Analisis Sebaran Sekolah Menengah Dalam Upaya Peningkatan Aksesibilitas Pendidikan Di Kota Tebing Tinggi

(1)

ANALISIS SEBARAN SEKOLAH MENENGAH

DALAM UPAYA PENINGKATAN AKSESIBILITAS PENDIDIKAN DI KOTA TEBING TINGGI

TESIS

Oleh

LAMBOK FORD IRWAN SATARI SITORUS 077003042/PWD

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS SEBARAN SEKOLAH MENENGAH

DALAM UPAYA PENINGKATAN AKSESIBILITAS PENDIDIKAN DI KOTA TEBING TINGGI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Konsentrasi Perencanaan Pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

Oleh

LAMBOK FORD IRWAN SATARI SITORUS 077003042/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS SEBARAN SEKOLAH

MENENGAH DALAM UPAYA

PENINGKATAN AKSESIBILITAS

PENDIDIKAN DI KOTA TEBING TINGGI

Nama Mahasiswa : Lambok Ford Irwan Satari Sitorus Nomor Pokok : 077003042

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D) Ketua

(Kasyful Mahalli, SE, M.Si) (Drs. Rujiman, MA)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

( Prof. Bachtiar Hassan Miraza) (Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah di uji pada :

Tanggal : 9 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

2. Drs. Rujiman, MA.

3. Prof. Aldwin Surya, SE, M.Pd, Ph.D 4. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si.


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah sebaran sekolah menengah eksisting di Kota Tebing Tinggi. Sebaran sekolah menengah eksisting tidaklah merata karena hanya terpusat di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Tebing Tinggi Kota dan Kecamatan Rambutan bahkan sudah kelebihan jumlah sekolah sesuai standar minimum yang ditentukan berdasarkan Permendiknas No.24 Tahun 2007 sementara Kecamatan Padang Hulu dan Kecamatan Padang Hilir masih kekurangan jumlah sekolah. Kecamatan Bajenis jumlah sekolah menengah eksistingnya sudah sesuai dengan Permendiknas No.24 Tahun 2007. Mengacu pada Visi Kota Tebing Tinggi Tahun 2006-2025 maka penelitian ini hanya difokuskan pada sekolah menengah (SMA, MA, dan SMK).

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif di perlukan dalam menganalisis data kuantitatif untuk menganalisis sebaran sekolah. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data hasil survei primer ke sekolah menengah. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan sebagai alat untuk melakukan analisis berbagai informasi, kebijakan, dan informasi pendukung lainnya yang berhubungan dengan analisis sebaran sekolah menengah. Analisis dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi sekolah yang terdiri dari faktor jangkauan pelayanan, faktor pola distribusi, dan faktor lahan sekolah. Peta yang digunakan sebagai peta dasar adalah peta tata guna lahan hasil foto udara tahun 2006.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa dari faktor jangkauan pelayanan dan faktor pola distribusi yang ditinjau menyatakan bahwa sebaran lokasi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi belum sepenuhnya menunjukkan sebaran yang merata. Hanya Kecamatan Tebing Tinggi Kota dan Kecamatan Rambutan yang sebaran sekolah menengahnya merata sesuai ketentuan dan standar yang digunakan. Faktor lahan sekolah yang ditinjau menunjukkan bahwa belum sepenuhnya sekolah menengah yang ada di Kota Tebing Tinggi memenuhi standar dan ketentuan yang digunakan.


(6)

ABSTRACT

This reseach is expected can solve problem the swampy-forest of high school existing in Tebing Tinggi City. Swampy forest of high school existing is not latten because only centrally in two subdistrict, that is Tebing Tinggi Kota subdistrict of City and Rambutan subdistrict even excess have sum up the school according to minimum standar determined by pursuant to Permendiknas No.24/2007 whereas subdistrict of Padang Hulu and subdistrict of Padang Hilir of insuffiency downstream still sum up the school. Subdistrict Bajenis sum up the high school of the existing have as according to Permendiknas No.24/2007. Relating at Tebing Tinggi City Vision of Year 2006-2025 hence this research only focused at senior high school (SMA, MA, and SMK).

Research method used by descriptive method quantitatively and qualitative. Quantitative analysis needing in analyzing quantitative data to analyse the swampy forest school. Quantitave analysis done by using Geographical Information System (GIS) and data result of primary survey to senior high school. While analysis qualitative done as a means of to do the analysis of various information, policy, and other supporter information which deal with analysis of swampy forest high school. Analyse done by pursuant to factors influencing location choice of school consisted of other factor of service reach, factor of distribution pattern, and factor of school farm. Map which is used as a elementary map is map arrange to utilize the farm result of “photo air” on 2006 years.

Pursuant to result analyse got by that from factor of service reach and factor of distribution pattern evaluated express that swampy forest of location high school in Tebing Tinggi City not yet full show the swampy forest which flatten. Only Tebing Tinggi subdistrict of Tebing Tinggi Kota and Rambutan subdistrict which swampy forest its high school flatten according to used standard rule. Factor of school farm evaluated indicate that not yet full of high school exist in city.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul “ANALISIS

SEBARAN SEKOLAH MENENGAH DALAM UPAYA PENINGKATAN AKSESIBILITAS PENDIDIKAN DI KOTA TEBING TINGGI” ini dapat

selesai. Tesis ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Konsentrasi Perencanaan Pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga bantuan dan dorongan yang telah diberikan mendapatkan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin. Tak lupa rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Chairuddin Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara yang memberikan kesempatan dan fasilitas belajar selama penulis mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Bachtiar Hassan Miraza selaku Ketua Program Studi Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD).

4. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing

yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melakukan penelitian.

5. Kasyful Mahalli, SE, M.Si selaku anggota Pembimbing yang telah


(8)

6. Drs. Rujiman, MA selaku anggota Pembimbing yang telah memberikan masukan selama penulisan Tesis ini.

7. Prof. Aldwin Surya, SE, M.Pd, Ph.D dan Agus Suriadi, S.Sos, M.Si yang

telah bersedia menjadi penguji dan memberikan masukan dalam sidang ujian Tesis ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Konsentrasi Perencanaan Pendidikan yang telah membekali penulis dengan ilmu dan kematangan berfikir yang dapat digunakan untuk penyelesaian Tesis ini.

9. Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan

melalui Program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian Tesis berdasarkan DIPA Sekretariat Jenderal DEPDIKNAS Tahun Anggaran 2007 sampai dengan Tahun 2009.

10.Istriku Juliana br Sianipar, S.Kep, Ns yang telah dengan penuh kesabaran dan

kasih sayang mendampingi penulis selama penulisan Tesis hingga selesai dan

anakku Joseph Manota Sitorus atas canda, tangis dan tawanya.

11.Rekan-rekan mahasiswa Beasiswa Unggulan Perencanaan Pendidikan

Departemen Pendidikan Nasional pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah Konsentrasi Perencanaan Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kerjasamanya selama mengikuti perkuliahan.

12.Rekan Kerja di Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi atas motivasi yang

diberikan selama mengikuti perkuliahan.

Akhirnya penulis berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang, semoga kita semua mendapat karunia dan berkatnya senantiasa. Amin

Medan, September 2009 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pasar Lumban Lobu (Porsea), Kabupaten Toba Samosir pada tanggal 01 Mei 1976 dari orang tua P. Sitorus dan O. Br Butar-Butar. Menikah dengan Juliana br. Sianipar, S.Kep, Ns dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Joseph Manota Sitorus. Tahapan pendidikan SD di tempuh di SD Negeri No. 173660 Lumban Lobu (1982-1988), SMP di SMP Negeri 2 Lumban Julu (1988-1991), SMA di SMA Katolik Budi Mulia Pematang Siantar (1991-1994), Sarjana di Institut Teknologi Bandung pada Jurusan Fisika dengan Kelompok Bidang Keahlian pada Geofisika (1995-2001). Mendapatkan beasiswa unggulan dari Departemen Pendidikan Nasional RI Jakarta untuk menempuh S2 di Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Konsentrasi Perencanaan Pendidikan Tahun 2007 pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis saat ini bekerja di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kota Tebing Tinggi sebagai Bendahara Barang (3 bulan) setelah sebelumnya hampir 3 tahun bekerja sebagai staf di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi.


(10)

Halaman DAFTAR ISI

ABSTRAK ………..i

ABSTRACT ………...ii

KATA PENGANTAR ………...iii

RIWAYAT HIDUP …...………...v

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1Latar Belakang... ...1

1.2Perumusan Masalah ...7

1.3Tujuan Penelitian ...8

1.4Manfaat Penelitian ...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...9

2.1 Teori Lokasi...9

2.2 Teori Fasilitas Sosial...11

2.3 Fasilitas Pendidikan ……….………...12

2.4 Standar Sarana-Prasarana Pendidikan .………...…....14

2.4.1 Standar Sarana Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI...14

2.4.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana... 15

2.4.3 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri... ... 16

2.4.4 Standar Dinas Tata Kota (DTK) DKI Jakarta ... 17

2.4.5 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum ... 17

2.4.6 Standar dan Ketentuan Mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan Menengah ... 18


(11)

2.5 Faktor Pemilihan Lokasi Sekolah ...22

2.5.1 Faktor Jangkauan Pelayanan ... 22

2.5.2 Faktor Pola Distribusi ...24

2.5.3 Faktor Kondisi Lahan Sekolah ... 25

2.6 SIG Dalam Menganalisis Sebaran Lokasi Sekolah ...26

2.6.1 Jenis Peta ...26

2.6.2 Resolusi Peta ...27

2.6.3 Digitasi Peta dan Check Plot ... 30

2.6.3.1 Digitasi Peta ... 30

2.6.3.2 Check Plot ... 31

2.6.4 Editing Peta dan Pembentukan Topologi ... 32

2.6.4.1 Editing Peta ... 32

2.6.4.2 Pembentukan Topologi ... 32

2.6.5 Metode Analisis Tumpang Susun (Overlay) ... 33

2.6.5.1 Overlay Data Raster ... 33

2.6.5.2 Overlay Data Vektor ... 34

2.7 Aksesibilitas Pendidikan ………....35

2.8 Penelitian Sebelumnya ……….. 36

2.9 Kerangka Pemikiran ………...38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….41

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ………..… 41

3.1.1 Wilayah Penelitian ... 41

3.1.2 Ruang Lingkup Materi ……….… 42

3.2 Jenis Penelitian ………... 44

3.3 Jenis dan Sumber Data …………...……….... 45

3.4 Teknik Analisis ………... 48

3.5 Defenisi Variabel Operasional ………....53

3.5.1 Data Vektor ………....….. 53

3.5.2 Data Raster ………54

3.5.3 Perangkat Lunak ………56

3.5.4 Perangkat Keras ……… 56

3.5.5 Groundcheck ………..57

3.5.6 Peta ………...… 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 58

4.1 Analisis Data ………...58

4.2 Analisis Terhadap Faktor Jangkauan Pelayanan Sekolah Menengah ...59

4.3 Analisis Terhadap Faktor Pola Distribusi Sekolah Menengah ...72


(12)

