IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN ETIKA LALU LINTAS DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA.
IMPLEEMENTASI D gu PROG JURUSAN I KEBIJAK DI SMA N
Diajukan Kep Univer untuk Mem una Memper N GRAM STU N FILSAFA FAKULT KAN PEND NEGERI 5 Y
SKRIP pada Fakult rsitas Neger menuhi Seba roleh Gelar Oleh Furi Rom NIM. 09110 UDI KEBIJ AT DAN SO TAS ILMU
DIDIKAN YOGYAKA
PSI
tas Ilmu Pen ri Yogyakar agian Persy Sarjana Pe : mzah 0244002 JAKAN PE OSIOLOGI PENDIDIK ETIKA LA ARTA ndidikan rta yaratan ndidikan ENDIDIKA I PENDID KAN ALU LINT AN IKAN TAS
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
“Jangan menunggu karena tak akan ada waktu yang tepat. Mulailah dari sekarang,
dan berusahalah dengan segala yang ada. Seiring waktu, akan ada cara yang lebih
baik asalkan tetap berusaha” (Napoleon Hill).
“Rahasia dari disiplin adalah motivasi. Jika seorang punya cukup motivasi,
(6)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orangtua, Bapak Darno dan Siti Juariyah yang selalu memberikan
doa, motivasi dan dukungan.
2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta
3. Agama, Nusa, dan Bangsa
(7)
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN ETIKA LALU LINTAS DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA
Oleh Furi Romzah NIM 09110244002
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas dan Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 5 Yogyakarta. Subjek penelitian terdiri dari Kepala Sekolah, guru, siswa di SMA Negeri 5 Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan kajian dokumen. Keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan teknik. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilaksanakan melalui kegiatan pengintegrasian kedalam mata pelajaran, budaya sekolah dan pengembangan diri. Pengintegrasian pendidikan etika lalu lintas dalam mata pelajaran dilakukan dengan cara memasukkan etika lalu lintas kedalam silabus dan RPP yang relevan dengan materi yang ada. Pendidikan etika lalu lintas kedalam budaya sekolah dilakukan melalui kegiatan rutin, keteladanan dan pengkondisian. Sedangkan dalam pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler Patroli Keamanan Sekolah atau PKS, PMR, dan Pramuka. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta yaitu faktor Komunikasi yang terdiri atas transmisi dan kejelasan berjalan dengan baik. Faktor Sumber daya anggaran dan fasilitas sarana prasarana masih minim, karena sekolah masih mengandalkan bantuan dana dari dinas pendidikan serta sekolah belum menganggarkan kedalam APBS. Faktor disposisi pelaksana kebijakan cukup baik, karena sekolah telah membangun dan menekankan kedisiplinan selain itu para pelaksana kebijakan atau guru telah mengerti tentang konsep kebijakan pendidikan etika lalu lintas. Faktor Struktur birokrasi mencakup standar prosedur operasi atau SOP dan fregmentasi. SOP mengacu pada pada pedoman yang telah dibuat oleh dinas pendidikan kota Yogyakarta. Koordinasi dilakukan sekolah dengan dinas pendidikan kota Yogyakarta dan astra honda motor.
Kata kunci: implementasi, kebijakan pendidikan, etika lalu lintas, SMA Negeri 5
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan kehendak-Nya skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pendidikan
Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakata” dapat terselesaikan.
Penyusunan skripsi ini dapat terlaksana berkat bantuan serta dukungan
berbagai pihak. Penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan kemudahan dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan
kelancaran penyusunan skripsi ini.
3. Djoko Sri Sukardi, M. Si dan L. Hendrowibowo, M. Pd. Selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga
skripsi ini dapat selesai dengan baik.
4. Kepala sekolah, guru, siswa, dan seluruh staf SMA Negeri 5 Yogyakarta yang
telah mengizinkan dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Prodi Kebijakan Pendidikan, Jurusan Filsafat dan Sosiologi
Pendidikan yang telah berbagi dan mengajarkan ilmunya.
6. Kedua orangtua Bapak Darno dan Ibu Siti Juariyah yang telah memberikan
dukungan baik materil maupun spiritual.
7. Kakak dan adik, Kis Imantoro dan Arti Wantri yang selalu memberikan
dukungan serta semangat.
(9)
(10)
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 7
C.Batasan Masalah ... 7
D.Rumusan Masalah ... 7
E.Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN TEORI A.Deskripsi Teori ... 9
1. Kebijakan Pendidikan ... 9
a. Pengertian Kebijakan ... 9
b. Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 11
(11)
d. Proses Kebijakan ... 16
2. Implementasi Kebijakan ... 19
a. Pengertian Implementasi Kebijakan ... 19
b. Model-model Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 21
B.Kosep Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 29
1. Pengertian Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 29
2. Bentuk dan Ruang Lingkup Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 30
3. Tujuan Pendidikan Etika Lalu Lintas ... 31
4. Landasan Hukum ... 32
C.Penelitian Relevan ... 32
D.Kerangka Berpikir ... 33
E.Pertanyaan Penelitian ... 35
BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Penelitian ... 36
B.Setting Penelitian ... 36
C.Subjek Penelitian ... 37
D.Teknik Pengumpulan Data ... 37
1. Wawancara ... 37
2. Observasi ... 38
3. Kajian Dokumen ... 38
E.Instrument Penelitian ... 38
F. Teknik Analisis Data ... 40
1. Reduksi Data ... 40
2. Penyajian Data ... 40
3. Penarikan Kesimpulan ... 41
G.Keabsahan Data ... 41
(12)
2. Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA
Negeri 5 Yogyakarta ... 51
a. Integrasi dalam Mata Pelajaran ... 51
b. Budaya Sekolah ... 53
c. Pengembangan Diri ... 60
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ... 61
a. Komunikasi ... 61
b. Sumber Daya ... 63
c. Disposisi ... 72
d. Struktur Birokrasi ... 73
B.Pembahasan ... 74
1. Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ... 75
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 84
B.Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
(13)
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 3. 1 Kisi-kisi Instrumen Observasi ... 39
Tabel 3. 2 Kisi-kisi Instrumen Wawancara ... 39
Tabel 3. 3 Kisi-kisi Instrumen Kajian Dokumen ... 40
Tabel 4. 1 Jumlah Guru Berdasarkan Jenjang dan Status Kepegawaian ... 48
Tabel 4. 2 Jumlah Karyawan Berdasarkan Status Kepegawaian ... 49
Tabel 4. 3 Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar ... 49
(14)
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 2. 1 Sekema Implementasi Kebijakan ... 20
Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir ... 34
Gambar 3. Rambu-rambu Lalu Lintas ... 115
Gambar 4. Slogan Himbauan Penataan Parkir ... 115
Gambar 5. Petunjuk Arah Parkir Guru dan Karyawan ... 115
Gambar 6. Sepeda Motor dilarang Melintas ... 115
Gambar 7. Parkir Sepeda Motor Siswa ... 115
Gambar 8. Parkir Sepeda... 115
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 90
Lampiran 2. Pedoman Wawancara ... 91
Lampiran 3. Catatan Lapangan ... 94
Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 100
Lampiran 5. Dokumen Foto ... 115
Lampiran 6. Perangkat Pembelajaran ... 116
Lampiran 7. Peratuan Gubernur DIY Nomor 54 Tahun 2011 ... 124
Lampiran 8. Pedoman Pendidikan Etika Lalu Lintas... 132
Lampiran 9. Surat-surat Perijinan ... 163
(16)
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman dengan segala kompleksitas permasalahannya
membawa manusia pada era teknologi. Manusia mencoba untuk memikirkan,
merumuskan, dan menghasilkan suatu hal, alat, atau perangkat yang dapat
digunakan untuk membantu kegiatan sehari-harinya. Hal, alat, atau perangkat
yang digunakan manusia untuk membantu kegiatannya tersebut bernama
teknologi. Teknologi ini diciptakan oleh manusia berangkat dari adanya faktor
ketidakefektifan dan kesulitan yang dialami dalam menyelesaikan kegiatan
sehari-harinya. Teknologi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri pula yang
kemudian membantu manusia dalam beraktifitas secara efektif dan lebih
mudah, dan kemudian menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sehari-hari.
Semakin kompleksnya kegiatan yang dilakukan oleh manusia, membawa
teknologi pada tahap lanjut. Teknologi menginjak pada tahap kemajuan. Jika
dahulu teknologi masih berbentuk sederhana, kini telah bertransformasi ke
dalam bentuk yang lebih kompleks. Jika dahulu teknologi diciptakan dan
digunakan untuk membantu dalam aktifitas sehari-hari, kini teknologi telah
mampu menggantikan peran manusia itu sendiri. Manusia tidak lagi menjadi
pelaku utama dalam menyelesaikan aktifitasnya sehari-hari, karena perannya
telah digantikan oleh teknologi dalam bentuk tertentu. Teknologi terus menerus
diperbaharui dan dikembangkan untuk menjawab kompleksitas permasalahan
(17)
Salah satu permasalahan yang dialami oleh manusia adalah dalam
mobilitas sehari-hari. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti bekerja,
menempuh studi, atau kegiatan-kegiatan yang lain, manusia dituntut untuk
dapat mendayagunakan waktu yang dimilikinya dengan baik sehingga kegiatan
tersebut dapat berjalan dengan lebih maksimal. Manusia membutuhkan suatu
alat atau perangkat tertentu yang dapat membantunya dalam melakukan
mobilitas dalam aktifitas sehari-harinya agar lebih mudah.
Teknologi menjadi jawaban atas permasalahan yang dialami oleh
manusia dalam urusan mobilitas. Manusia kemudian menciptakan dan
memanfaatkan teknologi untuk menunjang mobilitas sehari-harinya tersebut.
Manusia menciptakan dan menggunakan teknologi salah satunya dalam bentuk
kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor terbukti sangat menunjang mobilitas
manusia dalam kegiatan sehari-harinya. Hampir semua orang menggunakan
dan ingin memiliki dengan berbagai faktor pendorongnya. Tidak
mengherankan jika kendaraan bermotor ini kemudian menjadi satu hal yang
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari dan bahkan kemudian
membentuk budaya tersendiri. Manusia pun kemudian juga berlomba-lomba
untuk memilikinya secara pribadi. Laju pertambahan kepemilikan kendaraan
bermotor ini menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari.
Laju pertambahan kendaraan bermotor khususnya mobil dan sepeda
motor di Indonesia sangat cepat. Hal ini didasari oleh beberapa faktor
(18)
merambah daerah perdesaan, kepraktisan dan keefektifan, serta penghematan
biaya operasional sehari-hari. Maraknya pertambahan laju kendaraan ini
membawa serta munculnya tren yang kemudian membentuk budaya tersendiri.
Kendaraan tidak lagi dipandang sebagai salah satu alat penunjang untuk
mempermudah kegiatan sehari-hari, namun telah menjadi sebuah gaya hidup
tersendiri. Kendaraan tidak lagi dianggap dari segi fungsionalitas saja, tetapi
sudah menjadi tuntutan bahkan keharusan untuk memiliki meski tetap tidak
dapat memungkiri sisi manfaatnya.
Tren kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi ini juga merambah
kalangan pelajar. Jika beberapa waktu lalu sangat umum dan banyak ditemui
kalangan pelajar menggunakan kendaraan umum atau memanfaatkan bus yang
disediakan oleh pihak sekolah untuk berangkat dan pulang sekolah, maka tidak
untuk saat ini. Salah satu contoh, Kalangan pelajar diwilayah Yogyakarta telah
banyak menggunakan kendaraan pribadi khususnya motor dengan proporsi
sekolah menengah pertama atau SMP (27,4) dan sekolah menengah atas atau
SMA (42%) (Achmad Faris, 2011: http://farismind.wordpress.com/2011). Melihat dari segi manfaat, penggunaan kendaraan ini banyak nilai
positifnya. Aspek kepraktisan, keefektifan, dan penghematan menjadi alasan
tersendiri yang layak untuk dipertimbangkan dengan semakin tingginya biaya
hidup. Namun, penggunaan kendaraan ini juga tidak terlepas dari segi
negatifnya. Selain tidak mendidik jika digunakan untuk gaya-gayaan,
(19)
masalah tersendiri dari segi kepadatan lalu lintas dan keamanan berlalu lintas
bagi pelajar itu sendiri.
Lalu lintas di Indonesia yang sudah lebih ramai daripada beberapa waktu
lalu karena masyarakat secara berangsur-angsur meninggalkan kendaraan
umum dan beralih ke kendaraan pribadi, kini semakin bertambah ramai dengan
banyaknya penggunaan kendaraan bermotor dikalangan pelajar. Para pelajar
yang dulunya tidak berperan dalam faktor utama penyebab kemacetan, kini
telah berubah menjadi sebaliknya. Para pelajar telah sedikit banyak
menyumbangkan keramaian dan kemacetan lalu lintas terbesar di jam-jam
sibuk lalu lintas.
Keramaian lalu lintas dan kurang layaknya sarana prasarana lalu lintas
menjadi dua di antara beberapa yang kemudian dikambinghitamkan menjadi
penyebab terjadinya kecelakaan berlalu lintas di Indonesia. Namun, andaikan
pengguna jalan mematuhi rambu-rambu lalu lintas, memahami bagian-bagian
kendaraan dan fungsinya, mematuhi peraturan perundangan lalu lintas dan
angkutan jalan, serta memahami dan menerapkan sikap normatif pengendara
dan etika berkendara, tentunya kecelakaan lalu lintas ini bisa dihindari.
Angka kecelakaan di Indonesia secara keseluruhan tanpa melihat aspek
umur atau kalangan profesi tertentu berdasarkan data dari kepolisian RI
mencatat jumlah kecelakaan selama tahun 2012 mencapai 117.949 peristiwa,
(Dani Prabowo, 2013: http://www.kompas.com/2013). Sangat mengagetkan jika melihat korban kecelakaan terbesar di Indonesia adalah dari kalangan
(20)
Indonesia 67% didominasi oleh usia produktif atau usia pelajar (Rizki
Maulana, 2012: http://news.detik.com/2012). Untuk wilayah Yogyakarta yang menjadi fokus penelitian ini, jumlah kecelakan lalu lintas pada tahun 2011
berdasarkan data kepolisian daerah istimewa Yogyakarta mencapai angka
4.411 kasus sedangkan korban tewas mencapai 518 orang dan sekitar dua
pertiga korban tewas tersebut beridentitas pelajar.
Tingginya angka kecelakan yang dialami oleh pelajar ini juga akan
semakin menambah angka dan jumlah korban kecelakaan secara keseluruhan
karena kecelakan ini tidak hanya terbatas pada kecelakaan tunggal saja.
Kecelakaan yang dialami oleh pelajar ini juga sering melibatkan pengguna
jalan lain, dan yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakan yang
melibatkan para pelajar ini apakah satu atau beberapa dari faktor umumnya
menjadi penyebab kecelakaan masih perlu untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut.
Tingginya angka kecelakaan pelajar ini jelas menjadi suatu kondisi yang
memperihatinkan mengingat pelajar (pemuda) adalah tonggak bangsa.
Sungguh disayangkan jika para calon penerus bangsa mati sia-sia karena
kecelakaan lalu lintas, menjadi suatu kerugian tersendiri bagi bangsa Indonesia
dalam mengejar ketertinggalan dari bangsa lain jika orang-orang yang
berpotensi memajukan negara ini tidak dapat berkontribusi karena menjadi
korban kecelakaan.
Hal ini kemudian ditanggapi pemerintah dengan ditandatanganinya Surat
(21)
Kepolisian Republik Indonesia No.03/III/KB/2010 dan No.B/9/III/2010
tanggal 8 Maret 2010, tentang Mewujudkan Pendidikan Nasional dalam
Berlalu Lintas. Terkait surat keputusan bersama tersebut, pemerintah provinsi
daerah istimewa Yogyakarta mendukung sepenuhnya pelaksanaannya,
dukungan tersebut dilakukan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan menerbitkan kebijakan melalui Peraturan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta No 54 Tahun 2011 tentang Pendidikan Etika Berlalu Lintas pada
Satuan Pendidikan. Kebijakan ini mengharuskan pendidikan etika berlalu lintas
menjadi muatan wajib dari kurikulum yang akan dipergunakan di satuan
pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK). Pendidikan etika berlalu lintas ini dapat
dilaksanakan dengan mengintegrasikan pada mata pelajaran-mata pelajaran
yang relevan.
Dengan kebijakan tersebut diharapkan lingkungan satuan pendidikan
menjadi tempat untuk memberikan penanaman dan pengembangan etika dan
kesadaran berlalu lintas dengan berbagai kegiatan yang akan dilakukan untuk
mendorong terwujudnya kesadaran berlalu lintas dan menekan angka
kecelakan yang dialami oleh para pelajar.
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 5 Yogyakarta, hal ini dipilih
karena sekolah tersebut telah melaksanakan kebijakan pendidikan etika beralu
lintas. Akan tetapi dalam pelaksanaanya belum optimal, berdasarkan hasil
observasi dan wawancara menujukan tingkat kesadaran etika lalu lintas masih
(22)
kendaraan bermotor kesekolah dengan berbagai alasan, padahal usia mereka
belum memenuhi syarat mempunyai SIM, selain itu masih terdapat beberapa
siswa yang berkendara tidak menggunakan helm dan berboncengan lebih dari
satu.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA
Negeri 5 Yogyakarta.
B.Identifikasi Masalah
1. Tingginya angka kecelakaan lalu lintas di kalangan pelajar
2. Meningkatnya pelanggaran lalu lintas
3. Kurangnya pemahaman tentang etika berlalu lintas di kalangan pelajar
4. Masih rendahnya kesadaran pelajar tentang tertib dan etika lalu lintas.
C.Batasan Masalah
Agar Masalah yang di teliti mempunyai batasan dengan lingkup
penelitian yang jelas dan lebih fokus maka permasalahan dalam penelitian ini
di batasi pada studi implementasi kebijakan Pendidikan etika lalu lintas dan
faktor-faktor yang mempengaruh implementasi kebijakan.
D.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA
Negeri 5 Yogyakarta ?
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan
(23)
E.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di
SMA Negeri 5 Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta.
E.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan Pendidikan
etika lalu lintas, sehingga dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya.
2. Bagi Institusi Sekolah
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan khususnya dalam menerapkan
kebijakan Pendidikan etika lalu lintas.
3. Bagi Institusi Universitas Negeri Yogyakarta
Menambah referensi dalam proses belajar-mengajar mengenai kebijakan,
khususnya mengenai kebijakan pendidikan etika lalu lintas.
3. Bagi Prodi Kebijakan Pendidikan
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah refrensi tentang implementasi
kebijakan pendidikan etika lalu lintas.
4. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang kebijakan, khususnya
(24)
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Kebijakan Pendidikan a. Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu polis yang artinya kota (city). Dapat ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintahan mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Senada dengan hal tersebut Monahan dan Heng, menyatakan bahwa kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Syafaruddin 2008 : 75).
Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. (Joko Widodo 2012: 13).
Abidin memberikan penjelasan kebijakan sebagai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Sedangkan Nichols berpendapat bahwa kebijakan adalah suatu keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh
(25)
pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan. (Syafaruddin 2008: 75-76).
Pendapat lain dikemukakan oleh Hug Heclo yang melihat kebijakan sebagai cara bertindak yang disengaja untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. Sedangkan James E. Anderson juga memberikan pandangan kebijakan sebagai perilaku sejumlah aktor (pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan (Arif Rohman, 2008: 108).
Konsep kebijakan menurut Syafaruddin (2008: 76) merupakan seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing organisasi. Kebijakan dengan demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi. Dengan kata lain, kebijakan adalah hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang intinya berupa tujuan-tujuan, prinsip-prinsip, aturan-aturan yang mengarahkan organisasi melangkah ke masa depan. Secara ringkas ditegaskan bahwa hakikat kebijakan adalah sebagai petunjuk organisasi.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian upaya atau tindakan yang dilakukan atau diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dan dibuat secara terencana dan memiliki prinsip-prinsip dalam bertindak untuk mencapai tujuan.
(26)
b. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan berbangsa, konsep yang sering kita dengar, kita ucapkan dan kita lakukan, Kebijakan pendidikan merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan (Arif Rohman, 2009: 109).
Kebijakan Pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur penyerapan sumber, distribusi dan pengaturan perilaku dalam pendidikan.
Menurut H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140) mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah dan strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan publik dibidang pendidikan, sehingga kebijakan pendidikan dibangun sesuai dengan kepentingan publik. Kebijakan pendidikan berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Hal ini terjadi karena
(27)
meningkatnya kritisme lingkungan publik mengenai biaya pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan harus dirumuskan dengan baik untuk mencapai tujuan pembangunan negara dan bangsa dibidang pendidikan (H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, 2008 : 268).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu sistem yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari perumusan strategis dalam mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan.
c. Teori Perumusan Kebijakan
Dalam khasanah teori perumusan kebijakan, dikenal setidaknya tiga belas teori perumusan kebijakan, yaitu:
1) Teori Kelembagaan
Teori ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, disetiap sektor dan tingkat, dalam formulasi kebijakan. Teori kelembagaan sebenarnya merupakan derivasi dari ilmu politik tradisional yang lebih menekankan struktur dari pada proses atau perilaku politik. Prosesnya mengandaikan bahwa tugas formulasi kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintah yang dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Teori Proses
Dalam teori ini para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses.
(28)
Maka dari itu di dalam kebijakan selalu berkaitan dengan proses politik.
3) Teori Kelompok
Teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan. Inti gagasannya adalah interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik.
4) Teori Elit
Teori ini menandaskan bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Sedemokrasi apapun selalu ada bias dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit.
5) Teori Inkrementalis
Teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu, dapat dikatakan sebagai teori pragmatis/praktis. Inti dari kebijakan inkrementalis adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan dimasa lalu untuk mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
6) Teori Rasionalisme
Teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximun social gain, yang berarti pemerintah sebagai
(29)
pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan mamfaat optimum bagi masyarakat.
7) Teori Demokratis
Teori ini dapat dikatakan sebagai teori demokratis karena menghendaki agar setiap pemilik hak demokratis diikutsertakan sebanyak-banyaknya.
8) Teori Strategis
Teori ini merupakan salah satu derivat manajemen dari teori rasional karena mengandaikan bahwa proses perumusan kebijakan adalah proses rasional, dengan pembedaan bahwa teori ini lebih fokus pada rincian-rincian langkah manajemen.
9) Teori Pengamatan Terpadu
Teori ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai.
10)Teori Permainan
Teori permainan adalah teori yang sangat abstrak dan dekdutif dalam formulasi kebijakan. Teori ini mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional, namun dalam kondisi kompetisi yang
(30)
tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan.
11)Teori Pilihan Publik
Teori ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan terhadap keputusan tersebut. Teori ini memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri, karena interaksi akan terbatas pada publik yang memiliki akses, dan disisi lain terdapat kecendurungan dari pemerintah untuk memuaskan pilihannya daripada masyarakat luas.
12)Teori Sistem
Teori ini merupakan yang paling sederhana namun cukup komperhensif meski tidak memadai lagi untuk dipergunakan sebagai landasan pengambilan keputusan atau formulasi kebijakan publik. Kelemahan dari teori ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah yang membuat kita kehilangan perhatian dengan apa yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah.
13)Teori Deliberatif
Teori deliberatif atau musyawarah pada perumusan kebijakan dapat juga dilihat pada bagian analisis kebijakan dengan teori deliberative policy analysis di depan. Proses teori ini jauh lebih berbeda dengan teori-teori teknokratik. Karena peran dasar analisis kebijakan hanya sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan
(31)
sendiri keputusan kebijakan atas dirinya sendiri. Disini peran pemerintah hanya sebagai legislator dari kehendak publik. (H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, 2008: 190-210).
d. Proses Kebijakan
Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Proses perumusan kebijakan menjadi sangat penting dikarenakan banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan di dalam merumuskanya. Selain itu, para ahli harus
menguasai makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan dan prosedur perumusan kebijakan, serta faktor-faktor lainnya. Menurut William Dunn (Budi Winarno, 2007: 32-34) tahapan-tahapan kebijakan publik adalah sebagai berikut :
1) Tahap penyusunan agenda
Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi.
Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus
(32)
mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat.
2) Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternative/policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3) Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini
(33)
sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.
4) Tahap Implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agenda-agenda pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5) Tahap evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini,
(34)
2. Implementasi Kebijakan
a. Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
Menurut Van Mater dan Van Horn (Arif Rohman, 2009: 134) implementasi kebijakan disebut sebagai keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh individu-individu, pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapain tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu. yakni tindakan-tindakan yang merupakan usaha sesaat untuk mentransformasikan keputusan kedalam istilah operasional, maupun usaha berkelanjutan untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang di amanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Terkait dengan masalah implementasi kebijakan Riant Nugroho (2004: 158) mendefinisikan bahwa :
“Implementasi pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam
(35)
bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut”.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Dalam mengimplementasikan kebijakan terdapat dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum rangkaian kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut :
(Sumber: Riant Nugroho, 2012: 675).
Gambar 2.1 Sekema Implementasi Kebijakan. Program
Proyek Kebijakan Publik
Kebijakan publik penjelas
Kegiatan
Pemanfaatan (benefit)
(36)
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah sesuatu yang berkaitan dengan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan yang mengandung suatu unsur
tindakan Serta merupakan usaha berkelanjutan dalam
mentransformasikan keputusan dalam mencapai perubahan baik perubahan secara besar maupun scara kecil.
b. Model-model Implementasi Kebijakan Pendidikan
1) Brian W . Hogwood dan Lewis a Gunn
Menurut kedua ahli ini, untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna maka dibutuhkan banyak syarat. syarat-syarat tersebut adalah:
a) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi
pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.
b) Untuk pelaksana suatu program, harus tersedia waktu dan
sumber-sumber yang cukup memadai.
c) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan harus bener-bener ada
dan tersedia.
d) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungan kausalitas yang handal.
e) Hubungan kausalitas tersebut hendaknya bersifat langsung dan
hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
(37)
g) Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
h) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang rapat.
i) Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
j) Pihak-pihak memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
2) Van Meter dan Van Horn
Menurut teori ini menyatakan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan. Teori ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan (AG. Subarsono, 2010: 99), variabel-variabel tersebut adalah:
a) Standar dan tujuan kebijakan
Standar dan tujuan harus jelas dan terukur sehingga dapat terealisir. Apabila standar dan tujuan kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik antara para agen implementasi.
b) Sumber daya
Implementasi memerlukan dukungan sumber daya manusia maupun non-manusia.
c) Hubungan antar Organisasi
(38)
koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
d) Karakteristik pelaksana
Karakteristik agen pelaksana meliputi struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
e) Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Variabel ini meliputi sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan.
f) Disposisi implementor atau sikap para pelaksana
Sikap mereka dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasi dan pribadinya. disposisi implementasi kebijakan diawali dengan penyaringan lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan, pemahaman dan pendalaman terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
(39)
3) Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier.
