sosial yang lebih luas.

4) Self Esteem

Self Esteem adalah kebutuhan akan rasa harga diri. Ada dua macam self esteem yaitu rasa harga diri oleh diri sendiri serta penghargaan yang diberikan orang lain terhadap diri seseorang. Terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan sikap percaya diri, rasa kuat, rasa mampu, rasa berguna. Begitu pula sebaliknya, jika tidak terpenuhi bisa menimbulkan sikap rendah diri, rasa tidak pantas, rasa tak mampu dan sikap negatif lainnya. Pemenuhan kebutuhan ini akan sangat membantu seseorang dalam memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi lagi.


(36)

5) Self Actualization

Self Actualization merupakan kebutuhan tertinggi. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengekspresikan, mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki. Juga merupakan dorongan untuk menjadi diri sendiri dan eksistensi diri (Lilik, 2011 ; 85).

Hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi bagi siswa. Guru harus memperhatikan kebutuhan siswa ketika beraktivitas di dalam kelas. Guru juga dituntut untuk memahami kondisi siswa. Maslow mengatakan, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhan pokok siswa terpenuhi. Siswa yang datang ke sekolah tanpa persiapan akan membawa berbagai macam persoalan tersebut ke dalam kelas sehingga mengganggu kondisi ideal yang diharapkan (Suwarno, 2006: 73)

b. Carl Rogers

Carl Rogers tidak menaruh perhatian kepada mekanisme proses belajar. Belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional siswa. Rogers membedakan dua ciri belajar.

1) Belajar bermakna

Belajar akan bermakna jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan siswa. Ausebel mengemukakan


(37)

teori belajar bermakna yang intinya adalah suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Faktor utama yang mempengaruhi belajar adalah struktur kognitif, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan (Mulyati, 2005: 78-80).

2) Belajar yang tidak bermakna

Belajar yang tidak bermakna adalah belajar yang hanya melibatkan aspek pikiran siswa saja tanpa keterlibatan perasaannya.

Rogers memusatkan kajian-kajiannya pada potensi-potensi individu sehingga teorinya dinamakan “Client-Centered”. Inti dari teorinya tersebut adalah:

a) Pandangan positif terhadap klien dan menerima klien apa adanya bagaimanapun keadaannya.

b) Tidak mengevaluasi klien, tidak menilai baik atau buruk, salah atau benar, tidak menentang maupun menyetujui.

c) Terapis mendengarkan keluhan klien dengan penuh simpati, menunjukkan pemahaman dan penerimaan.

d) Terapis berperan untuk memantulkan kembali perasaan klien, memperjelas dan mengklarifikasi perasaan atau pikiran klien. c) Arthur W. Combs

Arthur W. Combs (dalam suwarno, 2006 : 71-72) berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan perbedaan diantara orang. Untuk memahami


(38)

orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya. Pendidik bisa memahami perilaku siswa jika mengetahui bagaimana siswa mempersepsikan perbuatannya pada suatu kondisi.

Dalam proses pembelajaran, informasi baru yang didapatkan siswa akan dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Anggapan yang keliru ketika pendidik beranggapan siswa akan mudah belajar jika bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik. Yang menjadi persoalan bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan tetapi bagaimana membantu siswa untuk memetik arti dan makna yang terkandung dalam bahan ajar itu dan mengaitkan dengan kehidupannya.

3. Tujuan Pendidikan Humanis

Tujuan pendidikan humanis adalah terciptanya proses dan pola pendidikan yang selalu menempatkan manusia sebagai manusia. Yaitu manusia yang memiliki segala potensi yang dimilikinya, baik berupa fisik, psikis, maupun spiritual, yang perlu mendapatkan bimbingan. Kemudian yang menjadi catatan adalah bahwa masing-masing potensi yang dimiliki oleh manusia itu berbeda satu sama lain. Dan semua itu perlu sikap arif dalam memahami, dan saling menghormati serta selalu menempatkan manusia yang bersangkutan sesuai dengan tempatnya masing-masing adalah cara yang paling tepat untuk mewujudkan pendidikan humanis (M.Arifin,2000:133).

Tujuan akhir pendidikan adalah proses pembentukan peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberdayaan. Hal ini meniscayakan


(39)

adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dari potensi yang dimilikinya secara maksimal (Abdurrahman Mas‟ud, 2002 : 134)

Uyoh (2007:175) menyebutkan tujuan pendidikan menurut humanistik sebagai berikut:

a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran identitas diri yang melibatkan perkembanagn konsep diri dan sistem nilai.

b. Mengutamakan komitmen terhadap prinsip pendidikan yang memperhatikan faktor perasaan, emosi, motivasi, dan minat siswa.

c. Memberikan isi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhandan minat siswa sendiri.

d. Memelihara perasaan pribadi yang efektif. siswa dapat mengembalikan arah belajarnya sendiri, mengambildan memenuhi tanggung jawab secara efektif serta memilih tentang apa yang akan dilakukandan bagaimana melakukannya.

e. Berusaha untuk mengadaptasikan siswa terhadap perubahan-perubahan. Pendidikan melibatkan siswa dalam perubahan, membantunya belajar bagaimana belajar, bagaimana memecah kan masalah, dan bagaimana melakukan perubahan di dalam kehidupannya.