4.5 Perencanaan Lokasi Sekolah Menengah Masa Depan ... 83

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN...94

5.1 Kesimpulan ...94

5.2 Implikasi ...96

5.3 Saran ...97


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Data Jumlah Sekolah Menengah di Kota Tebing Tinggi Tahun

2008... 5

2.1 Standar Jarak Dalam Kota ………... 11

2.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana ... 16

2.3 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri ………... 16

2.4 Standar Dinas Tata Kota DKI Jakarta... 17

2.5 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU ………... 18

2.6 Kriteria Umum Penempatan Fasilitas Pendidikan Menurut De Chiara dan Koppelman ... 21

2.7 Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana ... 22

2.8 Ketelitian Titik Kontrol Horizontal... 28

2.9 Ketelitian Titik Kontrol Vertikal ... 29

3.1 Administrasi Pemerintahan Kota Tebing Tinggi ... 42

3.2 Kebutuhan Data dan Sumber Data ………... 48

4.1 Kedudukan Lokasi Tempat Tinggal Siswa terhadap Lokasi Sekolah ... 60

4.2 Jarak Lokasi Tempat Tinggal Siswa ke Lokasi Sekolahnya ... 61

4.3 Waktu Tempuh Siswa dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sekolahnya .. 64 4.4 Alat Transportasi Yang Digunakan Menuju Lokasi Sekolah Menengah ……… 66


(14)

4.5 Tingkat Kemudahan Dalam Memperoleh Alat Transportasi Menuju

Lokasi Sekolah ... 68

4.6 Kondisi Transportasi Dalam Menuju Lokasi Sekolah ... 69

4.7 Biaya Transportasi Dalam Menuju Lokasi Sekolah ... 69

4.8 Jumlah Penduduk dan Jumlah Minimum, Jumlah Eksisting, dan

Selisih Jumlah Fasilitas Sekolah Menengah di Kota Tebing Tinggi

Tahun 2008 ……….. 74

4.9 Jumlah Sekolah Menengah, Jumlah Kelas, Jumlah Guru, Kapasitas,

dan Persentase Pemenuhan Kebutuhan Fasilitas Sekolah Menengah

Tahun 2008 ……….. 76

4.10 Jumlah Penduduk Eksisting, Jumlah Sekolah Eksisting, Jumlah

Penduduk, dan Jumlah Sekolah Menengah Tahun 2028 di Kota

Tebing Tinggi ……….. 86


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Bagan Alir Kerangka Berpikir ... 40

4.9 Proporsi Waktu Tempuh Siswa dari Lokasi Tempat Tinggal

Siswa ke Lokasi Sekolahnya ... 65

4.10 Proporsi Alat Transportasi Yang Digunakan Dalam Menuju

Lokasi Sekolah ... 66

4.11 Proporsi Tingkat Kemudahan Dalam Memperoleh

Transportasi Bagi Siswa ……….. 68

4.12 Proporsi Kondisi Transportasi Dalam Bersekolah Menurut

Siswa ………... 69

4.13 Proporsi Biaya Transportasi Menuju Lokasi Sekolah


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1.1 Surat Untuk Melakukan Penelitian dari USU ... 105

1.2 Surat Ijin Penelitian dari Badan Kesbang Linmas Kota Tebing Tinggi.. 106

1.3 Surat Ijin Penelitian dari Bappeda Kota Tebing Tinggi……….. 107

1.4 Surat Ijin Penelitian dari Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi ……... 108

1.5 Uraian Kuesioner Bagi Siswa Sekolah Menengah ... 109

1.6 Gambar 4.2 Peta Jaringan Jalan Kota Tebing Tinggi... 110

1.7 Gambar 4.5 Peta Tata Guna Lahan Kota Tebing Tinggi... 111

1.8 Gambar 4.3 Peta Sebaran Sekolah Menengah Kota Tebing Tinggi... 112

1.9 Gambar 4.1 Peta Sebaran Penduduk Kota Tebing Tinggi... 113

1.10 Gambar 4.4 Peta Administrasi Wilayah Kota Tebing Tinggi... 114

1.11 Gambar 4.18 Peta Hasil Foto Udara Kota Tebing Tinggi Tahun 2006... 115

1.12 Gambar Dokumentasi Sekolah Menengah ... 116

1.13 Gambar 4.6 Peta Jangkauan Pelayanan Sekolah Menengah ………….. 117

1.14 Gambar 4.14 Peta Sebaran Penduduk dan Sebaran Sekolah Menengah. 118 1.15 Gambar 4.15 Peta Sebaran Sekolah Menengah Dalam Tata Guna Lahan Kota Tebing Tinggi……….. 119

1.16 Gambar 4.16 Peta Sebaran Sekolah Menengah Dalam Tata Guna Lahan, Jaringan Jalan, dan Lokasi Aliran Sungai ……….. 120

1.17 Gambar 4.17 Peta Rencana Sebaran Sekolah Menengah 2008-2028 Hasil Penelitian ... 121

1.18 Peta Rencana Pengembangan Sarana Pendidikan Kota Tebing Tinggi Tahun 2028 Dalam RTRW Kota Tebing Tinggi 2008-2028 …………. 122


(17)

1.19 Peta Rencana Pola Ruang Kota Tebing Tinggi Tahun 2008-2028

Dalam RTRW Kota Tebing Tinggi Tahun 2008-2028………... 123

1.20 Gambar 4.7 Gambar Proses Buffer-1 ………. 124


(18)

ABSTRAK

Penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah sebaran sekolah menengah eksisting di Kota Tebing Tinggi. Sebaran sekolah menengah eksisting tidaklah merata karena hanya terpusat di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Tebing Tinggi Kota dan Kecamatan Rambutan bahkan sudah kelebihan jumlah sekolah sesuai standar minimum yang ditentukan berdasarkan Permendiknas No.24 Tahun 2007 sementara Kecamatan Padang Hulu dan Kecamatan Padang Hilir masih kekurangan jumlah sekolah. Kecamatan Bajenis jumlah sekolah menengah eksistingnya sudah sesuai dengan Permendiknas No.24 Tahun 2007. Mengacu pada Visi Kota Tebing Tinggi Tahun 2006-2025 maka penelitian ini hanya difokuskan pada sekolah menengah (SMA, MA, dan SMK).

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif di perlukan dalam menganalisis data kuantitatif untuk menganalisis sebaran sekolah. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data hasil survei primer ke sekolah menengah. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan sebagai alat untuk melakukan analisis berbagai informasi, kebijakan, dan informasi pendukung lainnya yang berhubungan dengan analisis sebaran sekolah menengah. Analisis dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi sekolah yang terdiri dari faktor jangkauan pelayanan, faktor pola distribusi, dan faktor lahan sekolah. Peta yang digunakan sebagai peta dasar adalah peta tata guna lahan hasil foto udara tahun 2006.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa dari faktor jangkauan pelayanan dan faktor pola distribusi yang ditinjau menyatakan bahwa sebaran lokasi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi belum sepenuhnya menunjukkan sebaran yang merata. Hanya Kecamatan Tebing Tinggi Kota dan Kecamatan Rambutan yang sebaran sekolah menengahnya merata sesuai ketentuan dan standar yang digunakan. Faktor lahan sekolah yang ditinjau menunjukkan bahwa belum sepenuhnya sekolah menengah yang ada di Kota Tebing Tinggi memenuhi standar dan ketentuan yang digunakan.


(19)

ABSTRACT

This reseach is expected can solve problem the swampy-forest of high school existing in Tebing Tinggi City. Swampy forest of high school existing is not latten because only centrally in two subdistrict, that is Tebing Tinggi Kota subdistrict of City and Rambutan subdistrict even excess have sum up the school according to minimum standar determined by pursuant to Permendiknas No.24/2007 whereas subdistrict of Padang Hulu and subdistrict of Padang Hilir of insuffiency downstream still sum up the school. Subdistrict Bajenis sum up the high school of the existing have as according to Permendiknas No.24/2007. Relating at Tebing Tinggi City Vision of Year 2006-2025 hence this research only focused at senior high school (SMA, MA, and SMK).

Research method used by descriptive method quantitatively and qualitative. Quantitative analysis needing in analyzing quantitative data to analyse the swampy forest school. Quantitave analysis done by using Geographical Information System (GIS) and data result of primary survey to senior high school. While analysis qualitative done as a means of to do the analysis of various information, policy, and other supporter information which deal with analysis of swampy forest high school. Analyse done by pursuant to factors influencing location choice of school consisted of other factor of service reach, factor of distribution pattern, and factor of school farm. Map which is used as a elementary map is map arrange to utilize the farm result of “photo air” on 2006 years.

Pursuant to result analyse got by that from factor of service reach and factor of distribution pattern evaluated express that swampy forest of location high school in Tebing Tinggi City not yet full show the swampy forest which flatten. Only Tebing Tinggi subdistrict of Tebing Tinggi Kota and Rambutan subdistrict which swampy forest its high school flatten according to used standard rule. Factor of school farm evaluated indicate that not yet full of high school exist in city.