Teori ini menurut beberapa ahli disebut sebagai ‘a frame work for implementation analysis’ atau Kerangka Analisis Implementasi. kedua ahli ini mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel yang meliputi:
a) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap untuk dikendalikan,
b) Kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menstrukturkan
secara tepat proses implementasinya,
c) langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.
4) Edward
Model Edward mengajukan empat faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Empat variabel atau faktor tadi antara lain meliputi variabel atau faktor communication, resource, disposition dan bureaucratic structure (Joko Widodo, 2012: 96).
a) Faktof komunikasi (communication)
Komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementators).
(40)
dan konsistensi (consistency). Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan dapat ditranformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan.
Dimensi kejelasan (clary) menghendaki agar kebijakan
ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan tersebut.
b) Sumber Daya (Resource)
Edward III mengemukakan bahwa faktor sumber daya juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Lebih lanjut Edward III menegaskan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, serta bagaimanapun akuratnya penyampaian kententuan-ketentuan, jika para pelaksana kebijakan bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya sebagaimana telah disebutkan meliputi sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sumber daya peralatan yang dipelukan dalam melaksanakan kebijakan :
(41)
(1) Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Sumber daya manusia atau staff, harus cukup dari segi jumlah dan kualitas atau keahliannya. Selain itu Edward juga menjelaskan bahwa sumber daya manusia harus mengetahui apa yang harus dilakukan (knowing what to do). Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan (implementators) tersebut juga membutuhkan informasi yang cukup tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting (esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan (Joko Widodo 2012: 98-99).
(2) Sumber Daya Anggaran
Sumber daya anggaran diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya sumber daya anggaran, akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping itu program tidak akan berjalan secara optimal, terbatasnya anggaran juga menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah, bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan oleh pelaku kebijakan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan
(42)
(3) Sumber Daya Peralatan (facility)
Sumber daya peralatan meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward III (Joko Widodo, 2012: 102) menegaskan bahwa :
“physical facilities may also be critical resources in implementation. An implementator may have sufficient staff, may understand what he is supposed to do, may have authorityto exercise his task, but without the necessary bulding,equipment, supplies, and even green space implementation won’t succed”.
Dengan demikian, terbatasnya fasilitas dan peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan, menyebabkan gagalnya pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan.
(4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan
Sumber daya informasi juga menjadi faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi yang relevan dan cukup tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan serta kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksana kebijakan tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana cara mengimplementasikan atau melaksanakan kebijakan tersebut.
(43)
Kewenangan menurut Geore E. Edward III menegaskan bahwa kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan.
c) Disposisi (Disposition)
Edward III merupakan kemauan, keinginan, dan kecendurungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan (Joko Widodo, 2012: 104).
Disposisi akan muncul diantara para pelaku kebijakan, manakala akan menguntungkan tidak hanya organisasi, tetapi juga dirinya. mereka akan tahu hal tersebut manakala mereka cukup pengetahuan dan mereka sangat mendalami dan memahami. Pengetahuan, pendalaman, pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak terhadap kebijakan.
d) Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)
Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit
(44)
hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi (fragmentation) dan standar prosedur operasi (standard operating procedure) yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.
Dimensi fregmentasi (fragmentation) menegaskan bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan mempunyai kesempatan yang besar berita/instruksinya akan terdistorsi. Organisasi pelaksana yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau tersebar) akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan kebijakan. semakin terfragmentasi organisasi pelaksana semakin membutuhan koordiasi yang intensif.
Keberhasilan implementasi kebijakan yang kompleks, perlu adanya kerjasama yang baik dari banyak orang.
3. Konsep Pendidikan Etika Lalulintas
a. Pengertian Pendidikan Etika Lalu lintas
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan, khususnya dalam Pasal 208 Ayat 2 menyatakan bahwa untuk membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalau Lintas dan Angkutan Jalan dapat dilakukan melalui pelaksanaan pedidikan berlalu lintas sejak usia dini,
(45)
serta adanya sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pendidikan etika lalu lintas (Pasal 1 Ayat (1)Pergub DIY 54/2011) adalah penanaman budaya tertib berlalu lintas yang dimulai dari pembiasaan-pembiasaan di satuan pendidikan.
b. Bentuk dan Ruang Lingkup Pendidikan Etika Lalu Lintas
1) Pengintegrasian dalam mata pelajaran
Pengintegrasian merupakan suatu proses penyatuan materi etika berlalu lintas ke dalam mata pelajaran yang menjadi bagian dari kompetensi dasar. Dalam pelaksanaan pengintegrasian, pendidik melakukan analisis pemetaan SK/KD dengan memperhatikan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Hasil analisis pemetaan ditindaklanjuti dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksana Pembelajaran (RPP). Tata cara penyusunan analisis pemetaan ditetapkan dengan keputusan kepala dinas.
2) Pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan
Pengembangan diri dalam pendidikan etika berlalulintas dapat dilaksanakan melalui program pembiasaan dan atau kegiatan ekstrakurikuler di satuan pendidikan. Pembiasaan dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai ketaladanan, kedisiplinan, tanggung jawab, dan kepedulian lingkungan. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui patroli keamanan sekolah, kepramukaan dan
(46)
dalam pendidikan etika berlalulintas dilaksanakan oleh seluruh warga satuan pendidikan dengan dukungan dari masyarakat.
3) Pedoman penilaian etika berlalu lintas
Penilaian etika berlalu lintas sebagaimana dilaksanakan pada waktu proses pembelajaran, dan atau akhir kegiatan pembelajaran. Penilaian etika berlalu lintas dilaksanakan oleh pendidik, masyarakat satuan pendidikan, dan atau pemangku kepentingan. Penilaian etika berlalu lintas yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap dilakukan dengan cara tes dan nontes. Hasil penilaian etika berlalu lintas menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan nilai kepribadian peserta didik.
c. Tujuan Pendidikan Etika Lalu Lintas
Adapun tujuan pendidikan etika lalu lintas antaralain sebagai berikut :
1) Menumbuhkembangkan norma etika berlalu lintas bagi peserta didik
melalui pengembangan pengetahuan dan pembiasaan etika lalu lintas.
2) Meningkatkan keamanan, keselamatan dan ketertiban berlalu lintas.
3) Meningkatkan kelancaran dan kenyamanan dalam berlalu lintas.
4) Mewujudkan budaya tertib berlalu lintas yang santun dan
(47)
d. Landasan Hukum
1) Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional.
2) Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
angkutan jalan.
3) Keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala
Kepolisian Negara RI, Nomor 03/III/KB/2010 dan Nomor B/9/III/2010 tentang Mewujudkan Pendidikan Berlalu Lintas dalam Pendidikan Nasional, perlu pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini.
4) Peraturan pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan.
5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi.
6) Peraturan daerah kota yogyakarta Nomor 5 Tahun tentang, Sistem
Pelayanan Pendidikan.
7) Peraturan Gubernur Nomor 54 Tahun 2011 tentang, Penididikan
Etika Lalu Lintas pada Satuan Pendidikan.
8) Peraturan Walikota Nomor 40 Tahun 2010 tentang, Pelaksanaan
Pendidikan Etika Beralu Lintas di Kota Yogyakarta (Naskah Akademik pendidikan etika lalu lintas, 2: 2013).
B.Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Lina Purnawati yang berjudul Efektifitas
Pembelajaran Etika Lalu Lintas Melalui Pendidikan Kewarganegaraan di SMA Gita Bahari Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana cara penerapan dan efektivitas pembelajaran Etika Berlalu Lintas melalui pendidikan kewarganegaraan. Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Sumber data diperoleh dari responden dan dokumentasi. Hasil penelitan yang diperoleh yaitu pembelajaran etika berlalu lintas telah dilaksanakan setelah adanya pedoman pembelajaran etika berlalu lintas, pembelajaran etika berlalu lintas adalah usaha sadar untuk menumbuhkan kesadaran tertib
(48)
timbulnya kecelakaan lalu lintas. Efektivitas pembelajaran etika berlalu lintas dilihat dari adanya ketercapaian indikator pembelajaran etika lalu lintas atau sesuai dengan standar kelulusan pada mata pelajaran PKN.
C.Kerangka Berpikir
Pemerintah provinsi daerah istimewa yogyakarta membuat kebijakan melalui Peraturan gubernur daerah istimewa yogyakarta nomor 54 tahun 2011 tentang pendidikan etika lalu lintas pada satuan pendidikan. Kebijakan tersebut juga didukung oleh pemerintah kota yogyakarta dengan menerbikan peraturan walikota nomor 40 tahun 2012 tentang pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas pada satuan pendidikan. Kemudian kebijakan tersebut ditindak lanjuti oleh pihak SMA Negeri 5 Yogyakarta sebagai pelaksana kebijakan dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Sekolah nomor 875/750 tentang pelaksanaan tugas kebijakan pendidikan etika lalu lintas.
