Faktor-faktor yang mempengaruhi Adversity Quotient

kurang bertahan dibandingkan dengan orang-orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha penyebab yang sifatnya sementara yang mereka lakukan.  Ini selalu terjadi.  Segala sesuatunya tidak akan pernah membaik.  Saya tidak pandai menggunakan komputer.  Biasanya selalu begini caranya.  Hidup saya hancur.  Perusahaan ini brengsek.  Bos saya benar; saya tidak mempunyai bakat untuk sukses.  Seluruh industri sedang bangkrut Semua pernyataan diatas berbau permanen. Cap-cap seperti pecundang, orang bodoh yang selalu gagal, dan orang yang suka menunda-nunda, serta kata- kata seperti selalu dan tidak pernah membawa akibat yang tersembunyi dan berbahaya. Kata-kata itu membuat anda tidak berdaya untuk melakukan perubahan.

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Adversity Quotient

Faktor-faktor kesuksesan dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian seseorang serta cara orang tersebut merespon kesulitan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi AQ, yaitu:

1. Daya Saing

Sattefield dan Seligman dalam Stoltz, 2000, menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Orang- orang yang bereaksi secara konstruktif trehadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Individu yang bereaksi secara destruktif cenderung kehilangan ebergi atau mudah berhenti berusaha.

2. Produktivitas

Dalam penelitiannya di Metropolitan Life Insurance Company, Seligman dalam Stolzt, 2000 membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik menjual lebih sedikit, kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.

3. Kreativitas

Inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan. Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada dapat menjadia ada. Menurut Joel Barker dalam Stoltz, 2000, kreativitas muncul dalam keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal yang tidak pasti.

4. Motivasi

Dari penelitian Stoltz 2000 ditemukan orang-orang yang AQ-nya tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi. Stolzt pernah melakukan pengukuran adversity quotient pada suatu perusahaan farmasi. Ia meminta direktur perusahaan itu untuk mengurutkan timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat. Lalu ia mengukur anggota-anggota timnya tersebut. Tanpa kecuali, baik berdasarkan pekerjaan harian maupun untuk jangka panjang, hasilnya mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang paling memiliki motivasi, memiliki AQ yang tinggi pula.

5. Mengambil Resiko

Satterfield dan Seligman dalam Stoltz, 2000 menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian. [

6. Perbaikan

Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa bertahan hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu juga karena individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik. Sedangkan individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.

7. Ketekunan

Ketekunan merupakan inti untuk maju pendakian dan AQ individu. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan pada kemunduran- kemunduran atau kegagalan. Seligman dalam Stolzt, 2000 membuktikan bahwa para tenaga penjual, kader militer, mahasiswa, dan tim-tim olahraga yang merespon kesulitan dengan baik akan pulih dari kekalahan dan mampu terus bertahan.

8. Belajar

Dweck dalam Stoltz, 2005, membuktikan bahwa anak-anak dengan respon- respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.

9. Merangkul Perubahan

Sewaktu individu mengalami badai perubahan yang tidak ada hentinya, kemampuan individu untuk menghadapi kepastian dan pijakan yang berubah semakin lama menjadi semakin penting. Batu-batu yang longsor, cuaca yang berubah-ubah, banjir yang tak terduga, dan gunung yang meletus semuanya menantang pendaki bahkan yang sudah berpengalaman sekalipun. Agar bisa sukses, individu harus secara efektif mengatasi dan memeluk perubahan tresebut. Orang –orang yang hancur karena perubahan akan hancur oleh kesulitan.

10. Keuletan, Stres, Tekanan dan Kemunduran

Orang yang merespon kesulitan dengan buruk seringkali dihancurkan oleh kemunduran-kemunduran. Ada yang perlahan-lahan bangkit kembali, namun ada juga yang tidak pernah bangkit lagi. Oulette dalam Stolzt, 2000 mengemukakan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting- pengendalian, tantangan dan komitmen akan tetap ulet dalam menghadapi kesulita-kesulitan. Individu yang tidak merespon dengan pengendalian, tantangan, dan komitmen cenderung akan menjadi lemah akibat situasi yang sulit.

2.3.4 Pengukuran Adversity Quotient