Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Artikel opini yang ditulis Didin Hafidhuddin berjudul Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik Republika, 78, bukan saja menggugah, tetapi juga menarik untuk dicermati. Dia memaparkan hubungan dan persinggungan antara dakwah dan politik dan mengingatkan kita semua mengenai kewajiban dakwah tersebut. Seperti yang dikemukakan diawal tulisannya, tugas dan kewajiban dakwah dalam pengertian yang luas adalah tanggung jawab setiap muslim kapan dan dimana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Karena ruang, waktu, kedudukan, dan pekerjaan tidak dibatasi dalam hal kewajiban dakwah ini, maka dalam politik pun dakwah mendapat tempatnya. Dalam pandangan Didin Hafidhuddin, ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandasakan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapi tujuan yang baik dan mulia tersebut, kurang lebih seperti itulah gambaran harmonis mengenai hubungan dakwah dengan politik. Persoalan hubungan antara dakwah dan politik tidak jarang menimbukan persoalan yang ekses. Dalam konteks seperti ini peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif relevan untuk dikutip, dakwah itu merangkul sedangkan politik memecah- belah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan. Persinggungan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institutional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba disatukan. Misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas Islam yang sejak awal memilih jalur dakwah bukan politik praktis. Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai maupun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah. Jika dakwah diletakan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karena rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam parati politik parpol seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, juga visi dan misi dakwah menjadi tercemar. Dalam politik mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Oleh karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan dakwah politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya. Karena itu, yang dilakukan parpol sejatinya politisasi dakwah atau dakwah politik. Implikasinya, dimensi kerisalahan dakwah berubah menjadi kursi kekuasan dimensi kerahmatan berubah menjadi orientasi kedudukan. Hal ini terjadi karena dakwah oleh parpol tidak murni lagi sebagai dakwah. Akibatnya, sering muncul kesan negatif di masyarakat mengenai Islam yang diperalat untuk menyalurkan syahwat politik dan hasrat berkuasa pihak tertentu. Tidak jarang gesekan dengan ormas Islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas Islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid. Begitu juga ketika terjadi becana alam, bantuan dan sumbangan yang dikelola oleh parpol bejubah dakwah itu bisa diberikan dengan syarat punya kartu atau menjadi anggota partai. Kerap bantuan dari pihak lain diklaim atau diberi stempel partai Islam bersangkutan. Berkaca pada kasus tersebut, dakwah yang menjadi istrumen parpol telah menjadi sesuatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan sekadar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlaknya yang mulia. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh almarhum Mohammad Natsir 1991, dakwah dan akhlqul-alkarimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisakan antara satu sama lain. Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dakwah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrument untuk kepentingan dakwah. Dalam konteks tersebut, politik bukan sekadar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan, atau mengutip C Calhoun 2002, the ways in which people gain, use, and lose power. Poitik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan negara bangsa. Dalam proses politik itu terdapat peluang politik yang bisa disi oleh ormas Islam dengan gerakan dakwahnya. Ormas Islam politik untuk mendukung gerakan dakwah atau disebut juga sebagai politik dakwah, yang terkait dengan strategi dan kebijakan dakwah yang substantif sehingga bisa efektif dalam mempengaruhi dan mewarnai keputusan politik pemerintah. Sikap dan kebijikan dakwah seperti itu sejalan dengan politik kebangsaan. Muhammadiyah misalnya, menerapkan model dakwah berupa peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan dakwah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah. Antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik praktis politik kepartaian. Kebijakan dan sikap berpolitik yang berbeda langgamnya dengan parpol dakwah merupakan suatu ikhtiar dalam mengapresiasi dakwah dan politik secara proporsional. Dengan penempatan yang layak ini, hubungan antara dakwah dan politik bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, mengembalikan makna pada substansi nilai dan prinsipnya sebagaimana digariskan oleh Allah QS. Ali-Imran: 104 dan An-Nahl: 125 serta Fushilat: 33, yakni fungsi dan tujuan dakwah tidak boleh dibelokkan dan diselewengkan dari jalan Allah bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Karena itu keterlaluan dan semena-mena kalau dakwah disubordinasi oleh parpol dan dimanipulasi bagi kepentingan politik praktis untuk merebut kekuasaan. Kedua, sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam, penulis sepakat dakwah harus dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Misalnya, setiap politisi Muslim baik dari ruang lingkup RtRw, Camat, Bupati, Gubernur sekalipun Presiden yang bergelut di dunia politik berkewajiban melaksanakan dakwah, tetapi sekali lagi bukan berdakwah untuk kepentingan politik. Melainkan berpolitik untuk kepentingan dakwah. Beragkat dari sini penulis tertarik untuk menganalisis DAKWAH DAN POLITIK: STUDY ATAS DRS. H. RACHMAT YASIN, MM, karena dalam hal berpolitik dan berdakwah, tokoh yang satu ini merupakan tokoh yang pantas untuk dianalisis. Beliau adalah putra kedua dari sembilan bersaudara pasangan alm HM. Yasin – Hj Nuryati dan merupakan keturunan ulama besar KH Basri atau yang dikenal dengan nama Mama Basri Kedaung dan HM. Syarifudin, salah satu pejuang Bogor. Bakat politiknya Drs. H. Rachmat Yasin MM menurun dari ayahandanya alm, HM Yasin seorang perintis, pendiri dan tokoh kharismatis PPP di Bogor dan pernah menjabat sebagai anggota DPRD kabupaten Bogor dan anggota DPRD Kota Bogor. Mudah-mudahan dari hipotesa ini, penulis bisa mengambil hakikat makna relevansi atas dakwah politik yang dimaksud. Dan mengimplementasikannya dalam kehidupan riil guna mengabdi dan mengangkat harkat martabat umat Islam dalam perpolitikan di Indonesia.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah