IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA.

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Siti Marfuah NIM 12110241018

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

ىَعَس اَم ا إ ن اَسن إل َسيَل نأَو

(

93

)

“Dan bahwasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya” (Qs An Najm: 39)

“Kebudayaan itu memancarkan keindahan. Dengan menjaga kebudayaan, Indonesia akan lebih harmonis dan seimbang”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada : 1. Kedua orang tua


(7)

vii

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA

Oleh Siti Marfuah NIM 12110241018

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta dan (2) faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan.

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 11 Yogyakarta selama bulan April-Juni 2016. Subjek penelitian meliputi kepala sekolah, guru dan siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi dokumen. Teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles and Huberman yakni dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan menggunakan triangulasi sumber dan metode.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta dilihat dari aspek: (a) komunikasi dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekolah; (b) sumber daya manusia sejalan dengan kebijakan, sumber keuangan berasal dari BOS, BOSDA dan Komite Sekolah, kepala sekolah mempunyai kewenangan dalam menentukan kebijakan; (c) struktur birokrasi yang baku meliputi; Petunjuk Pelaksana dalam bentuk peraturan daerah dan buku pedoman pelaksanaan kebijakan; (d) pelaksana kebijakan siap bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan; (e) pola implementasi meliputi; terintegrasi pada mata pelajaran, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan pembiasaan 2) Faktor pendukung: dukungan internal berupa antusias, respon dari semua warga dan koordinasi antar pelaksana kebijakan. Dukungan eksternal dari Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan serta Komite Sekolah. Faktor penghambat: karakter pelaksana kebijakan berbeda-beda dan belum adanya anggaran khusus dalam melaksanakan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya.

Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Pendidikan Berbasis Budaya, SMA Negeri 11 Yogyakarta.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Kurikulum

Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta”. Penyusunan skripsi

ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna pengambilan data di lapangan tugas akhir skripsi dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Kebijakan Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan dan bantuan atau dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Haryanto, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

2. Dr. Arif Rohman, M.Si., Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah memberi kelancaran dalam pembuatan skripsi ini.

3. Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum., pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran, masukan, dorongan serta dengan sabar membimbing sehingga terselesaikan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan


(9)

ix

5. Kepala Sekolah SMA Negeri 11 Yogyakarta Dra. Baniyah yang telah memberikan izin penelitian.

6. Kedua orang tua, kakak, dan adik tercinta yang telah memberikan dorongan dan motivasinya.

7. Teman-teman Kebijakan Pendidikan angkatan 2012 terima kasih atas dorongan dan semangatnya.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam segala hal yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Yogyakarta, 7 Oktober 2016

Siti Marfuah NIM 12110241018


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Penelitian ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan ... 9

1. Pengertian Kebijakan ... 9

2. Kebijakan Publik ... 9

3. kebijakan Pendidikan ... 11

4. Implementasi Kebijakan ... 12

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan ... 13

6. Teori Implementasi Kebijakan ... 16


(11)

xi

B. Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 22

1. Pengertian Kurikulum ... 22

2. Konsep Pendidikan Berbasis Budaya ... 23

3. Dasar Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 25

4. Tujuan dan Manfaat Pendidikan Berbasis Budaya... 29

5. Unsur-Unsur Budaya dalam Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 30

6. Konsep Implementasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 33

C. Penelitian Relevan ... 34

D. Kerangka Pikir ... 39

E. Pertanyaan Penelitian ... 42

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 43

B.Waktu dan Tempat Penelitian ... 43

C.Subjek Penelitian ... 44

D.Teknik Pengumpulan Data ... 44

E.Instrumen Pengumpulan Data ... 46

F. Teknik Analisis Data ... 49

G.Uji Keabsahan Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 51

1. Sejarah Berdirinya SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 51

2. Lokasi dan Keadaan SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 53

3. Profil SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 55

4. Sumber Daya yang Dimiliki SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 56

5. Kemitraan Sekolah ... 57

6. Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 58

B. Hasil Penelitian ... 60

1. Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 60


(12)

xii

a. Proses Komunikasi ... 61

b. Sumber Daya ... 64

c. Struktur Birokrasi ... 70

d. Disposisi... 74

e. Pola Implementasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 78

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 83

C. Pembahasan ... 89

1. Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 89

a. Proses Komunikasi ... 89

b. Sumber Daya ... 90

c. Struktur Birokrasi ... 92

d. Disposisi... 93

e. Pola Implementasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ... 94

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Unsur-Unsur Budaya Khas Daerah Istimewa Yogyakarta ... 31

Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi ... 47

Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ... 48

Tabel 4. Kisi-Kisi Pencermatan Dokumen... 48

Tabel 5. Sumber Daya Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya ... 70


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Faktor Penentu Implementasi menurut Edward III ... 19 Gambar 2. Kerangka Berfikir Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan

Berbasis Budaya ... 41 Gambar 3. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman ... 49


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... 103

Lampiran 2. Pedoman Dokumentasi ... 106

Lampiran 3. Pedoman Observasi ... 107

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 108

Lampiran 5. Transkrip Wawancara ... 116

Lampiran 6. Dokumentasi ... 142


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci dalam upaya meningkatkan kualitas manusia yang berbudi pekerti. Baik buruknya pendidikan akan membentuk suatu budaya bangsa. Tokoh pendidikan Indonesia Driyarkara mengemukakan, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Dalam Perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan media yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai dan menanamkan etos kerja di kalangan warga masyarakat (Nanang Fattah, 2012: 44).

Pendidikan merupakan instrumen membentuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional dan memantapkan jati diri bangsa. Saat arus globalisasi semakin kuat, pendidikan berperan penting dalam membentengi diri dari nilai-nilai budaya luar yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa lndonesia. UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 Tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional mengatakan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Sebagaimana isi dari undang-undang di atas pendidikan merupakan hal utama dalam pembangunan bangsa, bagaimana membentuk manusia yang


(17)

2

berkarakter dan memiliki potensi diri sehingga mampu menyikapi berbagai tantangan kehidupan.

Seiring berkembangnya teknologi informasi yang ditandai dengan adanya globalisasi dan modernisasi, memberikan pengaruh pada setiap sektor kehidupan yang menyebabkan krisis di berbagai bidang salah satunya pendidikan. Dewasa ini generasi muda khususnya pelajar yang merupakan kunci dari keberhasilan pendidikan tidaklah sejalan dengan yang diharapkan. Banyak peserta didik yang masih di bangku sekolah memiliki prestasi yang bagus tetapi moral akhlaknya tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Kurangnya rasa sopan-santun terhadap orang tua, adanya tindak kekerasan yang sebagai korban maupun pelaku pergaulan bebas, serta sikap kurang bangga terhadap kebudayaan lokal daerah sehingga lebih menyukai hal-hal modern yang mereka anggap lebih baik. Dengan adanya perilaku tersebut menunjukkan belum berhasilnya pendidikan untuk membentuk karakter anak bangsa. Agar dampak buruk tersebut tidak terjadi maka manusia abad 21 menurut Tilaar (2006: 148-150) adalah manusia Indonesia yang cerdas, yaitu manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai Pancasila dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Manusia yang cerdas menurut Tilaar diantaranya adalah masyarakat yang berbudaya. Kebudayaan yang dimiliki meliputi kebudayaan lokal yang merupakan nilai-nilai pertama-tama dikenal di Indonesia. Pemeliharaan dan pengembangan budaya lokal merupakan salah satu unsur dari pendidikan nasional. Pendapat tersebut menunjukkan pentingnya pemahaman dan penghayatan terhadap nilai budaya lokal sebagai


(18)

3

salah satu identitas bangsa yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Pengenalan dan pelestarian budaya lokal tersebut salah satunya ditanamkan pada sekolah. Dengan adanya penghargaan terhadap budaya lokal akan memberikan kemampuan kepada individu untuk mengelola dirinya dengan baik agar mampu bersikap, bertindak, dan bertanggungjawab atas perannya sebagai individu, anggota masyarakat, dan bangsa Indonesia.

Pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang terkait yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang. Tilaar (2004: 56) menjelaskan bahwa

”Pendidikan merupakan proses pembudayaan.” Ketika terjadi suatu proses

pendidikan maka kebudayaan pun ikut mengalir di dalamnya. Lembaga pendidikan merupakan pusat kebudayaan, kebudayaan akan terus berkembang dan lestari melalui lembaga pendidikan.

Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana daerah lain di Indonesia tidak lepas terhadap masuknya kebudayaan luar. Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat wisata dan pendidikan sehingga banyak penduduk luar daerah ataupun wisatawan asing yang membawa dampak baik maupun buruk. Beberapa contoh tindak degradasi moral tersebut adalah masih adanya pelaku tindak kekerasan baik itu bullying maupun tawuran pelajar serta meningkatnya penggunaan narkoba oleh kalangan mahasiswa dan pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni BNN mencatat terjadi peningkatan sebanyak 36.000 pada tahun 2015 pecandu baru


(19)

4

sehingga DIY dinyatakan sebagai kawasan darurat narkoba (Harianjogja.com/14/2/2016). Oleh karena itu diperlukan adanya antisipasi dan tindakan nyata supaya kebudayaan Yogyakarta sebagai ciri khas daerah tidak hilang. Ketika nilai-nilai budaya sudah tertanam kuat oleh generasi-generasi penerus, dengan adanya berbagai macam pengaruh kebudayaan masyarakat mampu menyikapi dengan bijak baik dengan cara asosiasi, asimilasi maupun akulturasi yang dapat semakin menguatkan posisi dan peran budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menyikapi perubahan tersebut melakukan antisipasi dampak buruk yang lebih besar dari melemahnya nilai-nilai karakter bangsa akibat globalisasi. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta yang di dalamnya memberikankeistimewaan pada pemerintah DIY dalam penataan kelembagaan, pengembangan kebudayaan, pengaturan pertanahan dan tata ruang, serta dana keistimewaan maka pemerintah pun menindaklanjuti kebijakan tersebut melalui berbagai program. Salah satu program dalam bidang Pendidikan yakni menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2025. Untuk mewujudkan visi tersebut tentunya harus dilakukan upaya-upaya nyata berupa program atau kegiatan. Salah upaya mencapai visi tersebut adalah melalui Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Berbasis Budaya.


(20)

5

Pendidikan berbasis budaya merupakan pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi diri (UU No. 5 Tahun 2011). Pendidikan berbasis budaya dilaksanakan berlandaskan dan mengacu pada sistem pendidikan nasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya. Budaya yang dimaksud adalah budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tetap mengapresiasi budaya nasional dan budaya lain di Indonesia serta budaya global yang bersifat positif (Tim Pengembang PBB 2014: 4). Penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya dilaksanakan di berbagai jalur/jenjang/jenis pendidikan yaitu: pada pendidikan formal meliputi; Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Luar Biasa (SLB), pada pendidikan nonformal meliputi Paud Nonformal, Kelompok Bermain, dan pada pendidikan informal melalui Pendidikan Keluarga.

SMA Negeri 11 Yogyakarta sebagai salah satu jenjang tingkat satuan pendidikan formal tidak terlepas dari sasaran implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya. Berdasarkan hasil pra observasi yang dilakukan di SMA Negeri 11 Yogyakarta telah mengintegrasikan kurikulum pendidikan berbasis budaya pada kurikulum sekolah. Hasil wawancara

dengan Ibu K “Pengintegrasian kurikulum pendidikan berbasis budaya melalui berbagai cara diantaranya masuk mata pelajaran tersendiri yakni


(21)

6

muatan lokal yang dikembangkan di sekolah dan pembiasaan”. Penerapan

kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta melalui beberapa program intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang mengangkat budaya Jawa khususnya Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas peserta didik baik dalam karakter maupun menjunjung dan mengenali kebudayaan di daerahnya.

Pelaksanaan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di sekolah belum optimal. Masih terdapat beberapa program yang mendukung kebijakan tersebut belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, misalkan

program Jumat berbahasa Jawa, sebagaimana yang disampaikan JS “program

Jumat Berbahasa Jawa belum terlaksana sepenuhnya, banyak siswa-siswa sekarang tetap menggunakan bahasa Indonesia dikarenakan susah untuk unggah-ungguhnya”. Hal serupa juga disampaikan salah satu siswa SIN

“campur bahasanya kalau Jawa yang bahasa ngoko, jadi kalau di pelajaran sering tidak mengerti. Selain itu sekolah belum ada laporan hasil pelaksanaan pendidikan berbasis budaya yang dilakukan, sehingga belum tampak sejauh mana keberhasilan implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya ini

Berdasarkan deskripsi di atas, untuk mengetahui lebih banyak mengenai implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya, faktor penghambat dan pendukungnya maka diperlukan penelitian. Sehubungan

dengan hal tersebut maka penulis mengambil judul “Implementasi Kebijakan


(22)

7 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Era globalisasi membawa pengaruh pada perilaku generasi muda atau peserta didik yakni menurunnya moral bangsa yakni terjadinya degradasi moral pada generasi muda khususnya pelajar di DIY.

2. Kurang adanya partisipasi masyarakat dan generasi muda untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan daerah.

3. Sekolah belum optimal dalam mengimplementasikan kurikulum pendidikan berbasis budaya.

4. Masih membutuhkan komitmen dan koordinasi dalam melaksanakan kebijakan dari seluruh warga sekolah.

C. Batasan Penelitian

Agar penelitian terarah pada pokok permasalahan, maka peneliti membatasi permasalahan penelitian yaitu tentang implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta. D. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibatasi di atas maka peneliti mengajukan pokok penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta?

2. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya ?


(23)

8 E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus permasalahan penelitian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan untuk:

1. Mendeskripsikan implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan faktor pendorong dan penghambat dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya.

F. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan menambah wawasan dalam pengembangan Ilmu Kebijakan Pendidikan.

b. Sebagai bahan referensi dan acuan serta bahan penelitian lebih lanjut bagi para pembaca maupun peneliti berikutnya.

2. Praktis

Sesuai dengan tujuan di atas maka hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi:

a. Sebagai referensi dan pertimbangan Dinas DIKPORA DIY dalam pengambilan keputusan terkait dengan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya.

b. Sebagai bahan referensi dan penelitian lebih lanjut bagi Jurusan Filsafat Sosiologi Pendidikan, Kebijakan Pendidikan UNY.

c. Sebagai masukan bagi sekolah dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya.


(24)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) secara etimologi diturunkan dari bahasa yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Menurut kamus Oxford, Kebijakan

berarti “rencana kegiatan” atau penyatuan tujuan-tujuan ideal. Klein dan Murphy, dalam Syafaruddin (2008: 76) mengatakan “kebijakan berarti seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan yang membimbing sesuatu organisasi, kebijakan dengan demikian mencakup

keseluruhan petunjuk organisasi”. Syarafuddin (2008: 76) mengatakan kebijakan adalah seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing suatu organisasi.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas menunjukkan kebijakan adalah seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang dibuat untuk kepentingan bersama.

2. Kebijakan Publik

Thomas R. Dye dalam Riant Nugraha (2008: 32) mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Sementara James E. Anderson dalam Subarsono (2008: 2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Berbeda dengan W.I.


(25)

10

Jenkins dalam Solichin Abdul Wahab (2014: 15) merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:

“serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh

seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para

aktor tersebut”

Syarafuddin (2008: 77) mengatakan kebijakan publik adalah hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manajer dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.

Berdasarkan definisi-definisi para ahli dapat diidentifikasi ciri-ciri kebijakan publik antara lain:

a. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh negara, yaitu yang berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

b. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan perorangan maupun kelompok/golongan.

c. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh masyarakat di daerah itu.

d. Dikatakan kebijakan publik jika terdapat tingkat eksternalitas yang tinggi, yaitu dimana pemanfaatan atau yang terpengaruh bukan saja


(26)

11

pengguna langsung kebijakan publik, tetapi juga tidak langsung (Riant Nugraha 2008: 33-34).

Dengan demikian kebijakan publik merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang bertujuan untuk sebagai solusi atau mengurangi dampak dari masalah yang telah masuk ke dalam agenda pemerintah.

3. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan (H.A.R Tilaar &Riant Nugraha 2008: 267). Kebijakan publik di bidang pendidikan meliputi, anggaran pendidikan, kurikulum, rekruitmen tenaga kependidikan, pengembangan profesional staf, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya, dan kebijakan lain yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung atas pendidikan. Seperti yang dikatakan Mark Olsen, John Codd, dan Anne Marie O’neil alam H.A.R Tilaar & Riant Nugraha (2008: 267) kebijakan Pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu dijadikan prioritas utama dalam era globalisasi.

E Goertz dalam H.A.R Tilaar & Riant Nugraha (2008: 268) mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan, sebagaimana yang dikatakan sebagai berikut:

“...An increased emphasis on educational adequacy and the public’s concern over the high cost of education in focusing policy


(27)

12

maker’s attention the efficiency and effectiveness of educational

spending...”

Devine dalam M.Munadi dan Barnawi (2011: 19) mengatakan kebijakan pendidikan memiliki empat dimensi pokok, yaitu dimensi normatif, struktural, konstituentif, dan teknis. Dimensi normatif terdiri atas nilai, standar, dan filsafat. Dimensi konstituentif terdiri dari individu, kelompok kepentingan, dan penerima yang menggunakan kekuatan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Sedangkan dimensi teknis penggabungan pengembangan, praktik dan implementasi, dan penilaian dari pembuatan kebijakan pendidikan.

Sebagaimana yang dipahami oleh tokoh-tokoh di atas kebijakan pendidikan merupakan salah satu dari kebijakan publik dalam bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pencerdasan bangsa secara menyeluruh.

4. Implementasi Kebijakan

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan, implementasi adalah pelaksanaan, penerapan. Sedangkan Kamus Besar Webster dalam Arif Rohman (2009: 134) mengartikan implementasi sebagai provide the

means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

sesuatu); to give the parctical effect to ( menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu), sehingga pengertian di atas mengandung arti bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari sebagai proses menjalankan kebijakan yang diputuskan. Sedangkan Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134) mengemukakan implementasi kebijakan adalah


(28)

13

keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh yang telah dikemukakan di atas implementasi kebijakan adalah proses menjalankan kebijakan yang telah diputuskan dan disepakati untuk mencapai tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh perseorangan, kelompok orang, lembaga maupun pemerintah dan swasta.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan proses yang menentukan apakah kebijakan yang dibuat berhasil atau gagal. Suatu implementasi kebijakan akan menghasilkan keberhasilan yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran kebijakan tersebut di sebabkan oleh berbagai variabel atau faktor.

Arif Rohman (2009: 147-149) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang dapat menentukan kegagalan dan keberhasilan dalam implementasi kebijakan antara lain yaitu:

a. Faktor yang terletak pada rumusan kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan, menyangkut kalimatnya jelas atau tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah dipahami atau tidak, mudah diinterpretasikan atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan atau tidak. b. Faktor yang terletak pada personil pelaksana, yakni yang


(29)

14

kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta kemampuan kerjasama dari para pelaku pelaksana kebijakan. Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang budaya, bahasa, serta ideologi kepartaian masing-masing, semua itu akan sangat mempengaruhi cara kerja mereka secara kolektif dalam menjalankan misi implementasi kebijakan.

c. Faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana, yakni menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari pemimpin organisasinya, aturan main organisasi, target masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring yang biasa dipakai, serta evaluasi yang dipilih.

Sabatier dan Mazmanian dalam Sudiyono (2007: 90-100) mengemukakan adanya berbagai kondisi yang mendukung agar implementasi dapat dilaksanakan secara optimal, yaitu:

a. Program harus mendasarkan diri pada sebuah kajian teori yang terkait dengan perubahan pelaku kelompok sasaran guna mencapai hasil yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengambilan atau perumusan kebijakan didasarkan pada teori sebab akibat. Teori ini terdiri dua bagian, bagian pertama adanya keterkaitan antara pencapaian dengan tolak ukur atau hasil yang diharapkan. Bagian kedua khusus mengenai cara pelaksanaan kebijakan yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran.


(30)

15

b. Undang–undang atau peraturan tidak boleh ambigu atau bermakna ganda. Dalam hal ini pemerintah harus dapat mengkaji ulang produk-produk hukum. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan kejelasan, dimana keduanya berlaku secara internal maupun dalam keseluruhan program yang dilaksanakan oleh pihak pelaksana.

c. Para pelaku kebijakan harus memiliki kemampuan manajerial, dan politis dan komitmen terhadap tujuan yang akan dicapai. Para pemimpin dan perumus kebijakan dapat mengambil langkah baik pada ranah merencanakan sebuah peraturan maupun dalam pengangkatan personil baru nonlayanan masyarakat, guna meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap pencapaian tujuan Undang-Undang d. Program harus didukung oleh para pemangku kepentingan (pemilih,

perumus undang-undang, pengadilan yang mendukung).

e. Prioritas umum dari sasaran perundang-undangan tidak signifikan direduksi oleh waktu dengan adanya kebijakan yang sangat darurat pada publik, atau perubahan keadaan sosial ekonomi yang sesuai dan didasarkan pada teori perundang-undangan secara teknis ataupun memperoleh dukungan publik.


(31)

16 6. Teori Implementasi Kebijakan

Ada berbagai bentuk teori implementasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Arif Rohman (2009: 136-136) mengatakan dalam implementasi kebijakan pendidikan ada tiga teori yang paling menonjol yaitu:

a. Brian W. Hogwood dan Lewis A.Gun

Brian W. Hogwood dan Lewis A.Gun mengatakan, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka di butuhkan beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah :

(1) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

(2) Untuk melaksanakan suatu program, harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

(3) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan harus benar-benar ada atau tersedia.

(4) Kebijakan akan diimplementasikan berdasarkan hubungan kausalitas yang handal.

(5) Hubungan kausalitas tersebut hendaknya bersifat langsung dan sedikit mata rantai penghubungnya.

(6) Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

(7) Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.


(32)

17

(9) Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

(10)Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna (Arif Rohman 2009: 136-137).

b. Van Meter dan Van Horn

Teori yang dikembangkan Van Meter dan Van Horn adalah teori yang berdasar dari argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan sangat dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan, dikarenakan setiap kebijakan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Menurut kedua tokoh ahli ini, menerangkan bahwa perubahan kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan menggunakan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang akan dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apa yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauh tingkat efektivitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur? Seberapa pentingkah rasa ketertarikan masing-masing orang dalam organisasi ?

Dari beberapa pandangan tersebut selanjutnya Van Meter dan Van Horn membuat tipologi kebijakan. Tipologi kebijakan tersebut terbagi menjadi dua hal yaitu; (1) jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan (2) jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.


(33)

18

Dari kedua indikator tersebut memiliki kesimpulan bahwa suatu implementasi kebijakan akan berhasil jika pada suatu segi perubahan yang dikehendaki relatif sedikit serta pada segi lainnva adalah kesepakatan terhadap tujuan dari para pelaku/pelaksana dalam mengoperasikan program relatif tinggi (Arif Rohman 2009: 137-138). c. Daniel Mazmanian dan paul A.Sabatier

Teori yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan paul A.Sabatier sering disebut dengan ‘a frame work for implementation

analysis’ atau Kerangka Analisis Implementasi (KAI) Peran penting

Kerangka Analisis Implementasi (KAI) dalam bidang pendidikan adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Variabel-variabel yang dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal implementasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori besar yaitu meliputi:

(1) Mudah tidaknya masalah yang akan dikerjakan untuk dikendalikan, (2) Kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara

tepat proses implementasinya,

(3) Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijan tersebut (Arif Rohman 2009: 139-140)


(34)

19 d. Teori Edward III

George C. Edward III, menyebutkan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yang saling berhubungan, yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi (Subarsono 2008: 90-92). Bila digambarkan melalui gambar sebagai berikut:

Gambar 1. Faktor penentu Implementasi menurut Edward III dalam Subarsono, (2008: 91)

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan supaya implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

Komunikasi

Sumber daya

Implementasi

Disposisi/sikap

Struktur birokrasi


(35)

20 b. Sumber daya

Meskipun kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, namun jika implementator kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak berjalan efektif. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa sumber daya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumber daya finansial.

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik maka dia akan menjalankan kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator memiliki perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi tidak akan efektif.

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu aspek yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures

atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak (Subarsono, 2008: 90-92).