(20)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Era otonomi daerah saat ini, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih responsif dalam memahami dan memenuhi kebutuhan penduduknya. Salah satu kebutuhan dan merupakan hak mendasar tersebut adalah mendapatkan pendidikan yang layak, sebab pendidikan merupakan suatu investasi jangka panjang dalam mementukan arah masa depan suatu bangsa. Menurut UU No.20 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Setiap warga negara juga dijamin haknya untuk mendapatkan pendidikan seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 45 dan Batang Tubuh UUD 45. Tujuan Negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermakna bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Batang tubuh UUD 45 pasal 31 menyatakan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.


(21)

Adanya pemerataan aksesibilitas dalam pendidikan akan membuat warga negara memiliki ketrampilan hidup yang berdampak pada kemampuan mengenal permasalahan diri dan lingkungannya yang diharapkan akan berdampak pada pertumbuhan wilayahnya. Pemerataan pendidikan melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan sesuai standar yang ditentukan merupakan aspek penting dalam mewujudkan pemerataan pendidikan dan mutu pendidikan. Adanya penyediaan sarana dan prasarana tersebut akan dapat meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi penduduk usia sekolah.

Kota Tebing Tinggi yang wilayahnya berada pada (3o16’ - 3o23’) LU dan

(99o7’ - 99o12’) BT terdiri dari 5 Kecamatan dan 35 Kelurahan dengan luas

wilayah 38,438 km2 seluruhnya dikelilingi oleh Kabupaten Serdang Bedagai dan

merupakan lintasan beberapa kabupaten/kota seperti : Asahan, Batu Bara, Simalungun dan Pematang Siantar menuju Kota Medan sebagai ibu kota Propinsi. Strategisnya letak Kota Tebing Tinggi tersebut, maka penyediaan fasilitas pendidikan tidak hanya untuk wilayahnya sendiri melainkan juga wilayah tetangga terutama Kabupaten Serdang Bedagai yang berbatasan langsung dengan Kota Tebing Tinggi. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tebing Tinggi (2008-2028) disebutkan bahwa sekolah menengah belum tersebar secara merata. Demikian juga dengan kualitas masing-masing sekolah juga belum merata. Ketimpangan jumlah siswa maupun keadaan ekonomi masing-masing sekolah menyebabkan perbedaan kualitas sekolah. Pola sebaran sekolah menengah masih


(22)

secara sporadis dan mengikuti pola jaringan jalan, tidak mengikuti sebaran penduduk yang sudah merata di Kota Tebing Tinggi.

Permasalahan yang muncul dari persebaran sekolah terutama sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi adalah masih mengelompok di Kecamatan Rambutan dan Kecamatan Tebing Tinggi Kota. Kondisi ini sangat mempengaruhi skala pelayanan dan aksesibilitas pendidikan di Kota Tebing Tinggi. Terdapat kelebihan dan kekurangan mengenai letak sekolah menengah yang mengelompok. Kelebihan mengelompok adalah memberikan kemudahan dalam koordinasi organisasi, tingkat persaingan yang sehat untuk meningkatkan mutu pelayanan, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Sedangkan kekurangannya adalah mempercepat terciptanya kepadatan lalu lintas yang tinggi, dan mendorong terciptanya high cost economy (Tarigan, 2006).

Analisis sebaran sekolah menengah ini dilakukan juga mendukung rencana pencapaian Visi Kota Tebing Tinggi Tahun 2006-2025 dan Rencana Strategis SKPD Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi 2005-2010. Visi 2006-2025 tersebut adalah ” Kota Jasa dan Perdagangan Dengan Sumber Daya Manusia (SDM) Yang Berkualitas ”. Yang dimaksud dengan SDM Berkualitas pada Visi Kota Tebing Tinggi adalah masyarakat yang berpendidikan minimal Wajib Belajar 12 tahun. Wajib belajar 12 tahun artinya bahwa pada tahun 2025 semua penduduk kota Tebing Tinggi minimal berpendidikan SMU. Misi dan sasaran dalam Rencana Strategis tersebut adalah mengupayakan peningkatan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan yang bermutu. Sebaran sekolah


(23)

menengah ini juga akan menggambarkan aksesibilitas pendidikan menengah dengan indikatornya : Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Kota Tebing Tinggi tahun 2008 untuk sekolah menengah APK 125,9%, APM 87,7%, APS 103,3% (Profil Pendidikan Kota Tebing Tinggi Tahun 2008). Data APK yang diperoleh ada tahun 2008 menunjukkan angka di atas 100%. Tingginya APK tersebut akibat banyaknya siswa usia diluar usia sekolah dan siswa dari luar kota yang menuntut ilmu di sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi. Secara statistik bahwa siswa sekolah menengah yang berasal dari luar Kota Tebing Tinggi mencapai 35% (Hasil Analisis Data Jumlah Siswa Tahun 2007). Jumlah siswa untuk tingkat sekolah menengah pada tahun 2008 adalah 13.544 siswa.

Banyaknya siswa dari luar kota Tebing Tinggi yang menuntut ilmu disekolah yang terdapat dikota Tebing Tinggi perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perencanaan pembangunan wilayah terutama dalam perencanaan pendidikan. Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah penggunaan ruang wilayah dan perencanaan terhadap kegiatan di ruang wilayah terutama dalam menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru ataupun pendirian lokasi sekolah baru dengan memperhatikan efek dari pengaruh suatu batas wilayah (regional spillover). Pemerintah Kota Tebing Tinggi perlu melakukan relokasi atau regrouping terhadap posisi letak lokasi sekolah yang ada saat ini supaya pelayanan pendidikan yang diberikan terhadap penduduk wilayah internalnya terpenuhi dan eksternalnya terjangkau dengan baik


(24)

sesuai standar sarana prasarana sekolah yang ada. Adanya relokasi dan regrouping ini pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi pertumbuhan wilayah kota Tebing Tinggi.

Tabel 1.1 Data Jumlah Sekolah Menengah di Kota Tebing Tinggi Tahun 2008

No Kecamatan Jumlah

Penduduk

Penduduk (16-18) Tahun

Luas (km2)

Jumlah Pendidikan

Menengah (unit)

1 Tebing Tinggi Kota 30.133 orang 2.298 orang 3,473 13

2 Rambutan 27.974 orang 2.132 orang 5,935 11

3 Bajenis 30.641 orang 2.335 orang 9,078 6

4 Padang Hilir 27.742 orang 2.114 orang 11,441 4

5 Padang Hulu 24.566 orang 1.873 orang 8,511 2

Jumlah 141.056 orang 10.752 orang 38,438 36

Sumber : Profil Pendidikan Kota Tebing Tinggi Tahun 2008

Berdasarkan angka-angka di atas maka aksesibilitas pendidikan belum terlaksana secara merata dan baik. Permasalahan aksesibilitas pendidikan serta pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi semua penduduk kota Tebing Tinggi perlu segera di atasi melalui sebuah perencanaan spasial yang matang berkaitan dengan penutupan sekolah yang tidak efisien, membangun sekolah baru, dan penyediaan fasilitas pendidikan lainnya yang relevan dengan perkembangan wilayah Kota Tebing Tinggi. Penentukan lokasi sekolah menengah selama ini kurang dilaksanakan dengan tepat sesuai standar yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.24 Tahun 2007 tentang standar sarana


(25)

dan prasarana SD, SMP, dan SMA maupun peraturan atau standar lain yang berkaitan dengan pembangunan USB. Hal ini harus mendapat perhatian yang serius, karena ketidakcermatan dalam menentukan lokasi sekolah menengah akan berdampak pada kerugian pada pihak sekolah dan terutama pemerintah di masa mendatang.

Perkembangan teknologi informasi yang ada saat ini khususnya dalam bidang teknologi informasi, basis data, dan teknologi satelit dihubungkan dengan penyimpanan, menganalisis, dan penyajian data yang begitu kompleks dalam jumlah yang besar diharapkan suatu sistem informasi yang mampu membantu dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu sistem yang diharapakan mampu membantu dalam pengambilan keputusan tersebut. Berdasarkan beberapa defenisi dan pengertian tentang SIG, diantaranya adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis dengan data atribut objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (Anon, 2001). SIG adalah suatu teknologi yang menjadi alat bantu yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta, 2005).

Pengertian lain, yaitu : SIG merupakan bahagian daripada sistem informasi yang diaplikasikan untuk data geografi atau alat data base untuk analisis


(26)

atau pemetaan sesuatu yang terdapat dan terjadi di bumi (Supriadi, dkk., 2007)”. Peta analog, foto udara, dan citra satelit merupakan data spasial seperti yang sudah disebutkan di atas. Data non spasial (atribut) berasal dari data statistik, data sensus, catatan lapangan, dan data tabuler lainnya. Tujuan pokok dari pemanfaatan SIG ini adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek.

Kemampuan yang dimiliki SIG sebagai teknologi informasi modern yang mampu menyediakan informasi berreferensi spasial diharapkan mampu menganalis sebaran sekolah menengah, sehingga sangat membantu dalam mengatasi persoalan perencanaan spasial dalam bidang pendidikan bagi pemerintah. Analisis sebaran sekolah menggunakan SIG ini diharapkan dapat membuat keputusan tentang penutupan sekolah yang tidak efisien, membangun sekolah baru, penyediaan fasilitas pendidikan lainnya, rayonisasi, dan regrouping sekolah menengah di wilayah Kota Tebing Tinggi. Peran SIG yang strategis dalam perencanaan pendidikan membuat peneliti sangat tertarik melakukan penelitian ini dan menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat untuk pendidikan di Tebing Tinggi.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan diteliti dapat di rumuskan sebagai berikut :


(27)

1. Bagaimanakah jangkauan pelayanan sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi ?.

2. Bagaimanakah pola distribusi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi ?.

3. Bagaimana perencanaan lokasi sekolah menengah di masa depan yang

optimal dalam meningkatkan aksesibilitas pendidikan di Kota Tebing Tinggi ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk :

1. Menganalisis jangkauan pelayanan sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi.

2. Menganalisis pola distribusi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi.

3. Menghasilkan faktor yang berpengaruh dalam perencanaan lokasi sekolah

menengah yang optimal di masa depan dalam meningkatkan aksesibilitas pendidikan di Kota Tebing Tinggi.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti dapat meningkatkan keilmuan dalam bidang perencanaan

wilayah dan kota, khususnya mengenai perencanaan sarana pendidikan.