Tujuan pendidikan humanis lebih menitikberatkan kepada proses belajar daripada hasil belajar, dan dari beberapa tujuan di atas semakin menguatkan


(40)

bahwa pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai humanis harus senantiasa dikembangkan dan dijalankan dalam dunia pendidikan.

4. Komponen-Komponen Pendidikan humanis a. Pendidik

Menurut Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik adalah setiap orang yang sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua dari anak-anak yang biasa disebut ayah-ibu.Pada lingkungan pendidikan sekolah pendidik disebut dengan guru. (Dwi Siswoyo dkk, 2008:118-119).

Tujuan utama para pendidik/guru adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka (Sugihartono dkk, 2007:117).

Dalam perspektif pendidikan humanisasi peran guru adalah sebagai fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Sugihartono dkk, 2007 : 122).

Menurut Rodgers (dalam Sugihartono dkk, 2007:120), yang mengembangkan model belajar terbuka dan diteliti oleh Apsy dan Roebuck (1975), mereka meneliti kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi


(41)

yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :

1) Merespon perasaan siswa.

2) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.

3) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa. 4) Menghargai siswa.

5) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.

6) Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa).

7) Tersenyum pada siswa. b. Peserta didik

Peserta didikmerupakan manusia “dewasa” dalam ukuran kecil. Artinya, dari struktur dan kondisi fisiologis dan psikis, dia memiliki dimensi yang sama dengan manusia dewasa. Sebagai individu,dia memiliki kebutuhan biologis dan psikis, sepertiyang dimiliki pendidik. Oleh karena itu, pendidik harus memperhatikan dua dimensi ini dengan baik demi terciptanya praktik pendidikan yang benar-benar humanis (Baharuddin dan Moh. Makin,2011 :187).

Menurut Sutari (dalam Dwi Siswoyo dkk,2008:87), dalam segala praktik pendidikan peserta didik pada umumnya merupakan sosok yang membutuhkan bantuan orang lain yang untuk bisa tumbuh berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami perkembangan


(42)

sejak lahir sampai meninggal dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar. Peserta didik sangat tergantung dan membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam keadaan lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri dan serba kekurangan dibanding orang dewasa.Namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.

c. Alat pendidikan

Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang secara langsung membantu terwujudnya pencapaian tujuan pendidikan. Alat pendidikan merupakan situasi, kondisi, tindakan dan atau perlakuan yang diadakan secara sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Ki Hajar Dewantara dalam mengatakan „peralatan‟ itu sebenarnya alat -alat yang pokok, cara-caranya mendidik. Ketahuilah bahwa cara-cara itu amat banyaknya, akan tetapi dalam pokoknya bolehlah semua cara itu kita bagi sebagai berikut :

1) Memberi contoh (voorbeeld)

2) Pembiasaan (pakulinan, geewontevorming) 3) Pengajaran (leering, wulang wuruk)

4) Perintah, paksaan dan hukuman (reegering en tucht) 5) Laku (zelfbeheersching, zelfdiscipline)


(43)

Pendidik harus memahami peran alat tersebut dan cakap menggunakannya. Pendidik harus mengetahui karakteristik peserta didiknya, harus disesuaikan pula dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu (Dwi Siswoyo dkk, 2007: 137-138).

d. Metode

Metode pendidikan adalah cara-cara yang dipakai oleh sekelompok orang untuk membimbing anak/peserta didik sesuai dengan perkembangannya ke arah tujuan yang hendak dicapai. Metode pendidikan tersebut selalu terkait dengan proses pendidikan, yaitu bagaimana cara melaksanakan kegiatan pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan ( Dwi Siswoyo dkk, 2007:133-134).

Dengan menggunakan metode yang benar dan tepat, maka proses belajar mengajar akan berjalan dengan lancar. Dengan demikian,pencapaian tujuan pendidikan akan cepat terealisasi. Karena itu peran seorang pendidik dalam memilih, dan menggunakan metode merupakan hal yang juga penting.

e. Evaluasi

Secaraumum, proses evaluasi selama ini hanya berjalan satu arah, yakni yang dievaluasi hanyalah elemen siswa dan lebih memprioritaskan aspek kognitifnya saja. Dalam pendidikan humanis, siswa juga harus dipandang sebagai individu yang memiliki otoritas individu pula, yang mampu mengambil keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Dalam hal ini siswa harus diberi kepercayaan untuk mengevaluasi


(44)

dalam rangka perbaikan ke depan tentang apa yang ia lihat dan ia hadapi sehari-hari. Oleh karena guru merupakan mitranya yang terdekat dalam proses belajar, sudah seharusnya siswa ikut andil dalam proses evaluasi guru. Hal ini bertujuan agar proses evaluasi dapat berjalan dua arah dan saling menguntungkan.

5. Aplikasi Teori Humanistik dalam Pembelajaran

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi dari yang bersifat negatif.

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik cocok untuk diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.Keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung


(45)

jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma disiplin atau etika yang berlaku (Sugihartono, dkk, 2007: 122-123).

D. Kebijakan Pendidikan Peace Education 1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan pada seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku (Ali Imron,2008: 16).

Gamage dan Pang (dalam Syafaruddin 75) menjelaskan kebijakan adalah terdiri dari pernyataan tentang sasaran dan satu atau lebih pedoman yang luas untuk mencapai sasaran tersebut sehingga dapat dicapai yang dilaksanakan bersama dan memberikan kerangka kerja bagi pelaksana.