(36)

21 7. Pendekatan-Pendekatan Implementasi

Solichin dalam Arif Rohman (2014: 140) mengatakan bahwa terdapat empat pendekatan dalam implementasi kebijakan pendidikan. Adapun pendekatan tersebut adalah:

a. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan yang bersifat top-down. Pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Pendekatan struktural menekankan pentingnya komando dan pengawasan menurut tahapan atau tingkatan dalam struktur masing-masing organisasi.

b. Pendekatan Prosedural dan Manajerial

Pendekatan prosedural dan manajerial tidak mementingkan penataan struktur-struktur birokrasi pelaksana yang cocok bagi implementasi program, melainkan dengan upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur yang relevan termasuk prosedur-manajerial beserta teknik-teknik manajemen yang tepat.

Dalam implementasi kebijakan terdapat langkah-langkah yang perlu diperhatikan. Solichin Abdul Wahab dalam Arif Rohman (2014: 141) mengatakan, ketiga langkah-langkah tersebut meliputi:

1) Membuat desain program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penetuan prestasi kerja, biaya dan waktu;

2) Melaksanakan program kebijakan dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode yang tepat;


(37)

22

3) Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna menjamin bahwa tindakan-tindakan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan.

c. Pendekatan perilaku

Pendekatan perilaku berorientasi pada kegiatan implementasi kebijakan pada perilaku manusia sebagai pelaksana. Pendekatan perilaku berasumsi bahwa upaya implementasi kebijakan yang baik bila perilaku manusia beserta sikapnya juga harus dipertimbangkan dan dipengaruhi agar proses implementasi kebijakan berjalan baik (Arif Rohman 2014: 143).

d. Pendekatan Politik

Pendekatan politik melihat pada faktor-faktor politik atau kekuasaan yang dapat mempermudah atau menghambat proses implementasi kebijakan. Dalam suatu organisasi selalu ada perbedaan dan persaingan antar individu atau kelompok dalam memperebutkan pengaruh, sehingga beberapa individu dan kelompok lain kurang dominan, ada kelompok pengikut dan kelompok penentang. Dalam hal ini pendekatan politik selalu mempertimbangkan atas pemantauan kelompok pengikut dan penentang beserta dinamikanya (Arif Rohman 2014: 146).

B.Kurikulum Pendidikan berbasis budaya 1. Pengertian Kurikulum

Berdasarkan Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi


(38)

23

dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyeleng garaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan direncanakan dan dirancangkan secara sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan (Dakir 2004: 3). Sedangkan Nasution mendefinisiskan kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melaksanakan proses belajar mengajar dibawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 1989: 5).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat mengenai bahan pelajaran dan pengalaman belajar sebagai dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan. 2. Konsep Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya dilaksanakan berdasarkan dan mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional yang menjunjung tinggi nilai–nilai luhur budaya. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya menyatakan bahwa :

“Pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang

diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang


(39)

24

unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman

budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia”.

Pendidikan berbasis budaya bersifat memperkaya dan memberi nilai tambah terhadap implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di selenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Konsep pendidikan Berbasis Budaya menempatkan kebudayaan dan Pendidikan dalam tiga ranah yaitu: : 1) sebagai muatan/isi pendidikan; 2) sebagai metode pelaksanaan/pembelajaran; dan 3) sebagai konteks lingkungan pendidikan, termasuk kaitannya dengan lingkungan pendidikan (Perda DIY No. 66 Tahun 2013).

Sedangkan pengembangan pendidikan berbasis budaya adalah untuk melestarikan dan mengembangkan budaya daerah Istimewa Yogyakarta yang mencakup; nilai-nilai luhur, artefak, dan adat istiadat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat (Tim pengembang Pendidikan Berbasis Budaya di SMA, 2014:4). Salah satu langkah strategis dalam mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya adalah kurikulum pendidikan berbasis budaya. Setiap satuan pendidikan didorong untuk kreatif mengembangkan dirinya melaksanakan pendidikan yang kaya akan muatan budaya, kental dengan pendekatan pembudayaan, di dalam lingkungan pendidikan berjati diri budaya Yogyakarta (Pergub No. 66 Tahun 2013).


(40)

25

3. Dasar Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya a. Dasar filosofis/teoritis

1) Kualitas

Daerah Istimewa Yogyakarta berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan secara simultan peduli terhadap persoalan kualitas pendidikan untuk semua dengan mempertimbangkan permintaan kebutuhan dan kapasitas masyarakat pengguna layanan pendidikan. Konsep tersebut mengintegrasikan konsep pendidikan pro-rakyat dan bahwa pendidikan perlu memiliki kontribusi terhadap kemajuan daya saing daerah dan nasional. Di samping itu, terdapat asumsi lain bahwa sistem layanan pendidikan harus mendidik masyarakat sehingga masyarakat senantiasa lebih bijak dalam pembuatan keputusan pendidikan untuk anak-anak dan warganya.

2) Pendidikan sebagai pembudayaan

Konsep pendidikan sebagai proses pembudayaan (enkulturasi) dan sosialisasi mengandung beberapa pengertian yang mendasar dan berkonsekuensi luas, di antaranya adalah hal-hal berikut ini.

1. Konstruktivis: kemampuan peserta didik ditumbuhkan agar tidak hanya menerima sesuatu yang sudah jadi, tetapi melalui keterlibatan langsung dalam aktivitas kebudayaan sehingga mereka mampu mencerna dan menarik makna dari pengalaman nyata yang diperoleh. Peserta didik juga diberi peluang untuk kreatif membangun sendiri makna berdasarkan pengalaman


(41)

26

budaya, dengan demikian terbuka peluang berkembangnya kebudayaan dengan sentuhan kendali pendidik untuk hal-hal yang bersifat esensial (pakem).

2. Esensialis: pendidikan diharapkan memiliki kearifan di dalam mengidentifikasi dan menentukan unsur kebudayaan yang perlu dikuasai oleh peserta didik. Pendidikan mampu merancang cara yang tepat dan sesuai dengan karakteristik peserta didik, dan kondisi yang dimiliki oleh satuan pendidikan, agar mencapai hasil yang terbaik.

b) Dasar Sosial

Pengembangan kurikulum juga di perhatikan aspek-aspek sosialnya. Berdasarkan yang terdapat dalam Pergub Nomor 66 Tahun 2013 dasar sosial dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya adalah Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah tercantum di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Kekayaan nilai-nilai budaya yang ada di antaranya :

1) Nilai-nilai luhur yang terumuskan dalam berbagai ungkapan budaya seperti, hamemayu hayuning bawana, golong gilig, sawiji, greget,

sengguh, ora mingkuh dan lain sebagainya.

2) Produk atau artefak budaya berupa karya seni budaya dan karya lain yang sarat dengan nilai-nilai luhur.

3) Aktivitas budaya, termasuk di dalamnya adat kebiasaan serta berbagai perilaku masyarakat di berbagai bidang kehidupan yang


(42)

27

majemuk, baik kehidupan pribadi, kelompok maupun komunitas, yang mencerminkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kepemimpinan dan pola asuh.

Selain nilai-nilai budaya di atas, corak pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari pemikiran dari Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara, yang berdasarkan pengalaman-pengalamannya sebagai bangsawan Jawa yang memperoleh Pendidikan Barat, telah mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran reflektif yang berkaitan dengan pendidikan. Pemikiran-pemikiran tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1) Tri Pusat pendidikan, yang terdiri dari atas, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah (perguruan), dan masyarakat.

2) Sistem Among yang mengandung konsep tri-nga (tiga nga-), yakni

ngerti, ngrasa, nglakoni, dan trilogi kepemimpinan yang terdiri atas

ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangu karsa, tutwuri handayani.

3) Pancadarma, yang terdiri atas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

4) Tri-kon, yakni kontinyu, konsentris, dan konvergensi. 2) Landasan Akademik

Sesuai dengan tujuan pembangunan pendidikan DIY, terdapat dua poin yang mendasari pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya yaitu:


(43)

28

a) Pendidikan Karakter Berbasis Budaya, menunjukkan bahwa pendidikan di samping untuk mencegah peserta didik terlepas dari akar dan konteks lingkungan budaya masyarakatnya, juga dapat memiliki andil di dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan.

b) Pusat Unggulan Mutu Pendidikan Nasional, yang secara komprehensif memadukan aspek kognitif akademik dengan aspek-aspek non-akademik.