2. Bagi Pemerintah hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi dan masukan dalam melakukan pengembangan kawasan pendidikan maupun perencanaan pendidikan di masa yang akan datang.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Teori Lokasi

Lokasi merupakan suatu area yang secara umum dapat dikenali atau dibatasi, dimana terjadi suatu kegiatan tertentu (Gunawan 1981 dalam Iskandar, 2009). Penentuan suatu lokasi suatu sekolah perlu diperhatikan pemetaan sekolah. Pemetaan sekolah tidak hanya sekedar menunjukkan peta atau gambar lokasi lahan serta bangunan sekolah. Pemetaan sekolah tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan lokasi sekolah secara tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan keadaan jumlah usia anak sekolah serta sarana dan prasarana sekolah secara lengkap. Berkaitan dengan pemilihan lokasi ini maka letak suatu sekolah diharapkan dalam suatu lokasi yang baik dan optimal.

Teori Lokasi sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi, atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (Tarigan, 2006) sangat berperan dalam menganalisis sebaran sekolah menengah ini. Teori laian yang dapat menganalisis sebaran lokasi sekolah adalah Teori Palander. Teori ini menjelaskan tentang pendistribusian lokasi fasilitas yang memberikan pelayanan jasa (Agustin, 2006). Teori Palander menyatakan bahwa barang dan jasa dapat diproduksi berdasarkan pertimbangan batas penduduk minimal dan jangkauan pasar. Batas minimal


(29)

penduduk adalah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk kelancaran dan kesinambungan penawaran barang. Kalau jumlahnya di bawah jumlah tertentu maka pelayanan akan mahal dan kurang efisien, jika meningkat di atas jumlah standar maka pelayanan akan menjadi kurang baik dan kurang efektif. Sedangkan jangkauan pasar (range) adalah jarak yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan jasa yang bersangkutan. Lebih jauh lagi dari jarak standar yang ditentukan maka orang akan mencari wilayah lain yang lokasinya lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan akan jasa yang sama.

Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi dalam pendistribusian pusat pelayanan dipengaruhi (Sujarto, 1989 dalam Agustin, 2006) :

1. Faktor Manusia :

Manusia yang dimaksud dalam hal ini adalah yang akan mempergunakan pusat-pusat pelayanan yang menyangkut pertimbangan jumlahnya, kepadatan penduduk, perkembangan penduduk, status sosial ekonomi masyarakat, nilai-nilai, potensi masyarakat, pola kebudayaan, dan antropologi.

2. Faktor Lingkungan :

Lingkungan yang dimaksud adalah tempat dimana manusia melaksanakan kegiatan kehidupannya. Hal ini menyangkut pertambangan skala lingkungan dalam arti fungsi dan peranan sosial ekonominya, jaringan pergerakan, letak geografis lingkungan dan sifat keterpusatan lingkungan.


(30)

Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang turut mempengaruhi apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas merupakan tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi di tinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi aksesibilitas tersebut, maka dalam suatu analisis tentang kota atau rencana kota dikenal suatu standar lokasi (Jayadinata, 1999), yaitu :

Tabel 2.1 Standar Jarak Dalam Kota

No Prasarana Jarak Dari Tempat

Tinggal (Berjalan Kaki)

1. Pusat Tempat Kerja 20 menit s.d 30 menit

2. Pusat Kota (Pasar dan sebagainya) 30 menit s.d 45 menit

3. Pasar Lokal ¾ km atau 10 menit

4. Sekolah Dasar (SD) dan Taman ¾ km atau 10 menit

5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 ½ km atau 20 menit

6. Sekolah Menengah Atas (SMA) 20 atau 30 menit

7. Tempat Olahraga (Rekreasi) 1 ½ km atau 20 menit

Sumber : Chapin dalam Jayadinata (1999)

2.2Teori Fasilitas Sosial

Menurut Permendagri No.1/1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah


(31)

Daerah. Fasilitas Sosial yang dimaksud adalah fasilitas yang dibutuhkan oleh penduduk dalam lingkungan permukiman, yang meliputi : fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, rekreasi, kebudayaan, olahraga, lapangan terbuka serta pemakaman. Fasilitas sosial adalah sebagai kegiatan atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental, dan spiritual (Sujarto, 1989 dalam Muharani, 2003). Kebutuhan tersebut diantaranya : fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, fasilitas kesehatan, fasilitas kemasyarakatan, fasilitas rekreasi, fasilitas olahraga, dan tempat perkuburan.

2.3Fasilitas Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas Tahun 2003). Berdasarkan defenisi fasilitas sosial yang telah diuraikan di atas, maka fasilitas pendidikan dapat didefenisikan sebagai aktifitas atau materi yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan kebutuhan yang bersifat memberi kepuasan sosial, mental, dan spiritual melalui perwujudan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan


(32)

spiritual keagamaan, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Terdapat 4 (empat) jenis fasilitas pendidikan menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.378/KPTS/1987, yaitu :

1. Taman Kanak-Kanak : merupakan fasilitas pendidikan yang paling dasar yang

diperuntukkan bagi anak-anak usia (5-6) tahun.

2. Sekolah Dasar : merupakan fasilitas pendidikan yang disediakan untuk

anak-anak usia antara (6-12) tahun.

3. Sekolah Menengah Pertama : merupakan fasilitas pendidikan yang berfungsi

sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan Sekolah Dasar.

4. Sekolah Menengah Umum : merupakan fasilitas pendidikan yang berfungsi

sebagai sarana untuk melayani anak-anak lulusan SMP.

Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 14 disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selanjutnya pada pasal 18 dijelaskan yang dimaksud dengan pendidikan menengah yaitu :

1. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan

pendidikan menengah kejuruan.

3. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA),

madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.


(33)

4. Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Standar yang digunakan untuk fasilitas satuan pendidikan menengah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007.

2.4Standar Sarana-Prasarana Pendidikan

Beberapa standar yang dapat dijadikan acuan dalam perencanaan sarana dan prasarana pendidikan, yaitu :

2.4.1 Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI

Standar sarana dan prasarana ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2007. Standar mencakup sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan : satuan pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Dalam penelitian ini hanya akan meninjau mengenai satuan pendidikannya saja yang didalamnya diatur mengenai banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani, dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan. Standar satuan pendidikan SMA dan MA, yaitu :

a. Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel .

b. Satu SMA/MA dengan 3 rombel melayani maksimum 6000 jiwa

penduduk. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombel atau pembangunan SMA/MA baru.


(34)

Standar dalam hal pendistribusian fasilitas pendidikan yang dikeluarkan Departemen PU maka untuk pertimbangan dalam perencanaan fasilitas pendidikan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

a. Jumlah penduduk pendukung yang akan dilayani.

b. Struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin.

c. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk.

d. Keadaan sosial ekonomi penduduk.

2.4.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana

Struktur pemerintahan yang dipergunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya untuk perumahan sederhana didasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2.500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), dan kecamatan (120.000 jiwa).


(35)

Tabel 2.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m

2

)

Taman Kanak-Kanak 1000 800

Sekolah Dasar 1600 1800

SMTP 6000 2400

SMTA 6000 2400

Sumber : Keputusan Menteri PU No.20/KPTS/1986 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun dalam Iskandar 2009.

2.4.3 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri

Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota Depdagri ini di dasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya : rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (3000 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa).

Tabel 2.3 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m

2

)

Taman Kanak-Kanak 750 500

Sekolah Dasar 3000 4000

SMTP 30000 9600

SMTA 30000 9600

Sumber : Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria Depdagri Atlas DKI Jakarta Raya, Tanah dan Kegiatan Pembangunan PUBL No.214 Tahun 1982 dalam LPPWK 1993 dalam Iskandar, 2009


(36)

2.4.4 Standar Dinas Tata Kota (DTK) DKI Jakarta

Struktur pemerintahan yang digunakan pada standar dinas tata kota DKI Jakarta didasarkan pada jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), dan wilayah (1.500.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah : rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2500 jiwa), sub distrik (5.000 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), distrik (50.000 jiwa), kecamatan (200.000 jiwa), sub wilayah (480.000 jiwa), dan wilayah (1.000.000 jiwa).

Tabel 2.4 Standar Dinas Tata Kota DKI Jakarta Luas Tiap Unit Jenis Sarana Kota

Jumlah Penduduk Pendukung

(jiwa)

< 200 jiwa/ha

(200 s.d 400) jiwa/ha

> 400 jiwa/ha

Taman Kanak-Kanak 750 500 425 350

Sekolah Dasar 1500 3000 2550 2100

SMTP (10 lokal) 12500 4000 3400 2800

SMTA (10 lokal) 28000 4000 3400 2800

Sumber : Buku Data dan Analisis RBWK Kecamatan-Kecamatan DKI 1985-2005 dalam Buku Penelitian/Penyempurnaan Standar Sarana Kota dalam Iskandar, 2009

2.4.5 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum

Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan sarana kota menurut Cipta Karya Departemen PU didasarkan pada


(37)

jumlah penduduk : kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000 jiwa), kota (1.000.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah RT (250 jiwa), RW (2500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa).

Tabel 2.5 Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa)

Jarak Luas Lahan

Sekolah

Dasar 1600

Mudah dicapai dengan radius

pencapaian maksimum 1000 meter, dihitung dari

unit terjauh

2000 m2

SMTP 4800 Radius maksimum

1000 meter 9000 m

2

SMTA 4800

Radius maksimum 3 km dari unit yang

dilayaninya

 12.500 m2 (1 lt)

 8000 m2 (2 lt)

 5000 m2 (3 lt)

Sumber : Penyempurnaan terhadap Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU, Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan 2003, dalam Agustin 2006.

2.4.6 Standar dan Ketentuan Mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan Menengah

Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja, sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak diuraikan dalam standar ini. Sehingga standar sarana dan prasarana


(38)

fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan yang telah dikeluarkan sebelumnya masih layak digunakan. Dalam standar fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas, yaitu :

1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan.

2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki.

3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan, perkantoran, perindustrian).

Selain pedoman di atas terdapat juga pedoman perencanaan gedung sekolah dari Departemen Pekerjaan Umum, dengan mempertimbangkan aspek-aspek :

1. Fasilitas sekolah menengah umum direncanakan dengan kecenderungan

perkembangan kota, rencana induk kota, dan harus disetujui oleh pemerintah daerah setempat.