(49)
KERANGKA BERPIKIR
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir.
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Pendidikan Etika Berlalu lintas Pada Satuan Pendidikan
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2012 tentang
pelaksanaan Pendidikan Etika Berlalu lintas Pada Satuan Pendidikan
Kebijakan Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Yogyakarta Nomor : 875/750
Pemberian Tugas Pelaksanaan Pendidikan Etika Lalu lintas
Faktor Yang Mempengaruhi
1.Komunikasi 2.Sumber Daya 3.Disposisi
4.Struktur Organisasi
Hasil Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu
(50)
D.Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas yang
terintegrasi dalam mata pelajaran ?
2. Bagaimana impementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas dari aspek
budaya sekolah?
3. Bagaimana impementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas dari aspek
pengembangan diri ?
4. Bagaimana Sumber daya yang ada dalam pendidikan etika lalu lintas ?
5. Bagaimanakah komunikasi yang dilakukan dalam mengimplementasikan
kebijakan pendidikan etika lalu lintas ?
6. Bagaimana disposisi atau sikap warga sekolah dalam mengimplementasikan
kebijakan pendidikan etika lalu lintas ?
7. Bagaimana struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan pendidikan
(51)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan atau
menggambarkan keadaan yang sebenarnya mengenai implementasi kebijakan
pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta serta faktor –faktor
yang mempengaruhi pelaksanaanya, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi
bagi lembaga pendidikan dalam mengembangkan pendidikan etika lalu lintas
di sekolah.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan
filsafat postpositivisme, dan digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, yang mana peneliti sebagai instrument kunci. teknik pengumpulan
dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi
(Sugiyono, 2011: 15).
Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 29) pendekatan kualitatif adalah
pendekatan dengan cara memandang objek kajian sebagai suatu sistem, artinya
objek kajian dilihat sebagai satuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling
terkait dan mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada.
B.Setting penelitian
(52)
Yogyakarta ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk
melaksanakan pendidikan etika lalu lintas.
C.Subjek Penelitian
Pemilihan subjek pada penelitian ini menggunakan purposive sampling,
yaitu dengan pertimbangan tertentu subjek penelitian dipandang paling tahu
dan mengerti sehingga akan memudahkan peneliti dalam pengambilan data.
Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, Guru dan Siswa.
Sedangkan data lain digali dari berbagai kajian dokumen yaitu data yang
berhubungan dengan objek yang menjadi pembahasan.
D.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Supaya
mendapatkan data tersebut, maka digunakan teknik-teknik pengumpulan data
yang tepat. Oleh sebab itu dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
pengumpulan data :
1. Wawancara
Menurut Esterberg dalam Sugiyono (2012: 231) wawancara adalah
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui
tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu. Pada penelitian ini wawancara digunakan untuk melakukan
(53)
penelitian, yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum,
guru dan siswa.
2. Observasi
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa, observasi adalah suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan
psikologis (Sugiyono 2012: 145). Observasi dalam penelitian ini digunakan
untuk mendapatkan data mengenai kondisi dan lingkungan sekolah serta
aktivitas warga sekolah dalam mengimplementasi pendidikan etika lalu
lintas.
3. Kajian Dokumen
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik.( Nana Syaodih 2009: 221).
Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk
memperoleh data yang menjadi dokumen atau menjadi pustaka sekolah data
yang diperlukan seperti profil sekolah, kurikulum sekolah, tujuan
pembelajaran, standar isi, standar kompetensi, silabus, RPP dan struktur
organisasi yang dimiliki SMA Negeri 5 Yogyakarta.
E.Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Oleh
karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi seberapa jauh
(54)
pada dirinya sebagai alat pengumpul data. Akan tetapi instrumen penelitian
yang dimaksud adalah sebagi alat pengumpulan data seperti membuat pedoman
Wawancara, pedoman observasi dan dokumentasi terstruktur yang dibuat oleh
peneliti sendiri.
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Observasi
No Aspek yang diamati Indikator Metode 1. Lokasi dan keadaan sekolah Sejarah sekolah Pengamatan
peneliti Letak dan alamat
Kondisi bangunan Keadaan lingkungan 2. Proses Pelaksanaan
pembelajaran pendidikan etika lalu lintas
Interaksi warga sekolah Sarana prasarana Media
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Wawancara
No Aspek pengamatan Indikator Sumber data
1.
Implementasi Kebijakan pendidikan etika lalu lintas
a.Integrasi dalam mata pelajaran langkah-langkah integrasi dalam pembelajaran Kepala Sekolah Wakasek bidang kurikulum Guru Siswa
b.Budaya sekolah
kegiatan rutin
keteladanan
pengkondisian c.Pengembangan diri
kegiatan ekstrakurikuler 2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas
a.Sumber Daya b.Disposisi c.Struktr Birokrasi d.Komunikasi
Kepala Sekolah
Guru
(55)
Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Kajian Dokumentasi
No Aspek yang dikaji Indikator Sumber data 1. Arsip sekolah a. Profil sekolah
b. Visi misi c. Data siswa d. Data pendidik dan
tenaga kependidikan e. Sarana prasarana
Dokumen Foto
2. Buku a. Silabus
b. RPP
Dokumen
F.Teknik Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan
Huberman yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2012: 242).
Aktivitas dalam analisis data, yaitu :
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, sehingga data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti
dalam melakukan pengumpulan data. (Sugiyono, 2010: 338).
2. penyajian data (Display Data)
Penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dalam
uraian, singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.
Penyajian data akan memudahkan dalam memahami apa yang terjadi,
(56)
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing)
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat mendukung yang
mendukung, pada tahap pengumpulan data berikutnya, tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan
data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang
kredibel.
G. Keabsahan Data
Teknik keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibelitas diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai
waktu. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi
sumber dan triangulasi teknik.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah
diperoleh dari beberapa sumber. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan
dengan cara mengecek data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
(57)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian
1. Deskripsi SMA Negeri 5 Yogyakarta a. Sejarah SMA Negeri 5 Yogyakarta
SMA Negeri 5 Yogyakarta merupakan sekolah unggulan di kota yogyakarta. Sekolah ini diprakarsai oleh tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat antara lain Bapak R.DS. Haidiwidjono, Bapak Jujanal, Prof. Ir. Supardi, SH. Pada tanggal 17 September 1949, SMA 5 Yogyakarta secara resmi dapat didirikan dengan nama Sekolah Menengah Atas Bagaiab Yuridis Ekonomis (SMA/ AC) dan menempati 9 gedung SMA Putri Stella Duce Yogyakarta.
Pada tanggal 27 Oktober 1949, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebuayaan Nomor 210 B, SMA/C Negeri. Sebagai Kepala Sekolah adalah Bapak R.DS. Haiwidjono. Tanggal 31 Maret 1950 pimpinan sekolah diserahterimakan kepada Bapak RA. Djoko Tirtono, SH. Di bawah pimpinanannya SMA bagian C berkembang pesat. Pada tanggal 21 Juli 1952 melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3094/B, SMA/C dipecah menjadi 2 sekolah, masing-masing:
1) SMA bagian C Negeri 1 di bawah pimpinan Bapak Parmanto, SH.
(58)
2) SMA bagian C Negeri II dipimpin Bapak RA. Djoko Tirtono, SH. Yang menempati gedung yang sama tetapi masuk pada pagi hari (sekarang menjadi SMA N 6 Yogyakarta).
Untuk mengatasi kemajuan jaman dan menyiapkan siswa ke jenjang Perguruna Tinggi, maka pada tanggal 1 Agustus 1959 SMA Negeri 5 bagian C dijadikan SMA Negeri 5 bagian A-C, Pada tahun tersebut berhasil dibakukan:
1) Tanggal 1 Januari 1964 jabatan Kepala Sekolah diserahterimakan
kepada bapak Drs. Hadianto. Jumlah kelas dikembangkan dari 12 menjadi 14 kelas dengan mengelola jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Sosial, dan Budaya.
2) Tanggal 1 Agustus 1965 Kepala Sekolah diserahterimakan lagi
kepada bapak R. Muh. Solihin, yang kemudian beliau membuka kelas jauh di Kalasan sebagai filial dengan pimpinan bapak Suwardhi, BA.
Pada tahun 1974 SMA N 5 Yogyakarta mendapat limpahan tugas untuk mengelola SMPP 10 Yogyakarta, yang sekarang menjadi SMA Negeri 8 Yogyakarta. Pada bulan Januari 1974 SMA N 5 Yogyakarta bersama-sama SMPP 10 Yogyakarta pindah dari Kotabaru ke Jalan Kenari Muja Muju Yogyakarta. Pada saat itu dirasakan ada dualisme pengelolaan administrasi dalam satu lingkungan pendidikan sehingga berakibat nyaris punahnya nama SMA N 5 Yogyakarta. Dengan diserahterimakannya tampuk kepemimpinan SMA N 5 kepada Ibu
(59)
S Handrioetomo pada tanggal 14 April 1975, SMA N Yogyakarta dapat menggeliat untuk bangkit berdiri sendiri. Upaya besar telah dilakukan oleh Ibu S. Handrioetomo yaitu agar SMA N 5 Yogyakarta dapat memiliki gedung sendiri.
Tanggal 1 April 1979 dilaksanakan serah terima jabatan kepala sekolah kepada Bapak Drs. A. Sulistijo karena Ibu S. Handioetomo menjalani masa purna tugasnya. Janji Siswa Panca Prasetya Bhineka Dharma Siswa Puspanegara dijadikan acuan dalam memantapkan keberadaan sekolah sebagai wiyata mandala. Tanggal 24 Agustus 1981 jabatan kepala sekolah diserahterimakan kepada bapak Suwardhi.
Pada tanggal 1 Oktober 1985, terjadi serah terima jabatan kepala sekolah kepada Bapak Drs. Soehardjo. Di bawah kepemimpinan beliau, sekolah melaksanakan kerja keras dalam bidang administrasi persekolahan, kesehatan dan kerindangan lingkungan sekolah, juga memantapkan sekolah sebagai Wawasan Wiyata Mandala melalui kebersamaan dan kekeluargaan.
Tanggal 17 Februari 1992 dilakukan serah terima jabatan kepala sekolah kepada Ibu Dra. Sri Soewarni. Beliau berusaha meningkatkan keberadaan sekolah sebagai wujud Wawasan Wiayata Mandala melalui kebersamaan dan kekeluargaan. Tanggal 2 September 1992 terjadi serah terima jabatan kepala sekolah kepada Bapak R.M. Brotohardono. Beliau merintis berdirinya Yayasan Puspanegara sebagai wadah alumni SMA N
(60)
pengurus BP3 SMA 5 Yogyakarta dari bapak Prof. Haditono kepada bapak Drs. Pratikto.
Pada tanggal 14 Agustus 1995, terjadi serah terima jabatan kepada bapak Drs. H. Ngaburrachim beliau berusaha melanjutkan program-program dari pejabat lama yang belum terselesaikan. Melalui kerjasama yang harmonis dengan pengurus BP3 mengupayakan program baru untuk jangka pendek dan jangka 5 tahun, antara lain:
1) Pengukuhan Yayasan Puspanegara sebagai wadah kegiatan darma
bakti keimanan SMA N 5 Yogyakarta.
2) Peningkatan keimanan dan ketaqwaan dilingkungan sekolah
3) Peningkatan dan penertiban aministrasi sekolah/pendidikan
4) Peningkatan prestasi belajar melalui program intensifikasi belajar di
sekolah
5) Pembangunan ruang kantor dan guru 2 lantai sebagai wajah SMA N 5
Yogyakarta
6) Pembangunan sarana tempat ibadah
7) Mengupayakan agar sekolah berprestasi sebagai sekolah tipe A
(Sumber: Dokumen Profil Sekolah SMA Negeri 5 Yogyakarta).
Mulai tanggal 1 Juli 1999 SMA N 5 Yogyakarta diserahterimakan kepada bapak Drs. Panut S, karena bapak Drs. H. Ngaburrachim menjalani masa purna tugas. Bapak Drs. Panut S. Menjabat untuk beberapa bulan. pada Desember 1999 datanglah kepala sekolah yang baru yaitu bapak Drs. H. Ilham. Pada periode bapak Drs. H. Ilham program utama yang paling ditekankan adalah peningkatan ketaqwaan sehingga pada saat ini salah satu wujud adalah diresmikannya masjid SMA N 5 Yogyakarta dengan nama beliau menjabat hingga purna tugas, mengingat perlu adanya pejabat kepala sekolah di SMA N 5 Yogyakarta, maka bulan Desember 2001 Bapak Drs. Timbul Mulyono, Kepala SMA
(61)
N 7 Yogyakarta, ditunjuk Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk menjabat sementara sebagai kepala sekolah.
Tanggal 25 Maret 2002 kepala sekolah dijabat oleh Bapak Drs.
H. Abu Suwardi. Pada periode ini beliau menekankan pembangunan etos kerja pada semua guru dan karyawan dan membangun kedisiplinan pada siswa. Pada periode ini pula bapak Drs. H. Abu Suwardi menyempurnakan visi dan misi sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar program kerja dan kegiatan sekolah lebih terarah dalam menggapai target-target kualitas pendidikan yang diharapkan.
Pada tanggal 7 juli 2005 kepala sekolah diserah terimakan kepada Drs. Bapak Zamroni, M. Pdi. Dengan memohon pertolongan dari Tuhan YME semoga SMA N 5 Yogyakarta diperkenankan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang senantiasa memiliki akhlak yang mulia " Trus Hakarya Praja ".
Karena kekhasan SMA N 5 dengan huruf "C" , maka hingga saat inipun masyarakat lebih sering menyebut SMA N 5 Yogyakarta dengan sebutan "MACHE".
b. Profil Sekolah Identitas Sekolah
1) Nama Sekolah : SMA Negeri 5 Yogyakarta
2) Kota : Yogyakarta
3) Propinsi : DIY
(62)
7) Telp./Fax : (0274) 377400
8) Kelurahan : Prenggan
9) Kecamatan : Kotagede
10) Kabupaten/kota : Yogyakarta
11) Kode Pos : 55172
12) Status Sekolah : Negeri
13) Tahun Berdiri Sekolah : 1949
14) Luas Tanah : 10.028 m2
15) Luas Bangunan : 3.762 m2
16) Tahun Akreditasi : 2005
17) Status akreditasi : A
18) No. Sertifikat : 000588
19) Nilai Hasil Akreditasi : 94,55
20) Website : www.sman5yk.sch.id.
21) Email : sman5yk@yahoo.co.id
c. Visi Misi SMA N 5 Yogyakarta Visi
Terwujudnya sekolah yang mampu menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakal mulia, cerdas, mandiri, berbudaya, peduli lingkungan, cinta tanah air serta berwawasan global.
Misi
1) Melaksanakan pembelajaran berwawasan imtaq.
2) Mengintensifkan kegiatan keagamaan disekolah.
3) Membimbing, melatih, menyiapkan siswa untuk berprestasi dalam
berbagai kegiatan akademik maupun non akademik.
4) Menumbuhkan semangat kewirausahaan melalui kegitan
ekstrakurikuler.
5) Mencintai lingkungan dengan melaksanakan 7K (kekeluargaan,
kebersihan, ketertriban, keamanan, keindahaan, kerindangan dan kerapian).
6) Meningkatkan rasa nasionalisme dengan melaksanakan upacara
bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap awal PBM.
7) Meningkatkan penguasaan bahasa asing dalam berkomunikasi.
8) Meningkatkan rasa cinta terhadap budaya bangsa.
d. Sumber Daya SMA N 5 Yogyakarta 1) Susunan organisasi sekolah
(63)
Wakaur Kurikulum : Sri Suyatmi, S.Pd
Wakaur Kesiswaan : Warsita, S.Pd.
Wakaur Sarpras : Drs. Bambang Sumadi
Wakaur Humas : Drs. Sairin
Kepala Tata Usaha : Purwanto, B.Sc.
2) Susunan pengurus komite sekolah
Ketua : Drs. Wahdini
Sekretaris : Drs. Sukirman M.Pd.
Bendahara : R. H. Sidi Purnomo, Spd.
Sie Pendidikan : H. Samiyo, S.Pd. M.M.
Sie Sarpras : H. Bambang Sumantri
Sie Humas : AKP. Heru Setiawan
3) Keadaan Guru dan Karyawan
Tabel 4.1 Jumlah Guru Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Status Kepegawaian.
No Jenjang Pendidikan
Jumlah Guru Berdasarkan Status
Kepegawaian
Jumlah
PNS GTT
1 S3
2 S2 5 5
3 S1 45 2 47
4 D3
JUMLAH 50 2 52
(Sumber : Dokumen Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta Tahun 2011/ 2012).
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa guru dengan jenjang pendidikan S3 tidak ada, jenjang S2 untuk status PNS 5 orang, sedangkan jenjang S1 untuk PNS 45 orang dan GTT 2
(64)
orang dan untuk jenjang D3 tidak ada. Jumlah karyawan berdasarkan status kepegawaian dapat diketahui sebagai berikut :
Tabel 4.2 Jumlah Karyawan Berdasarkan Status Kepegawaian.
Status Kepegawaian Jumlah
Karyawan PNS 10
Karyawan Tidak Tetap 13
Jumlah 23
(Sumber: Dokumen Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta Tahun 2011/2012)
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan jumlah karyawan SMA Negeri 5 Yogyakarta berjumlah 23 orang, dengan rincian 10 orang berstatus pegawai negeri sipil atau PNS dan 13 orang berstatus karyawan tidak tetap.
4) Keadaan Siswa
Data Siswa berdasarkan jumlah dan Rombongan Belajar Tabel. 4.3 Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar.
No Tahun Ajaran
Jumlah
Kelas X Kelas XI Kelas XII Total
1 2011/2012 256 267 247 770
2 2012/2013 253 231 347 831
3 2013/2014 261 253 231 752
(Sumber: Dokumen Profil SMA Negeri 5 Yogyakarta)
Berdasarkan tabel di atas jumlah siswa setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 jumlah siswa 770 tahun 2012 jumlah siswa meningkat menjadi 831 dan pada tahun 2013 jumlah siswa menjadi 752 siswa.
(65)
5) Prestasi Siswa
a) Prestasi Akademik
SMA Negeri 5 Yogyakarta memiliki banyak keunggulan serta banyak prestasi akademik yang didapatkan. Selain itu sekolah sering mendapatkan peringkat dalam kejuaraan dalam berbagai perlombaan. Prestasi akademik SMA Negeri 5 Yogyakarta sebagai berikut :
Tabel 4.4 Prestasi Akademik
NO Nama lomba Nama Siswa Tahun Prestasi
1 OSN tingkat SMA/MA Fadiah Pratiwi 2009 Perak
2 Debat Bahasa Inggris Novela Millatina 2009 Juara III 3 Olimpiade Sains SMA Bidang
Kebumian Tingkat Provinsi DIY Fadiah Pratiwi 2009 Juara III 4 Cerdas Cermat SMA se DIY dan
Jawa Tengah Septika Primasari 2009 Juara II
5 Cerdas Cermat SMA se DIY dan
Jawa Tengah Septika Primasari 2009 Juara II
6 MIPA antar SMA se DIY ( STTN
Batan ) Phisca Aditya R 2009 Juara III
7 Festival Fisika 2010 se-Jateng
dang DIY Farisy Yogatama S 2010 Juara I
8 Debat Bahasa Inggris Uni Tsulasi Putri 2010 Juara I 9 Cerdas Cermat Kebaharian 2010
Se-DIY Fida Khansa 2010 Juara II
10 Cerdas Cermat Kebaharian 2010
Se-DIY Dwiansari Ramadhani 2010 Juara II
11
Cerdas Cermat Bahasa Jepang Permadi Cahyo
Pamungkas 2010 Juara III
12 Festifal fisika 2011 Khafidh Nur aziz 2011 Juara III 13 Festifal fisika 2011 Atsarina fauzan 2011 Juara III 14
Olimpiade Sains Mapel Kimia Layung Sekar Sih
Wikanthi 2011 Juara III
15 Olimpiade Sains Mapel Biologi Januar Caesar widya P 2011 Juara II 16 Olimpiade Sains Mapel biologi Nur Eka fitriani 2011 Juara III 17
Olimpiade Sains Mapel Komputer Bimandanu Nur
Indratma 2011 Juara II
18
Olimpiade Sains Mapel Ekonomi Palupi Prasti
Atyatiningtyas 2011 Juara II 19
Olimpiade Sains Mapel Ekonomi Choirunnisa
(66)
Berdasarkan tabel prestasi akademik SMA Negeri 5 Yogyakarta di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi akademik ditingkat nasional yang telah diraih oleh sekolah adalah dengan mendapatkan medali perak dalam olimpide sains tingkat SMA/MA tahun 2009. Selain itu mendapatkan prestasi dalam olimpiade sains mata pelajaran biologi, kimia, ekonomi yang masing-masing mendapatkan prestasi ke 3.
2. Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika Lalu Lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta
Pada tanggal 7 Desember 2011 Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta membuat peraturan tentang pendidikan etika berlalu lintas pada satuan pendidikan. Mekanisme pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta mengacu pada peraturan gubernur nomor 54 tahun 2011 antara lain sebagai berikut :
a. Integrasi dalam mata pelajaran
SMA Negeri 5 Yogyakarta merupakan sekolah yang ditunjuk oleh
Dinas Pendidikan Yogyakarta menjadi sekolah model yang
mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas, maka dari itu peneliti menggali informasi tentang langkah-langkah mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas dalam mata pelajaran. WS menuturkan :
“Penyelenggaraan pendidikan etika lalu lintas dalam mata pelajaran, selama ini dilaksanaan dengan beberapa langkah antara lain, yang pertama dengan membuat perencanaan dalam tahap ini harus menyusun silabus dan RPP yang telah terintegrasi dengan etika lalu lintas, kemudian mempersiapkan bahan ajar berdasarkan
(67)
RPP dan melaksanakan pembelajaran dan yang terakhir melakukan penilaian hasil belajar” (WS/17-9-2013).
WS mengungkapkan kegiatan pendidikan etika lalu lintas yang telah berjalan dalam mata pelajaran selalu dilakukan dengan membuat perencanaan yang meliputi penyusunan silabus dan RPP, mempersiapkan bahan ajar, melaksanakan proses pembelajaran dan langkah yang terakhir
adalah dengan membuat penilaian hasil belajar. Hal yang sama juga
disampaikan oleh BS :
“Sekolah mendapatkan panduan yang dibuat oleh tim pengembang kurikulum dari Dinas Pendidikan kota tentang bagaimana mengintegrasikan etika lalu lintas. Salah satunya contoh pembuatan silabus dan RPP etika lalu lintas” (BS/19-9-2013).
Pembuataan silabus dan RPP etika lalu lintas tidak jauh berbeda dengan pembutan siabus dan RPP pada materi yang lainnya seperti yang telah di jelaskan oleh SS selaku waka kurikulum, SS mengatakan :
“Untuk pembuatan silabus dan RPPnya tidak ada yang berbeda dengan pada umumnya seperti terdapat standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar” (SS/21-9-2013).
Hal yang sama juga disampaikan SF :
“Seperti biasanya, kami hanya memasukkan etika lalu lintas pada materi yang relevan, sebagai contoh dalam mata pelajaran fisika ada materi tentang gerak lurus papan kinematika, disitu kami mempelajari kecepatan kendaraan kemudian alatnya apa dalam kendaraan itu. kemudian ketika membahas pegas ada suspensi didalam motor fungsinya apa, seperti itu yang bisa di jelaskan ke anak” (SF/18-9-2013).
Hasil dokumentasi juga menunjukkan bahwa sebagian besar guru dalam merencanakan pembelajaran telah mengintegrasikan etika lalu
(68)
disesuaikan dengan hasil analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar, selanjutnya RPP etika lalu lintas disusun berdasarkan silabus.
Berdasarkan hasil wawancara dan dokumentasi di atas maka dapat disimpulkan bahawa langkah-langkah integrasi pendidikan etika lalu lintas dalam mata pelajaran dilakukan dengan beberapa tahap, tahap awal adalah perencanaan. Tahap ini pendidik harus membuat silabus dan RPP kemudian tahap selanjutnya adalah dengan menyiapkan bahan ajar atau materi yang telah terintegrasi etika lalu lintas dan langkah yang terakhir adalah dengan melakukan penilaian terhadap hasil belajar.
b. Budaya Sekolah
1) Kegiatan rutin
SMA Negeri 5 Yogyakarta adalah sekolah yang berada di Jl. Nyi Pembayun 39, yang mana menurut pengamatan peneliti kondisi jalan raya tersebut terlihat cukup ramai ketika pada jam-jam sekolah dan orang masuk kantor karena banyak kendaraan yang berlalu lalang sehingga dapat membahayakan pengguna jalan raya dilingkungan tersebut. Terutama siswa oleh sebab itu untuk menghindari ancaman tersebut penempatan petugas yang mengatur lalu lintas dirasa penting sehingga akan memberikan rasa aman bagi siswa yang hendak masuk maupun pulang sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh SR:
“Setiap pagi dan siang ada petugas satpam yang berada dijalan raya depan sekolah untuk mengatur lalu lintas warga sekolah yang akan menuju dan pulang sekolah” (SR/21-9-2013).
(69)
Hal senada juga diungkapkan oleh SS :
“Paling cuma satpam yang mengatur lalu lintas dan merapikan motor siswa ditempat parkir” (SS/21-9-2013).
Pernyataan yang sama juga disampaikan PL selaku siswa, PL mengungkapkan :
“Ada pak satpam di jalan depan sekolah yang selalu menyebrangkan siswa dan guru setiap hari ketika masuk dan pulang sekolah”(PL/18-9-2013).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa upaya sekolah untuk menanamkan budaya beretika lalu lintas disekolah. Dilakukan melalui kegiatan rutin sekolah yaitu dengan melibatkan petugas satpam, yang mana mereka memiliki tugas dalam menjaga ketertiban lalu lintas dilingkungan sekolah dengan cara menyebrangkan serta mengatur keluar masuk kendaraan warga sekolah ketika jam masuk dan pulang sekolah.
