Penetapan Kadar Zat Pewarna (Tartrazine Dan Sunset yellow) Pada Sirup Kemasan Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(1)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENETAPAN KADAR ZAT PEWARNA (Tartrazine dan

Sunset yellow) PADA SIRUP KEMASAN DENGAN

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI

SKRIPSI

ATINA WAHYUNI

NIM : 107102000278

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

CIPUTAT JANUARI 2013


(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENETAPAN KADAR ZAT PEWARNA (Tartrazine dan

Sunset yellow) PADA SIRUP KEMASAN DENGAN

MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ATINA WAHYUNI

NIM : 107102000278

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

CIPUTAT DESEMBER 2013


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

Nama : Atina Wahyuni

Program Studi : Farmasi

Judul : Penetapan Kadar Zat Pewarna (Tartrazine Dan Sunset yellow) Pada Sirup Kemasan Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Tartazine dan Sunset yellow merupakan dua jenis pewarna sintetis yang sering digunakan pada beberapa jenis makanan dan minuman. Analisis kadar zat pewarna sintetis Tartrazine dan Sunset yellow pada beberapa sirup kemasan yang beredar dipasaran telah dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Dalam analisis ini digunakan kolom (Eclipse plus) C-18 5μm (150 x 4,6 mm), detektor UV-Vis pada 450 nm, dengan komposisi fase gerak metanol (fase gerak A) dan buffer fosfat 0,01M pH 7 (fase gerak B). Pemisahan zat warna dilakukan melalui teknik gradient elusi dengan laju alir 1 ml/menit dan volume injeksi 20 μl. Kurva kalibrasi linier pada rentang 1,56 - 25 μg/ml menghasilkan persamaan regresi y = 0,0532x - 0,0368 (Tartrazine) dan y = 0,0183x – 0,0004 (Sunset yellow) dengan koevisien korelasi (r2) = 0,999 (Tartrazine) dan 0,9997 (Sunset yellow). Batas deteksi 0,386 μg/ml (Tartrazine) dan 0,81λ7 μg/ml

(Sunset yellow) serta batas kuantitasi 1,286 μg/ml (Tartrazine) dan 0,011 μg/ml (Sunset yellow). Standar deviasi relative (RSD) sebesar 0,064% (Tartrazine) dan 0,043% (Sunset yellow). Hasil pemeriksaan terhadap sampel 4 jenis sirup kemasan menghasilkan kadar zat pewarna : sampel A 5,924 μg/ml (Tartrazine) dan 56,614 μg/ml (Sunset yellow); sampel B 7,011 μg/ml

(Tartrazine) dan 7,846 μg/ml (Sunset yelow); sampel C yaitu 33,758 μg/ml

(Tartrazine) dan 77,λ64 μg/ml (Sunset yellow); dan sampel D yaitu 17,667 μg/ml (Tartrazine) dan 11,712 μg/ml (Sunset yellow). Dari keempat sampel yang diteliti kadarnya masih berada dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yakni ug/mL.


(7)

vii

Name : Atina Wahyuni

Program Study : Pharmacy

Tittle : Determination of Synthetic Dyes, Tartrazine and Sunset Yellow in Commercial Soft Drink by High Performance Liquid Chromatography Methods

Tartazine and Sunset yellow are two types of synthetic dyes are often used in some foods and beverages. Analysis of synthetic dyes i.e. Tartrazine and Sunset yellow packaging on some commercial syrup were accurately quantified using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method. In this analysis used Eclipse plus column 5μm C-18 (150 x 4.6 mm), UV-Vis detector at 450 nm, with a mobile phase composition of methanol (mobile phase A) and 0.01 M phosphate buffer pH 7 (mobile phase B). Separation of dye through gradient elution technique with a flow rate of 1 ml / min and 20 mL injection volume. Linear calibration curve in the range of 1,56 to 25 / ml produced the regression equation y = 0,0532x - 0,0368 (Tartrazine) and y =0,0183x – 0,0004 (Sunset yellow) with koevisien correlation (r2) = 0,999 (Tartrazine) and 0,9997 (Sunset yellow). Limit of detection (LOD) of Tartrazine was 0,386 μg/ml and Sunset yellow was 0,8197 μg/ml while the limit of quantitation (LOQ) of Tartrazine was 1,286 μg/ml and

Sunset yellow was 0,011 μg/ml. Relative standard deviation (RSD) of (Tartrazine) 0,064% and (Sunset yellow) 0,043% Determination of dyes contained of four types of commercial syrup packing produce levels of dye : 5,924 ug/ml (Tartrazine) and 56,614 ug/ml (Sunset yellow) for sample A, 7,011 ug/ml (Tartrazine) and 7,846 ug/ml (Sunset yellow) for sample B; 33,758 ug/ml (Tartrazine) and 77,964 ug/ml (Sunset yellow) for sample C, and 17,667 ug/ml (Tartrazine) and 11,712 ug/ml (Sunset yellow) for sample D. Four of samples studied levels remain below the recommended of Regulation of the Ministry of Health, that is 70 ug/mL.


(8)

viii

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dan masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ismiarni Komala,M.Sc.,Ph.D.,Apt selaku pembimbing I dan Bapak S. Hermanto, M.S.i. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga, serta memberikan bimbingan, saran, dan dukungan selama penelitian.

2. Bapak Pras Setiawan selaku analis dari LAPTIAB Puspitek Tangerang berserta staf atas penggunaan segala fasilitas dan bantuan selama penelitian. 3. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Umar Mansur M.Si, Apt selaku ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakartaa

5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Seluruh staf Laboratorium Farmasi (FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

dan Laboratorium Pangan (PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang telah memberikan bantuan dan dukungannya selama proses penelitian berlangsung. 7. Kedua orang tua tercinta (Bapak dan Mama) yang selalu memberikan kasih

sayang yang tak terhingga, doa, serta dukungan baik moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar.


(9)

ix

9. Teman seperjuangan (NAFTALEN) yang sering memberi dukungan semangat dan kasih sayang, canda – tawa. Semoga selamanya kita akan selalu keluarga, amiiin.

10.Teman – teman dari PASIFIK (Paduaan Suara Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) atas kasih sayang, semangat dan doa-nya.

11.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetapi memberikan kontribusinya dalam penelitian ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Ciputat, Januari 2013 Penulis


(10)

(11)

xi

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang masalah ... 1

1.2 Rumusan masalah... 3

1.3Tujuan penelitian ... 3

1.4Manfaat penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Bahan tambahan makanan... 4

2.2 Zat pewarna ... 6

2.2.1 Pewarna alami ... 6

2.2.2 Pewarna sintetik ... 8

2.2.2.1 Tartrazine ... 13

2.2.2.2 Sunset yellow ... 15


(12)

xii

2.4.2 Komponen instrument KCKT ... ... 19

2.4.3 Teknik pemisahan dalam KCKT ... ... 21

2.4.4 Metode analisis dalam KCKT ... .. 21

2.5 Validasi metode ... 23

2.6 Teknik sampling ... .... 25

Kerangka konsep ... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ...30

3.1 Tempat dan waktu penelitian ... 30

3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Alat ... 30

3.2.2 Bahan ... 30

3.3 Cara kerja 3.3.1 Prosedur pengambilan sampel ... 30

3.3.2 Preparasi standar ... 31

3.3.3 Penentuan serapan maksimum ... 31

3.3.4 Analisa kondisi optimum ... 31

3.3.5 Pembuatan kurva kalibrasi ... 32

3.3.6 Pengujian batas deteksi dan batas kuatitasi ... 33

3.3.7 Pengujian keterulangan (Presisi) ... 33

3.3.8 Penetapan kadar zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow dalam produk sirup kemasan ... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Spektrum serapan maksimum Tartrazine dan Sunset yellow 34 4.2 Hasil analisa kondisi optimum ... 35

4.3 Hasil linieritas kurva kalibrasi ... 37

4.4 Hasil analisa batas deteksi dan batas kuantitas ... 38

4.5 Hasil analisa keterulangan (Presisi) ... 38

4.6 Hasil pengujian kadar Tartrazine dan Sunset yellow pada sampel sirup kemasan... 39


(13)

xiii

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN ... 45


(14)

xiv

Halaman

Gambar 1. Struktur Tartrazine ... 13

Gambar 2. Struktur Sunset yellow ... 15

Gambar 3. Diagram alir KCKT ... 19

Gambar 4. Kromatogram untuk uji kesesuaian sistem ... 34

Gambar 5. Kurva kalibrasi Tartrazine ... 37

Gambar 6. Kurva kalibrasi Sunset yellow ... 38

Gambar 7. Standar Tartrazine dan Sunset yellow ... 46

Gambar 8. Sampel ... 47

Gambar 9. Alat KCKT Kenaur Detektor UV Autosampler ... 48

Gambar 10. Spektrofotometer UV-Vis ... 48

Gambar 11. Vacum filter ... 48

Gambar 12. Spektrum serapan Tartrazine ... 52

Gambar 13. Spektrum serapan Sunset yellow ... 52

Gambar 14. Kromatogram sampel A ... 53

Gambar 15. Kromatogram sampel B ... 53

Gambar 16. Kromatogram sampel C ... 53


(15)

xv

Halaman

Tabel 2.1. Sifat – sifat dari beberapa bahan pewarna alami ... 7

Tabel 2.2. Pewarna sintetik terdaftar ... 8

Tabel 3.1. Komposisi fase gerak dalam rentang gradient elusi ... 32

Tabel 4.1. Hasil uji kesesuaian sistem ... 36

Tabel 4.2. Hasil analisa uji kurva kalibrasi ... 37

Tabel 4.3. Hasil analisa uji LOD dan LOQ ... 38

Tabel 4.4. Hasil analisa uji presisi ... 39

Tabel 4.5 Hasil analisa pengujian kadar Tartrazine dan Sunset yellow pada sampel ... 39


