UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan tambahan makanan
Penggunaan bahan tambahan makanan BTM pada umumya bertujuan untuk memenuhi target tertentu dan memenuhi keinginan konsumen.
Penggunaan bahan tambahan makanan dalam pembuatan makanan, minuman maupun jajanan makin pesat seiring dengan makin banyaknya jenis makanan,
minuman, dan jajanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi, baik dalam kondisi siap saji maupun setelah diawetkan selama beberapa waktu Pitojo dan
Zumiati, 2009. Definisi tentang bahan tambahan makanan atau zat tambahan makanan
diambil oleh Komisi Codex Alimentarius, suatu badan antar-pemerintah yang terdiri dari 120 negara FAOWHO, 1983 yaitu zat tambahan makanan berarti
bahan apa pun yang biasa tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan dan biasanya tidak digunakan sebagai bahan
– bahan khas untuk makanan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada
makanan untuk tujuan teknologi termasuk organoleptik dalam pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan
atau penanganan makanan akan mengakibatkan atau dapat diharapkan berakibat secara langsung atau tidak langsung terhadap makanan itu atau
hasil sampingan menjadi bagian komponen makanan atau mempengaruhi ciri –
ciri makanan itu. Istilah ini tidak mencakup “pencemar” atau zat – zat yang ditambahkan pada makanan untuk mempertahankan atau memperbaiki mutu
gizi Lu, 2006. Definisi resmi yang muncul dalam Undang
– undang Federal mengenai Makanan, Obat dan Kosmetik, seperti diamandemenkan pada oktober 1976,
berbeda dengan difnisi di atas dalam beberapa segi. Perundang – undangan AS
tidak memasukkan zat warna sebagai bahan tambahan dan zat – zat yanng akan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ditambahkan pada makanan tetapi didefinisikan se bagai “secara umum dikenal
aman”Generally Recognized as Safe = GRAS Lu, 2006. Menurut Codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim
dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang
tidak Saparinto dan Hidayati, 2006. Pada umumnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu : a. Aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja maksud dan
tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan
rupa, dan lain sebagainya. b. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam
jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan Winarno, 1992.
Bila dilihat dari asalnya, aditif didapat dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya; dapat juga disintesis dari bahan kimia yang
mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan k
imia maupun sifat metebolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan
yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga
mengandung zat – zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang – kadang
bersifat kasinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan atau manusia Winarno, 1997.
Fungsi bahan tambahan pangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 235MEN.KESPERVI1979, tanggal 19 Juni 1979,
yaitu sebagai 1 antioksidan, 2 antikempal, 3 pengasam, penetral dan pendapar, 4 enzim, 5 pemanis buatan, 6 pemutih dan pematang, 7
penambah gizi, 8 pengawet, 9 pengemulsi,pemantap, dan pengental, 10 pengeras, 11 pewarna alami dan sintetik, 12 penyedap rasa dan aroma, 13
seskuentran, serta 14 bahan tambahan lain Saparinto dan Hidayati, 2006.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adapun tujuan penambahan bahan tambahan pangan BTP secara umum adalah untuk :
Meningkatkan nilai gizi makanan, Memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan, dan
Memperpanjang umur simpan shelf life makanan. Saparinto dan
Hidayati, 2006.
2.2 Zat pewarna