Berdasarkan penjelasan di atastelah menunjukkan kebijakan adalah hasil keputusan-keputusan yang dibuat secara arif dan bijaksana untuk seseorang / sekelompok orang guna untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan melangkah lebih maju ke masa depan.

CarterV. Good(1959) (dalamImron,2002:18) menyatakan bahwa:

Educational policyisjudgment,derived fromsomesystemofvaluesand someassesmentof situationalfactors,operatingwithininstitutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desirededucationalobjectives.

Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap system nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan


(46)

umum untuk panduan dalam mengambil keputusan,agar tujuan pendidikan yang diinginkan bias dicapai. Kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat. 2. Pengertian Peace Education

Peace education adalah proses pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi konflik atau masalahnya sendiri dengan cara kreatif dan bukan dengan cara kekerasan (Assegaf 2004: 92).

Nurul Ikhsan (2012 : 40-41) menyatakan bahwa peace education adalah pendidikan yang diarahkan kepada pengembangan kepribadian manusia, menghormati hak asasi manusia, adanya kebebasan yang mendasar, saling pengertian, toleransi dan menjalin persahabatan dengan semua bangsa, ras, dan antar-kelompok yang mengarah kepada perdamaian. Dengan melalui proses pendidikanlah perdamaian bisa dibangun dengan kukuh di atas landasan penghargaan atas perbedaan-perbedaan yang ada.

Dalam Mukadimah Piagam PBB (Peace Education Site Draff, 2000) disebutkan tentang peace education sebagai berikut:

“Peace education has developed as a means to achieve the goals. It is education that is directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human right and fundamenta freedoms”. It promotes “understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups” and furthers “the activities of the United Nations for the maintance of peace.”

Peace education telah dikembangkan sebagai tujuan utama yang harus dicapai. Hal ini berarti pendidikan harus diarahkan untuk pengembangan


(47)

kepribadian manusia dan memperkuat rasa hormat kepada hak asasi manusia serta kebebasan mendasar, tujuannya untuk saling memahami, toleransi dan persahabatan antara semua bangsa, ras atau kelompok agama dan memperkuat aktivitas dari PBB untuk memelihara perdamaian.

Konsep peace education merupakan konsep dari PBB yang beranjak dari piagam PBB sebagai sarana untuk menyelamatkan generasi selanjutnya dari bencana perang. Dalam kalimat pembukaan piagam PBB disebutkan bahwa tujuan dari didirikannya PBB adalah :

a. Menyelamatkan generasi selanjutnya dari bencana perang.

b. Mengokohkan kembali dalam hal kehormatan dan martabat manusia dan dalam persamaan hak antara pria dengan wanita.

c. Membangun kondisi dalam naungan keadilan dan penghormatan bagi kewajiban yang timbul dari kesepakatan bersama dan sumber hukum internasional lainnya yang juga dapat dijaga.

d. Mempromosikan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam bentuk kebebasan secara lebih luas.

Dengan kata lain pendidikan perdamaian adalah upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar-mengajar yang humanis, dan para pendidik damai yang memfasilitasi pembangunan manusia. Mereka berjuang melawan proses dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, perkosaan, kekerasan, dan perang (Assegaf,2004 :83-84).


(48)

E. Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian yang relevan yang telah dilakukan sebelumnya ialah antara lain penelitian yang dilakukan oleh :

1. Dr. Siti Irene Astuti Dwiningrum, M.Si mengenai “Sekolah dan

Pembelajaran yang Humanis: studi Di SMA Taman Madya dan SMA N 5 Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan untuk menggali konsep dan pelaksanaan pendidikan humanis dalam proses kebijakan pendidikan yang terjadi secara terus menerus. Adapun hasil peneletian adalah pertama, persepsi siswa terhadap pemikiran Ki Hajar Dewantara cenderung sangat baik. Kedua, pelaksanaan dan pembelajaran pendidikan humanis dipahami oleh guru dinilai dari makna pendidikan humanis yang secara keseluruhan memberikan gambaran yang lebih komprehensif bahwa pendidikan humanis adalah pendidikan yang mampu menggerakkan semua dimensi dan potensi manusia yang dalam prosesnya disadari oleh individu untuk berproses menjadi manusia yang bermakna bagi kehidupannya, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Gambaran tentang sekolah yang humanis adalah sekolah yang menanamkan nilai karakter, memiliki keunggulan, mengembangkan potensi siswa, pendidik yang berkarakter, lingkungan yang nyaman dan menyenangkan untuk belajar. Pelaksanaan pendidikan humanis masih menghadapi masalah yang bersumber dari orangtua, pribadi anak, maupun masalah ekonomi. Pembelajaran humanis membutuhkan guru yang kreatif dalam mengembangkan strategi yang beragam dalam melaksanakan pendidikan humanis. Strategi yang dikembangkan dan dipilih oleh guru


(49)

diterapkan dengan pendekatan individu, kelompok maupun manajerial. Cara mengatasi problem pembelajaran humanis bersifat personal maupun kelompok. Proses pembelajaran humanis pada prinsipnya cenderung optimal jika mempertimbangkan tiga aspek yakni power to, power with dan power with in. Di samping itu dalam proses pembelajaran sudah mengacu pada beberapa konsep pokok dalam pendidikan humanis. Ketiga, setiap sekolah memiliki faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan pembelajaran humanis, khususnya terkait guru, siswa, sekolah, dan lingkungan keluarga dan masyarakat.