(16)

xvi

Halaman

Lampiran 1. Standar Tartrazine dan Sunset yellow ... 46

Lampiran 2. Sampel minuman ... 47

Lampiran 3. Alat – alat yang digunakan ... 48

Lampiran 4. Skema kerja penelitian ... 49

Lampiran 5. Skema kerja pembuatan larutan untuk kurva kalibrasi ... 50

Lampiran 6. Skema kerja preparasi sampel ... 51

Lampiran 7. Spektrum serapan standar Tartrazine dan Sunset yellow ... 52

Lampiran 8. Kromatogram Tartrazine dan Sunset yellow pada sampel ... 53

Lampiran 9. Perhitungan hasil uji kesesuaian sistem... 55

Lampiran 10 Perhitungan ratio luas area ... 56

Lampiran 11 Perhitungan LOD dan LOQ ... 57

Lampiran 12. Perhitungan hasil uji presisi ... 59

Lampiran 13. Perhitungan kadar Tartrazine dan Sunset yellow pada sampel.. 60

Lampiran 14. Sertifikat analisis Tartrazine ... 61


(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Perkembangan teknologi pengolahan pangan dewasa ini telah menghasilkan berbagai produk makanan dan minuman yang terbungkus dengan berbagai bahan kemasan baik dari kaleng, gelas, alumunium, dan berbagai jenis plastik. Aneka ragam jenis kemasan makanan dan minuman dengan berbagai warna dan bentuk mempunyai nilai tersendiri dan sangat menarik (Kristianigrum, 1997).

Minuman kemasan merupakan salah satu diantara contoh kemajuan teknologi pengolahan pangan. Dahulu orang lebih suka membuat minuman sendiri seperti jus, tetapi karena dinilai kurang praktis, tidak awet dan warna yang dihasilkan kurang menarik sehingga masyarakat lebih memilih minuman yang sudah dikemas karena dinilai lebih praktis, awet dan warna yang lebih menarik.

Sebagian besar minuman kemasan banyak mengandung bahan aditif seperti pengawet, pemanis, pewarna dan lain – lain. Walaupun penggunaan bahan aditif mempunyai nilai positif pada produk pangan yang diproduksi tetapi penggunaan bahan aditif juga dampak negatif atau sangat berbahaya bagi kesehatan.

Pemakaian bahan pewarna pangan sintetis walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, ternyata dapat pula menimbulkan hal – hal yang tidak diinginkan dan bahkan mungkin memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Kinosita dalam Saprinto dan Hidayati (2006), telah melihat adanya efek karsinogenik pada iritasi kimia akibat paparan senyawa zat warna, salah satu percobannya adalah dengan cara memberi makanan hewan – hewan percobaan di laboratorium dengan senyawa – senyawa zat warna Butter yellow yang dianggap karsinogen menunjukkan dosis ± 3 mg/hari pada tikus – tikus, menyebabkan sebagian mati sebelum 30 hari, sisanya mampu bertahan sampai hari ke – 150, setelah terkena macam –


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

macam tumor hati. Efek kronis yang diakibatkan oleh zat warna azo yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama, pada percobaan dipakai ortoaminoazo-toulen dapat menyebabkan kanker hati. Para ilmuwan pada umumnya mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo (Saprinto dan Hidayati, 2006). Salah satu kelompok zat warna azo adalah Tartrazine dan Sunset yellow, penelitian menunjukkan bahwa Tartrazine berhubungan dengan berbagai penyakit antara lain asma, hiperaktif pada anak, migrain. Di Norwegia dan Austria Tartrazine sudah tidak digunakan lagi (Li dkk, 2008).

Penggunaan bahan pewarna makanan yang diizinkan dalam makanan dengan batas maksimum penggunannya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MEN.KES.PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan (BMT) khususnya untuk Tartrazine dan Sunset yellow

dengan kadar yang diizinkan masing – masing untuk minuman ringan dan makanan cair yaitu 70 µg/mL untuk produk siap konsumsi. Sedangkan berdasarkan WHO adalah 0 – 2,5 mg/Kg untuk Sunset yellow (Anonim, 2008) dan Tartrazine adalah sebanyak 0 – 7,5 mg/Kg (Anonim, 1984).

Mengingat adanya bahaya menggunakan Tartrazine dan Sunset yellow

yang melebihi kadar yang ditetapkan, maka dipandang perlu untuk melakukan analisis kandungan Tartrazine dan Sunset yellow dalam produk pangan yang beredar. Beberapa metode analisa yang sering digunakan untuk mengukur kadar suatu senyawa dalam sediaan adalah spektrofotometri UV-Vis , kromatografi cair, kapiler kromatografi, kromatografi ion, voltametri dan LC-MS (Li dkk, 2008), selain itu KLT dan kolom poliamida, (Anonim, 1992).

Dasar pemilihan metode KCKT karena memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat menganalisa senyawa – senyawa yang non-volatil, termolabil dengan daya pisahnya lebih baik, kolom dapat digunakan kembali, serta sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Pada penelitian ini telah dilakukan penetapan kadar zat pewarna (Tartrazine dan Sunset yellow) pada sirup kemasan yang beredar di pasaran secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan menggunakan kolom Eclipse plus C-18.


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang baik bagi institusi pemerintah dan masyarakat dalam penggunaan dan pengawasan minuman kemasan yang beredar di masyarakat.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana hasil validasi metode analisis zat pewarna (Tartrazine dan

Sunset yellow) dengan mengunakan alat KCKT ?

2. Apakah kadar zat pewarna (Tartrazine dan Sunset yellow) yang terkandung pada 4 sampel minuman kemasan yang beredar dimasyarakat melebih batas normal yang diizinkan oleh Pemerintah?

1.3Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sensitifitas dan validitas metode analisis yang digunakan mengetahui kadar pewarna

Tartrazine dan Sunset yellow pada minuman kemasan yang beredar dipasaran.

1.4Manfaat

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan metode alternatif untuk analisis zat pewarna sintetis (Tartrazine dan Sunset yellow) yang lebih kuantitatif.

2. Memberikan informasi kadar zat pewarna sintetis yang sering digunakan pada minuman kemasan yang beredar di masyarakat, sehingga informasi diperoleh dapat membantu masyarakat mengetahui bahaya pewarna pada minuman kemasan yang beredar di pasaran jika terakumulasi didalam tubuh.


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Bahan tambahan makanan

Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) pada umumya bertujuan untuk memenuhi target tertentu dan memenuhi keinginan konsumen. Penggunaan bahan tambahan makanan dalam pembuatan makanan, minuman maupun jajanan makin pesat seiring dengan makin banyaknya jenis makanan, minuman, dan jajanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi, baik dalam kondisi siap saji maupun setelah diawetkan selama beberapa waktu (Pitojo dan Zumiati, 2009).

Definisi tentang bahan tambahan makanan atau zat tambahan makanan diambil oleh Komisi Codex Alimentarius, suatu badan antar-pemerintah yang terdiri dari 120 negara (FAO/WHO, 1983) yaitu zat tambahan makanan berarti bahan apa pun yang biasa tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan dan biasanya tidak digunakan sebagai bahan – bahan khas untuk makanan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada makanan untuk tujuan teknologi (termasuk organoleptik) dalam pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan atau penanganan makanan akan mengakibatkan atau dapat diharapkan berakibat ( secara langsung atau tidak langsung ) terhadap makanan itu atau hasil sampingan menjadi bagian komponen makanan atau mempengaruhi ciri –

ciri makanan itu. Istilah ini tidak mencakup “pencemar” atau zat – zat yang ditambahkan pada makanan untuk mempertahankan atau memperbaiki mutu gizi (Lu, 2006).

Definisi resmi yang muncul dalam Undang – undang Federal mengenai Makanan, Obat dan Kosmetik, seperti diamandemenkan pada oktober 1976, berbeda dengan difnisi di atas dalam beberapa segi. Perundang – undangan AS tidak memasukkan zat warna sebagai bahan tambahan dan zat – zat yanng akan


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditambahkan pada makanan tetapi didefinisikan sebagai “secara umum dikenal

aman”(Generally Recognized as Safe = GRAS) (Lu, 2006).

Menurut Codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang tidak (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Pada umumnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :

a. Aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya.

b. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan (Winarno, 1992).

Bila dilihat dari asalnya, aditif didapat dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya; dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metebolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat – zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang – kadang bersifat kasinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan atau manusia (Winarno, 1997).

Fungsi bahan tambahan pangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 235/MEN.KES/PER/VI/1979, tanggal 19 Juni 1979, yaitu sebagai (1) antioksidan, (2) antikempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi,pemantap, dan pengental, (10) pengeras, (11) pewarna alami dan sintetik, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) seskuentran, serta (14) bahan tambahan lain (Saparinto dan Hidayati, 2006).


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Adapun tujuan penambahan bahan tambahan pangan (BTP) secara umum adalah untuk :

 Meningkatkan nilai gizi makanan,

 Memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan, dan

 Memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. (Saparinto dan Hidayati, 2006).

2.2Zat pewarna

Warna merupakan nama umum untuk semua pengindraaan yang berasal dari aktivitas retina mata. Jika cahaya mencapai retina, mekanisme saraf mata menanggapi, salah satunya memberi sinyal warna. Cahaya adalah energi radiasi dengan rentang panjang gelombang sekitar 400 – 800 nm (Deman, 1997).