2. Kepadatan dan potensi penduduk (% penduduk usia sekolah) harus

mendukung kegiatan pendidikan sehingga selain akan dapat menentukan lokasi sekolah juga harus dapat menentukan jenis dan tipe sekolah.

3. Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/tempuh, faktor usia,

kemampuan fisik siswa, dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan (jalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan.

4. Kondisi lingkungan sangat menentukan lokasi fisik sekolah. Lingkungan


(39)

klimatologi, flora dan fauna, dan lingkungan buatan seperti bangunan dan lingkungan masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi). Syarat lokasi bangunan sekolah terhadap lingkungan adalah tercapainya : kenyamanan, ketenangan, kesehatan, dan keamanan.

Standar lokasi sekolah yang dinyatakan De Chiara dan Koppelman (1975) dengan kriteria umumnya meliputi radius daerah jangkauan, karakteristik desain, dan lokasi yang dianjurkan pada setiap tingkatan pendidikan Rinciannya ada pada tabel 2.4 di atas. Menurut De Chiara dan Koppelman (1975) suatu sekolah menengah yang terdiri dari kombinasi antara sekolah dan taman komunitas sebaiknya diletakkan di tengah-tengah lingkungan perumahan untuk memudahkan akses. De Chiara (1975) menyatakan standar aksesibilitas untuk sekolah menengah, yaitu : dapat ditempuh berjalan kaki dengan jarak maksimum antara (1,6 s.d 2,4) km sedangkan bila menggunakan kendaraan bermotor maksimum 4 km.


(40)

Tabel 2.6 Kriteria Umum Penempatan Fasilitas Pendidikan Menurut De Chiara dan Koppelman

Jenis Fasilitas Daerah Jangkauan (meter) Karakteristik

Desain Lokasi

Elementary School (SD)

400 s.d 800

Harus dapat diakses dengan berjalan

kaki dari perumahan tanpa menyebrangi jalan. Jika ada jalan yang harus diseberangi, jalan tersebut harus

jalan lokal. Dekat dengan kawasan pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Junior High School (SMP)

800 s.d 1200

Harus jauh dari jalan arteri primer,

dan harus tersedia di jalan setapak dari

area lain. Dekat dengan konsentrasi perumahan atau dekat dengan pusat permukiman Senior High School (SMA)

1200 s.d 1600

Harus dekat dengan kawasan taman dan

jauh dari kebisingan

Terletak di pusat untuk memudahkan akses dan dekat dengan fasilitas umum lainnya.

Sumber : Chiara dalam Iskandar, 2009.

Sedangkan menurut konsep Neighborhood Unit aspek jarak dan waktu untuk fasilitas masyarakat dibagi kedalam lima kategori, yaitu :


(41)

Tabel 2.7 Jarak dan Waktu Tempuh dari Tempat Tinggal ke Lokasi Sarana

No Kategori Jarak (meter) Waktu Tempuh

(menit)

1 Sangat Dekat 0-300 0-5

2 Dekat 300-600 5-10

3 Sedang 600-1200 10-20

4 Cukup Jauh 1200-1300 20-40

5 Jauh > 3000 > 40

Sumber : Udjianto, 1994 dalam Agustin , 2006

Menurut John Black (1979) bahwa hendaknya dalam pengaturan dan perencanaan lokasi fasilitas pendidikan, perencana kota perlu memperhatikan sistem transportasi yang melayani, faktor jarak dari lokasi permukiman serta kesesuaian lahan dengan tata guna lahan lainnya.

2.5Faktor Pemilihan Lokasi Sekolah

Dalam menganalisis Sebaran Sekolah Menengah yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa faktor yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, berdasarkan literatur dan disesuaikan dengan standar-standar yang ada. Faktor tersebut diantaranya, yaitu :

2.5.1 Faktor Jangkauan Pelayanan

Faktor jangkauan pelayanan ini dianalisis berdasarkan wilayah terdekat yang mampu diakses sesuai peta jaringan jalan berdasarkan batasan


(42)

jarak yang diberikan antara tempat tinggal-sekolah. Jarak tempuh maksimal tempat tinggal-sekolah berdasarkan standar yang berlaku di Indonesia dengan tidak membedakan transportasi yang dipilih dan kondisi jalan yang ditempuh. Kemampuan mengakses lokasi suatu sekolah akan mempengaruhi ke-strategisan suatu lokasi sekolah, karena menyangkut kemudahan untuk menuju lokasi tersebut dari berbagai lokasi yang berada disekitarnya atau wilayah lainnya. Indikator yang menentukan jangkauan pelayanan ini, yaitu : kedekatan lokasi dengan jaringan transportasi dan pusat kota.

Dalam analisis ini akan digunakan standar jangkauan pelayanan fasilitas pendidikan Cipta Karya Departemen PU, kriteria jarak jangkauan fasilitas menurut konsep Neighborhood Unit, Standar Jarak Dalam Kota dan kriteria penempatan lokasi fasilitas pendidikan menurut Joseph De Chiara dan Koppelman. Daerah jangkauan yang dimaksud adalah kedudukan dan jarak jangkauan fasilitas pendidikan menengah terhadap pengguna fasilitas pendidikan saat ini yang nyata dilapangan. Data yang digunakan adalah data primer mengenai lokasi tempat tinggal siswa pengguna fasilitas pendidikan terhadap lokasi sekolah menengah di Kota Tebing Tinggi. Dalam bagian ini akan dibahas juga mengenai faktor lain yaitu waktu tempuh dan kondisi transportasi dalam menjangkau fasilitas pendidikan. Data yang digunakan adalah data hasil survei primer berupa data waktu tempuh siswa dari rumah ke sekolah, data kondisi dan tingkat kemudahan moda transportasi dalam mencapai lokasi sekolah. Data primer yang diperoleh dievaluasi dengan


(43)

menggunakan standar sarana prasarana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga dengan standar waktu tempuh (pencapaian) menurut konsep

Neighborhood Unit. Analisis jangkauan pelayanan ini membutuhkan data

spasial (jaringan jalan dan sebaran sekolah).

2.5.2 Faktor Pola Distribusi

Faktor pola distribusi ini dianalisis berdasarkan penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah. Jumlah daya tampung sekolah merupakan persediaan. Sedangkan permintaan ditinjau dari jumlah penduduk usia sekolah untuk pendidikan menengah (16-18) tahun hasil sensus penduduk per kecamatan/kelurahan. Analisis terhadap pola distribusi ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah daya tampung atau kapasitas pendidikan menengah yang ada telah memenuhi kebutuhan penduduk penggunanya atau belum baik secara keseluruhan satu kota maupun untuk tiap kecamatan. Usia sekolah untuk tingkat pendidikan menengah adalah (16-18) tahun. Yang menjadi tolak ukurnya adalah kapasitas pendidikan menengah tiap kecamatan sama dengan atau melebihi jumlah penduduk usia (16-18) tahun di Kota Tebing Tinggi. Faktor pemenuhan kebutuhan penduduk akan fasilitas pendidikan ini dianalisis berdasarkan penyebaran sekolah dengan melihat kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah.

Standar yang digunakan untuk menganalisis pola distribusi menggunakan standar sarana prasarana sekolah menengah menurut


(44)

Departemen Pendidikan Nasional. Analisis pola distribusi ini membutuhkan analisis jaringan (network analysis) yang melibatkan data tabular/non spasial (data kependudukan dan kapasitas sekolah) dan data spasial (sebaran

sekolah).

2.5.3 Faktor Kondisi Lahan Sekolah

Dalam mendirikan suatu lokasi sekolah maka harus diperhatikan rencana peruntukan lahan yang disesuaikan dengan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Keterangan yang diinginkan dalam RDTR dan RTRW tersebut meliputi : ketentuan penataan bangunan, peta lokasi tanah, data tanah, dan peruntukan lahan (Prihantini, 2008). Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah.

Kesesuaian lokasi sekolah ditinjau menggunakan standar yang berlaku atau dapat diterapkan di Indonesia mengenai tata guna lahan dan aktivitas lingkungan yang berbahaya, berdampak negatif, atau tidak mendukung proses pendidikan di sekolah. Sedangkan analisis kesesuaian aktivitas lingkungan memerlukan analisis ruang (spatial analysis) yang menggabungkan peta tata guna lahan, peta jaringan jalan, dan peta sebaran sekolah.


(45)

2.6SIG Dalam Menganalisis Sebaran Lokasi Sekolah

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan tools yang penting dalam melakukan pengolahan data spasial terutama dalam skala besar karena dapat dilakukan secara efesien dalam hal waktu, biaya, dan ketepatan pengambilan keputusan. Apabila pengolahan data spasial dilakukan secara konvensional akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang lebih besar. Sebagian besar data yang dianalisis berupa data spasial dalam bentuk peta tematik. Analisis data selanjutnya dengan menggunakan tools SIG dilakukan dalam bentuk metode tumpang susun (overlay). Analisis overlay ini dilakukan dalam penentuan suatu lokasi sekolah yang layak sesuai standar yang ada.

Hasil SIG dapat berupa peta cetak warna, peta digital, dan data tabuler yang dapat menggambar jenis, penampakan, dan informasi yang beragam. Peta akan menampilkan data dan informasi berbasis keruangan tentang lokasi dan atribut yang dimiliki melalui gambar. Selain peta sebagai out put dari SIG, maka output dapat berupa sistem informasi.

2.6.1 Jenis Peta

Peta merupakan hal yang penting dalam analisis SIG ini karena merupakan sumber data. Selama ini peta hanya dikenal dalam bentuk atlas merupakan peta analog. Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan seperti peta rupa bumi yang diterbitkan Bakosurtanal. Umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial.