3) Landasan Yuridis

Landasan Yuridis dalam kurikulum pendidikan berbasis budaya ini adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang salah satu unsur keistimewaannya terkait dengan urusan kebudayaan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta, Peraturan Daerah DIY Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya. Peraturan Daerah DIY Nomor 6 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah DIY Tahun 2012-2017, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan dalam Urusan Keistimewaan DIY,


(44)

29

Peraturan Gubernur DIY Nomor 68 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Nilai-Nilai Luhur Budaya dalam Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Gubernur DIY Nomor 77 Tahun 2012 tentang Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Daerah. 4. Tujuan dan Manfaat Pendidikan Berbasis Budaya

Penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya memiliki tujuan umum dan tujuan khusus antara lain. Tujuan umum diselenggarakannya pendidikan berbasis Budaya:

a. Menyiapkan insan berkarakter yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta tanah air dan bangsa, berjiwa luhur, berbudaya, menjadi sosok teladan, rela berkorban, kreatif, inovatif dan profesional;

b. Mewujudkan sinergitas satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat yang religius, berbudaya, edukatif kreatif, dan inovatif, serta menjunjung tinggi penegakan hukum;

c. Menfasilitasi pembentukan insan pelestarian nilai-nilai budaya dan sekaligus mampu memperbaharui aktualitasnya.

Tujuan khusus dari Pendidikan Berbasis Budaya antara lain sebagai berikut:

a. Mewujudkan sekolah sebagai lembaga untuk membangun peserta didik yang berkarakter, berbudaya, dan selalu tanggap terhadap perkembangan global tanpa meninggalkan budaya lokal.


(45)

30

b. Mengembangkan manajemen sekolah Berbasis Budaya dengan melibatkan semua stakeholder terkait.

c. Mewujudkan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku melalui pengintegrasian dan pengayaan dengan budaya lokal.

d. Mewujudkan sekolah sebagai laboratorium masyarakat berbudaya. Selain tujuan khusus dan tujuan umum terdapat pula nilai atau manfaat dari pendidikan berbasis budaya diantaranya sebagai berikut: a. Mewujudkan pendidikan karakter, yakni untuk menghasilkan

pendidikan yang berkarakter yang secara simultan dapat menunjang pembangunan karakter dan peradaban bangsa.

b. Melaksanakan pelestarian budaya, yakni untuk mengawal budaya lokal dalam konteks perubahan sosial dan budaya masyarakat.

c. Mendukung pengembangan atau transformasi budaya, yakni melakukan akulturasi budaya secara arif, mencegah terjadinya pengikisan jati diri budaya, sehingga dapat ikut serta menguatkan kedaulatan kebudayaan nasional dalam konteks global.

5. Unsur-Unsur Budaya dalam Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya

Unsur-unsur budaya yang dikembangkan merupakan jati diri masyarakat daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari nilai luhur, artefak dan adat istiadat. Unsur budaya khas DIY yang dikembangkan pada tingkat Sekolah Menengah Atas antara lain:


(46)

31

Tabel 1. Unsur-unsur budaya khas Daerah Istimewa Yogyakarta (Tim Pengembang Pendidikan Berbasis Budaya, 2014)

No Unsur-unsur Budaya Muatan materi

1. Nilai-nilai luhur budaya

Spiritual Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: Kejujuran, kesusilaan, kesabaran

Personal Moral

Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: kerendahan hati, tanggung jawab, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kepemimpinan, ketelitian, ketangguhan, welas asih, kesopanan/kesantunan.

Sosial Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: kerjasama, keadilan, kepedulian, ketertiban, toleransi.

Nasionalisme Yogyakarta

Cinta tanah air, menjunjung tinggi kearifan ..lokal DIY dan menghargai budaya nasional

2. Artefak Sastra Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: tembang (macapat,

tengahan, dolanan Geguritan,

sesorah)

Pertunjukan Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: Tari gaya Yogyakarta, tarian rakyat, Musik Tradisional, teater tradisional, wayang kulit.

Lukis Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: Batik

Busana Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif: busana Adat Yogyakarta

Kriya Mengapresiasi, internalisasi, aktif aktualisasi kreatif:

- kriya logam (bilah keris, bilah tombak, hiasan rumah, perhiasan dll.) - kriya kayu (topeng, ukiran perabot rumah, hias ukir)

- kriya tanah (gerabah perabot rumah, gerabah hias)

- kriya kulit (wayang, tatahan hias, tatahan)

- anyaman (bambu, rotan, pandhan, dll.)


(47)

32

Lanjutan tabel 1. Unsur-unsur budaya khas Daerah Istimewa Yogyakarta (Tim Pengembang Pendidikan Berbasis Budaya, 2014)

No Unsur-unsur Budaya Muatan Isi

Arsitektur Mengenal, mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi:

bangunan rumah tinggal (joglo, limasan)

bangunan umum (gapura, tugu, beteng)

bangunan rumah ibadah(candi, klenteng, masjid, pura, gereja)

bangunan istana (keraton, gedung negara)

perabot (jodhang, slintru, gebyog) Boga Mengapresiasi, internalisasi,

aktif-aktualisasi:

santapan (gudheg, brongkos, abon, dll.)

makanan ringan khas Jogja (kipo, lemet, gathot-thiwul dll.)

minuman khas jogja (wedang uwuh, wedang rondhe, dll.)

Kesehatan Mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi: ngadi salira (jamu, lulur, dll.)

Olahraga/ Permainan Tradisiomal

Mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi: permainan tradisional (benthik, gobak sodor, egrang, dll. Sosial-jati

diri

Mengenal, mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi:

gotong royong, gugur gunung

upacara tradisional (rasulan, bersih desa, merti dhusun, dll.)

upacara ritual (wiwit, selapanan, sepasaran, selikuran, tedhak siten,

mitoni, pitung dina, nyewu dina, dll.)

3. Adat istiadat

Ekonomi-Welfare

Mengenal, mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi:

sistem lumbung desa, pasaran

sistem pertanian tradisional

pranata mangsa

Politik-Kekuasaan

Mengenal, mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi:

jumenengan, rembug desa, dan


(48)

33

6. Konsep Implementasi kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya

Suatu kebijakan tidak akan berguna tanpa adanya proses implementasi. Dalam proses implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya dapat dilaksanakan melalui beberapa hal sebagai berikut:

a. Pendekatan tematik integratif sesuai dengan kebijakan nasional kurikulum 2013.

b. Pendekatan induktif-konstruktif yang berbasis pengalaman sesuai dengan konsep Trikon.

c. Internalisasi nilai-nilai luhur budaya kepada peserta didik, termasuk produk-produk kebudayaan (artefak dan adat-istiadat). d. Pemberian rekognisi, pengakuan dan penghargaan secara

konsisten terhadap prestasi serta pemberian sanksi terhadap pelanggaran.

e. Menghidupkan budaya pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya dan visi/misi satuan pendidikan (lampiran Pergub No.66 Tahun 2013).

Selain itu dirumuskan pula dalam kerangka implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya yang menempatkan budaya sebagai isi atau muatan dalam pendidikan berbasis budaya dalam implementasinya memperhatikan tingkat kompetensi yang akan dicapai sebagai berikut: a. Mengenal, kegiatan mengenali berbagai unsur budaya khas Yogyakarta

melalui membaca, mendengar, dan mengamati.

b. Mengapresiasi, yaitu kegiatan menerima, menilai, menghargai, budaya khas Yogyakarta.

c. Internalisasi, yaitu penghayatan, pendalaman, dan penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui pembinaan dan bimbingan terhadap budaya khas Yogyakarta.


(49)

34

d. Aktualisasi-aktif, yaitu melakukan kegiatan pengamalan nilai-nilai luhur budaya khas Yogyakarta dengan penuh kesadaran diri dan partisipasi aktif dalam kegiatan kebudayaan.

e. Kreatif, yaitu berdaya cipta dalam pelestarian dan pengembangan budaya khas Yogyakarta sesuai dengan idealisme dan kebutuhan masyarakat (Lampiran Pergub No.66 Tahun 2013).