Warna makanan memiliki peran penting pada makanan yang dihidangkan. Selain memiliki daya tarik yang dapat dinikamati oleh indra penglihatan, warna berperan penting dalam membentuk cita rasa makanan. Warna makanan berasal dari beberapa sumber, masing – masing adalah sebagai berikut :

a. Warna makanan yang berasal dari penambahan zat warna sintetis. b. Warna makanan yang berasal dari reaksi pencokelatan atau browning. c. Warna makanan yang berasal dari pigmen tanaman dan bahan asli

tanaman (Pitojo dan Zumiati, 2009).

2.2.1 Pewarna alami

Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karoteniod, riboflavin, dan kobalamin), bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Warna makanan disebabkan oleh pigmen alam atau pewarna yang ditambahkan. Pigmen alam adalah segolongan senyawa yang terdapat dalam produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Pigmen alam mencakup pigmen yang sudah terdapat dalam makanan dan pigmen yang


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terbentuk pada pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan (Deman, 1997).

Pewarna alami dapat diperoleh dengan jalan ekstraksi maupun melalui cara yang lain, yang ditangani oleh pabrikan, secara legal, diawasi dan mendapatkan izin dari pemerintah. Pewarna nabati adalah pewarna alami yang diperoleh dari tumbuh – tumbuhan atau tanaman. Sama halnya dengan pewarna sintetis, penggunaaan pewarna alami pada bahan pangan perlu mengikuti petunjuk yang telah ada. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 772/Menkes/Per/IX/88, yang berisi tentang beberapa pewarna alami (natural colour) yang diizinkan oleh pemerintah, memuat perihal nama zat pewarna di Indonesia, nama asing, nama makanan yang bersangkutan (Pitojo dan Zumiati, 2009).

Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin, anthosianin, flavanoid, tannin, betalain, quinon dan xanthon, serta karotenoid (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Tabel 2.1. Sifat – sifat dari Beberapa Bahan Pewarna Alami

Kelompok Warna Sumber Kelarutan Stabilitas

Karamel Cokelat gula dipanaskan Air Stabil Anthosianin Jingga

merah biru

Tanaman Air Peka terhadap

panas dan Ph Flavonoid tanpa

kuning

Tanaman Air stabil terhadap panas

Leucoantho sianin

tidak bewarna

Tanaman Air stabil terhadap panas

Tannin tidak bewarna

Tanaman Air stabil terhadap panas

Batalain kuning, merah

Tanaman Air sensitif

terhadap panas Quinon kuning –

hitam

Tanaman Air stabil terhadap panas

Xanthon Kuning Tanaman bakteria lumut

Air stabil terhadap panas

Karotenoid tanpa kuning dan

Tanaman / hewan

Lipida stabil terhadap panas


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merah

Klorofil hijau, cokelat

Tanaman Lipida dan air sensitif terhadap panas Heme merah,

cokelat

Air sensitif terhadap panas

Sumber: Saparinto dan Hidayati (2006) pada buku analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan edisi kedua.

2.2.2 Pewarna sintetis

Pewarna sintetik yang dipakai secara komersil dikenal juga sebagai tinambah warna bersertifikat. Ada dua jenis zat warna, yaitu pewarna (dye) FD&C dan lake FD&C. FD&C menunjukkan senyawa yang sudah disetujui untuk digunakan dalam makanan (F, food), obat (D, drug) dan kosmetik (C, cosmetic) oleh peraturan federal Amerika Serikat (Deman, 1997).

Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna sintetis yang diizinkan dan dilarang untuk pangan telah diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MenKes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan (Departemen Kesehatan RI). Tabel dibawah ini menyebutkan beberapa pewarna sintetis yang diizinkan oleh Pemerintah.

Tabel 2.2. Pewarna sintetik tedaftar

No

Nama Bahan

Tambahan Makanan Jenis / Bahan Makanan Batas Maksimum Penggunaan Bahasa Indonesia Bahasa Inggris

1. Biru berlian Briliant Blue FCF; C 1 Food Bluel2; FD & C Blue No.1; C 1 No. 42090

1. Es krim dan sejenisnya

2. Kapri kalengan

3. Ercis kalengan

4. Acar ketimun dalam botol 100mg/kg produk akhir (total campuran pewarna 300mg/kg) 100mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain. 200mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain. 300mg/kg, tunggal atau campuran


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Jem dan jeli

saus apel kalengan 6. Makanan lain

dengan pewarna lain. 200mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain. 100mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

2 Coklat HT Chocolate Brown HT; C I No. 20285

1. Minuman ringan dan makanan cair 2. Makanan lain

70mg/l produk siap dikonsumsi

300mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

3 Eritrosin Erythrosine; CI Food Red 14; FD & Red No.3; Ci No.45430

1. Es krim dan sejenisnya

2. Buah pir kalengan 3. Buah prem

(Plum) kalengan

4. Jem dan Jeli; Saus apel kalengan 5. Udang kalengan

6. Udang beku

7. Yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi 8. Irisan daging

olahan 9. Makanan lain

100mg/kg produk akhir (total campuran pewarna 300mg/kg) 200mg/kg, tunggal atau campuran dengan warna lain 300mg/kg, tunggal atau campuran dengan Ponceau 4R, hanya untuk buah prem merah atau ungu

200mg/kg, tunggal atau campuran dengan Ponceau 4R 30mg/kg, tunggal atau campuran dengan warna lain 30mg/kg, tunggal atau campuran dengan warna lain, hanya pada produk yang telah

dipanaskan. 27mg/kg, berasal dari aroma yang digunakan

15mg/kg

300mg/kg, tunggal atau campuran


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan warna lain 4 Hijau FCF Fast Green

FCF C I Food Grean 3; FD & C Green No.3; C I No. 420453

1. Es krim dan sejenisnya

2. Buah pir kalengan

3. Ercis kalengan

4. Acar ketimun dalam botol

5. Jem dan Jeli; Saus apel kalengan 6. Marmalad

7. Makanan lain

100mg/kg produk akhir (total campuran pewarna 300mg/kg) 200mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain 200mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain. 300mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain 200mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain 100mg/kg, tunggal atau campuran dengan Tartrazine. 100mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain

5 Hijau S Food Green S; C I Food Green 4; C I No.44090

1. Minuman ringan dan makanan cair

70mg/l produk siap dikonsumsi

6 Indigotin Indigotine; Indigo Carmine; C I Food Blue 1; FD & C Blue No.2; C I No.73015

1. Es krim dan sejenisnya

2. Jem dan Jeli; Saus apel kalengan 3. Yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi 4. Makanan lain

100 mg/kg produk akhir (campuran pewarna

300mg/kg).

200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

6 mg/kg, berasal dari aroma yang digunakan.

300 mg/kg, tunggal atau campuran pewarna lain. 7 Karmoisin Carmoisine; C

I Food Red 3; Azorubine; C I

1. Minuman ringan dan makanan cair

70mg/l produk siap dikonsumsi


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 14720 2. Es krim dan

sejenisnya 3. Yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi

100 mg/kg produk akhir (total

campuran pewarna 300 mg/kg). 57 mg/kg, berasal dari aronma yang digunakan.

8 Kuning FCF Sunset yellow FCF; C I Food Yellow 3; FD & C Yellow No.6; Food Yellow No.5; C I No. 15985

1. Minuman ringan dan makanan cair 2. Es krim dan

sejenisnya

3. Acar ketimun dalam botol 4. Yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi 5. Jem dan Jelli;

Saus apel kalengan 6. Marmalad 7. Udang kalengan

70mg/l produk siap dikonsumsi. 100 mg/kg produk akhir (total

campuran pewarna 300 mg/kg). 300 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

57 mg/kg, berasal dari aroma yang digunakan.

200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain

200 mg/kg 30 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain

9 Kuning kuinolin

Quinoline Yellow; Food Yellow 13; C I Aci Yellow 13; C I No. 47005

1. Es krim dan sejenisnya

2. Makanan lain

50 mg/kg produk akhir (total

campuran pewarna 300 mg/kg)

300 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

10. Merah Alura Allura Red AC; C I Food Red 17; FD & C Red No. 40; C I No. 16035

1. Minuman ringan dan makanan cair 2. Makanan lain

70mg/l produk siap dikonsumsi

300 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta I Food Red 7;

Brilliant sejenisnya 2. Minuman ringan dan makanan cair 3. Yoghurt beraroma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi 4. Buah pir

kalengan

5. Buah prem (Plum) kalengan

6. Jem dan Jeli

7. Undang kalengan 8. Udang beku

akhir (total

campuran pewarna 300 mg/kg) 70mg/l produk

48 mg/kg, berasal dari aroma yang digunakan

200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

300 mg/kg, tunggal atau campuran dengan eritrosin, hanya pada prem merah dan ungu. 200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

30 mg/kg, tunggal atau campuran dengan warna lain. 30 mg/kg, tunggal atau campuran dengan warna lain, hanya pada produk yang telah

dipanaskan. 12. Tartrazine Tartrazine; C I

Food Yellow 4; FD & C Yellow No. 5; C I No. 19140

1. Minuman ringan dan makanan cair 2. Es krim dan

sejenisnya 3. Yoghurt beraraoma dan produk yang dipanaskan setelah fermentasi 4. Buah pir

kalengan; Ercis kalengan 5. Kapri kalengan

70mg/l produk siap dikonsumsi

10 mg/kg produk akhir (total

campuran pewarna 300 mg/kg). 18 mg/kg, berasal dari aroma yang digunakan

200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Acar keteimun

dalam botol

7. Jem dan Jeli; Saus apel kalengan 8. Marmalad

9. Udang kalengan

300 mg/kg, tunggal atau campur dengan pewarna lain.