2. Penelitian relevan lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Suswanto mengenai “Pendidikan Humanis Berbasis Kultur Sekolah Dasar Tumbuh 1 Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan untuk menggambarkan dan memaknai pengembangan pendidikan humanis dalam proses pembelajaran dan proses pengembangan kultur sekolah yang dilakukan oleh warga Sekolah Dasar Tumbuh 1 Yogyakarta untuk mewujudkan pendidikan yang bersifat humanis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pendidikan humanis yang diperoleh peserta didik dalam mengembangkan potensinya terdapat pada: implementasi pendidikan dalam pembelejaran dan pengembangan kultur sekolah. Pertama, nilai-nilai humanis yang ada pada implementasi pendidikan dalam pembelajaran yaitu pada pendekatan pendidikan, metode, dan proses pembelajarannya. Kedua, nilai-nilai humanis yang terdapat pada pengembangan kultur sekolah yaitu pada


(50)

bentuk kultur sekolah inklusi serta kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam unsur kultur sekolah yang positif.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti adalah pada kuisioner. Penelitian ini menggunakan kuisioner yang digunakan untuk mengamati kegiatan sekolah berupa aktivitas keseharian di sekolah. Sedangkan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti menggunakan observasi dan wawancara untuk mengamati kegiatan sekolah yang mengandung nilai-nilai dalam kultur sekolah.

F. Kerangka Berpikir

Tindak kekerasan merupakan masalah yang kerap terjadi pada lingkungan masyarakat.Tidak ada seorangpun yang mampu melepaskan diri dari tindakan destruktif tersebut.Tindak kekerasan rupanya juga tidak luput dalam lingkungan pendidikan.Kekerasan yang terjadi dalam pendidikan menjadi masalah mendasar bagi pendidikan nasional.Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang ada.Muatan kurikulum, yang hanya mengandalkan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif, menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.

Pendidikan humanis merupakan pendidikan yang di dalamnya selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seorang yang senantiasa harus mendapatkan haknya sebagai manusia yang merdeka. Pendidikan humanis ialah pendidikan sebagai sarana dalam proses humanisasi dengan tiga


(51)

komponen utama, yaitu guru, peserta didik, dan orangtua siswa. Peran guru adalah sebagai pendidik nilai-nilai dan pengajar ilmu pengetahuan. Peserta didik adalah generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan bangsa yang diharapkan berperan pada sosialisasi nilai-nilai budaya damai antikekerasan pada rekan sebaya. Orangtua adalah mitra guru yang mampu mendorong, mendukung, dan mengembangkan aktualisasi atau pelaksanaan budaya damai tanpa kekerasan.

Melalui implementasi program, proses, dan evaluasi pendidikan humanis, setidaknya akan tercipta cita-cita besar yaitu perdamaian melalui pendidikan, sehingga akan meningkatkan prestasi belajar siwa untuk ke depannnya lebih baik.


(52)

Secara sederhana kerangkah berpikir dapat digambarkan melalui bagan berikut :

Gambar 1. Kerangka Berfikir

FAKTOR

PENGHAMBAT

FAKTOR

PENDUKUNG

PENDIDIKAN

HUMANIS

PROGRAM

PROSES

EVALUASI

SMA N 6

YOGYAKARTA

SISWA HUMANIS

DAN SEKOLAH

HUMANIS


(53)

G. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai dasar dalam menelaah secara lebih mendalam terkait pelakasanaan pendidikan humanisasi di SMA Negeri 6 Yogyakarta.Adapun pertanyaan penelitian tersebut ialah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pendidikan humanis?

2. Bagaiman program pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta? 3. Bagaimana tujuan (Visi dan Misi) pendidikan humanis di SMA Negeri 6

Yogyakarta?

4. Bagaimana proses pembelajaran di SMA Negeri 6 Yogyakarta?

5. Bagaimana evaluasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta? 6. Bagaimana pendidikan humanis diterapkan di sekolah (kebijakan dan

program)?

7. Bagaimana pendidikan humanis terintegerasi di dalam kurikulum yang dilaksanakan SMA Negeri 6 Yogyakarta?

8. Bagaimana faktor pendukung pelakasanaan pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta?

9. Bagaimana faktor penghambat pelaksanaan pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta?

10. Bagaimana upaya yang digunakan dalam meminimalisir faktor pengahmbat yang ada dalam pelakasanaan pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta?


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif.Bogan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata.Kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Orleans (2000: 1458) mengungkapkan bahwa fenomenologi digunakan dalam dua cara mendasar, yaitu: (1) untuk menteorikan masalah sosiologi yang substansial dan (2) untuk meningkatkan kecukupan metodologi penelitian sosiologis. Lebih lanjut, Orleans menjelaskan bahwa fenomenologi berupaya menawarkan sebuah koreksi terhadap tekanan bidang tersebut pada konseptualisasi positivis dan metode-metode risetnya yang menganggap bahwa isu yang ditemukan oleh metode fenomenologi sebagai suatu hal yang menarik.Selain itu, Collin (1997: 111) juga berpendapat bahwa fenomenologi mampu mengungkap objek secara meyakinkan, meskipun objek itu berupa


(55)

objek kognitif, maupun tindakan ataupun ucapan. Menurutnya, fenomenologi mampu melakukan itu karena segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. B.Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah SMA 6 Yogyakarta dipilih karena mampu menerapkan pendidikan sebagai proses humanisasi di dalam manajemen sekolahnya. Penelitian ini berlansung mulai tanggal 25 Agustus 2015 sampai dengan 28 November 2015.