Selain itu untuk mendukung dan membiasakan disiplin lalu lintas disekolah. Sekolah membuat program yang dinamakan pagi simpati, dimana kegiatan dari program pagi simpati ini dilakukan untuk menyambut kehadiran siswa oleh guru. Hal ini dilakukan untuk memberikan salam dan sapa siswa ketika masuk kesekolah, dan juga berfungsi sebagai pengawasan guru terhadap kerapian, kedisiplinan salah satuanya kelengkapan kendaraan bermotor bagi siswa yang berkendara bermotor ketika memasuki sekolah. Hal tersebut sesuai dengan penuturan WS:
(70)
“Kita ada pagi simpati, pagi simpati itu petugas yang senantiasa sambil berjabat tangan dengan siswa yang datang sambil mengamati kendaraan motor yang hadir kalu nanti ada yang sampai paling tidak terdengar suara yang tidak lagi standar pabrik diblombong umpamanya pasti akan kelihatan dan itu akan diberikan pembinaan bahwa tidak seperti itu cara berkendara dan alhamdulilah ini anak-anak dah menyadari hal itu” (WS/17-9-2013).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh JM:
“Setiap pagi ada guru yang menyambut kedatangan siswa masuk sekolah, fungsinya memberikan salam dan menyapa siswa serta untuk melihat kerapian dan disiplin siswa yang memasuki lingkungan sekolah, dan memantau siswa yang berkendara kesekolah, apakah mereka menggunakan keselamatan berkendara atau tidak seperti memakai helm. Bila siswa tidak memakai helm maka guru akan menegur siswa tersebut” (JM/16-9-2013).
Diperkuat oleh yang diungkapkan siswa HD :
“Ada guru yang berada di pintu gerbang tiap pagi, kemudian kita biasannya mencium tangan dan mengucapkan salam pada guru itu. Dan biasanya guru melihat kerapian siswa dan para guru sering menegur siswa yang tidak rapi dan tidak membolehkan siswa kelas satu membawa sepeda motor kesekolah” (HD/18-9-2013).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti setiap pagi terdapat beberapa guru yang berada di depan sekolah, setiap warga sekolah yang akan memasuki sekolah selalu menyapa dan memberikan salam serta berjabat tangan. Selain itu guru tersebut juga memantau kerapian dan juga kedisiplinan siswa.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa SMA Negeri 5 Yogyakarta membuat program kegiatan yang setiap hari biasa dilaksanakan dalam mendukung kebijakan pendidikan etika lalu lintas di sekolah. Program kegiatannya
(71)
yaitu program pagi simpati, program ini dilakukan setiap pagi hari ketika semua warga sekolah memasuki lingkungan sekolah, program kegiatan tersebut dilakukan dengan memberikan senyum salam dan menyapa. Selain itu dalam pelaksanaannya juga sering digunakan guru untuk melihat kerapian dan disiplin siswa yang mengendarai kendaraan bermotor ke lingkungan sekolah, apabila ada siswa yang tidak disiplin berkendara seperti tidak memakai helm maka guru akan menegur siswa yang bersangkutan.
2) Keteladanan
Pendidik memiliki peran dalam membentuk kesadaran berlalu lintas bagi anak didiknya diantaranya dapat dilakukan dengan menanamkan pengetahuan tentang tata cara berlalu lintas, menanamkan nilai-nilai etika serta budaya lalu lintas dan membangun prilaku berlalu lintas yang baik kepada peserta didik. Hal ini sesuai dengan penuturan SR ketika peneliti memberikan pertanyaan tentang keteladanan pendidik kepada peserta didik mengenai etika lalu lintas. SR mengungkapkan :
“Guru harus menjadi panutan bagi siswa maka harus berbuat baik, contohnya dengan menggunakan kendaraan sesuai standar, dan menggunakan kelengkapan berkendara seperti STNK, SIM dan helm” (SR/21-9-2013).
SR menyatakan guru memiliki peran yang amat penting bagi sikap dan perilaku siswa, oleh karena itu guru harus menjadi panutan dari segi sikap dan tindakan sebaik mungkin sehingga dapat menjadi
(72)
panutan bagi siswa. Misalnya dengan menggunakan kelengkapan kendaraan sesuai standar. Hal serupa juga diungkapkan oleh SS :
“Selaku sumber inspirasi dan teladan, sosok guru amat strategis dalam penularan kesadaran etika berlalu lintas jalan yang aman dan selamat. Langkah itu bisa dimulai dengan hal yang dianggap sepele, misalnya, memakai helm saat bersepeda motor ke sekolah. Ingat, sosok guru, digugu dan ditiru” (SS/21-9-2013). SS menuturkan bahwa peran guru sangat strategis dalam penularan atau penyampaian etika lalu lintas karena guru merupakan sumber inspirasi dan teladan bagi siswa, langkah-langkah guru untuk memberikan teladan berlalu lintas dengan hal yang dianggap sepele seperti memakai helm saat berkendaraan kesekolah. Sehingga harapan guru sikap yang diperlihatkan bisa di ikuti oleh siswa. Pernyataan di atas juga diperkuat oleh penuturan BS:
“Dengan sikap dan prilaku yang baik dan memberi contoh yang baik pada siswa, misalnya dengan melengkapi segala kelengkapan berkendaraan seperti helm dan mengetahui peraturan lalu lintas” (BS/19-9-2013).
BS mengungkapkan bahwa sikap dan prilaku yang ditampilkan guru adalah salah satu indikator yang dijadikan siswa sebagai pedoman atau panutan, maka dari itu guru harus selalu menjaga dan menampilkan hal-hal yang baik pada siswanya. Karena bagaimanapun guru dapat berperan secara aktif menjadi teladan untuk menciptakan etika lalu lintas demi keselamtan bersama.
Berdasarkan hasil wawancara narasumber di atas dapat peneliti simpulkan bahwa keteladanan guru merupakan hal yang sangat penting, hal ini dikarenakan guru adalah seorang yang dianggap
(73)
berilmu dan juga sebagai sumber pengetahuan, oleh karena itu guru selalu dituntut serta selalu menampilkan sikap dan perilaku yang menjadi inspirasi serta teladan bagi siswanya. Salah satu bentuk keteladanan yang diberikan guru dalam menanamkan etika lalu lintas disekolah adalah dengan melengkapi kendaraan, membawa surat kendaraan STNK, SIM dan mamakai alat keselamatan berkendara kesekolah seperti menggunakan helm.
3) Pengkondisian
Sekolah juga menerapkan implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas melalui pengkondisian, salah satunya dengan cara pemisahan tempat parkir siswa dan guru, hal ini disampaikan WS :
“Menyediakan tempat parkir bagi warga sekolah yang memakai kendaraan sehingga mereka dapat menempatkan kendaraan bermotor ditempat parkir yang semestinya, maksudnya kalau siswa parkir di tempat parkir siswa begitu juga guru menempatkan parkir di tempat parkir guru” (WS/17-9-2013). WS menuturkan bahwa sekolah telah memberikan fasilitas dalam menunjang etika lalu lintas disekolah dengan menyediakan tempat parkir, sehingga bagi warga sekolah yang memakai kendaraan kesekolah dapat menempatkan kendaraan ketempat yang telah disediakan. Hal senada juga diungkapkan oleh JM :
“Para siswa diperbolehkan memarkir sepeda motor di halaman sekolah jika memiliki SIM. Sebaliknya, siswa yang tidak memiliki SIM hanya boleh memarkir di lahan di luar pagar sekolah. Keamanan sepeda motor siswa yang diparkir di luar pagar tentu tidak terjamin” (16-9-2013).
(74)
JM mengungkapkan bahwa upaya sekolah dalam mengkondisikan disiplin lalu lintas disekolah adalah dengan tidak memberikan kesempatan bagi para siswa pengendara sepeda motor kesekolah yang belum mempunyai SIM untuk tidak memarkirkan sepeda motor di halaman sekolah dan mereka hanya diperbolehkan memarkirkan sepeda motor diluar pagar sekolah. Hal serupa juga diungkapkan BD selaku siswa :
“Saya memarkirkan sepeda motor di luar sekolah di depan rumah warga karena sekolah tidak membolehkan siswa yang belum berumur 17 th atau belum punya SIM” (BD/18-9-2013). Penanaman etika lalu lintas dalam budaya sekolah yang teridiri atas kegiatan rutin, keteladanan dan pengkondisian belum sepenuhnya berdampak pada siswa sebagai sasaran kebijakan dalam berlalu lintas di jalan raya, hal ini berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di jalan raya sekitar sekolah yang sering dilalui siswa pada jam masuk dan pulang sekolah. Peneliti melihat masih banyak siswa yang melakukan pelanggaran lalu lintas seperti siswa tidak memakai helm ketika diantar dan dijemput oleh orang tua, selain itu masih banyak kelas 10 yang tetap memakai kendaraan kesekolah dan dititipkan di balai desa yang berada tak jauh dari sekolah. Selain itu masih terdapat beberapa siswa yang tidak menghidupkan lampu kendaraan saat di jalan raya.
(1)
161
(2)
162
(3)
163
(4)
164
(5)
165
(6)
166