200 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

100 mg/kg, tunggal atau campuran dengan Hijau FCF. 30 mg/kg, tunggal atau campuran dengan pewarna lain.

Sumber : SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MenKes/Per/IX/88

2.2.2.1Tartrazine

Tartrazine merupakan jenis pewarna sintetik yang terdaftar atau diizinkan oleh Pemerintah digunakan untuk pewarna makanan dan minuman. Selain untuk makanan dan minuman Tartrazine juga digunakan untuk kosmetik dan obat – obatan.

Sifat – sifat atau karakteristik dari Tartrazine :

 Organoleptik

 Bentuk : serbuk atau tepung  Warna : kuning jingga

 Kelarutan : mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol 95%, mudah larut dalam gliesrol dan glikol

 Berat molekul : 534. 4

 Rumus kimia : C16H9N4Na43O9S2

 Rumus bangun :


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tartrazine adalah pewarna makanan kuning yang telah digunakan selama bertahun-tahun, namun telah ditemukan dapat menghasilkan reaksi intoleran dalam beberapa individu. Penggunaan

Tartrazine pada jangka waktu yang lama dapat memberikan efek yang berbahya. Reaksi merugikan yang telah dilaporkan termasuk urtikaria (ruam kulit alergi), rhinitis (pilek), asma, purpura (kulit memar keunguan) dan anafilaksis sistemik (Shock). Reaksi samping ini lebih umum pada penderita asma dan orang-orang yang peka terhadap aspirin (Anonim, 2002).

Pewarna kuning Tartrazine yang digunakan dalam obat-obatan dan makanan dapat menyebabkan gejala reaksi alergi (urtikaria, rinitis, atau asma) dapat terjadi setelah paparan bahan kimia yang digunakan untuk warna, bumbu, atau mengawetkan makanan dan obat-obatan, tapi Tartrazine (FD & C kuning No 5) adalah warna yang paling sering dicurigai. Intoleransi terhadap Tartrazine pertama kali dilaporkan pada tahun 1959, dan bagian dalam induksi dari urtikaria telah diakui sejak tahun 1975. Non-thrombocytopenic purpura juga dilaporkan karena hipersensitivitas terhadap Tartrazine

yang menunjukkan kemungkinan bahwa tartrazine dapat bertindak sebagai hapten yang terikat pada sel endotel pembuluh darah kecil (Miller, 1982).

Penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi Tartrazine

telah dipelajari secara ekstensif di hewan dan manusia. Sementara sebagian besar studi selama 40-50 tahun yang lalu dengan teknik dan metode yang digunakan untuk identifikasi senyawa induk dan metabolitnya adalah digunakan untuk menjelaskan dan mengidentifikasi dengan metabolisme sebagian besar dari jalur

xenobiotik. Setelah pemberian secara oral dari Tartrazine utuh penyerapan pada kisaran dosis yang rendah diabaikan (<5%) dan

tartrazine utuh pada saat diekskresikan warnanya tidak berubah dalam urin (Anonim, 2009).


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Batas normal pewarna Tartrazine yang diizinkan oleh Pemerintah Indonesia beradasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor :722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan adalah 70 µg/mL produk siap dikonsumsi untuk minuman dan makanan cair (Departemen Kesehatan RI,1988). Sedangkan berdasarkan WHO adalah ADI 0 – 7,5 mg/kg. Sedangkan LD50 dari Tartrazine 6000 – 10000 mg/Kg pada tikus (Anonim, 2002).

2.2.2.2Sunset yellow

Sunset yellow merupakan salah satu pewarna yang juga sering digunakan, bahkan penggunaannya sering dikombinasikan dengan pewarna tartrazine. Sunset yellow juga merupakan jenis pewarna sintetik yang terdaftar atau diizinkan oleh Pemerintah digunakan untuk pewarna makanan dan minuman, kosmetik dan obat -obatan.

Sifat – sifat atau karakteristik (monografi) dari Sunset yellow :

 Organoleptik

 Bentuk : serbuk atau granul  Warna : orange

 Kelarutan : mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol 95%, mudah larut dalam gliesrol dan glikol

 Berat molekul : 534. 37

 Kegunaan : zat pewarna sintetik

 Rumus kimia : C16H9N4Na3O9S2

 Rumus bangun :

Gambar 2. Struktur kimia Sunset yellow (Anonim, 2012)

Sunset yellow sebagian kecil diserap pada saluran pencernaan dan sebagian besar dosis oral diekskresikan melalui tinja. Sunset


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yellow kemungkinan akan dipecah oleh reduksi azo-usus. Urin juga didominasi produk azo-reduksi (sulphanilic asam, asam 1-amino-2-naftol-6-sulfonat, dan bentuk bentuk N-asetilasi) (Anonim, 2009)

Beberapa penelitian mencatat adanya kandungan amina aromatik unsulphonated didalam pewarna Sunset yellow dengan konsentrasi sampai 100 mg / kg. Meskipun beberapa amina aromatik mungkin terkait dengan genotoxicity atau bahkan carcinogenicity, peneliti mencatat bahwa Sunset yellow menunjukkan hasil yang negatif pada genotoxicity secara in vitro juga seperti dalam studi

carcinogenicity jangka panjang. Peneliti menyimpulkan bahwa potensi genotoxicity Sunset yellow telah sepenuhnya diteliti baik secara in vitro dan in vivo, dan tidak ada indikasi adanya potensi genotoksik pada pewarna Sunset yellow atau metabolitnya (Anonim, 2009).

Sebuah penelitian McCann et al melakukan uji pada bahan tambahan makanan menyimpulkan bahwa paparan dalam makanan untuk dua campuran dari empat warna sintetik ditambah pengawet natrium benzoat, Mix A dan Mix B, keduanya mengandung Sunset yellow mengakibatkan hiperaktif meningkat pada umur 3 tahun, 8 tahun dan anak-anak yang berusia 9 tahun pada populasi. (Anonim, 2009).

Batas normal pewarna Sunset yellow yang diizinkan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor :722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan adalah 70 µg/mL produk siap dikonsumsi untuk minuman dan makanan cair (Departemen Kesehatan RI, 1988). Sedangkan berdasarkan WHO adalah ADI 0 – 2,5 mg/kg. Sedangkan LD50 dari Sunset yellow 5000mg/Kg pada tikus (Anonim, 2008).

2.3 Minuman sirup

Menurut Departemen Perindustrian (1977) sirup ialah minumam gula (sakrosa) pekat yang dipergunakan sebagai bahan minuman dengan / tanpa ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam tartrat atau asam laktat), juga


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

aroma dan zat warna. Sirup dapat dibuat dari gula alami (tebu dan bit) dan gula sintetik (sakarin, siklamat, aspartam dan sorbitol). (Hubies, dkk., 1994).

Sirup dikatakan baik jika larutannya kental alami (tanpa penambahan pengental), mempunyai rasa manis alami, diolah dan dikemas secara aseptik dan mempunyai warna yang baik (menggunakan pewarna makanan / food colour) (Hubies, dkk., 1994).

Komponen utama pembuatan sirup antara lain gula (alami: sukrosa, glukosa dan fruktosa. Sedangakan sintetik: sorbitol, aspartam dan sakarin), pewarna, flavor dan air. Bahan aditif seperti asam sitrat dan CMC tetapi tidak selalu digunakan (tergantung kebutuhan) (Hubies, dkk., 1994).

Cara pembuatan sirup yaitu dengan cara:

a. Memilih buah yang telah tua, segar dan yang masak kemudian dicuci, b. Buah dipotong menjadi 4 bagian,

c. Buah diparut hingga menjadi bubur,

d. Ditambahkan air, gula pasir, natrium benzoat, asam sitrat dan garam dapur,

e. Diaduk sampai rata,

f. Campuran dipanaskan hingga mendidih dan biarkan sampai agak mengental,

g. Dalam keadaan panas disaring kemudian didinginkan setelah dingin segera dimasukkan kedalam botol (Margono, dkk., 2000)

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau juga biasanya disebut dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatograhpy) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain: farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri - industri makanan (Rohman dan Gandjar, 2007).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk: pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(impurities); analisis senyawa – senyawa yang tidak mudah menguap (non - volatil); penentuan molekul – molekul netral, ionik maupun zwitter ion; pemisahan senyawa – semyawa yang strukturnya hampir sama dan lain- lain. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Rohman dan Gandjar, 2007).

Keuntungan KCKT menawarkan beberapa keuntungan dibanding dengan kromatografi cair klasik, antara lain kolom bisa digunakan kembali dan cepat: waktu analisis umumnya kurang dari 1 jam. Banyak analisis yang dapat diselesaikari sekitar 15-30 menit. Untuk analisis yang tidak rumit (uncomplicated), waktu analisis kurang dari 5 menit bisa dicapai (Putra, 2004).

Keterbatasan metode KCKT adalah jika digunakan untuk identifikasi senyawa harus menggunakan standar atau pembanding, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrofotometer massa (MS) (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.1 Cara kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat – zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan zat terlarut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan zat terlarut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara luas terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman dan Gandjar, 2007).

Untuk memilih kombinasi kondisi kromatografi yang terbaik, maka dibutuhkan pemahaman yang mendasar tentang berbagai macam faktor yang mempengaruhi pemisahan kromatografi cair (Rohman dan Gandjar, 2007).


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4.2 Komponen instrument KCKT

Instrument KCKT pada dasarnya terdiri dari beberapa komponen pokok, yaitu pompa, injektor, guard kolom, kolom, detektor, perekam (rekorder) dan integrator.