C.Sumber Data

Lofland dan Lofland (1984:47) mengemukakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.Dalam penelitian kualitatif sampel sumber data dipilih, dan mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan pandangan informan, yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dunia dari pendiriannya.Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka yang dijadikan sampel sumber data adalah kepala sekolah, guru, dan siswa SMA N 6 Yogyakarta.

D.Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi

Nautiom (1988: 64) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan.Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui onservasi.Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan alat yang sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan


(56)

elektron) maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas (Sugiono, 2014: 64).

Pada penelitian ini, observasi digunakan untuk melihat aktivitas di SMAN 6 Yogyakarta, baik di dalam maupun di luar pembelajaran yang didalamnya terdapat unsur pendidikan humanis. Antara lain, pembelajaran di kelas (Intrakurikuler) hingga pada kegiatan Ekstrakurikuler.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.Percakapan tersebut dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Sugiono, 2014: 64).

Jenis wawancara yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur. wawancara semi-terstruktur adalah wawancara yang terdiri dari pertanyaan terbuka namun ada batasan tema dan alur pembicaraan, kecepatan wawancara dapat diprediksi, fleksibel tetapi terkontrol, ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan dan penggunaan kata, dan tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena. Responden wawancara dalam penelitian ini adalah Siswa, Guru, dan Kepala Sekolah guna menggali data mengenai pendidikan humanis dari prespektif para responden, dan pengalaman mereka dalam pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta.


(57)

3. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang gambaran umum lokasi penelitian dan juga file-file penting yang mendukung penelitian dalam bentuk hardcopy, gambar/ foto, audio, maupun video.Dengan teknik dokumentasi, peneliti juga dapat memperoleh data-data pendukung melalui lembaga-lembaga terkait. Dokumentasi dalam penelitian ini menggali data antara lain dari sumber Visi dan Misi SMAN 6 Yogayakarta, Arsip-arsip kelengkapan sarana, dan berbagai dokumen lain terkait SMAN 6 Yogyakarta.

E.Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2014: 59). Jadi, dalam penelitian ini instrumen penelitian yang paling utama adalah peneliti sendiri, namun karena fokus penelitian sudah jelas yaitu mengenai implementasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta, maka dari itu dikembangkan instrumen penelitian sederhana yang berupa pedoman observasi dan pedoman wawancara. Kedua pedoman ini digunakan untuk menjaring data pada sumber data yang lebih luas dan mempertajam serta melengkapi data hasil pengamatan dan observasi.

1. Pedoman Wawancara

Wawancara dilaksanakan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan pertanyaan-pertanyaan terstruktur ini, narasumber diberikan pertanyaan-pertanyaan yang sama kemudian peneliti mencatat jawaban dari


(58)

narasumber. Pedoman wawancara akan dibuat dengan pertanyaan penelitian secara terbuka, sehingga narasumber dapat meberikan informasi yang selengkap-lengkapnya demi keakuratan peneliti.

2. Pedoman Observasi

Pedoman observasi dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan data fleksibel, lengkap dan akurat.Pedoman observasi mempunyai peran yang yang cukup penting dalam penelitian kualitatif.

3. Pedoman Kajian Dokumen

Data dokumen yang diperlukan di dalam penelitian ini adalah data-data buku catatan, data-data tertulis, laporan, arsip, foto, rekaman yang berhubungan dengan segala hal yang memaparkan mengenai implementasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data dengan mengacu konsep dari Hubberman dan Mile‟s (Sugiyono, 2009: 337) yaitu aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas hingga mencapai titik jenuh data. Aktivitas dalam analisis data yaitu sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, maka dari itu perlu dilakukan reduksi data yang berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan


(59)

polanya. Dengan demikian data yang diperoleh dapat lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk mencari data selanjutnya.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data bisa berupa uraian singkat, bagan, hubungan antarkategori atau pun sejenisnya. Penyajian data ini dilakukan untuk memudahkan peneliti memahami apa yang tejadi dan merencanakan kerja selanjutnya.

3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Dalam penelitian kualitatif, kesimpulan awal dapat bersifat sementara, dan dapat berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun apabila telah ditemukan bukti yang mendukung, kesimpulan dapat dijadikan sebuah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.


(60)

G.Keabsahan Data

Dalam penelitian kuantitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabika tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Namun pada penelitian kualitatif, kebenaran realitas data tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seseorang sebagai hasil proses mental tiap individu dengan berbagai latar belakangnya.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa macam teknik untuk menguji keabsahan data, yaitu sebagai berikut:

1. Ketekunan pengamatan

Dalam penelitian kualitatif, ketekunan pengmatan bagi peneliti merupakan hal yang penting. Peneliti harus cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut, maka kepastian data dan urutasn peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. Dengan meningkatkan ketekunan, peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan itu salah atau tidak sehingga data yang diperoleh menjadi akurat.

Untuk meningkatkan ketekunan peneliti, dapat dilakukan dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti yaitu terkait implementasi pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta. Dengan membaca ini maka wawasan peneliti akan semakin luas dan tajam, sehingga dapat digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu benar atau dapat dipercaya atau tidak. (Sugiono,2014: 125)


(61)

2. Triangulasi data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Lexi J. Moleong, 2014:330). Teknik triangulasi dapat dilakukan dengan empat macam cara, yaitu pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan metode, pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan penyidik, serta pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan teori. Dengan metode ini, peneliti dapat melakukan beberapa cara yaitu mengajukan berbagai variasi pertanyaan; mengeceknya dengan berbagai sumber data; dan memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Sekolah

1. Gambaran Umum SMA N 6 Yogyakarta

SMA N 6 merupakan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang beralamat di jalan Cornelis Simanjuntak Nomor 2 Yogyakarta, kode pos 55223, telpon (0274) 513335, alamat website

http://www.sman6-yogya.sch.id/. Walaupun letak sekolah berada di tengah kota, sekolah ini

tetap nyaman untuk belajar karena suasana sekolah yang hijau dan terdapat pepohonan dan tidak begitu terdengar suara bising kendaraan yang berada di jalan raya. Untuk menunjang pembelajaran siswa, sekolah juga memberikan fasilitas yang cukup untuk kebutuhan siswa, diantaranya laboraturium, perpustakaan, kantin sekolah, koperasi, UKS, jasa fotocopy dan sarana penunjang lainnya.

a. Visi dan Misi

SMA N 6 Yogyakarta memiliki visi dalam pelaksanaan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu:

“Terwujudnya Insan Cerdas, Unggul dan Peduli Lingkungan Hidup”

Visi ini merpakan kristalisasi dan upaya keras SMA N 6 Yogyakarta dalam mencetak dan menghasilkan lulusan berkualitas dari sisi intelektual maupun moral, sehingga dapat berkembang dan


(63)

bermanfaat untuk bangsa dan negara Indonsesia. Adapun makna insan cerdas dan unggul adalah sebagai berikut:

1) Insan cerdas adalah insan yang tajam pikirannya, cerdik, pandai, tanggap berpengetahuan luas, terampil, berpikir ilmiah, kreatif, inovatif dan logis.

2) Insan unggul adalah insan yang mengerti siapa dirinya, masa depannya, berpikiran ke depan, punya rasa percaya diri, berpandangan terbuka, berbudi luhur, taat menjalankan agamanya, sopan santun, memiliki perasaan hati yang bersih, murni dan mendalam. Manusia sebagai Makhluk Individu.

3) Insan peduli lingkungan hidup, adalah insan yang mengerti, memahami, dan mau bertindak secara positif terhadap situasi dan kondisi lingkungan hidup dimana mereka berada.

Misi:

1) Menyelenggarakan pembelajaran dan bimbingan secara terjadwal, efektif, efisien, dan intensif.

2) Mampu menghasilkan lulusan yang terampil, mandiri, kreatif dan inovatif.

3) Mensosialisasikan dan menumbuhkan semangat keunggulan kepada seluruh warga sekolah dari sisi akademik maupun non akademik.


(64)

4) Membentuk dan melatih secara intensif kegiatan ekstrakulikuler sehingga mampu berkompetisi pada tingkar regional, nasional dan internasional.

5) Menumbuhkan dan mengembangkan wawasan pengetahuan lingkungan yang cerdas sebagai dasar untuk menjadi mandiri, bertaqwa, berkepribadian, berakal, bermoral, berketrampilan, dan berbudaya.

6) Membangun budaya sekolah yang mendorong siswa melaksanakan 7 K (kebersihan, keindahan, ketertiban, kerindangan, kedisiplinan, kerapian, dan kekeluargaan).

7) Menumbuhkan budaya sekolah yang mendorong sikap rasional dengan kemampuan melakukan penelitian pada seluruh warga sekolah.

8) Mengembangkan sistem komunikasi berbasis teknologi informasi. 9) Menerapkan manajemen terbuka dan peran aktif seluruh warga

sekolah.

10)Mendorong kepedulian masyarakat sebagai pendukung suksesnya program sekolah.

11)Mendorong seluruh komponen sekolah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sesuai dengan agamanya masng-masing.


(65)

b. Kondisi Fisik Sekolah

SMA N 6 Yogyakarta memiliki sarana prasarana penunjang kegiatan pembelajaran yang cukup memadai. Berikut adalah uraian mengenai sarana prasarana yang tersedia.

1) Prasarana Sekolah

SMA Negeri 6 Yogyakarta berdiri di atas lahan tanah milik kesultanan Yogyakarta dengan luas areal kurang lebih 5.770 meter persegi. Untuk memberikan rasa aman dan nyaman siswa, di sekitar sekolah dikelilingi oleh pagar sepanjang 360 meter. Luas bangunan sekolah ini kurang lebih 1.972 meter persegi yang dibagi dalam beberapa ruang kelas serta ruangan penunjang pembelajaran dan administrasi sekolah. Berikut adalah site plan SMA Negeri 6 Yogyakarta.

Berikut ini adalah keadaan ruang yang terdapat di SMA N 6 Yogyakarta.