(46)

Peta juga menggambarkan tentang kondisi dan keberadaan penampakan yang ada di muka bumi. ”Menurut Supriadi, dkk.(2007) peta dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu : peta topografi dan peta tematik. Peta topografi merupakan peta yang menunjukkan penampakan alamiah dan buatan manusia di bumi. Topografi menggambarkan bentuk permukaan bumi yang diwujudkan oleh kontur, lahan, jalan kereta api, dan berbagai feature lainnya. Peta topografi menunjukkan penampakan fisik permukaan bumi seperti : jalan, sungai, dan bangunan. Sedangkan peta kontur menampakkan garis yang menghubungkan titik tertentu yang memiliki kesamaan nilai, misalnya ketinggian tempat dari permukaan laut. Peta tematik merupakan sumber penting dari informasi SIG. Peta tematik merupakan sarana untuk menyampaikan konsep geografis melalui tema tertentu, seperti kepadatan populasi, iklim, jenis tanah, geologi, kesesuaian lahan, pergerakan barang, dan penggunaan lahan.

2.6.2 Resolusi Peta

Resolusi peta berhubungan dengan besarnya ketelitian suatu lokasi atau objek lainnya yang terdapat dalam suatu peta digambarkan pada skala tertentu. Jika peta dengan skala besar maka resolusi objek akan lebih teliti dibandingkan dengan kondisi sebenarnya (Supriadi, dkk., 2007). Sebaliknya apabila skala peta semakin kecil maka ketelitian suatu peta juga akan berkurang sebab objek yang digambarkan akan semakin kecil dan mungkin


(47)

tidak akan kelihatan di peta. Suatu desa yang cukup luas mungkin akan hilang di peta berskala kecil.

Dalam hal penggunaan peta ini maka ketelitian merupakan hal yang sangat penting, seperti yang juga di atur dalam PP No.10 tahun 2000 tentang ketelitian peta dalam penataan ruang. Dalam spesifikasi teknis pemetaan rupa bumi digital disebutkan apabila peta yang digunakan sebagai sumber merupakan hasil pemotretan udara ada beberapa ketelitian yang dibutuhkan pada titik kontrol horizontal. Titik kontrol horizontal diukur dengan GPS (metode beda fasa) dengan Bench Marck (BM) sebagai titik kontrol terdekat dengan kode N0 atau N1 yaitu titik kontrol geodesi Bakorsutanal.

Tabel 2.8 Ketelitian Titik Kontrol Horizontal

Skala Peta

Ketelitian Horizontal minimum yang dibutuhkan Unsur

Ketelitian Horizontal Minimum yang Dibutuhkan Titik

Kontrol

1 : 10.000 2 m 1 m

1 : 25.000 5 m 2.5 m

1 : 50.000 10 m 5 m

1 : 100.000 20 m 10 m

1 : 250.000 50 m 25 m

Sumber : Bakorsutanal, 2001 dalam Amelia, 2007

Titik kontrol vertikal diukur dengan alat ukur sifat datar atau cara trigonometris dengan total station dan diikatkan pada titik kontrol tinggi terdekat dengan kode TTG. Jika TTG tidak tersedia, maka harus diikatkan


(48)

dengan Mean Sea Level (MSL) terdekat dengan melakukan pengukuran pasang surut dalam waktu yang memadai sesuai dengan ketelitian yang diperlukan pada skala peta.

Tabel 2.9 Ketelitian Titik Kontrol Vertikal

Skala Peta Interval Kontur

Ketelitian Vertikal minimum yang dibutuhkan Unsur

Ketelitian Vertikal Minimum yang Dibutuhkan Titik

Kontrol

1 : 10.000 2 m 2 m 1 m

1 : 25.000 5 m 5 m 2.5 m

1 : 50.000 10 m 10 m 5 m

1 : 100.000 20 m 20 m 10 m

1 : 250.000 50 m 50 m 25 m

Sumber : Bakorsutanal, 2001 dalam Amelia, 2007

Langkah selanjutnya adalah melakukan kontrol kualitas yang dimaksudkan untuk memperoleh jaminan bahwa titik kontrol yang dipilih adalah memenuhi syarat geometris, dapat dengan baik diidentifikasi, tidak berubah tempatnya serta telah diukur dan dihitung sesuai dengan syarat-syaratnya.

Sistem proyeksi peta adalah suatu sistem yang memungkinkan penggambaran unsur-unsur spasial yang terdapat di atas permukaan ellipsoid ke atas lembar peta. Dalam proyeksi peta banyak digunakan rumus-rumus matematika yang digunakan untuk mentransformasikan koordinat titik-titik yang terdapat di atas permukaan ellipsoid ke dalam bentuk koordinat kartesian yang terdapat di atas lembar peta. Datum secara umum dapat diartikan sebagai


(49)

besaran atau konstanta yang dapat berperan sebagai referensi untuk proses hitungan besaran lainnya. Permasalahan timbul ketika suatu negara menggunakan model bumi yang beda dengan negara lainnya yang berdekatan. (Prahasta, 2005).

Berdasarkan hal tersebut maka perlu disamakan persepsi spasial melalui transformasi datum. Transformasi datum dari datum lokal ke datum global dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : menggunakan aplikasi perangkat lunak SIG (misal : ArcView) atau perangkat lunak lain yang secara khusus digunakan untuk melakukan transformasi datum dengan menggunakan metode-metode yang telah tersedia (Prahasta, 2005).

2.6.3 Digitasi Peta dan Check Plot

Digitasi peta dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data digital dari data sekunder dalam bentuk peta hard copy. Pelaksanaan digitasi peta adalah untuk memperoleh data digital untuk keperluan data base jaringan jalan, sungai atau tempat-tempat tertentu lainnya.

2.6.3.1Digitasi Peta

Digitasi pada dasarnya adalah mengubah bentuk data dari format analog (peta analog) menjadi format digital, sehingga dapat disimpan dan ditampilkan dalam komputer. Ada 2 metode dalam digitasi ini (Supriadi, dkk., 2007), yaitu :


(50)

a. Heads-down digitising (Manual Digitasi):

Heads-down digitising dilakukan dengan mengikuti jalur feature peta baik dalam bentuk point, line maupun poligon dengan puck yang menentukan koordinat setiap point sample untuk disimpan dalam komputer.

b. Heads-up digitising (Otomatis Digitasi):

Heads-up digitising dilakukan dengan menggunakan hasil scanning peta. Langkah yang dilakukan hampir sama dengan heads-down digitising, jika pada heads-down digitasi menggunakan puck maka pada digitising on screen ini menggunakan mouse untuk mengikuti track yang akan dibuat themenya.

Pada digitasi peta perlu melakukan perubahan sistem transformasi. Digitasi merupakan transformasi informasi dari format analog menjadi bentuk digital. Digitasi secara manual termasuk pemakaian meja digitasi atau menggunakan layar komputer. Digitasi dilakukan dengan menetapkan sistem koordinat kartesian mengikuti pola sumber data. Digitasi berarti juga menyalin track ke dalam bentuk titik, garis atau poligon dengan menggunakan mouse atau pack.

2.6.3.2Check Plot

Check Plot dilakukan untuk memeriksa kebenaran hasil digitasi. Pemeriksaan kebenaran ini dilakukan dengan membandingkan peta asli (hard copy) dengan hasil cetak peta digitasi.


(51)

2.6.4 Editing Peta dan Pembentukan Topologi

2.6.4.1Editing Peta

Editing peta dilakukan adalah untuk memeriksa kelengkapan peta hasil digitasi atas dasar peta sumber yang digunakan serta kesinambungan unsur peta yang bersebelahan. Tindak lanjut dari pemeriksaan tersebut adalah melengkapi unsur yang belum di digitasi, membentuk hasil digitasi yang tidak sempurna (overshoot dan undershoot) dan mendigitasi ulang unsur-unsur yang posisinya bergeser dari posisi unsur yang seharusnya.

2.6.4.2Pembentukan Topologi

Pembentukan topologi dilakukan adalah untuk mengorganisir data sedemikian rupa sehingga akan mudah diakses dan digunakan untuk kegiatan analisis selanjutnya. Proses topologi dilakukan lebih dari satu kali untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Untuk menghasilkan data dengan kualitas yang baik perlu diperhatikan aturan dalam pembentukan topologi. Aturan topologi adalah aturan hubungan antar komponen data spasial. Dalam membangun suatu data base spasial digital aturan topologi ini sangat diperlukan untuk menjamin kualitas dari data spasial, sehingga jika suatu saat data spasial akan digunakan untuk keperluan analisa hasilnya tidak akan terjadi kesalahan.


(52)

2.6.5 Metode Analisis Tumpang Susun (Overlay)

Overlay merupakan metode tumpang tindihkan dua layer atau lebih serta membuat kembali topologi titik, garis dan poligon, dan operasi penggabungan atribut untuk penelitian kesesuaian, manajemen resiko serta evaluasi potensi (Supriadi, dkk., 2007).

2.6.5.1Overlay Data Raster

Overlay data raster dengan dua layer lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan overlay data vector, karena tidak menggunakan operasi topologi, tetapi hanya operasi pixel dengan pixel. Metode yang biasanya digunakan dalam overlay data raster terdiri dari :

a. Weighting Point Method :

Metode ini dilakukan apabila ada dua layer bernilai N1 dan N2 ditumpang

tindih dengan timbangan T1 dan T2 akan menghasilkan :

P = T1. N1 + T2. N2

dengan : T1 + T2 = 1.

Metode ini hanya sesuai jika data atribut mempunyai nilai numerik yang dapat dilakukan melalui operasi numerik.

b. Ranking Method :

Metode ini melakukan tumpang tindihkan data atribut berdasarkan tingkat kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah : minimum ranking, multiplication ranking, dan selective ranking.


(53)

1. Minimum ranking : mengambil ranking terendah dari overlay kedua layer sebagai susunan layer yang baru.

2. Multiplication ranking : mengalikan ranking karena

berpengaruhnya lebih baik dibanding akibat penambahan.

3. Selective ranking : menentukan tingkat kombinasi berdasarkan

pengalaman profesi pengguna.

2.6.5.2Overlay Data Vektor

Overlay data vector lebih sulit dilakukan karena harus memperbaiki tabel topologi hubungan antar titik, garis, dan poligon. Hasil overlay data vektor dapat berupa objek garis dan area baru melalui penambahan perpotongan (node) yang dibutuhkan overlay topologi. Jenis-jenis overlay vektor, yaitu :

1. Point in polygon overlay : titik dioverlay pada peta polygon. Topologi titik

merupakan atribut baru setiap titik polygon.