Pola implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya dapat dilakukan dengan berbagai pola berikut:

a. Terintegrasi dalam setiap mata pelajaran

b. Pengembangan diri dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler c. Monolitik, yaitu sebagai materi ajar tersendiri.

d. Pengembangan budaya satuan pendidikan berbasis budaya khas Yogyakarta dalam bentuk perilaku sehari-hari secara individual dan organisasional (Lampiran Pergub No. 66 Tahun 2013).

C.Penelitian Relevan

1. Penelitian tentang muatan lokal batik oleh Nurul Sholihah (2015)

Hasil penelitian yang relevan pertama dengan pokok bahasan

dalam penelitian ini yaitu penelitian skripsi yang berjudul “Implementasi

Kebijakan Kurikulum Muatan Lokal Batik di SD Negeri Sedangsari Bantul oleh Nurul Sholikhah (2015) Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan kurikulum muatan lokal batik sudah dapat dilaksanakan dengan adanya dukungan dari kepala sekolah, guru, dan masyarakat. Kurikulum muatan lokal batik memberikan pengetahuan kepada peserta didik terkait dengan seni khas yang ada di daerah Bantul khususnya seni batik.


(50)

35

Implementasi kebijakan kurikulum muatan lokal batik pengorganisasian dari segi pelaksanaan kurikulum muatan lokal batik di SD Negeri Sendangsari baik pada kelas rendah maupun kelas tinggi dilaksanakan oleh guru kelas. Kegiatan pembelajaran muatan lokal batik yaitu pengenalan sejarah batik, motif-motif batik sederhana dan alat-alat. Kurikulum muatan lokal batik dilaksanakan di sekolah mendapat alokasi waktu sendiri yaitu 2 jam per minggu baik di kelas rendah maupun kelas tinggi.

Faktor pendukung dalam implementasi muatan lokal batik di SD N Sendangsari Bantul yaitu dari Dinas Pendidikan seperti adanya kurikulum dan silabus muatan lokal batik, diklat batik, buku batik dan lomba batik. Dukungan siswa terhadap pembelajaran muatan lokal batik yaitu dengan terlihat antusias dan senang ketika mengikuti. Dukungan dari masyarakat yaitu dengan memberikan kesempatan kepada siswa dengan melakukan kunjungan ke tempat usaha batik yang dikelolanya. Selain faktor pendukung juga ada faktor penghambat dalam implementasi kurikulum muatan lokal batik yaitu antara lain kebanyakan dari sumber daya yang menjalankan kurikulum muatan lokal batik sebagai guru masih kurang dan rendahnya komitmen guru dalam menjalankan kurikulum muatan lokal batik.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Nurul (Kebijakan Pendidikan) dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut; 1) pada objek penelitiannya dimana penelitian Nurul di SD Negeri


(51)

36

Sendangsari Bantul sedangkan penelitian ini akan dilakukan di SMA Negeri 11 Yogyakarta 2) penelitian Nurul tentang muatan lokal batik, sedangkan dalam penelitian ini tentang kurikulum pendidikan berbasis budaya. Sedangkan persamaan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan penelitian oleh Nurul adalah 1) meneliti tentang implementasi kebijakan dan 2) meneliti tentang keunggulan lokal daerah.

2. Penelitian Tentang Implementasi Kebijakan Pendidikan Berbasis Budaya di Kota Yogyakarta oleh Galih Setyorini (2013)

Hasil penelitian yang relevan kedua dengan pokok bahasan dalam

penelitian ini yaitu penelitian skripsi yang berjudul “Implementasi

kebijakan Pendidikan berbasis budaya di kota Yogyakarta oleh Galih Setyorini (2013) Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian yang dilakukan Galih (Kebijakan Pendidikan) bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengetahui proses implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya di Kota Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Setting penelitian dilakukan di 4 sekolah SD yang ada di kota Yogyakarta.

Hasil penelitian Implementasi kebijakan pendidikan Berbasis budaya di kota Yogyakarta yaitu; a) bersifat Top-down b) proses pendidikan berbasis budaya masih menggunakan pendekatan esensialis, dimana nilai budaya hanya dianggap sebagai pewarisan dan pelestarian bukan sebagai pemaknaan dan pengembangan, c) belum dapat terimplementasi dengan baik, hal tersebut terlihat dari analisis sumber


(52)

37

daya baik fisik maupun non fisik yang menunjukkan bahwa masih adanya guru yang kurang appreciate terhadap pendidikan berbasis budaya dan dilihat dari sarana dan prasaran masih ada yang harus dilengkapi.

Faktor pendukung dalam proses implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya yaitu program/kegiatan penunjang, partisipasi orang tua cukup baik, sedangkan faktor penghambatnya adalah sarana prasarana belum memadai, adanya beberapa guru yang kurang appreciate terhadap kebijakan pendidikan berbasis budaya dan juga faktor teknologi. Strategi yang dilakukan sekolah untuk mengatasi hambatan implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya yaitu menciptakan kultur yang berwawasan budaya, adanya alternatif kegiatan lain serta menjalin komunikasi dan kerjasama yang baik antar guru dan karyawan serta orang tua wali.

Perbedaan penelitian yang di lakukan oleh Galih dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada objek penelitiannya dimana penelitian Galih di Sekolah Dasar (SD) yang ada di kota Yogyakarta meliputi SD N Suryodiningratan, SD N Ungaran, SD N Kotagede 1 dan SD N Tegalsejo 2 sedangkan penelitian ini akan dilakukan di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Analisis Implementasi kebijakan penelitian Galih menggunakan Teori Van Meter sedangkan pada penelitian yang akan diteliti menggunakan teori implementasi Edward III. Sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan di teliti adalah sama-sama meneliti tentang implementasi kebijakan Pendidikan berbasis budaya.


(53)

38

3. Penelitian tentang implementasi kebijakan kurikulum oleh Ekky Rizky Amanda (2015)

Hasil penelitian yang relevan ketiga dengan pokok bahasan dalam penelitian ini yaitu penelitian skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Kurikulum 2013 pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di kota Bandar Lampung yang ditulis oleh Ekky Rizky Amanda Universitas Lampung. Penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan implementasi kebijakan kurikulum 2013 pada SMK di kota Lampung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Hasil penelitian Ekky (2015) ditemukan bahwa implementasi kebijakan kurikulum 2013 pada SMK belum berjalan maksimal karena salah satu substansi pokok dari kebijakan, yakni komitmen pemerintah dalam penerapan kebijakan kurikulum 2013 belum terlaksana sehingga menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana. Adanya hambatan-hambatan yakni sumber daya manusia dan sumber non manusia yang belum mendukung.

Perbedaan penelitian yang dilakukan Ekky (2015) Universitas Lampung dengan yang dilakukan peneliti yakni 1) Penelitian Ekky tentang Kurikulum Nasional sedangkan yang dilakukan peneliti adalah kurikulum berbasis budaya yang merupakan kurikulum lokal daerah; 2) objek penelitian Ekky dilakukan di SMK Kota Bandar Lampung sedangkan yang dilakukan peneliti di SMA Negeri 11 yogyakarta. Sedangkan persamaan dalam penelitian Ekky (2015) dengan peneliti yakni sama-sama meneliti


(54)

39

tentang implementasi kebijakan kurikulum menggunakan analisis implementasi teori Edward III.

D. Kerangka Berfikir

Sugiyono (2007:92) mengatakan, seorang peneliti harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam menyusun kerangka pemikiran yang membuahkan hipotesis. Kerangka pikir merupakan sintesis tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah di deskripsikan.

Kebijakan penyelenggaraan kurikulum pendidikan berbasis budaya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya memberikan kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kekhasan baik secara sosial, budaya yang ada di daerah tersebut. Peraturan perundangan yang mendasari Implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu: Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah atas Madrasah Aliyah, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.