(66)

Tabel 1 : Data ruangan di SMA Negeri 6 yogyakarta

Nama Ruangan Keterangan

Ruang Kepala Sekolah 1 Ruang

Ruang TU 1 Ruang

Ruang Wakil Kepala Sekolah 1 Ruang

Ruang Guru 1 Ruang

Ruang Kelas 29 Ruang

Ruang Perpustakaan 2 Ruang Ruang Lab. IPA 3 Ruang Ruang Lab. Komputer 2 Ruang Ruang Lab. Bahasa 1 Ruang

Ruang AVA 2 Ruang

Ruang BP 1 Ruang

Ruang Serba Guna 1 Ruang

Mushola 1 Ruang

Ruang OSIS 1 Ruang

Lapangan Olahraga 1 Ruang Ruang Gudang 2 Ruang Ruang Disple Tropi/Piala 2 Ruang Ruang Piket 1 Ruang Ruang Satpam 1 Ruang

Ruang UKS 1 Ruang

Ruang Penggandaan 1 Ruang

Kamar Kecil 15 Buah

Kantin 2 Unit

Tempat Penjaga Sekolah 1 Unit Tempat Parkir 2 Unit

Taman Sekolah Lahan sekitar gedung Tempat Pengelolaan Sampah 1 Unit

Sumber: Data Sekunder SMA Negeri 6 Yogyakarta

Fasilitas ruangan yang dimiliki SMA Negeri 6 Yogyakarta ini sudah memadai dan dimanfaatkan dengan baik untuk kebutuhan belajar siswa dan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran yang humanis.


(67)

2) Sarana Penunjang Sekolah

Kemajuan teknologi informasi yang pesat seperti saat ini, sekolah dituntut untuk memenuhi sarana pendukung pembelajaran yang berbasis teknologi informasi. Dengan adanya teknologi informasi yang digunakan untuk proses pembelajaran diharapkan dapat mempermudah siswa maupun pengajar untuk memperoleh informasi terbaru secara cepat dan efisien. Untuk itu, SMA Negeri 6 Yogyakarta juga memberikan sarana pendukung pembelajaran berabasis teknologi informasi, berikut ini adalah tabel sarana pendukung pembelajaran berbasis teknologi informasi:


(68)

Tabel 2 : Data sarana pembelajaran di SMA Negeri 6 yogyakarta No. Nama Barang Jumlah Keterangan

1 Komputer PC 71 Buah

Berada di ruangan Guru, Wakasek, Kelas, Perpustakaa, BP/BK dan Kantor TU

2 Laptop 8 Buah

3 Televisi 15 Buah

Terpasang di ruang Guru, wakasek, BP/BK, kantor TU, Perpustakaan, Piket dan Kelas

4 LCD Proyektor

23 Buah

Dipasang tetap di ruang Kelas, AVA dan Laboraturium

5 Internet 1 paket Wave line

6 Hotspot 1 paket

7 CCTV 1 unit Terpasang di ruangan kelas dan halaman depan sekolah

8 Daya listrik 3 Paket 46.200 watt

Sumber: Data Sekunder SMA Negeri 6 Yogyakarta

Sarana pendukung berbasis teknologi yang disediakan oleh SMA Negeri 6 Yogyakarta berfungsi untuk berlangsungnya pembelajaran dan sarana penunjang bagi guru dan staff sekolah. Sarana pendukung secara keseluruhan berfungsi dengan baik dan


(69)

siap beroperasi. Guru dan siswa memanfaatkan fasilitas untuk menunjang ilmu pengetahuan dengan tertib dan baik.

3) Buku Perpustakaan

Perpustakaan SMA Negeri 6 Yogyakarta merupakan salah satu fasilitas yang diberikan oleh sekolah untuk menambah wawasan dan informasi dalam pembelajaran. Perpustakaan tersebut menyediakan bermacam-macam buku dari buku mata pelajaran maupun buku non mata pelajaran. Buku mata pelajaran digunakan siswa pada saat jam pelajaran sedang berlangsung dan tidak dibawa pulang karena jumlah yang kurang mencukupi untuk semua siswa. Sedangkan untuk buku non mata pelajaran dapat dipinjam oleh siswa dan dibawa pulang. Berikut adalah rincian buku-buku yang terdapat pada perpustakaan SMA Negeri 6 Yogyakarta:


(70)

Tabel 3. Data Buku Perpustakaan SMA Negeri 6 Yogyakarta No. Jenis Buku Jumlah Judul Jumlah

1 Buku Fiksi Indonesia 315 1.480 buku

2 Buku Fiksi Asing 20 315 buku

3 Buku Non Fiksi 25 8.290 buku

4 Buku Fiksi Asing 3 25 buku

5 Buku Referensi Indonesia

98 262 buku

6 Buku Referensi Asing 15 102 buku

7 Buku Umum 211 250 buku

8 Buku Pelajaran 60 9.767 buku


(71)

c. Kondisi Nonfisik Sekolah 1) Potensi Siswa

SMA Negeri 6 Yogyakarta memiliki siswa berjumlah 768 siswa. Rincian jumlah siswa per tingkat dan kompetensi keahlian disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4. Data Jumlah Siswa SMA Negeri 6 Yogyakarta, tahun ajaran 2014/2015

Kelas Jumlah

X IPS 46

X IPA 210

XI IPS 77

XI IPA 176

XII IPS 77

XII IPA 182

Jumlah 768

Sumber: Data Sekunder SMA Negeri 6 Yogyakarta

Selain melalui kegiatan belajar mengajar, sekolah juga memberikan fasilitas pengembangan minat dan bakat siswa non akademik, yaitu melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler SMA Negeri 6 Yogyakarta antara lain adalh Basket, Voli, Sepak Bola, Sepak Takraw, Pramuka, Band, dan lain


(72)

sebagainya. Kegiatan ekstrakurikuler ini diikuti oleh siswa dengan bai karena minat dari siswa yang tinggi pada kegiatan tersebut.

2) Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan

SMA Negeri 6 Yogyakarta memiliki tenaga pendidik sejumlah 40 orang. Tenaga pendidik merupakan guru atau orang yang dibutuhkan keahliannya untuk mengajar atau membimbing siswa selama proses pengajaran. Pembagian tugas tenaga pendidik tersebut berdasarkan mata pelajaran, kelas, dan kompetensi keahliannya.

Selain tenaga pendidik, SMA Negeri 6 Yogyakarta juga memiliki tenaga kependidikan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan operasional sekolah di luar kegiatan pembelajaran. Tenaga kependidikan diantaranya adalah petugas tata usaha, penjaga sekolah, tenaga kebersihan, dan petugas lainnya. Jumlah tenaga kependidikan di SMA Negeri 6 Yogyakarta adalah 23 orang.

Jam kerja tenaga kependidikan sama dengan tenaga pendidik SMA Negeri 6 Yogyakarta. Acuan jam kerja di SMA Negeri 6 Yogyakarta merupakan jadwal jam pelajaran yang ada. Baik tenaga kependidikan maupun tenaga pendidik SMA Negeri 6 Yogyakarta disiplin akan jam kerja yang berlaku.


(73)

Secara umum, pelaksanaan jam pelajaran di SMA Negeri 6 Yogyakarta sudah baik. Sekolah menggunakan bel untuk memberitahukan pelajaran akan dimulai, pergantian jam pelajaran, istirahat serta bel pulang sekolah. Namunn beberapa siswa dan tenaga pendidik yang pulang melebihi jam pelajaran yang berlangsung dikarenakan melakukan kegiatan tambahan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

B. Hasil Penelitian

1. Konsep Pendidikan Humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta

Hasil penelitian mengenai konsep pendidikan humanis di SMA Negeri 6 dapat dilihat dari wawancara berikut:

“Pendidikan humanis itu adalah pendidikan yang menghargai nilai -nilai kemanusiaan. Dalam praktek pendidikan, konsep pendidikan humanis harus dijunjung tinggi sebagai cara berkomunikasi antara guru dan siswa, guru dengan guru, maupun siswa dengan siswa. Hal tersebut agar tercipta suasana damai, saling menghargai sesama manusia sehingga proses pendidikan bisa berjalan dengan baik”. (AR)

Meski di SMA Negeri 6 Yogyakarta belum mempunyai program secara khusus tentang pendidikan humanis, konsep pendidikan humanis telah diterapkan dalam lingkungan sekolah oleh warga sekolah. Konsep pendidikan humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta tertuang dalam komunikasi yang harmonis antara guru dengan siswa, guru dengan guru, dan siswa dengan siswa. Pengertian bahwa pendidikan humanis adalah pendidikan yang memanusiakan manusia juga disampaikan oleh narasumber PS selaku guru di SMA Negeri 6 Yogyakarta berikut.


(1)

bapak/ibu guru selalu membantu, aku juga sering konsultasi masalah mata pelajaran kok mas dan bapak/ibu guru disini selalu siap”

2. Apa faktor pendukung dan faktor penghambat proses pembelajaran? a. Faktor pendukung ?

“teman-teman di sekolah ini baik jadi nyaman belajar di sekolah ini” b. Faktor penghambat ?

“Guru kadang terlambat masuk kelas, jadi waktu guru telat siswa banyak yang di luar kelas. Terus ada juga beberapa guru yang galak gitu, kalau mulai galak rasanya kurang nyaman dan suasana jadi tegang”

3. Bagaimana saran anda bagi sekolah sebagai solusi dari faktor penghambat dalam proses pembelajaran di SMA anda?

“masalah guru kadang terlambat masuk kelas ya mau gimana lagi mungkin guru punya banyak kesibukan. Saran saya agar guru memberi informasi jika guru akan terlambat masuk kelas dan memberi tugas kepada siswa terlebih dahulu”


(2)

PEDOMAN WAWANCARA SISWA

Hari / tanggal : 1 September 2015 Waktu : 10.15

Tempat : Halaman Mushola Narasumber : RF

Jabatan : Siswa

1. Pendidikan Humanis di SMAN 6 Yogyakarta

a. Bagaimana proses pembelajaran di SMA N 6 ?

“proses pembelajaran di sekolah ini berjalan dengan baik, santai namun serius kak. Selama saya menjadi siswa disini, guru selalu bersikap baik dan ramah kepada teman-teman siswa”

b. Bagaimana peran guru bagi perkembangan belajar anda?

“ya sejauh ini sangat tidak ada tekanan dari guru sehingga saya enjoy datang ke sekolah dan semangat untuk belajar. Guru mendukung saya dalam pelajaran maupun persoalan di luar pelajaran”

2. Apa faktor pendukung dan faktor penghambat proses pembelajaran? a. Faktor pendukung ?

“guru disini ramah, baik sehingga saya senang belajar disini” b. Faktor penghambat ?


(3)

3. Bagaimana saran anda bagi sekolah sebagai solusi dari faktor penghambat dalam proses pembelajaran di SMA anda?

“pada saat jam mata pelajaran kosong karena guru sedang ada keperluan harus ada gru pengganti biar sebagian siswa tidak ramai di kelas, kan berisik”


(4)

(5)

(6)