Rekorder

Pompa

kolom

Gambar 3. Diagram Alir Alat KCKT (Anonim, 2007 ) a. Pompa

Pompa digunakan untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Syarat pompa yang baik untuk KCKT yaitu pompa harus inert terhadap fase gerak, mampu memberikan tekanan sampai 5000psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Bahan yang umum yang dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karet, teflon, dan batu nilam (Rohman dan Gandjar, 2007).

b. Injektor

Kegunaan injektor adalah tempat untuk memasukkan sampel – sampel cair atau larutan secara langsung kedalam fase gerak yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom (Rohman dan Gandjar, 2007).

c. Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadamya (analisis kuantitatif).Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi,

Pelarut

Injektor Detektor

Limbah pelarut


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gangguan (noise) yang rendah, respons linier yang luas, dan memberi respons untuk semua tipe senyawa. Sensitifitas yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh (Putra, 2004).

Adapun jenis detektor pada KCKT yang sering digunakan antara lain:

 Detektor Spektrofotometri UV-Vis

Detektor ini didasarkan pada adanya penyerapan radiasi ultraviolet (UV) dan sinar tampak (Vis) pada kisaran panjang gelombang 190 – 800 nm (Rohman dan Gandjar, 2007).

 Detektor Fluoresensi

Fluoresensi merupakan fenomena luminisensi yang terjadi ketika suatu senyawa menyerap sinar UV atau visibel lalu mengemisikannya pada panjang gelombang yang lebih besar. Keunggulan dari detektor ini adalah bahwa detektor ini lebih sensitif dan selektif. Sedangkan kelemahan dari detektor ini adalah terkait dengan rentang linieritasnya yang sempit yakni antara 10 – 100 (Rohman dan Gandjar, 2007).

 Detektor indeks bias

Detektor ini merupakan detektor yang bersifat universal yang mampu memberikan respon (signal) pada setiap zat terlarut. Detektor ini akan merespon setiap perbedaan indeks bias antara analit (zat terlarut) dengan pelarutnya (fase gerak). Kelemahan utama detektor ini adalah bahwa ineks bias dipengaruhi oleh suhu, oleh karena itu suhu fase gerak, kolom dan detektor harus dikendalikan secara seksama. Penggunaan detektor ini terutama untuk senyawa yang tidak memiliki gugus kromofor (Rohman dan Gandjar, 2007).

d. Guard kolom

Guard kolom bertindak sebagai filter kimia untuk menahan material yang mungkin dapat merusak atau menyumbat kolom yang berakhir pada memendeknya umur kolom.

e. Kolom

Kolom merupakan jantung dari kromotografi karena berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

percobaan yang sesuai yang berfungsi untuk memisahkan masing – masing komponen. Kolom umumnya dibuat dari stainlesteel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi (Putra, 2004).

f. Komputer, integrator, dan rekorder

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, atau rekorder dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.3 Teknik pemisahan dalam KCKT

Sistem isokratik yaitu suatu teknik pemisahan dimana selama proses analisis berlangsung, fase gerak atau komposisi fase gerak tidak berubah yang berarti polaritasnya juga tetap.

Sedangkan sistem gradient adalah suatu teknik pemisahan dimana selama analisis berlangsung komposisi fase gerak berubah secara periodik. Teknik ini dilakukan dengan tujuan memisahkan campuran dengan polaritas yang sangat beragam.

2.4.4 Metode analisis dalam KCKT

Metode analisis KCKT dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif merupakan cara yang terbaik adalah dengan menggunakan metode waktu retensi :

Keterangan : tRi = waktu retensi komponen zat tRst = waktu retensi standar

Data waktu retensi khas tetapi tidak spesifik, artinya terdapat lebih dari satu komponen zat yang mempunyai waktu retensi yang sama (Rohman dan Gandjar, 2007).

Analisis kuantitatif memiliki tahapan adalah sebagai berikut : membuat spektrum serapan komponen – komponen yang ada dalam


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sampel, mencari panjang gelombang optimum untuk campuran komponen zat dalam sampel, dan mencari fase gerak yang sesuai agar komponen – komponen tersebut terpisah (Rohman dan Gandjar, 2007).

Dasar perhitungan kuantitatif untuk suatu komponen yang dianalisis adalah mengukur luas puncaknya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu :

a. Baku luar (Baku eksternal)

Metode kuntitatif yang paling umum untuk menetapkan konsentrasi senyawa yang tidak diketahui konsentrasinya dalam suatu sampel adalah dengan menggunakan plot kalibrasi menggunakan baku eksternal. Larutan – larutan ini ditunjuk sebagai larutan eksternal karena larutan – larutan ini disiapkan dan dianalisa secara terpisah dari kromatogram senyawa tertentu yang ada dalam sampel. Sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan ditetapkan konsentrasinya dan telah disiapkan, selanjutnya diinjeksikan dan dianalisis dengan cara yang sama (Rohman dan Gandjar, 2007).

Senyawa atau senyawa-senyawa yang akan ditetapkan kadarnya, idealnya jumlah baku sama dengan jumlah bahan yang akan dianalisis, selanjutnya membandingkan kromatogram baku dengan kromatogram sampel (Putra, 2004).

Keterangan : Cs = konsentrasi sampel Cst = konsentrasi standar As = luas puncak sampel Ast = luas puncak standar

Bila bekerja dengan metoda ini, respons detektor harus linier untuk setiap senyawa pada kisaran (range) konsentrasi yang digunakan, dan juga kita harus menginjeksikan (bila secara manual) jumlah yang sama untuk setiap komponen pada kedua kromatografi, sehingga berhasilnya operasi dari metoda ini tergantung pada kemampuan menginjeksi sampel dengan presisi yang bagus (Putra, 2004).


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Baku dalam (Baku internal)

Baku internal merupakan senyawa yang berbeda dengan analit, meskipun demikian senyawa ini harus terpisah dengan baik selama proses pemisahan (Rohman dan Gandjar, 2007).

Pada metode ini pada sampel ditambahkan zat tertentu (konsentrasi yang diketahui). Kromatogram yang diperoleh dibandingkan dengan kromatogram sampel atau campuran senyawa dalam sampel (Putra, 2004).

Baku inetrnal dapat menghilangkan pengaruh karena adanya perubahan – perubahan pada ukuran sampel atau konsentrasi karena variasi instrumen (Rohman dan Gandjar, 2007). Selain itu, metoda ini mempunyai keuntungan dibanding dengan metoda baku luar karena metode ini mengkompensasi variasi volume injeksi dan juga untuk perubahan yang kecil dari sensitivitas detektor yang bisa terjadi karena itu tidak perlu menginjeksi dalam jumlah yang sama setiap waktu, maka metoda ini biasanya mempunyai presisi yang lebih baik dari pada menggunakan baku luar (Putra, 2004).

2.5 Validasi metode

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya.

a. Uji kesesuaian Sistem

Sebelum digunakan sistem harus diuji terlebih dahulu agar dapat menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima. Parameter – parameter yang digunakan meliputi bilangan lempeng teori (N), resolusi, HETP (height equivalent to a theoretical plate) dan koefisien variasi (KV) atau simpangan data relatif (RSD) (Rohman dan Gandjar, 2007).

b. Akurasi (kecermatan)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery). Ada tiga cara untuk menentukan akurasi, yaitu metode perbandingan terhadap standar acuan, metode simulasi atau spiked placebo recovery dan metode penambahan bahan baku atau standard addition method. Persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil kadar yang diperoleh dengan kadar yang sebenarnya (Harmita, 2004).

c. Presisi

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang (Harmita, 2004).

Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan

(repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah

keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda (Harmita, 2004).

d. Selektivitas (spesifikasi)

Selektivitas atau spesifisitas adalah suatu metode kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan. Pada metode analisis dengan kromatografi, selektivitas ditentukan melalui resolusinya (Rs). Pemisahan kromatogram yang


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik diperoleh bila nilai resolusinya lebih besar dari 1,5 (Harmita, 2004).

e. Linearitas dan rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima (Harmita, 2004).

f. Batas deteksi dan batas kuatitasi (LOD dan LOQ)

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dan kurva. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangn baku residual (Sy/x) (Harmita, 2004).

2.6Teknik sampling

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian (sampel sendiri secara harfiah berarti contoh). Hasil pengukuran atau karakteristik dari sampel disebut "statistik" yaitu X untuk harga rata-rata hitung dan S atau SD untuk simpangan baku. Alasan perlunya pengambilan sampel adalah sebagai berikut :

1. Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Lebih cepat dan lebih mudah. 2. Memberi informasi yang lebih banyak dan dalam.


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengambilan sampel kadang-kadang merupakan satu-satunya jalan yang harus dipilih, (tidak mungkin untuk mempelajari seluruh populasi) misalnya meneliti air sungai, mencicipi rasa makanan didapur, dan mencicipi duku yang hendak dibeli (Nasution, 2003).

Pengambilan sampel dapat dibagi menjadi dua yaitu (1) pengambilan sampel secara acak (random sampling) dan (2) pengambilan sampel tanpa acak (non-random sampling).

Pengambilan sampel acak dilakukan secara objektif sedemikian rupa sehingga probabilitas setiap unit sampel diketahui, sedangakan pengambilan sampel tanpa acak dilakukan sedemikian rupa sehingga probabilitas setiap unit sampel tidak diketahui dan faktor subjektif memegang peran penting. Oleh karena itu, pengambilan sampel tanpa acak ini, walaupun dilakukan sedemikian rupa sehingga mempunyai tingkat kewakilan yang tinggi, tetap tidak dapat dievaluasi secara objektif (Budiarto, 2002).