2. Line on polygon overlay : garis dioverlay ke polygon. Topologi garis

merupakan atribut ID garis lama dan ID area.

3. Polygon on polygon overlay : dua layer dioverlay menghasilkan polygon

baru dan saling berpotongan. Topologi polygon merupakan daftar ID polygon asli.


(54)

2.7Aksesibilitas Pendidikan

Pemerataan harus dapat dilihat dalam konteks kata ”akses” (Friedman dan Nozick, 1974). Pernyataan tersebut memiliki makna bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengakses. Apabila dihubungkan dengan pendidikan maka yang dimaksud dengan peningkatan aksesibilitas pendidikan adalah pendidikan yang disediakan oleh berbagai stake-holder harus dapat memenuhi kebutuhan hak akses masyarakat akan pendidikan tanpa terkecuali. Setiap masyarakat tidak ada lagi yang tidak dapat mengakses. Peningkatan aksesibilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerataan, pemerataan yang memiliki makna bahwa setiap wilayah memiliki jumlah fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan.

Penyesuaian ini didasarkan pada jumlah penduduk yang membutuhkan fasilitas ini dengan berdasarkan pada standar-standar dan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menumbuhkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhalak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU

Sisdiknas No 20 tahun 2003). Dalam salah satu ajaran agama menjelaskan, bahwa

batasan dari suatu pendidikan adalah sampai keliang lahat. Jadi alangkah pentingnya pendidikan, maka wajar apabila pendidikan menjadi suatu prioritas dan pilihan utama dari suatu kebutuhan bagi setiap manusia.


(55)

Masyarakat pada dasarnya masih sangat mengharapkan adanya suatu kebijakan tentang sekolah yang berdampak terhadap peningkatan aksesibilitas pendidikan. Pengalaman menunjukan pada beberapa tahun terakhir ini di Indonesia aksesibilitas dalam memperoleh kesempatan pendidikan masih belum terjawab di tingkat pendidikan menengah, selama ini yang sudah direalisasi sebatas pada kebijakan di tingkat Pendidikan Dasar, yang dikenal dengan “Wajar 9 Tahun” yang diharapkan tuntas pada tahun 2009 ini. Namun beberapa daerah propinsi di Indonesia telah mulai melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun dengan target semua penduduk pada wilayah tersebut minimal berpendidikan SMA. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tersebut hendaknya membawa dampak terhadap masyarakat, yaitu berupa adanya kesempatan, kemudahan dan kemampuan (aksesibilitas) masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang layak sehingga akan meningkatkan pemerataan pendidikan.

2.8Penelitian Sebelumnya

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang sebelumnya pernah dilakukan mengenai sebaran sekolah maupun penentuan lokasi sekolah diperoleh gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi sebaran sekolah maupun penentuan lokasi sekolah. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wiwik Prihantini (2008) tentang : ” Pendirian Lokasi Sekolah Di Kota Salatiga Dengan

Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis” bahwa kriteria penentuan lokasi


(56)

a. Peta Pendidikan :

Peta pendidikan adalah jumlah kebutuhan sekolah dalam suatu wilayah yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi sekolah yang tepat berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah usia sekolah. Untuk menghitung kepadatan penduduk adalah dengan menghitung jumlah penduduk mencapai kurang lebih 25.000 orang lulusan SD/MI mencapai 20 orang maka diperlukan 1 unit bangunan SMP/MTs.

b. Ketersediaan Dokumentasi Administrasi :

Dalam menentukan lokasi sekolah perlu diperhatikan status hukum lahan sekolah yang bukan merupakan tanah sengketa/gugatan, sitaaan atau dalam proses peradilan dan surat tanah yaitu bukti surat kepemilikian yang sah. Dokumen administrasi ini dapat berupa sertifikat tanah, girik atau akta.

c. Lahan Sekolah

Pendirian suatu lokasi sekolah harus memperhatikan rencana peruntukan lahan yang berupa advis planning, yaitu surat keterangan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan RDTR Kota yang meliputi : ketentuan penataan bangunan (koefisien dasar bangunan, koefisien luas bangunan, koefisien dasar hijau, garis sempadan bangunan, rencana jalan, dan tipe bangunan), peta lokasi tanah, data tanah, peruntukan. Pendirian suatu lokasi harus mendapatkan surat keterangan dari instansi terkait setempat yang menjelaskan bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat dibangun gedung sekolah.


(57)

Kajian Kurniati (2007) tentang : ”Peran Sistem Informasi Geografis

Dalam Bidang Pendidikan” disebutkan bahwa : peningkatan aksesibilitas

pendidikan dapat dilakukan dengan adanya pemetaan sekolah yang apabila disinergikan dengan SIG akan diperoleh suatu sistem yang mampu mendata daerah atau wilayah mana saja yang belum terakses pendidikan secara baik sehingga dapat diberikan solusinya.

Mahrani, Ade (2003) tentang : ”Evaluasi Distribusi Fasilitas

Pendidikan SD di Kecamatan Batununggal Kota Bandung Dengan

Memanfaatkan SIG” menyatakan bahwa : untuk perencanaan pembangunan

fasilitas SD di masa yang akan datang sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan dan perlu memperhatikan : kebutuhan, standar dan ketentuan, daerah jangkauan layanan, tata guna lahan, jaringan jalan dan aksesibilitas.

2.9Kerangka Pemikiran

Penelitian ini berawal dari fenomena pertumbuhan penduduk dan kota yang mempengaruhi kinerja pelayanan fasilitas pendidikan, perubahan demografi penduduk usia sekolah, serta perubahan kondisi fisik dan pemanfaatan ruang. Perubahan-perubahan ini pada gilirannya akan memberi dampak bagi sekolah. Jangkauan pelayanan sekolah terbatas dan tidak merata di seluruh wilayah, ditambah pola distribusi yang tidak lagi sesuai antara supply dan demand, serta kondisi tapak yang kurang mendukung kegiatan belajar-mengajar.


(58)

Aksesibilitas pendidikan ditentukan oleh hambatan jarak dan waktu menuju sekolah. Kualitas pendidikan juga dipengaruhi oleh fasilitas yang memadai dan lingkungan yang kondusif. Sehingga untuk menilai dan memperbaiki kinerja pelayanan fasilitas pendidikan, perlu dilakukan analisis terhadap lokasi sekolah. Analisis lokasi dilakukan berdasarkan tiga faktor: jangkauan pelayanan, pola distribusi, dan aktivitas lingkungan sekolah yang mengacu pada kajian literatur : ketentuan Diknas, Cipta Karya PU, SPM, teori-teori yang terkait, dan hasil penelitian sebelumnya.

Sebelum dilakukan analisis untuk mengevaluasi ketiga faktor di atas, dilakukan identifikasi terhadap distribusi lokasi sekolah, pola jaringan jalan, dan demografi penduduk usia sekolah untuk mendukung evaluasi jangkauan pelayanan dan evaluasi pola distribusi. Mengevaluasi kondisi lahan, dilakukan identifikasi kondisi fisik ruang dan pemanfaatan ruang. Analisis yang dilakukan meliputi analisis jaringan : jangkauan pelayanan, analisis spasial : pola distribusi supply dan demand, serta analisis kesesuaian lahan. Alur kerja dari ketiga analisis tersebut selanjutnya akan dijelaskan pada bagian kerangka analisis. Berdasarkan hasil analisis (yang meliputi tiga analisis di atas), dilakukan analisis penentuan lokasi yang optimal yang juga mengacu pada kajian literatur.


(59)

SEKOLAH MENENGAH DI KOTA TEBING TINGGI

FAKTOR JANGKAUAN PELAYANAN

FAKTOR POLA DISTRIBUSI

FAKTOR KONDISI LAHAN SEKOLAH

Sistem Informasi Geografis Dalam Menganalisis Sebaran Sekolah Menengah

PETA SPASIAL LOKASI SEKOLAH YANG IDEAL

Peningkatan

Aksesibilitas Pendidikan


(60)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1Ruang Lingkup Penelitian

3.1.1 Wilayah Penelitian

Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah merupakan koordinator semua instansi, dinas, dan berbagai sektor yang ada di daerah. Bupati dan Walikota sebagai Kepala Daerah juga bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan di wilayahnya. Pembinaan dan pengembangan tersebut mencakup segala bidang pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kota Tebing Tinggi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan, melaksanakan pembangunan yang memiliki arah dan tujuan yang telah ditetapkan serta harus dicapai melalui pembangunan disegala bidang, termasuk dibidang pendidikan.

Perencanaan pendidikan di Kota Tebing Tinggi tidaklah berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan kota secara keseluruhan. Usaha dan kegiatan perencanaan di bidang pendidikan di kota harus berada di bawah koordinasi pemerintah daerah, untuk menjaga keserasian dan keterkaitannya dengan sektor lain dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan pembangunan daerah yang telah ditetapkan.


(61)

Tabel 3.1 Administrasi Pemerintahan Kota Tebing Tinggi

No. Variabel Jumlah

1 Kota 1

2 Kecamatan 5

3 Kelurahan 35

4 Lingkungan 173

6 Luas Wilayah 38, 438 km²

Sumber : Profil Pendidikan Kota Tebing Tinggi Tahun 2008.

3.1.2 Ruang Lingkup Materi

Materi yang akan di bahas dalam penelitian ini meliputi, yaitu :

1. Penelitian ini hanya akan membahas sarana pendidikan menengah saja.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 18 dijelaskan bahwa pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat.