Selanjutnya Melalui Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 2009 tentang RPJPD Daerah Istimewa Yogyakarta


(55)

40

Tahun 2005-2025 yang memiliki cita-cita daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Se-Asia Tenggara maka dalam mewujudkan visi tersebut muncullah Perda Provinsi daerah istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya. Kemudian dalam pendidikan untuk mewujudkan visi tersebut melalui perda DIY No. 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya, yang diwujudkan sebagaimana upaya melestarikan budaya lokal melalui pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya diberikan pedoman dan penerapan nilai-nilai luhur budaya yang tertuang dalam Peraturan Gubernur DIY no 68 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Nilai-nilai luhur budaya dalam Pengelolaan Pendidikan Berbasis Budaya, yang selanjutnya lebih dipersempit dengan Peraturan Gubernur DIY No.66 Tahun 2013 tentang Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya.

Adanya kurikulum pendidikan berbasis budaya tersebut maka sekolah wajib memberikan pembelajaran terkait budaya daerah baik sebagai muatan lokal, terintegrasi dalam beberapa pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler. Dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya perlu adanya kerjasama antar stakeholder di sekolah seperti kepala sekolah, guru dan peserta didik. Dalam pelaksanaan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya juga harus didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai.

Pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya yang ada di SMA Negeri 11 Yogyakarta selama ini walaupun sudah terjalin kerjasama yang baik antar stakeholder namun tetap saja ada faktor-faktor yang mempengaruhi baik


(56)

41

itu sebagai penghambat maupun sebagai pendukung dalam implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya.

Berdasarkan uraian di atas maka digambarkan kerangka berfikir dalam penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2. Kerangka Berfikir Implementasi kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya

Perda DIY Tentang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya

Pergub DIY Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya

Implementasi kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta

Faktor Pendukung

Faktor penghambat


(57)

42 E.Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan konsep dan alur pikir di atas, muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai dasar untuk mengeksplorasi dan menggali lebih dalam terkait dengan implementasi kebijakan implementasi kurikulum pendidikan Berbasis Budaya di Sekolah. Adapun pertanyaan penelitian tersebut adalah:

1. Bagaimana implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ?

a. Bagaimana proses komunikasi dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ? b. Bagaimana sumber daya dalam implementasi kebijakan kurikulum

pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ?

c. Bagaimana disposisi warga sekolah terhadap kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta ?

d. Bagaimana struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya ?

e. Bagaimana pola implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya yang dilakukan di SMA Negeri 11 Yogyakarta? 2. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi


(58)

43 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam pelaksanaan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta serta mengungkap faktor pendorong dan faktor yang penghambat.

Nana Syaodih S, (2013: 60) mengatakan, metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan yang mengarah pada penyimpulan. Penelitian kualitatif bersifat induktif, peneliti membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan terbuka untuk diinterpretasi.

Penelitian ini dipilih peneliti karena bermaksud untuk mendeskripsikan, menguraikan, dan menggambarkan kebijakan dan implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta serta faktor pendukung dan penghambatnya.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di Yogyakarta yaitu SMA Negeri 11 Yogyakarta yang berada di jalan AM Sangaji No. 50,


(59)

44

Jetis, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juni 2016.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan posisi yang sangat penting dalam penelitian karena terdapat data tentang aspek yang akan diteliti dan diamati oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive

sampling. Purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subjek

bukan didasarkan pada strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Suharsimi 2010: 183). Subjek penelitian dalam implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya di sekolah yakni, kepala sekolah, waka kurikulum, guru, dan siswa.

D. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa cara agar data yang diperoleh merupakan data yang valid dan kredibel mengenai implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Dalam penelitian teknik yang digunakan adalah; observasi, wawancara, dan dokumentasi.

1. Observasi

Metode observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa tujuan, dan perasaan (Djunaidi dan Fauzan 2012: 165). Peneliti terlibat secara pasif, dalam melakukan penelitian.


(60)

45

Peneliti tidak terlibat ke dalam kegiatan-kegiatan subjek penelitian dan tidak berinteraksi secara langsung.

Observasi dilakukan untuk mengetahui proses pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler dan mengamati budaya atau keseharian sekolah sehingga peneliti mengetahui mengenai bagaimana pelaksanaan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya tersebut di sekolah. Observasi yang dilakukan dengan cara nonpartisipasi karena peneliti tidak terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sumber data penelitian sehingga data yang diperoleh lebih lengkap. Misalnya; mengamati kegiatan peserta didik dan guru di lingkungan sekolah, proses belajar mengajar, maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler.

2. Wawancara

Teknik pengumpulan data dengan wawancara merupakan cara yang paling khas dalam penelitian kualitatif, khususnya dengan wawancara mendalam. Lebih lanjut Egon G dan Patton (dalam Djunaidi dan Fauzan 2012: 175) menyatakan bahwa cara utama yang dilakukan pakar metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan orang-orang adalah dengan cara wawancara mendalam dan intensif.

Pemilihan teknik ini karena peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis lengkap dalam pengumpulan datanya, oleh hal itu pedoman wawancaranya hanya disebutkan garis-garis


(61)

46

besar permasalahan yang akan ditanyakan, kemudian peneliti dapat mengembangkan pertanyaan yang lebih jauh dan mendalam sehingga dapat memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas. Peneliti menggali data sebanyak mungkin dengan melalui wawancara terkait dengan objek penelitian untuk mengetahui implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Wawancara dilakukan dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, perwakilan guru, peserta didik dengan pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti.

3. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seorang untuk menunjang data lainnya. Kajian dokumen dalam penelitian ini berupa dokumen tertulis guna mendukung dan memperkuat wawancara dan observasi yang meliputi: peraturan perundang-undangan, Kurikulum Sekolah dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)/ silabus yang dibuat oleh guru terkait dengan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti adalah human instrument yang mengusai metodologi penelitian kualitatif yang mampu menetapkan masalah penelitian, menentukan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan


(62)

47

data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan dan membuat kesimpulan atas data temuannya (Djunaidi dan Fauzan 2002: 100).

Berdasarkan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan alat sebagai berikut:

1. Lembar Pedoman Observasi

Lembar observasi digunakan oleh peneliti sebagai instrumen untuk melihat mengenai gambaran umum mengenai implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta.

Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi No. Aspek yang

Diamati

Indikator yang Dicari Sumber Data 1. Fisik  keadaan sekolah/lokasi

 sarana/prasarana sekolah

 fasilitas penunjang

Lingkungan sekolah 2. Non Fisik  pelaksanaan pembelajaran

 interaksi antar warga sekolah

 pelaksanaan kegiatan sekolah

Lingkungan sekolah

2. Pedoman Wawancara

Proses pengumpulan data menggunakan wawancara, peneliti meminta izin kepada setiap informan agar diperkenankan menggunakan perekam suara maupun gambar. Adapun alat yang digunakan yakni voice recorder dan juga camera.


(63)

48 Tabel 3. Kisi-kisi pedoman wawancara

No. Aspek Yang Dikaji Indikator Yang Dicari Sumber Data 1. Implementasi

kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya

Pelaksanaan kebijakan meliputi komunikasi, sumber daya manusia, disposisi dan Struktur birokrasi

a. kepala sekolah b.waka kurikulum c. guru

d.siswa 2. Faktor pendukung

dan penghambat implementasi

kurikulum PBB

a. Faktor internal b. Faktor eksternal

a. Kepala sekolah/wakil kepala sekolah b. Guru c. Waka kurikulum

3. Kajian Dokumen

Proses pengumpulan data melalui kajian dokumen, peneliti mendapat dokumen dari web resmi sekolah, admin sekolah dan informan.

Tabel 4. Kisi-kisi pencermatan dokumen No Aspek yang

Diamati

Indikator yang Dicari Sumber Data 1. Profil sekolah a. Visi misi sekolah

b. Sejarah sekolah

c. Tenaga pendidik dan kependidikan

d. Jumlah siswa

e. Sarana dan prasarana

Administrasi sekolah

2. Kebijakan dinas pendidikan,

Dokumen peraturan kebijakan pendidikan berbasis budaya dan implementasinya

Dinas pendidikan

No Aspek yang Diamati

Indikator yang Dicari Sumber Data 3. Kebijakan

sekolah

Dokumen pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya

Foto-foto kegiatan pelaksanaan kebijakan kurikulum PBB

Kepala sekolah/wakil kepala


(64)

49 F. Teknik Analisis Data

Lexy J Moleung (2014: 280) mendefinisikan analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan model interaktif Miles dan Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga data jenuh. Kegiatan dalam analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Sugiono, 2013: 234-335).