Random sampling yang akan diuraikan adalah sebagai berikut.

1. Pengambilan sampel acak sederhana (Simple random sampling) Pengambilan sampel sedemikian rupa sehingga setiap unit dasar (individu) mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel. Cara ini merupakan cara yang paling sederhana dan dalam praktik jarang digunakan secara tunggal terutama saat pengambilan sampel pada populasi besar. Cara ini mempunyai arti sangat penting karena pengambilan sampel secara acak sederhana merupakan dasar dari cara pengambilan sampel yang lain (Budiarto, 2002).

2. Pengambilan sampel acak stratifikasi (Stratified random sampling) Pengambilan sampel dilakukan dengan membagi populasi menjadi beberapa strata, dimana setiap strata adalah homogen, sedangkan antra-strata terdapat sifat yang berbeda kemudian dilakukan pengambilan sampel pada setiap strata. Cara pengambilan sampel demikian disebut pengambilan sampel acak dengan setrifikasi (Budiarto, 2002).


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengambilan sampel cara ini yaitu dengan cara membagi populasi menjadi beberapa fraksi kemudian diambil sampelnya. Sampel fraksi yang dihasilkan dibagi lagi menjadi fraksi – fraksi yang lebih kecil kemudian diambil sampelnya. Pembagian menjadi fraksi ini dilakukan terus sampai pada unit sampel yang diinginkan. Unit sampel pertama disebut Primary Sampling Unit (PSU). PSU dapat berupa fraksi besar atau fraksi kecil. Pengambilan sampel acak bertingkat ini biasanya digunakan bila kita ingin mengambil sampel dengan jumlah yang tidak banyak pada populasi yang besar (Budiarto, 2002).

4. Pengambilan sampel acak sistematik (Systematic random sampling)

Pengambilan sampel cara ini yaitu dengan cara pengambilan sampel acak dilakukan secara berurutan dengan interval tertentu. Besarnya interval (i) dapat ditentukan dengan membagi populasi (N) dengan jumlah sampel yang diinginkan (n) atau i = N/n (Budiarto, 2002).

5. Pengambilan sampel acak kelompok (Cluster random sampling) Pengambilan sampel cara ini dengan cara yaitu jika kita akan melakukan suatu penelitian dengan mengambil kelompok unit dasar sebagai sampel. Cluster sampling dapat pula dilakukan dengan membagi populasi studi menjadi beberapa bagian (Blok) sebagai cluster dan dilakukan pengambilan sampel kelompok (cluster) tersebut (Budiarto, 2002).

6. Probability Proportionate to Size (PPS)

Pengambilan sampel dengan cara PPS ini merupakan variasi dari pengambilan sampel bertingkat dengan pengambilan PSU yang dilakukan secara proporsional. Pengambilan sampel cara ini biasanya digunakan bersamaan dengan cara pengambilan sampel yang lain, seperti sampel acak sederhana, sampel sistematik, dan sampel kelompok (Budiarto, 2002).


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengambilan sampel tanpa acak yang akan diuraikan adalah sebagai berikut :

1. Pengambilan sampel seadanya (Accidental sampling)

Pengambil sampel cara ini dilakukan secara subjektif oleh peneliti ditinjau dari sudut kemudahan, tempat pengambilan sampel, dan jumlah sampel yang akan diambil (Budiarto, 2002).

2. Pengambilan sampel berjatah (Quota sampling)

Cara pengambilan sampel ini hampir sama dengan pengambilan sampel seadaanya, tetapi dengan kontrol yang lebih baik untuk mengurangi terjadinya bias. Pelaksanaan pengambilan sampel dengan jatah sangat tergantung pada peneliti, tetapi dengan kriteria dan jumlah yang telah ditentukan sebelumnya (Budiarto, 2002).

3. Pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan (Purposive sampling) Dikatakan pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan apabila cara pengambilan sampel dilakukan sedemikian rupa sedemikian rupa sehingga keterwakilannya ditentukan oleh peneliti berdasarkan pertimbangan orang – orang yang telah berpengalaman. Cara ini lebih baik dari dua cara sebelumnya karena dilakukan berdasarkan pengalaman berbagai pihak (Budiarto, 2002).

Pengambilan sampel tanpa acak ini digunakan bila kita ingin mengambil sampel yang sangat kecil pada populasi yang besar karena dengan cara apapun tidak mungkin mendapatkan sampel yang dapat menggambarkan keadaaan populasinya, bahkan mungkin dengan pengambilan sampel tanpa acak akan menghasilkan bias yang lebih kecil dibandingkan dengan pengambilan sampel secara acak (Budiarto, 2002).


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KERANGKA KONSEP

Teknologi pengolahan pangan Sirup kemasan

Kadar zat pewarna (Uji laboratorium)

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor :

722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan

Makanan

Efek dari zat pewarna hiperaktif, migrain, dan intoleran terhadap penyakit asma dan alergi aspirin

Tartrazine dan Sunset yellow

Zat aditif yang terkandung antara lain pemanis, pewarna ,

pengawet dll

Praktis, awet dan warna menarik

Batas penggunaan maksimum adalah 70mg/l produk siap dikonsumsi untuk minuman dan makanan

cair

KCKT T

RSD (Simpangan Data Relatif)

Hasil analisis kadar zat pewarna

Tartrazine dan Sunset yellow

Linieritas


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) Puspiptek BPPT Serpong - Tangerang. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai Agustus 2012.

3.2 Alat dan bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Beacker glass; tabung eppendrof; spatula; labu ukur; timbangan analitik;

Column Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm); pipet mikro dan tube;

vacum fiter; spektrofotometer UV-Vis dan HPLC Knaur detektor UV (autosampler).

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

Standar zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow (Sigma); aquabidest; Metanol (gradient grade for liquid chromatography) (Merck); Riboflavin; buffer fosfat pH 7; dan sampel sirup kemasan diperoleh dari swalayan dan minimarket yang ada di sekitar Tangerang.

3.3 Cara kerja

3.3.1 Prosedur pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara tanpa acak (Purposive sampling) berdaasarkan pertimbangan yaitu pemilihan sampel minuman yang digunakan berdasarkan kode kadaluarsa dan kede produksi dan juga spesifikasinya hampir sama seperti ukuran kemasan, jenis kemasan, rasa dan warna sampel. Sampel yang digunakan terdiri dari 4 jenis minuman


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemasan dalam bentuk gelas plastik yang terbuat dari poli etilen dengan merek yang berbeda.

3.3.2 Preparasi standar

a. Pembuatan larutan induk dan larutan kerja Tartrazine dan Sunset yellow

Cara membuat larutan induk dan larutan kerja Tartrazine dan

Sunset yellow dibuat dengan menggunakan metode yang dilakukan oleh Vachirapatama dkk (2008), yaitu standar Tartrazine dan Sunset yellow

masing – masing ditimbang dan dilarutkan dengan aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 1000µg/mL. Larutan kerja dibuat dengan mengencerkan larutan induk kedua zat pewarna tersebut dan mencampurkannya dengan perbandingan 1:1 sehingga diperoleh konsentrasi 50 µg/mL; 25 µg/mL; 12,5 µg/mL; 6,25 µg/mL; dan 3,125 µg/mL.

b. Pembuatan larutan standar internal (Riboflavin 50ppm)

Penggunaan larutan standar internal mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Veni dkk., (2011). Riboflavin ditimbang dan dilarutkan dengan aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 50µg/mL.

3.3.3 Penentuan serapan maksimum

Larutan standar dari Tartrazine dan Sunset yellow masing - masing dibuat dengan konsentrasi 10 μg/mL, dan masing - masing serapannya diukur pada 300 – 600 nm secara spektrofotometri, hingga diperoleh panjang gelombang maksimumnya.

3.3.4 Analisa kondisi optimum KCKT

Uji keseuaian sistem dilakukan mengacu pada beberapa penelitian seperti Vachirapatama, dkk. (2008), Veni N (2011) dan Dionex (Anonim, 2010) dan dimodifikasi dengan kondisi percobaan sebagai berikut :

Spesifikasi column : C18 (fase diam); Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm)

Detektor : UV


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mode elusi : Gradient

Fase gerak :

Tabel 3.1. Komposisi fase gerak dalam rentang gradient elusi

Laju alir : 1 mL / menit Volume injeksi : 20 μL

3.3.5 Pembuatan kurva kalibrasi

Pembuatan kurva kalibrasi mengikuti penelitian dari Veni dkk (2011) dengan penambahan larutan standar internal. Larutan standar internal yang digunakan larutan Riboflavin.. Penambahan yang dilakukan yaitu dengan perbandingan 1:1 (larutan Riboflavin 50 µg/mL : campuran larutan zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow).

Pembuatan kurva kalibrasi menggunakan larutan kerja dari Tartrazine

dan Sunset yellow yang masing – masing telah dicampurkan dan kemudian ditambahkan larutan internal standar perbandingan 1:1 sehingga memperoleh konsentrasi 25 µg/mL; 12,5 µg/mL; 6,25 µg/mL; 3,125 µg/mL, dan 1,56 µg/mL dan masing – masing konsentrasi tersebut mengandung larutan internal standar dengan konsentrasi 25 µg/mL. Kemudian, disuntikkan pada column terpilih pada kondisi yang telah ditentukan dan dibuat kurva kalibrasinya dengan menggunakan microsoft exel.