2. Menganalisis sebaran dan pelayanan sekolah menengah berdasarkan 3

faktor :

a. Faktor Jangkauan Pelayanan. Yang dianalisis adalah disatu sisi terdapat

wilayah yang belum ”terjangkau” oleh sekolah, tapi di sisi lain terdapat juga wilayah yang mengalami overlap pelayanan sekolah. Lokasi sekolah dan jarak yang jauh menambah beban transportasi baik bagi kota maupun bagi warga sekolah. Diharapkan wilayah terdekat yang


(62)

mampu diakses sesuai peta jaringan jalan berdasarkan batasan jarak atau waktu minimum yang diberikan antara tempat tinggal-sekolah.

b. Faktor Pola Distribusi. Yang ingin dianalisis adalah penyebaran sekolah

adalah kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah (supply-demand) sekolah. Jumlah daya tampung sekolah (supply) berdasarkan jumlah siswa per kelas, dan jumlah siswa per guru. Sedangkan kebutuhan (demand) ditinjau dari jumlah penduduk usia sekolah menengah (16-18) tahun.

c. Faktor Kondisi Lahan Sekolah. Kesesuaian lokasi sekolah ditinjau

menggunakan standar yang berlaku atau dapat diterapkan di Indonesia mengenai tata guna lahan dan aktivitas lingkungan yang berbahaya, berdampak negatif, atau tidak mendukung proses pendidikan di sekolah. 3. Melakukan penentuan perencanaan lokasi sekolah di masa depan

berdasarkan faktor : jangkauan pelayanan, pola distribusi, dan kondisi lahan sekolah. Proses perencanaan tersebut dilakukan dengan melakukan overlay : peta administrasi wilayah, peta tata guna lahan, peta sebaran sekolah, peta sebaran penduduk , dan peta jaringan jalan. Penelitian ini direncanakan menggunakan SIG dengan perangkat lunak ArcView GIS 3.2 sebagai media analisis data dan presentasi hasil studi.


(63)

3.2Jenis Penelitian

Metoda pendekatan yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Metode deskriptif karena memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan dengan jelas tanpa ada perlakuan terhadap objek yang di teliti (Kountur, 2005). Menurut Arikunto (1998) pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitaian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti kedudukan sekelompok orang, suatu subjek, suatu keadaan, suatu sistem pemikiran, atau suatu peristiwa pada masa sekarang (Kurnia 2005 dalam Iskandar, 2009). Penelitian deskriptif dibedakan atas dua jenis yaitu penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif dan penelitian deskriptif yang bersifat developmental. Berdasarkan tujuannya penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif karena menggali fakta tentang sekolah menengah dan memberikan keterangan atau gambaran tentang sekolah menengah secara faktual melalui analisis yang dilakukan terhadap letak lokasi sekolah menengah eksisting.

Penelitian ini dilakukan dengan langkah awal memahami karakteristik lokasi sekolah pada wilayah penelitian. Berdasarkan kajian pustaka maka faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan suatu lokasi sekolah, yaitu : faktor-faktor jangkauan pelayanan, faktor pola distribusi, dan faktor lahan sekolah. Analisis yang digunakan adalah secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif di perlukan didalam menganalisis data kuantitatif dalam menentukan lokasi sekolah. Analisis kualitatif dilakukan adalah sebagai alat untuk melakukan


(64)

analisis berbagai informasi dan kebijakan serta informasi pendukung lainnya dalam menganalisis sebaran lokasi sekolah menengah. Ketersediaan peta administrasi wilayah, peta tata guna lahan, peta jaringan jalan, dan peta sebaran sekolah dengan ketelitian peta serta penyeragaman skala peta merupakan suatu hal yang penting. Proses digitasi peta serta editingnya juga merupakan bagian yang tak kalah pentingnya karena data grafis yang di dapatkan berasal dari sumber yang berbeda-beda.

Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar ditampilkan dalam bentuk peta yang berupa data spasial. Dalam hal ini skala yang digunakan adalah skala 1: 40.000 yang dijadikan sebagai peta dasar sesuai dengan yang digunakan dalam RTRW Kota Tebing Tinggi 2008-2028. Proses digitasi data yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut dilakukan dengan bantuan software ArcView 3.2 sebagai salah satu software SIG dalam melakukan analisis dalam penelitian dan penentuan suatu lokasi sekolah.

3.3Jenis dan Sumber Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan, yaitu : 1. Survei Data Primer :

Data primer ini diperolah dengan menggunakan metode penyebaran kuesioner. Metoda penyebaran kuesioner dilakukan pada siswa yang hasilnya digunakan untuk menganalisis jangkauan pelayanan fasilitas sekolah menengah dan pola distribusi sekolah menengah. Pengambilan sampel


(65)

63

)

1

(

2

Nd

N

n

dilakukan dengan teknik cluster sampling. Sampel diambil dari tiap kecamatan yang berada di Kota Tebing Tinggi. Sampel diambil dengan teknik sampel klaster dengan membagi daerah pengambilan sampel yang mewakili tiap kecamatan yang ada di Kota Tebing Tinggi. Jumlah sekolah menengah negeri di Kota Tebing Tinggi hanya 9 buah dan tersebar di 5 kecamatan maka sampel diambil dari semua sekolah menengah negeri yang ada. Tiap sekolah menengah negeri tersebut disebarkan sebanyak 30 kuesioner. Kuesioner disebarkan kepada siswa secara langsung, diisi pada hari itu juga dan dikembalikan langsung. Namun demikian ternyata tidak semua mengmbalikan kuesioner, secara keseluruhan hanya terkumpul 235 kuesioner. Jumlah kuesioner sebanyak 270 yang disebarkan dengan maksud supaya dapat memenuhi ketentuan minimal sampel yang dibutuhkan dalam survei primer dengan menggunakan metode Slovin. Metode Slovin dalam penentuan minimal sampel :

dimana : n = jumlah sampel.

N = jumlah populasi.

d = tingkat kesalahan yang diinginkan.

Dalam penelitian ini, berdasarkan Data Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi terdapat 13.544 siswa Sekolah Menengah yang merupakan populasi pengguna Sekolah Menengah saat ini. Dengan menggunakan rumus Slovin dan tingkat


(66)

kesalahan 10 % maka dari jumlah populasi tersebut jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 100 sampel.

Sekaligus pada tahap ini dilakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian (ground checking) dan mengambil titik koordinat lokasi sekolah menengah menggunakan GPS MAP 76CSx Garmin.

2. Survei Data Sekunder :

Merupakan data literaltur yang diperoleh melalui studi kepustakaan serta memperoleh dan mengumpulkan data dari berbagai instansi terkait. Survei data sekunder dilakukan melalui konsultasi dan diskusi ke Instansi terkait diantaranya Bappeda dan Dinas Pendidikan Kota Tebing Tinggi serta melakukan studi pustaka untuk mengkaji secara teoritis mengenai karakteristik lokasi sekolah, ketelitian peta dan SIG, menentukan faktor yang berpengaruh dalam penentuan lokasi sekolah.

Kebutuhan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, terutama peta dapat ditunjukkan pada tabel 3.2 di bawah ini :


(67)

Tabel 3.2 Kebutuhan Data dan Sumber Data

No Data Jenis Peta Skala Sumber

Peta Administrasi

Wilayah 1 : 40.000

Peta Sebaran Sekolah 1 : 40.000

1

Faktor Jangkauan Pelayanan

Sekolah

Menengah Peta Jaringan Jalan 1 : 40.000

Bappeda Kota Tebing Tinggi

Peta Sebaran Penduduk 1 : 40.000

Peta Administrasi

Wilayah 1 : 40.000

2 Faktor Pola

Distribusi Sekolah Menengah

Peta Sebaran Sekolah 1 : 40.000

Bappeda Kota Tebing Tinggi

Peta Jaringan Jalan 1 : 40.000

Peta Tata Guna Lahan 1 : 40.000

3 Faktor Lahan

Sekolah

Peta Sebaran Sekolah 1 : 40.000

Bappeda Kota Tebing Tinggi

Peta Tata Guna Lahan 1 : 40.000

Peta Jaringan Jalan 1 : 40.000

Peta Sebaran Sekolah 1 : 40.000

Peta Sebaran Penduduk 1 : 40.000

4 Perencanaan

Lokasi Sekolah di Masa Depan

Peta Administrasi

Wilayah 1 : 40.000

Bappeda Kota Tebing Tinggi

5 Peta Rencana

Pengembangan Kawasan Kota

Peta Rencana RTRW Kota Tebing Tinggi 2008-2028.

1 : 40.000 Bappeda Kota

Tebing Tinggi

3.4 Teknik Analisis

Tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Merumuskan faktor yang berpengaruh dalam menentukan sebaran lokasi

sekolah terutama sekolah menengah.

2. Berdasarkan analisis maka faktor yang berpengaruh adalah : jangkauan

pelayanan, pola distribusi, dan lahan sekolah. Mengumpulkan peta yang akan


(68)

dasar yang digunakan adalah peta tata guna lahan hasil foto udara tahun 2006. Skala peta hasil foto udara ini adalah 1 : 40.000.

3. Melakukan proses digitasi peta yang digunakan dalam analisis sebaran

sekolah. Skala 1 : 40.000 tersebut sesuai dengan skala yang digunakan pada RTRW Kota Tebing Tinggi tahun 2008-2028.

4. Melakukan proses check plot, editing, dan topologi terhadap peta tata guna

lahan hasil foto udara tahun 2006. Setelah melalukan proses check plot, editing, dan topologi maka dihasilkan peta digital tata guna lahan yang sudah lengkap disesuaikan dengan kondisi lapangan melalui groundcheck ke lapangan. Groundcheck ke lapangan dilakukan bersamaan dengan penyebaran kuesioner kepada siswa dan mencatat koordinat semua sekolah menengah (SMA, MA, dan SMK) di Kota Tebing Tinggi menggunakan GPS MAP 76CSx Garmin.

Tahapan proses penyiapan dan editing peta digital dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini :


(1)

Gambar 4.17

Peta Rencana Sebaran Sekolah Menengah 2008-2028 Hasil Penelitian

Lokasi Bisnis

S N

E W

Skala 1 : 40.000 Sumber : Hasil Analisis, 2009

KETERANGAN

Sawah

Jalan Utama

S

EK O L AH

Program Studi Perencanaan

Wilayah dan Pedesaan

Pasar

Kuburan Cina

Pemukiman

Koordinat Sekolah

Rel K. Api

Jalan Arteri

Rencana Lokasi Sekolah Masa Depan N E W S

Skala 1 : 40.000 Sumber : Hasil Analisis, 2009


(2)

(3)

(4)

Gambar 4.7 Gambar Proses Buffer-1


(5)

125


(6)

U n iv e r s ita s Su m a te r a U ta r a