Gambar 3. Model Analisis Interaktif : Miles dan Huberman G. Uji Keabsahan Data

Pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif ini menggunakan triangulasi. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

Pengumpulan data

Penyajian data

Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/verifikasi Reduksi data


(65)

50

1. Triangulasi sumber, Patton dalam Lexy J Moleong (2014: 330) yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini untuk menguji kredibilitas data tentang implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta, maka data yang diperoleh dari salah satu informan divalidasi disilangkan terhadap informan lainnya. Misalkan, kepala sekolah dengan guru. Kegiatan ini dilakukan secara menerus sampai didapatkan kecenderungan data sehingga data dipandang mengandung nilai kebenaran.

2. Triangulasi metode, Patton dalam Lexy J Moleong (2014: 331) terdapat dua strategi yaitu; (a) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (b) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Dalam penelitian ini untuk menguji kredibilitas data, maka data yang diperoleh peneliti selama wawancara dengan sumber atau informan kemudian dicek dengan observasi dan pencermatan dokumen.


(66)

51 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Sejarah berdirinya SMA Negeri 11 Yogyakarta

Sejarah berdirinya SMA N 11 Yogyakarta diperoleh dari dokumen profil sekolah melalui bagian pengelola sarana dan prasarana. Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 11 Yogyakarta merupakan Sekolah Menengah Atas Negeri yang paling akhir. Meskipun demikian sekolah ini menempati gedung yang bernilai sejarah karena telah digunakan sejak jaman penjajahan. Gedung yang telah berdiri sejak tahun 1897 ini telah mengalami berbagai renovasi hingga saat ini tepatnya digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Kompleks sekolah ini berada di sisi timur Jalan A.M. Sangaji No 50, menghadap ke barat. Bangunan lama pada kompleks ini adalah tiga gedung membujur timur barat yang dihubungkan dengan doorloop dengan lantai menggunakan tegel abu-abu (20x20cm).

Gedung SMA N 11 Yogyakarta dibangun pada tahun 1897 dan digunakan sebagai gedung Kweekschool (Sekolah Guru Jaman Belanda). Tanggal 3-5 Oktober 1908 dijadikan sebagai ajang Konggres Boedi Utomo yang pertama dan menempati ruang makan Kweekschool (Aula).Tahun 1927 kompleks gedung ini digunakan sebagai sekolah guru 4 tahun dan 6 tahun (HIK).

Tahun 1946 sekolah dibuka kembali dengan nama SGB dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru yang berpendidikan 6 tahun pada bulan


(67)

52

November 1947, pemerintah membuka Sekolah Guru A (SGA) sehingga kompleks gedung menjadi SGA/SGB dipimpin oleh bapak Sikun Pribadi. Clash II pecah. Sekolah terpaksa ditutup dan dibuka kembali ketika Yogyakarta kembali ke Pemerintah RI (Juni 1949). SGA/B dibuka kembali dengan menempati ruang-ruang STM Negeri karena kompleks SGA dipakai sebagai asrama tentara.

Tahun 1950 dengan bantuan Sri Sultan HB IX, SGA/B kembali menempati kampus Jln. AM Sangaji dan diadakan pemisahan yaitu SGB di Jln. AM Sangaji 38 dan SGA di Jln. AM Sangaji 42. Tahun 1959, SGA kembali menempati kampus Jln. AM Sangaji 38, karena SGB tidak menerima siswa baru lagi dan berubah fungsi menjadi SMP 6 Yogyakarta menempati Jln. Cemoro Jajar No.1. Dengan meningkatnya kebutuhan tenaga guru pada tahun 1953/1954 dibuka SGA II menempati lokasi yang sama dengan SGA I tetapi masuk sore hari. Tahun 1959/1960 kedua SGA digabung menjadi SGA I. Tahun 1967 diadakan integrasi SGA dan SGTK. SGA menjadi SPG I dan SGTK menjadi SPG II. Tahun 1970 SPG Negeri 1 Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat latihan guru SD dan pada tahun 1971 dijadikan sebagai home base I di DIY. Pada tahun 1979 di kompleks sekolah didirikan Perpustakaan Perintis. Pada tahun 1989 Pemerintah mengalih fungsikan SPG menjadi SMA, SPG Negeri 1 menjadi SMA Negeri 11 Yogyakarta.

SMA Negeri 11 Yogyakarta juga memiliki bangunan cagar budaya berupa Aula Budi Utomo. Pada tanggal 20 Mei tahun 1908 aula (dulu


(68)

53

sebagai ruang kelas), digunakan untuk rapat berdirinya Budi Utomo di Yogyakarta yang dipimpin oleh Dr.Wahidin Sudiro Husodo. Ruang tersebut sekarang digunakan sebagai gedung serba guna (aula) dan digunakan untuk segala aktivitas baik kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler bahkan sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan pameran baik tingkat sekolah, daerah maupun tingkat nasional. Pada tanggal 20 Mei 2008 di ruang aula Budi Utomo dijadikan tempat peringatan satu abad Budi Utomo oleh Menteri Pendidikan Nasional Bapak Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. Pada peringatan tersebut SMA Negeri 11 Yogyakarta dicanangkan sebagai sekolah pelopor Pendidikan Kebangsaan oleh menteri pendidikan.

Sejak awal berdirinya SMA Negeri 11 Yogyakarta hingga sekarang (1947-2016) kepemimpinan sekolah telah berganti sebanyak 16 kali. Saat ini Kepemimpinan Kepala Sekolah Dipimpin oleh Dra. Baniyah sejak tahun 2011 dan berakhir tahun 2016.

2. Lokasi dan Keadaan SMA Negeri 11 Yogyakarta

SMA Negeri 11 Yogyakarta beralamat di Jalan AM Sangaji No. 50, Jetis, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Tanah sekolah sepenuhnya milik Kraton Yogyakarta dan Luas area seluruhnya 11.344 m2. Lokasi sekolah SMA N 11 Yogyakarta termasuk di wilayah kompleks sekolah di antaranya sebelah depan terdapat SMK N 2 Yogyakarta, di sebelah kanan SD N Jetisharjo dan kiri SD Tumbuh Serta SMP N 6 Yogyakarta. Untuk menuju ke lokasi SMA N 11 Yogyakarta tidak begitu sulit karena terletak


(69)

54

di kompleks sekolah dengan banyak dilalui jalur angkutan umum. Jika sudah mulai masuk ke dalam lingkungan sekolah akan disambut biasanya akan disambut oleh penjaga sekolah dan mengisi buku tamu untuk keperluan kunjungan. Lingkungan sekitar cukup kondusif dan nyaman masih banyak pohon-pohon dan tanaman-tanaman hias di sekitar halaman sekolah. Suasana tersebut sangat mendukung untuk kenyamanan kegiatan belajar mengajar. Selain itu di dalam dinding atau papan pengumuman terdapat slogan-slogan dan kata-kata mutiara yang sangat inspiratif membangun jiwa. Kesadaran untuk kebersihan juga sudah terlihat dengan adanya pemisahan jenis sampah ke dalam tiga golongan.

Jika dilihat dari segi bangunannya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang ada di kota Yogyakarta. jika sudah masuk ke dalam sekolah akan ada piala-piala hasil dari prestasi siswa dan seolah dari sepanjang tahun mulai berdirinya sekolah hingga sekarang. Banyaknya penghargaan-penghargaan tersebut menunjukkan bahwa SMA Negeri 11 Yogyakarta merupakan sekolah yang berprestasi. Di tengah-tengah gedung sekolah terdapat Aula “Budi Utomo” yang berfungsi untuk berbagai kegiatan sekolah juga kadang berfungsi sebagai tempat berkumpul siswa ketika istirahat ataupun saat berdiskusi mengerjakan tugas.

SMA Negeri 11 Yogyakarta sudah mendapat akreditasi dari Badan Akreditasi Sekolah (BAS) dengan nilai A. Serta menggunakan Standar Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001: 2008. Fasilitas yang disediakan guna menunjang kegiatan belajar mengajar sudah cukup lengkap diantaranya


(1)

142 Lampiran 6 Dokumentasi


(2)

(3)

(4)

145 Lampiran 7. Surat Izin Penelitian


(5)

(6)