TIME (menit)

Konstentrasi Fase Gerak Metanol

(%)

Buffer Fosfat 0,01M (%)

0 5 95

1 5 95

2 30 70

10 30 70

11 40 60

13 40 60

14 95 5

19 95 5

20 5 95


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3.6 Pengujian batas deteksi dan batas kuantitasi

Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dihitung secara statistik melalui regresi linier dari kurva kalibrasi yang diperoleh.

3.3.7 Pengujian keterulangan (presisi)

Larutan standar dengan konsentrasi 6,25 µg/ml disuntikkan sebanyak 20 µL kedalam column Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm) pada kondsi yang telah di tentukan dan diulangi sebanyak 6 kali. Kemudian dicatat luas area dan dihitung koefisien variasinya.

3.3.8 Penetapan Kadar Zat Pewarna Tartrazine dan Sunset Yellow Dalam Produk Minuman Sirup

Cara mementukan kadar Tartrazine dan Sunset yellow dalam sirup kemasan dilakukan dengan metode yang telah dilakukan oleh Veni dkk (2011) dengan penambahan larutan internal standar . Larutan internal standar yang digunakan larutan Riboflavin dan telah dimodifikasi. Penambahan yang dilakukan yaitu dengan perbandingan 1:1 (larutan riboflavin 50 µg/mL : sampel sirup kemasan).

Sampel X dipipet sebanyak 500 µL kemudian dimasukkan kedalam tabung eppendrof ukuran 2 ml kemudian ditambahkan 500 µL larutan standar riboflavin 50 µg/mL kedalam tabung dan dikocok hingga homogen, kemudian disuntikkan kedalam column Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm) pada kondisi terpilih.


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spektrum serapan maksimum Tartrazine dan Sunset yellow

Sebelum dilakukan uji menggunakan alat KCKT terlebih dahulu ditentukan nilai serapan maksimum ( maks) dari masing – masing standar

Tartrazine dan Sunset yellow menggunakan alat Spektrofotometer UV-Vis dan didapatkan panjang gelombang maksimum yaitu 426, 27 nm untuk

Tartrazine dan 482,18 nm untuk Sunset yellow. Berdasarkan sertifikat of analysis dari Sigma panjang gelombang maksimum untuk Tartrazine pada 427 nm dan Sunset yellow 482 nm.

Panjang gelombang yang digunakan pada penelitian ini adalah 450 nm dikarenakan pada gelombang tersebut dimaksudkan agar dapat mengidentifikasikan 2 kromatogram secara bersamaan yaitu Tartrazine dan

Sunset yellow dan diharapkan mendapatkan kromotogram yang tingginya tidak terlalu jauh berbeda karena pada panjang gelombang ini berada ditengah – tengah dari panjang gelombang Tartrazine dan Sunset yellow. Kromatogram yang dihasilkan pada panjang gelombang tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.. Kromatogram standar Tartrazine (A), Sunset Yellow (B) dan


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gerak methanol - buffer fosfat 0,01M, laju alir 1ml/menit dan volume injeksi 20μL.

4.2Hasil analisa kondisi optimum

Uji kesesuaian sistem dilakukan untuk mengkalibrasi alat KCKT yang digunakan sehingga didapatkan kondisi yang optimum, dimana kondisi analisa yang digunakan / dipilih pada pengujian kedua zat warna ini sebagai berikut :

Spesifikasi kolom : C18 (fase diam); Eclipse plus C-18 5μm (150 x 4,6 mm)

Detektor : UV

Panjang gelombang : 450nm Metode Elusi : Gradient

Fase gerak :

Time (menit)

Konsentrasi fase gerak Methanol

(%)

Buffer fosfat 0,01 M (%)

0 5 95

1 5 95

2 30 70

10 30 70

11 40 60

13 40 60

14 95 5

19 95 5

20 5 95

23 5 95

Laju alir : 1 mL / menit Volume injeksi μ 20 μL

Gambar 4 menunjukkan hasil uji analisis kondisi optimum alat KCKT dengan kondisi terpilih pada panjang gelombang 450 nm, dimana untuk masing-masing standar zat pewarna Tartrazine dan Sunset yellow

diinjeksikan sebanyak 20μl dengan fase gerak methanol (fase gerak A) dan buffer fosfat 0,01 M (fase gerak B) dan laju alir 1 mL/menit.


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pemilihan metode gradient elusi digunakan karena matriks senyawa yang kompleks dan analisis dilakukan secara langsung tanpa melalui proses ekstraksi sehingga diharapkan proses pemisahan komponen zat pewarna mampu menghasilkan pemisahan dengan resolusi yang lebih baik. Waktu yang digunakan untuk identifikasi selama 23 menit setiap sampel, dimana pada menit 1 – 13 yaitu untuk proses identifikasi atau pemisahan kromatogram yang di inginkan; 14 – 18 menit yaitu untuk proses pencucian kolom dari senyawa – senyawa atau analit yang digunakan; dan 19 – 23 yaitu untuk proses penjenuhan sehingga kolom siap untuk digunakan untuk mengidentifikasi analit selanjutnya. Sedangkan penggunaan buffer fosfat mengacu pada jurnal dari Dionex (Anonim, 2010) yang menggunakan buffer fosfat dengan ph 8,8 untuk fase geraknya. Pemilihan buffer fosfat sebagai fase gerak dimungkinkan untuk mengkondisikan suasana pH analit yang akan di identifikasi pada kondisi panjang gelombang 450nm, dimana pada kondisi pH tersebut sehingga diharapkan mampu menghasilkan puncak kromatogram yang ideal.

Berdasarkan kedua puncak kromatogram (Tartrazine dan Sunset yellow) yang diperoleh, selanjutnya dihitung nilai resolusi, plat teoritis dan nilai HETP-nya seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Dari hasil kromatogram tersebut didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4.1. Hasil uji kesesuaian sistem Standar pewarna

Jumlah pelat teoritis

(N)

HETP (cm)

Resolusi (R)

Tartrazine 10881,94 0,01378

10,99

Sunset yellow 7251, 79 0,02068

Hasil uji kesesuaian sistem yang diperoleh yaitu jumlah plat teoritis (N) 10881,94 untuk Tartrazine dan 7251,79 untuk Sunset yellow, dan nilai HETP yang diperoleh untuk Tartrazine 0,01378 dan Sunset yellow 0,02068. Hasil ini menunjukkan bahwa memenuhi persyaratan uji untuk nilai jumlah plat teoritis (N) > 2500 dan nilai HETP karena HETP < N. Resolusi yang diperoleh yaitu 10,99 juga menunjukkan bahwa nilai tersebut juga memenuhi


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

persyaratan uji karena nilai R yang diperoleh lebih besar dari 1,5 (Rohman dan Gandjar, 2007).

4.3Hasil linieritas kurva kalibrasi

Hasil linieritas diperoleh dari kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat dari larutan standar dengan konsentrasi 1,56; 3,125; 6,25; 12,5; dan 25 µg/mL. Standar untuk kurva kalibrasi dilarutkan dengan menggunakan aquadest dan ditambahkan Riboflavin dengan perbandingan 1:1 (larutan standar : larutan

Riboflavin). Penggunaan internal standar digunakan untuk menghasilkan nilai presisi yang lebih baik dengan cara mengkompensasi variasi volume injeksi dan juga untuk meminimalisirkan perubahan yang kecil dari sensitivitas detektor. Pengukuran dilakukan pada kondisi terpilih. Seperti terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.2. Hasil analisis larutan standar untuk kurva kalibrasi Konsentrasi

(µg/mL)

Ratio Luas Area

Tartrazine Sunset yellow

1,56 0,032005 0,024072

3,125 0,139300 0,059074

6,25 0,314873 0,116821

12,5 0,609478 0,229166

25 1,297744 0,455666

Gambar 5. Kurva kalibrasi Tartrazine menggunakan alat KCKT

y = 0,0532x - 0,0368 R² = 0,999

0 0,5 1 1,5

0 5 10 15 20 25 30

LU

A

S

ARE

A

KONSENTRASI µL/mL


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 6. Kurva kalibrasi Sunset yellow menggunakan alat KCKT

Hasil dari kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu y = 0,0532x -0,0368 dan nilai koefisien relasi (R2) 0, 999 untuk Tartrazine dan untuk Sunset yellow

yaitu y = 0,0183x – 0,00004 dan nilai koefisien relasi (R2) 0, 9998. Berdasarkan hasil tersebut linieritas yang diperoleh ideal karena nilai b=0 dan r2 hampir mendekati angka satu (r = +1 atau -1) (Harmita, 2004).

4.4 Hasil analisa batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ)

Hasil batas deteksi dan batas kuantitasi diperoleh dari perhitungan kurva kalibrasi. Berikut ini hasil dari LOD, LOQ, koefisien variasi dari fungsi diperoleh dari perhitungan kalibrasi :

Tabel 4.3 hasil analisa LOD dan LOQ

4.5 Hasil analisa keterulangan (Presisi)

Pada uji hanya menggunakan satu konsentrasi saja yaitu pada konsentrasi 6,25 µg/ml dengan pengulangan sebanyak 6 kali untuk kedua zat pewarna (Tartrazine dan Sunset yellow).

y = 0,0183x - 4E-05 R² = 0,9997

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0 5 10 15 20 25 30

LU

A

S

ARE

A

KONSENTRASI (µg/ml)

Kurva Kalibrasi

Sunset Yelloow

Zat pewarna Simpangan baku residual (S(y/x))

LOD (µg/mL)

LOQ (µg/mL)

Tartrazine 0,381 1,274


(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.4. Hasil uji keterulangan (Presisi) Zat Pewarna Konsentrasi

(µg/ml) Luas Area SD

RSD (%)

Tartrazine 6,25

0,31381

0,02 0,064 0,31455

0,31429 0,31487 0,31406 0,31254

Sunset yellow 6,25

0,11381

0,005 0,043 0,12058

0,11323 0,11682 0,11895 0,11655

Hasil presisi yang diperoleh untuk Tartrazine yaitu nilai standar deviasi (SD) adalah 0,02 dan koefisien variasi (KV) atau standar baku relatif (RSD) adalah 0,064% dan untuk Sunset yellow yaitu nilai SD adalah 0,005 dan KV 0,043%. Berdasarkan hasil tersebut koefisien variasi (KV) yang diperoleh masih memenuhi persyaratan yang diizinkan yaitu < 2 % (Rohman dan Gandjar, 2007).

4.6 Hasil pengujian kadar Tartrazine dan Sunset Yellow pada sampel sirup kemasan

Persyaratan batas kadar maksimum untuk kedua jenis perwarna (Tartrazine dan Sunset yellow) masing – masing tidak diperbolehkan melebihi 70 µg/mL untuk produk siap dikonsumsi untuk minuman dan makanan cair sesuai pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan.

Tabel 4.5. Hasil penetapan kadar pewarna pada minuman kemasan Sampel Konsentrasi yang diperoleh (µg/ ml)

Tartrazine Rata – rata ± SD Sunset yellow Rata – rata ± SD A

5,871

5,965 ± 0,082 54,92 55,614 ± 0,693

6,000 55,616


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

B

7,322

7,062 ± 0,225 7,999 7,846 ± 0,134

6,942 7,748

6,922 7,792

C

33,208

33,759 ± 0,481 37,487 37,964 ± 0,433

33,971 38,07

34,097 38,334

D

17,348

17,699 ± 0,314 35.062 36,110 ± 0,913

17,953 36,737

17,795 36,531

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar zat pewarna

Tartrazine dan Sunset yellow masih dibawah batas maksimum yang di izinkan dalam kata lain kadar zat pewarna yang dikandung dalam masing – masing sampel aman dikonsumsi oleh masyarakat.

Keempat sampel yang digunakan untuk analisa pengambilannya menggunakan metode pengambilan sampel tanpa acak (Purposive sampling) berdasarkan pertimbangan seperti kode kadaluarsa dan kede produksi dan juga spesifikasinya hampir sama seperti ukuran kemasan, jenis kemasan, warna dan rasa. Sampel yang dianalisa dalam penelitian ini terdiri dari 4 produk (merek sampel) sirup kemasan dalam bentuk kemasan gelas plastik yang terbuat dari poli etilen yang diperoleh dari swalayan atau minimarket yang beredar di pasaran Tangerang. Perbedaan wilayah pemasaran produk untuk tiap sampel yang digunakan dengan berbagai merek dan diharapkan mewakili dari populasi yang ada.


(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapat kesimpulan antara lain

1. Hasil validasi metode dari alat HPLC untuk nilai linearitas (R2) adalah 0, 999 (Tartrazine) dan 0, 9997 (Sunset yellow); LOD adalah 0,381 µg/mL (Tartrazine) dan 0,377µg/mL (Sunset yellow); LOQ adalah 1,274 µg/mL (Tartrazine) dan 1,256µg/mL (Sunset yellow); dan Standar baku relatif (RSD) adalah 0,073 (Tartrazine) dan 0,051 (Sunset yellow).

2. Hasil dari keempat sampel menunjukkan bahwa kadar dari zat pewarna

Tartrazine dan Sunset yellow pada masing – masing sampel masih dibawah batas yang diizinkan oleh Pemerintah dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 722/MEN.KES.PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan yaitu masing – masing tidak diperbolehkan melebihi 70 µg/mL untuk produk siap dikonsumsi untuk minuman dan makanan cair

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan untuk:

Perlu dilakukan optimasi metode analisa lainya untuk analisa penetapan zat warna dengan mengektraksi sample dari matriks sampel dan dibandingkan dengan sampel yang tidak mengalami proses ekstraksi.


(1)

Lampiran 9. Perhitungan hasil uji kesuaian sintem

a. Tartrazine

 Teoretical Plate (N PLate) N Plat =

=

= 10881,94  Efesiensi kolom (HETP)

HETP

=0,01378

b. Sunset Yellow

 Teoretical Plate (N PLate) N Plat =

=

= 7251,79  Efesiensi kolom (HETP)

HETP

= 0,02068  Resolusi

Resolusi

= 10,993404 = 10,99 Keterangan :

N = Jumlah teroretical plate tR2 =Waktu retensi komponen2 L = Panjang kolom (cm) W1 = Lebar puncak komponen 1

R = Resolusi W2 = Lebar puncak komponen 2

tR1 = Waktu retensi komponen 1


(2)

Lampiran 10. Perhitungan Ratio Luas Area  Linieritas

Konsentrasi (µg/ml)

Retensi Luas Area Ratio Luas Area

T SY R T SY R T/R SY/R

1,56 4.333 7.000 11.000 37086 27894 1158770 0,032005 0,024072 3,125 4.350 7.033 11.017 162686 68991 1167880 0,139300 0,059074 6,25 4.333 7.050 11.067 366343 135917 1163461 0,314873 0,116821 12,5 4.350 7.083 11.167 688922 259037 1130347 0,609478 0,229166 25 4.350 7.100 11.233 1516141 532350 1168290 1,297744 0,455666

 Presisi Konsentrasi

(µg/ml)

Retensi Luas Area Ratio Luas Area

T SY R T SY R T/R SY/R

6,25 4.350 7.050 11.067 365237 132464 1163866 0,31381 0,11381 6,25 4.350 7.050 11.100 368830 141386 1172546 0,31455 0,12058 6,25 4.350 7.067 11.133 366224 131939 1165233 0,31429 0,11323

 Sampel Konsentrasi

(µg/ml)

Retensi Luas Area Ratio Luas Area

T Sy R T Sy R T/R Sy/R

A1 4.350 7.083 11.217 143697 604879 1203793 0,119370 0,502478 A2 4.350 7.083 11.217 150628 624153 1226602 0,122801 0,508847 A3 4.367 7.100 11.250 151477 632254 1227267 0,123426 0,515172 B1 4.350 7.117 11.250 190340 88138 1204868 0,157976 0,073152 B2 4.350 7.117 11.250 171834 82333 1162058 0,147870 0,070851 B3 4.350 7.117 11.267 170239 82333 1155440 0,147337 0,071257 C1 4.350 7.100 11.283 1048021 424606 1238022 0,846529 0,342971 C2 4.367 7.133 11.317 1078590 433387 1244304 0,866822 0,348297 C3 4.350 7.117 11.333 1082327 436223 1243802 0,870176 0,350717 D1 4.350 7.133 11.333 495539 373940 1166911 0,424659 0,320775 D2 4.367 7.150 11.367 521769 398022 1183851 0,440739 0,336210 D3 4.367 7.167 11.383 518297 396812 1187271 0,436545 0,334222


(3)

Lampiran 11. Perhitungan batas deteksi dan batas kuantitas  Tartrazine

Rumus Yi = a + bx

Simpangan baku residual SY/X = Batas deteksi LOD

Batas kuantitasi LOQ

Konsentrasi

(PPM) Area (Y) Area (Yi) (Y-YI) 2

1,56 0,032005 0,04619 0,000201 3,125 0,139300 0,12945 0,000097 6,25 0,314873 0,2957 0,000368 12,5 0,609478 0,6282 0,000350 25 1,297744 1,2932 0,000021

X’ = 9,6877 Σ=0,001037


(4)

Sunset Yellow

Konsentrasi

(PPM) Area (Y) Area (Yi) (Y-YI)^2 1,56 0,024072 0,025851 0,0000031 3,125 0,059074 0,057147 0,0000037 6,25 0,116821 0,114335 0,0000062 12,5 0,229166 0,228710 0,0000002 25 0,455666 0,457460 0,0000032

X =9,6877 Σ= 0,0000164

LOD = 0,377 LOQ = 1,256 Rumus Yi = a + bx

Simpangan baku residual SY/X

= 0,0023 Batas deteksi LOD

Batas kuantitasi LOQ


(5)

Lampiran 12. Perhitungan hasil uji keterulangan (Presisi)  Tartrazine

Konsentrasi Area (Y) (Y’) (Y-Y’)2 SD KV 6,25

0,31381

0,29570

0,00033

0,06 0,073

0,31455 0,00035

0,31429 0,00035

X’= 0,31422 Σ= 0,00103

SD =

= 0,023

KV = 

= 0,073

Sunset Yellow

SD =

= 0,0051

KV = 

= 0,044

Konsentrasi

(PPM) Area (Y) Y' (Y-Y’)

2

SD KV

6,25

0,11381

0,11335

0,0000002

0,0051 0,044

0,12058 0,0000523

0,11323 0,00000001


(6)

Lampiran 13. Perhitungan kadar zat pewarna (Tartrazine dan Sunset yellow) pada sampel

Sampel

Tartrazine Sunset yellow

Area (Y)

Konsentrasi yang diperoleh

(µg/ml)

Area (Y) Konsentrasi yang diperoleh

(µg/ml)

A

0,119370 5,871 0,502478 54,92

0,122801 6,000 0,508847 55,616

0,123426 6,023 0,515172 56,307

B

0,157976 7,322 0,073152 7,999

0,14787 6,942 0,070851 7,748

0,147337 6,922 0,071257 7,792

C

0,846529 33,208 0,342970 37,487

0,866822 33,971 0,348297 38,07

0,870176 34,097 0,350717 38,334

D

0,424659 17,348 0,320775 35.062

0,440739 17,953 0,336210 36,737