Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang Menggunakan Cold Chain System (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG

MENGGUNAKAN

COLD CHAIN SYSTEM

(CCS)

DENGAN NELAYAN TRADISIONAL

DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

Teruna Tarigan

097039014/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG

MENGGUNAKAN

COLD CHAIN SYSTEM

(CCS)

DENGAN NELAYAN TRADISIONAL

DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Magister Pertanian pada Program Studi Magister Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Oleh

Teruna Tarigan

097039014/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul : Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang Menggunakan Cold Chain System (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai

Nama : Teruna Tarigan

NIM : 097039014

Program Studi : Magister Agribisnis

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Ir. Iskandarini, MM)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,


(4)

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada Selasa, 20 September 2011

Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc _________________

Anggota : 1. Ir. Iskandarini, MM _________________

2. Dr. Ir. Rahmanta Ginting, MSi _________________


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul:

ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG

MENGGUNAKAN COLD CHAIN SYSTEM (CCS) DENGAN NELAYAN

TRADISIONAL DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Januari 2012 yang membuat pernyataan,

Teruna Tarigan


(6)

ABSTRAK

TERUNA TARIGAN, Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang menggunakan Cold Chain Sistem (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai (dibawah bimbingan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai Ketua dan Ir. Iskandarini, MM, sebagai Anggota).

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional, namun hal ini belum didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil ikan yang memadai. Salah satu sarana dan prasarana yang dapat mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan tersebut adalah Cold Chain System (CCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Cold Chain System (CCS), dan menganalisis perbedaan total pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS. Sampel dipilih dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 60 orang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata independent sample t test.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya produksi harga jual dan pendapatan antara nelayan CCS dengan nelayan non CCS. Penerapan teknologi CCS membuat mutu ikan menjadi lebih baik sehingga harga yang diterima nelayan menjadi lebih tinggi. Dalam rangka meningkatkan mutu produk ikan serta meningkatkan pendapatan nelayan Kabupaten Serdang Bedagai maka sebaiknya pemerintah mensosialisasikan teknologi CCS serta membantu permodalan nelayan untuk melengkapi kebutuhan penggunaan CCS.

Kata Kunci: Cold Chain System (CCS), biaya produksi, harga jual, pendapatan, uji beda rata-rata


(7)

ABSTRACT

TERUNA TARIGAN, Comparative Analysis between the Income of the Fishermen Using Cold Chain System (CCS) and That of Traditional Fishermen in Serdang Bedagai District, Under the supervision of Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec and Ir. Iskandarini, MM.

Fisheries and marine sector is one of the superior sectors generating national economy, yet this has not been supported by the availability of adequate facility and infrastructure. One of the facilities and infrastructures that can solve the problem of the low quality of fishery products is Cold Chain System (CCS). The purpose of this study was to analyze the CCS implementation and the total difference of the income of the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The samples for this study were 60 fishermen selected through stratified random sampling method. The data obtained were analyzed through descriptive analysis, mean difference test and independent sample t test.

The result of this study showed that there was the difference between production cost, selling price and the income between the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The application of CCS technology made the quality of fishery products better that the price received by the fishermen became higher. To improve the quality of fishery product and to increase the income of the fishermen of Serdang Bedagai District, the government should socialize the CSS technology and provide the fishermen with capital assistance to meet the need to use the CSS.

Keywords: Cold Chain System, Production Cost, Selling Price, Income, Mean Difference Test


(8)

RIWAYAT HIDUP

TERUNA TARIGAN, lahir di Medan Pada tanggal 13 November 1963 anak dari Bapak B. Tarigan dan Ibu NG. Br. Sinulingga. Penulis merupakan

anak ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis memiliki Istri Suriani Saragi S.Pd dan memiliki anak 4 orang yaitu Hendra Tarigan, Daniel Hermanto Tarigan, Astri

Sufanny Tarigan, dan Agi Putra Jaya Tarigan.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: 1. Tahun 1970 masuk Sekolah Dasar Negeri 2 Biru-biru tamat tahun 1975. 2. Tahun 1976 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta bersubsidi

Biru-biru, tamat tahun 1979.

3. Tahun 1979 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Pancur Batu, Tamat tahun 1982.

4. Tahun 1999 melanjutkan Pendidikan S1 di Universitas Medan Area (UMA) Sumatera Utara Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (SEP), tamat tahun 2003.

5. Tahun 2009 melanjutkan Pendidikan S2 di Magister Agribisnis Universitas Sumatera Utara.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Ir. Iskandarini, MM. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Suriani Saragi S.Pd. serta anak-anak yang sangat saya sayangi yang selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk menyelesaikan studi dan penyelesaian tesis ini.

Penghargaan yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak Ir. H. Muhammad Ramlan, M.Sc (Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai), serta seluruh staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai, pegawai TPI Kecamatan Tanjung Beringin yang telah memberikan segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2012 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Kegunaan Penelitian... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Penelitian Terdahulu ... 10

2.2. Landasan Teori ... 11

2.2.1. Susut Hasil Perikanan ... 13

2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif ... 19

2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS) ... 19

2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS) ... 25

2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan ... 26

2.3. Kerangka Pemikiran ... 28

2.4. Hipotesis Penelitian ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Metode Pemilihan Lokasi ... 31

3.2. Metode Penentuan Sampel ... 35

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.4. Metode Analisa Data ... 36

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional ... 37

3.5.1. Defenisi ... 37


(11)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian ... 39

4.2. Krakteristik Nelayan Sampel ... 39

4.3. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 42

4.3.1. Penggunaan Cold Chain System (CCS) ... 42

4.3.1.1. CCS Diatas Kapal ... 43

4.3.1.2. CCS di TPI ... 47

4.3.2. Biaya Produksi ... 52

4.3.3. Pendapatan ... 59

4.3.4. Perbedaan Pendapatan CCS dan Non CCS ... 61

BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1. Kesimpulan ... 63

5.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 66


(12)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai ... 31 2. Jumlah Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten

Serdang Bedagai. ... 32 3. Jumlah armada Kapal Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin

Kabupaten Serdang Bedagai ... 33 4. Data Produksi Ikan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang

Bedagai. ... 34 5. Jumlah Armada Kapal Menurut CCS dan Non CCS/Desa di Kecamatan

Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai ... 35 6. Karekteristik Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 40 7. Jenis Biaya Variabel Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non

CCS Per Trip Melaut ... 53 8. Jenis Biaya Variabel Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non

CCS per Bulan... 55 9. Jenis Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS

per Trip Melaut ... 57 10. Jenis Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS

per Bulan ... 58 11. Jenis Biaya Variabel dan Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan

CCS dan Non CCS ... 58 12. Pendapatan Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 60 13. Hasil Uji Beda Rata-Rata Pendapatan Nelayan CCS dan Non CCS ... 61


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1. Jaminan Mutu Untuk Ekspor ... 12

2. Sumber Bahan Baku Ekspor ... 15

3. Proses Pembekuan Udang ... 21

4. Skema Kerangka Pemikiran ... 30

5. Kapal Nelayan 5 GT ... 44

6. Penyimpanan Ikan di Dek Kapal Nelayan 5 GT ... 45

7. Pembekuan Ikan dengan Cool Box ... 46

8. Persortiran Ikan oleh Nelayan di TPI ... 50


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1.a. Karakteristik Sampel Nelayan CCS ... 66

1.b. Karakteristik Sampel Nelayan Non CCS ... 69

2. Jenis Alat-Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan ... 72

3. Jenis-Jenis Biaya Variabel/Biaya Produksi Setiap Melaut ... 73

4. Perhitungan Nilai Penyusutan Alat-Alat ... 74

5a. Biaya Variabel Nelayan CCS ... 75

5b. Biaya Variabel Nelayan Non CCS ... 78

6.a. Biaya Tetap (Alat-Alat) Nelayan CCS... 81

6.b. Biaya Tetap (Alat-Alat) Nelayan Non CCS ... 84

7.a. Biaya Penyusutan (Alat-Alat) Nelayan CCS ... 87

7.b. Biaya Penyusutan (Alat-Alat) Nelayan Non CCS ... 90

8.a. Jumlah Produksi Dan Nilai Produksi Nelayan CCS ... 93

8.b. Jumlah Produksi Dan Nilai Produksi Nelayan Non CCS ... 96

8.c. Jumlah Pendapatan Nelayan Sampel CCS per Trip Melaut ... 99


(15)

ABSTRAK

TERUNA TARIGAN, Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang menggunakan Cold Chain Sistem (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai (dibawah bimbingan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai Ketua dan Ir. Iskandarini, MM, sebagai Anggota).

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional, namun hal ini belum didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil ikan yang memadai. Salah satu sarana dan prasarana yang dapat mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan tersebut adalah Cold Chain System (CCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Cold Chain System (CCS), dan menganalisis perbedaan total pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS. Sampel dipilih dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 60 orang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata independent sample t test.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya produksi harga jual dan pendapatan antara nelayan CCS dengan nelayan non CCS. Penerapan teknologi CCS membuat mutu ikan menjadi lebih baik sehingga harga yang diterima nelayan menjadi lebih tinggi. Dalam rangka meningkatkan mutu produk ikan serta meningkatkan pendapatan nelayan Kabupaten Serdang Bedagai maka sebaiknya pemerintah mensosialisasikan teknologi CCS serta membantu permodalan nelayan untuk melengkapi kebutuhan penggunaan CCS.

Kata Kunci: Cold Chain System (CCS), biaya produksi, harga jual, pendapatan, uji beda rata-rata


(16)

ABSTRACT

TERUNA TARIGAN, Comparative Analysis between the Income of the Fishermen Using Cold Chain System (CCS) and That of Traditional Fishermen in Serdang Bedagai District, Under the supervision of Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec and Ir. Iskandarini, MM.

Fisheries and marine sector is one of the superior sectors generating national economy, yet this has not been supported by the availability of adequate facility and infrastructure. One of the facilities and infrastructures that can solve the problem of the low quality of fishery products is Cold Chain System (CCS). The purpose of this study was to analyze the CCS implementation and the total difference of the income of the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The samples for this study were 60 fishermen selected through stratified random sampling method. The data obtained were analyzed through descriptive analysis, mean difference test and independent sample t test.

The result of this study showed that there was the difference between production cost, selling price and the income between the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The application of CCS technology made the quality of fishery products better that the price received by the fishermen became higher. To improve the quality of fishery product and to increase the income of the fishermen of Serdang Bedagai District, the government should socialize the CSS technology and provide the fishermen with capital assistance to meet the need to use the CSS.

Keywords: Cold Chain System, Production Cost, Selling Price, Income, Mean Difference Test


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor perikanan dan kelautan mempunyai andil sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan devisa negara yang pada gilirannya akan mensejahterakan masyarakat.

Demikian juga sektor perikanan dan kelautan Propinsi Sumatera Utara yang memiliki panjang pantai 545,00 km di pantai Barat dan 375,00 km di Pantai Timur serta 380,00 km di Pulau Nias. Demikian juga jika dilihat dari posisi letaknya, Sumatera Utara berada pada kawasan yang sangat strategis yaitu diantara Selat Malaka dan Samudera Hindia. Dengan keberadaan Sumatera Utara yang diapit oleh dua laut tersebut, pembangunan sektor perikanan dan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar untuk digali dan dikembangkan secara maksimal. Oleh sebab itu pemerintah Propinsi Sumatera Utara berupaya mengembangkan potensi tersebut secara bersama-sama dengan masyarakat dan pengusaha lokal maupun mancanegara.

Pemerintah telah menetapkan sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional. Hal ini disebabkan karena sektor ini memiliki berbagai keunggulan yang salah satunya diantaranya adalah potensi sumberdaya ikan yang berlimpah baik jumlah maupun keanekaragaman jenis ikannya. Sektor perikanan juga memegang peranan penting


(18)

dalam menyediakan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja, sumber pendapatan bagi nelayan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi serta sumber pendapatan daerah maupun devisa negara melalui ekspor.

Pengembangan perikanan di Sumatera Utara, tentu berkait rapat dengan wujudnya multiplyer pendapatan nelayan yang dapat menjadi stimulan bagi produsen ikan. Sehingga sebagai konsekwensi logisnya adalah penanganan sektor perikanan tidak hanya tertumpu pada pra penangkapan dan penangkapan/budidaya tetapi aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah penanganan pasca panen produksi sektor perikanan.

Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.

Ada tiga hal kegiatan pasca panen perikanan yaitu teknologi pengolahan, pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran. Ketiga kegiatan tersebut akan

sangat menentukan dalam kelancaran pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu produk yang dipasarkan.

Pada sisi eksternal, tantangan saat ini dan waktu yang akan datang adalah Era Globalisasi dunia yang berkembang yang menuntut kita untuk mengadakan


(19)

penyesuaian terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen Mutu Hasil Perikanan agar diterima secara International. Untuk meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar global dan sekaligus meningkatkan ekspor.

Pada sisi kekuatan internal, Sumatera Utara memiliki jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) sebanyak 41.781 RTP pada tahun 2008 sebagian besar adalah rumah tangga di Penangkapan Ikan di laut sebanyak 29.436 RTP sedangkan sisanya adalah 12.345 RTP yang merupakan gabungan dari RTP perikanan di sungai, danau, rawa dan waduk.

Dari jumlah RTP tersebut di atas jumlah produksi pada tahun 2008 mencapai 338.006 ton yang 326.336 ton diantaranya adalah hasil perikanan dari penangkapan di laut. Produksi ini merupakan suatu jumlah yang cukup besar dan masih dapat ditingkatkan khususnya untuk penangkapan ikan di Perairan Pantai Barat Sumatera Utara. Hasil produksi tersebut merupakan kinerja dari unit penangkapan ikan yang ada di Sumatera Utara yang terdiri dari 35.717 unit penangkapan yaitu 27.883 unit penangkapan di laut dan 7.834 unit penangkapan di perairan umum. Jumlah armada tersebut di atas terdiri dari perahu tanpa motor (PTM) 11.829, perahu motor tempel 7.834 unit dan kapal motor 15.262 unit.

Dalam rangka meningkatkan nilai tambah produksi khusunya ikan hasil tangkapan di laut maka perlu adanya pengolahan hasil. Disamping memberikan nilai tambah maka usaha pengolahan juga akan dapat memberikan tambahan lapangan kerja baru serta multiple efek bagi kegiatan ekonomi lainnya. Secara Nasional berdasarkan data yang di peroleh dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan Departemen Kelautan dan perikanan.


(20)

Pada tahun 2008 terdapat unit pengolahan sebanyak 18.274 unit yang terdiri dari skala usaha kecil 17.616 unit (96.3 %) dan skala menengah dan besar sebanyak 658 unit (3,7 %). Mengingat jumlahnya unit pengolahan skala kecil yang cukup besar maka sangat diharapkan peranannya dalam meningkatkan perekonomian wilayah masyarakat pesisir. Peranan tersebut dapat diukur dari meningkatnya pendapatan per kapita dan juga peningkatan terhadap penyerapan tenaga kerja.

Disamping perikanan tangkap, Sumatera Utara juga memiliki potensi perikanan budidaya yang cukup besar baik budidaya air tawar di Dataran Tinggi Bukit Barisan seperti kolam air tenang, mina padi, keramba dan keramba jaring apung. Demikian juga potensi budidaya air payau yang terbentang sepanjang Pantai Timur dengan komoditi utama adalah udang, kerapu, dan nila merah. Khusus untuk budi daya laut terdapat komoditi unggulan berupa ikan kerapu, kakap putih dan rumput laut.

Selain itu dalam rangka mendorong pemasaran produk perikanan di dalam negeri pemerintah juga telah membangun 24 unit Pasar Ikan Higienis (PIH), 7 unit Depo Pemasaran Ikan (DPI) dan 2 unit Raiser Ikan Hias (RIH). Seluruh sarana pemasaran ini dibangun untuk mendukung keberadaan 1.870 unit pasar tradisional yang memasarkan produk perikanan.

Unit pengolahan hasil perikanan berskala besar dengan kegiatan pembekuan dan pengalengan terdapat di Kawasan Industri Medan (KIM). Skala menengah dan kecil dengan jenis pengolahan penggaraman, pengasapan, perebusan, dan pengeringan tersebar di desa-desa pesisir baik Pantai Timur maupun Pantai Barat. Berbeda dengan industri pengolahan yang skala besar


(21)

membentuk klaster-klaster di daerah Kawasan Industri Medan, maka skala kecil dan menengah tersebar merata sepanjang pantai di desa-desa pesisir.

Masih dominannya kapal penangkap ikan skala kecil dimana dari jumlah unit penangkapan sebesar 28.520 unit 11.585 terdiri dari perahu tanpa motor 2.759 motor tempel dan 10.643 unit kapal motor yang lebih kecil dari 5 GT. Kondisi ini sudah barang tentu peralatan yang dimiliki sangat terbatas khususnya peralatan untuk penanganan ikan yang mengakibatkan hasil tangkapan mutunya rendah karena sebagian besar nelayan tidak menerapkan sistem penangan ikan semenjak ikan tertangap, penanganan di atas kapal, pendaratan di TPI, penanganan di Unit Pengolahan dan industri. Namun dengan potensi dan dukungan sarana dan prasarana yang dimiliki Sumatera Utara belum sepenuhnya mampu menghasilkan produk, baik hasil tangkapan nelayan maupun hasil olahan yang berkualitas baik (mutu ekspor). Hasil kajian tingkat kerusakan (losses) dari

kegiatan usaha perikanan sebesar 27,8 %, losses tertinggi terdapat pada tahap

penanganan ikan di atas kapal yaitu 17,2 %, penanganan di TPI/PPI dan distribusi 4,0 % serta losses di Unit Pengolahan Ikan (UPI) 6,6 %. Tingginya tingkat kerusakan tersebut dikarenakan komodistas ikan yang cepat mengalami penurunan mutu apabila tidak ditangani secara cermat.

Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa total tingkat kerusakan hasil tangkapan ikan oleh nelayan sampai produk tersebut sampai ketangan konsumen adalah 27,8 %. Sebahagian besar kerusakan tersebut terdapat pada penanganan di atas kapal yaitu 17.2 %. Hal ini disebabkan terbatasnya sarana yang dimiliki di atas kapal seperti cool box, peti insulasi, palka refrigater dan lain sebagainya.


(22)

Disamping itu ketersediaan es yang terbatas menyebabkan penanganan di atas kapal sangat minim.

Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan adalah dengan “Mengembangkan Sistem Rantai Dingin atau Cold

Chain System (CCS)”. Dengan diterapkannya sistem rantai dingin dalam bisnis

usaha perikanan diharapkan kesegaran ikan sejak ikan ditangkap sampai ke tangan konsumen dapat dipertahankan, dapat mengurangi tingkat kerusakan ikan (losses),

meningkatkan nilai jual ikan, mutu hasil olahan yang lebih baik, meningkatkan ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengolah ikan serta keluarganya.

Keterbatasan penerapan CCS tersebut dikarenakan terbatasnya penggunaan es dalam proses produksi. Sebagai konsekwuensinya produk tangkapan nelayan banyak yang telah mengalami penurunan mutu. Jumlah es yang dibawa nelayan umumnya minim dikarenakan disamping keterbatasan jumlah es harga juga tidak terjangkau. Hal ini mengandung resiko disamping memberi kesempatan kepada nelayan untuk menggunakan bahan pengawet lainnya juga produk berkualitas rendah.

Idealnya kebutuhan es untuk kegiatan perikanan adalah 2 kali dari total ikan yang diproduksi, namun pada kenyataannya pabrik es yang ada hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 30 - 40 % dari total kebutuhan. Terbatasnya pabrik es saat ini juga mengakibatkan harga es menjadi mahal, sehingga berdampak pada keengganan nelayan menggunakan es dalam penanganan mengakibatkan hasil tangkapan pada umumnya bermutu rendah


(23)

terutama bila waktu penangkapan lebih dari satu hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap penerapan CCS ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Pengetahuan nelayan pada umumnya sangat rendah terutama tentang

bagaimana cara mempertahankan mutu ikan, sanitasi dan hygiene serta cara penanganan ikan yang baik dan benar.

2. Sarana dan prasarana untuk penanganan ikan yang sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan banyaknya ikan yang didaratkan di TPI dan ikan yang dilelang, dibiarkan ditebar di lantai tanpa menggunakan wadah dan es, hal ini mengakibatkan ikan yang didaratkan tidak dapat dipertahankan mutunya. 3. Sarana transportasi masih terbatas dan tidak memenuhi persyaratan baik

teknis maupun sanitasi. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, umumnya sarana transportasi yang digunakan para bakul dan pengolah ikan terutama skala kecil menengah untuk membawa ikan dari TPI/PPI ke unit pengolahan atau pasar masih banyak yang menggunakan keranjang bambu dengan hanya diberi sedikit es, selanjutnya diangkut mengunakan gerobak/ becak yang terbuka.

4. Kondisi demikian mengakibatkan ikan langsung bersentuhan dengan panas matahari, sehingga akan mempercepat proses penurunan mutu ikan.

5. Peralatan penanganan ikan sebagai bahan baku (raw material) di unit

pengolahan ikan (UPI) skala kecil dan menengah sebagian besar sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun kualitasnya, pada umumnya peralatan yang digunakan kurang memenuhi persyaratan teknis, seperti peralatan: wadah, cool box, penggunaan es, mengakibatkan produk yang dihasilkan


(24)

Di kedua wilayah perairan Sumatera Utara baik Pantai Timur maupun Pantai Barat terdapat kelimpahan sumberdaya alam baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Hasil perikanan tersebut sekitar 70 % di pasarkan dalam bentuk ikan segar dan sebagian diolah dalam berbagai jenis pengolahan hasil perikanan laut baik pengolahan dengan sistem modern maupun tradisional.

Implikasi dasar dari penggunaan CCS dalam pasca panen adalah peningkatan pendapatan nelayan. Peningkatan pendapatan ini diperoleh dari tingginya harga ikan segar karena terjaminnya mutu ikan yang menggunakan sistem rantai dingin. Hal ini tentu berbeda dengan pendapatan nelayan yang tidak menggunakan CCS . Dengan demikian perbedaan pendapatan antara nelayan yang menggunakan CCS dengan nelayan yang tidak menggunakan CCS perlu dianalisis secara ilmiah.

1.2. Identifikasi Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penggunaan Cold Chain System (CCS) dilakukan oleh

nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan di Kabupaten Serdang Bedagai?

2. Berapakah total Pendapatan penggunaan CCS dan non CCS oleh nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai?

3. Apakah ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara nelayan yang menggunakan sistem CCS dengan nelayan tradisional yang non CCS di Kabupaten Serdang Bedagai?


(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah penggunaan Cold Chain System (CCS)

dilakukan oleh nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan.

2. Untuk menganalisis total pendapatan penggunaan CCS dan non CCS oleh nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Untuk menganalisis perbedaan tingkat pendapatan antara nelayan yang menggunakan sistem CCS dengan nelayan tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan motivasi bagi para nelayan tradisional agar menggunakan CCS untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

2. Sebagai bahan pemerintah untuk mensosialisasikan kepada para nelayan tradisional agar dapat menggunakan CCS di tingkat nelayan Kabupaten Serdang Bedagai.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000) menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan.

Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan penelitan selanjutnya yaitu:

− Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality

dan traceability yang harus di penuhi

− Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan beku

− Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat sejak dari penangkapan sampai ke konsumen.

− Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat, agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan ikan dengan suhu dingin sekitar 0 oC secara terus menerus tidak terputus sejak


(27)

dipasarkan hingga ke tangan konsumen, maka ikan hasil tangkapan atau ikan hasil panen dapat dipastikan memiliki mutu tinggi, aman dikonsumsi serta memenuhi kriteria produk perikanan prima. Oleh karena itu, penerapan sistem rantai dingin secara benar diterapkan dengan baik serta memperhatikan sanitasi dan hygiene.

2.2. Landasan Teori

Pembinaan mutu dan pengolahan hasil merupakan salah satu kegiatan penanganan pasca panen yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan perikanan karena dengan pembinaan mutu dapat menyelamatkan hasil produksi para nelayan dan petani ikan dari kemerosotan mutu dan nilainya yang sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan dan melindungi konsumen dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan zat-zat additive yang

berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan mutu hasil perikanan yang baik akan meningkatkan kesehatan dan taraf hidup manusia serta membuat produk memiliki daya saing yang tinggi.

Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.

Sedikitnya ada tiga hal kegiatan pasca panen dalam perikanan yaitu teknologi pengolahan, pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran


(28)

(distribusi). Ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan dalam kelancaran pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu produk yang dipasarkan.

Terlebih dalam memasuki era globalisasi tantangan yang dihadapi adalah untuk menyesuaikan terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen Mutu Hasil Perikanan yang dapat diterima secara International. Jika tidak maka produk suatu negara akan mendapat penolakan dari negara-negara importir.

Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor

Negara Uni Eropa yang merupakan persekutuan dari 27 negara maju akan sangat menentukan dalam percaturan ekspor hasil perikanan. Penolakan dari negara tujuan ini tidak dapat dianggap hal yang sepele, karena akan diikuti juga oleh negara-negara importir lainnya seperti Amerika dan Asia seperti Korea, Jepang dan Taiwan. Untuk itu pembinaan mutu merupakan hal yang mutlak


(29)

dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar global dan sekaligus meningkatkan ekspor.

2.2.1. Susut Hasil Perikanan

Susut hasil perikanan adalah keseluruhan nilai kerugian pasca panen hasil perikanan akibt terjadinya kerusakan fisik dan kemunduran mutu yang dapat mengakibatkan pengaruh terhadap susut Gizi dan susut fungsional yang terjadi mulai dari saat ikan ditangkap sampai ketangan konsumen dan tipe susut dapat kita bedakan dari beberapa tipe.

a. Susut nutrisi/gizi (nutritional losses)

- Sulit diukur.

- Perubahan biokimiawi spesifik sebagai akibat dari pembusukan atau pengolahan.

b. Susut fungsi/fungsional (functional losses)

- Setiap saat, mulai dari ditangkap sampai ke konsumen.

- Jarang dianggap, jarang di perhitungkan dalam pengertian sehari-hari. - Kesalahan dalam pengolahan dan penanganan yang dapat menyebabkan

menurunnya fungsi ikan.

- Ikan untuk sosis yang kenyal menjadi kurang kenyal.

Ciri kualitas ikan yang bagus dapat kita lihat dari warna ikan masih mengkilat, mata berwarna cerah dan menonjol, insang berwarna merah cemerlang, bau ikan masih sangat segar khas jenis masing-masing, padat elastis bila ditekan dengan jari, bila daging disayat akan berwarna sangat cemerlang, dinding perutnya masih utuh.


(30)

Dalam konteks pembinaan terhadap usaha Perikanan dan Kelautan, implementasi Program peningkatan Ekspor Hasil Perikanan perlu dioptimalisasikan khususnya usaha pengolahan skala kecil (KUB) dan peningkatan mutu melalui penerapan PMMT/HACCP. Produk perikanan di pasar dalam negeri merupakan penyedia protein hewani masyarakat selain sebagai bahan baku industri pengolahan, kosmetik dan obat-oatan. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek yang menjanjikan. Meski demikian, ikan atau produk perikanan lainnya belum menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Hal itu tecermin dalam tingkat konsumsi ikan dalam negeri yang masih rendah. Pada 2004, tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia hanya sekitar 23,18 kg/kapita/tahun (DKP, 2005). Pada hal sesuai dengan standar gizi masyarakat yang ditetapkan oleh organisasi makanan se dunia (FAO) stadar gizi ikan adalah sebesar 26,5 kg/kapita/tahun.

Dalam hubungannya dengan tingkat konsumsi di atas mengingat ikan mempunyai manfaat yang sangat besar sedangkan pasar dalam negeri belum berkembang baik, pengembangan dan penguatan pemasaran dalam negeri perlu dilakukan dengan dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan melalui bisnis perikanan. Untuk mencapai dua tujuan itu, misi penguatan dan pengembangan pasar dalam negeri ditujukkan untuk meningkatkan konsumsi ikan perkapita, mendorong harmonisasi supply dan

demand, serta mendorong distribusi marjin secara proposional. Program

pengembangan pemasaran dalam negeri berangkat dari konsep pemasaran sebagai muara dari upaya pengembangan bisnis perikanan.


(31)

Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor

Oleh karena itu, pemasaran mempunyai posisi terdepan dalam menghela peningkatan produksi dan investasi di bidang perikanan. Peningkatanan produksi dan investasi nantinya akan menghela pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan lapangan kerja dengan tumbuhnya usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan industri Perikanan lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan/pembudidaya/pelaku usaha perikanan lainnya.

Pada konsideran peraturan bersama menteri Pertanian dan kesehatan (31/Kpts/Um/1/1975) disebutkan bahwa lingkup pembinaan mutu hasil perikanan adalah: a) memanfaatkan potensi perikanan secara maksimal; b) melindungi konsumen dari pemalsuan dan penipuan oleh produsen yang beritikad tidak baik; c) membina produsen hasil perikanan, dan d) meningkatkan mutu ekspor hasil perikanan.

Berdasarkan tujuan ini maka sasaran Pembinaan dan Pengolahan hasil perikanan adalah nelayan dan petani ikan sebagai penghasil ”bahan baku” dari


(32)

kapal/tambak pedagang pengumpul di tempat-tempat pengmpul atau TPI, para pedagang pengangkut maupun pengecer, para produsen di unit-unit pengolahan dan para petugas penguji (analis) dan pengambil contoh yang bertugas melakukan pengujian terhadap produk akhir sebelum ekspor. Dengan demikian cakupan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan meliputi sejak ikan ditangkap/dipanen, diangkut, dilelang, diolah di unit-unit pengolahan dan didistribusikan sampai ketangan konsumen.

Ikan adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki sifat mudah rusak. Sesuai karakteristik tersebut ditambah dengan kondisi iklim tropis di Indonesia, hasil produksi perikanan sebagai bahan baku perlu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya susut (losses) dan kemunduran mutu selama

penanganan baik di tambak untuk budidaya, di atas kapal untuk penangkapan, ketika didaratkan di TPI, di Unit pengolahan ikan, dan saat didistribusi. Usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah:

- Pembinaan terhadap nelayan dan petani ikan melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan,

- Penyediaan sarana air bersih dan es untuk kebutuhan nelayan dalam rangka mengembangkan sistem rantai dingin (Cold Chain System),

- Introduksi wadah ikan (Fish Container), kotak pendingin (Cool Box) untuk

memperbaiki penanganan selama pengangkutan,

- Pembinaan terhadap pedagang pengumpul dalam penanganan hasil perikanan meliputi pelatihan-pelatihan, sosialisasi dan magang kerja,

- Pembangunan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dari aspek sanitasi dan hygiene.


(33)

Dari uraian tersebut di atas nyata sekali bahwa peningkatan taraf hidup masyarakat khususnya wilayah pesisir sangat ditentukan oleh produk dan jaminan mutu. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia diperlukan protein yang tinggi khususnya dari ikan. Produksi ikan baik dari budidaya dan tangkap juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir khususnya nelayan yang merupakan kelompok paling miskin di wilayah pesisir. Dalam kaitan dengan hal tersebut aspek pembinaan mutu merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Mutu produksi yang memenuhi standar kesehatan atau standar yang ditetapkan oleh negara importir akan menjamin kelangsungan usaha di bidang perikanan. Dengan demikian suatu produksi yang ada jaminan mutu akan meningkatkan taraf hidup masayarakat serta pemenuhan akan berbagai protein hewani.

Produk hasil perikanan baik dalam bentuk segar, hidup maupun olahan dari sumber budidaya maupun tangkap akan memiliki nilai jika dapat dipasarkan dan memberi manfaat (keuntungan) bagi pembudidaya, nelayan muapun pengolah. Dilihat dari segi peluang pasar maka potensi pemasaran hasil perikanan di Indonesia memiliki prospek yang cerah mengingat beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut:

- Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan peluang domestic

demand. Pada 2004, jumlah penduduk mencapai 217 juta, sedangkan pada

2005 diproyeksikan menjadi 219 juta (BPS, 2005). Selain itu, tingkat konsumsi ikan perkapita masyarakat masih rendah, sementara kesadaran masyarakat terhadap manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan sudah mulai meluas.


(34)

- Potensi suplai perikanan dari jumlah atau ragam jenisnya yang cukup banyak dapat dimanfaatkan melalui pengembangan industri penangkapan atau budidaya. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan, pemanfaatan melalui penangkapan pada tahun 2004 mencapai 4,7 juta ton atau 91,8 % dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB = 5,12 ton/tahun).

- Beberapa komuditas perikanan yang merupakan edible products memiliki

prospek pasar yang cukup baik dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat mengkonsumsi ikan karena kandungan protein dan lemak tak jenuhnya yang baik bagi kesehatan. Sama halnya pada

non-edible products (seperti ikan hias, mutiara, produk biota laut untuk industri

perhiasan, kosmetika, farmasi dan sebagainya) yang sudah memperoleh tempat di masyarakat.

- Fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif menjadi meningkat dengan munculnya kasus terkait penyakit, seperti sapi gila dan penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi, anthrax pada kambing dan burung onta, flu burung

pada unggas (ayam dan bebek). Hal ini mendorong konsumen mencari alternatif pengganti sumber protein hewani sehingga peluang pasar hasil perikanan di dalam negeri semakin meningkat.

- Semakin berkembangnya usaha pasar ritel (hypermarke, supermarket,

convenience stores) serta usaha perhotelan, restoran dan catering yang

menyediakan penjualan produk perikanan dan/atau menu khusus perikanan sehingga membantu promosi produk perikanan dan mendorong peningkatan konsumsi ikan.


(35)

Dalam rangka pemanfaatan potensi dan kendala menjadi peluang sebagai penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri, diperlukan penyusunan program yang dilakukan secara strategi, terintegrasi, dan operasional.

2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif

Pengondisian iklim yang kondusif bagi usaha perikanan diperlukan untuk mendorong keberlangsungan usaha dan kontinyuitas pasokan dengan harga yang terjangkau konsumen. Upaya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif dapat dilakukan, antara lain melalui penyederhanaan prosedur dalam perizinan usaha di bidang pemasaran perikanan, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan, penyediaan fasilitas bagi pelaku usaha dalam akses permodalan, dan pelibatan pelaku usaha dalam pembahasan kebijakan terkait pengembangan pemasaran dalam negeri.

2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS)

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan

akan mengakibatkan daging mulai menurun kesegarannya dan dapat menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme, terutama bakteri pembusuk.


(36)

Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan

mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk). Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang

dihasilkannya (intoksikasi).

Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu, sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total, kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda.

Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5ºC, laju pembusukan akan meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5ºC maka laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah mungkin, biasanya mendekati suhu cair es, yaitu sekitar 0ºC.


(37)

Gambar 3. Proses Pembekuan Udang

Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45ºC. Pada suhu itu, reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses penangan ini lazim disebut dengan pembekuan.

Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung,


(38)

Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2.

Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat.

Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4ºC mutlak adanya. Sarana itu meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana

distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit.

Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es, tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi, yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara

lain cepat, cermat dan bersih.

Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap penanganan ikan antara lain:

1. Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT),


(39)

2. Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space),

trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana

sanitasi dan higiene.

3. Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice

plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan

hygiene, cool box dan cold storage.

4. Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage,

trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene

5. Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck),

Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor

dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box,

trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.

6. Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice

tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene.

Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang tidak tinggi.

Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan, sebenarnya nelayan sadar bahwa es dapat mempertahankan kesegaran ikan dan


(40)

pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar.

Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau

attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam

menangani ikan hasil tangkapannya.

Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April 2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006

baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk

perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai indikator kesegaran ikan scombroid.


(41)

Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border

Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai

dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk

kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus bahu-membahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan, sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan. Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.

2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS)

Proses perlakuan CCS yang baik diatas kapal nelayan adalah:

- Setelah semua bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah dipersiapkan dan dibawa sesuai dengan kebutuhan seperti: Cool Box, Keranjang, Ember,

Air Tawar, Es Curah serta alat-alat pendukung lainnya.

- Setelah ikan tertangkap maka ikan dibersihkan dengan air tawar lalu disortir sesuai dengan jenis dan ukurannya.

- Selanjutnya ikan dimasukkan kedalam Cool Box dengan susunan lapisan

bawah es curah lalu lapisan ikan lalu lapisan es demikian seterusnya. Dalam proses ini diusahakan jumlah es jangan sampai kurang, sebaiknya 2: 1 sehingga suhu dalam Coll Box bisa dipertahankan dan tidak berubah sampai


(42)

Selanjutnya perlakuan CCS diteruskan oleh pedagang/pengumpul untuk dikirim ke pabrik/konsumen.

2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan

Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan sebagai berikut:

Y = f (X1,X2,...,Xn)

dimana:

Y = Hasil produksi fisik X1,X2,...,Xn = Faktor produksi

Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan harga. Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan (penerimaan) (Samuelson, 2001).

Dalam usaha prikanan, nelayan akan memperoleh penerimaan dan pendapatan, penerimaan nelayan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TRi = Yi . Pyi dimana:

Tri = Total Penerimaan nelayan Yi = Produksi


(43)

Pendapatan nelayan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya Pd = TR – TC

dimana:

Pd = Pendapatan TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya

Biaya usaha perikanan biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, contoh: pajak. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhui oleh produksi yang diperoleh, contoh: biaya untuk sarana produksi. Menurut Suratiyah (2006), cara menghitung biaya tetap adalah:

FC = ∑�=�� . ��� dimana:

FC = Biaya Tetap

∑ Xi = Jumlah Fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi = Harga input

Xi = Macam input

Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC) TC = FC+ VC

Menurut Sudrajat (2008) Untuk analisis kelayakan usaha, perhitungan biaya yang sering dilakukan yaitu cost ratio (R/C). Revenue cost ratio lebih besar


(44)

untuk memeperoleh benefit itu. Bukan hanya sekedar benefit lebih besar dari biaya, tetapi B/C ratio lebih besar dari satu sedemikian rupa sehingga benefit dapat menutupi selain dari biaya, juga dapat mengembalikan (repayment)

investasi. Bukan hanya sekedar dapat menutupi biaya dan pengembalian investasi, tetapi benefit juga harus dapat memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan

(Radiks, 1997).

Benefit merupakan manfaat atau faedah yang diperoleh atau dihasilkan

dari suatu kegiatan yang produktif. Misalnya pembangunan atau rehabilitasi atau perluasan sehingga diperoleh hasil yang lebih besar. Benefit yang diperoleh mungkin sama tiap-tiap periode dan mungkin berbeda. Maka dalam disiplin penelitian dan penilaian proyek. Benefit diberlakukan sebagai benefit tetap (fixed

benefit) maupun benefit variabel (variabel benefit) (Radiks, 1997).

2.3. Kerangka Pemikiran

Penggunaan CCS dalam usaha di bidang perikanan merupakan usaha untuk menjamin mutu produk perikanan, agar tetap bermutu dan memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini penting mengingat permintaan produk perikanan yang memiliki mutu dari tahun ke tahun terus meningkat.

Namun demikian tidak semua nelayan melakukan penjagaan mutu produk dengan menggunakan CCS. Hal ini disebabkan implementasi CCS memerlukan tambahan biaya untuk melengkapkan sarana dan prasarana CCS sesuai dengan kaedahnya. Sehingga diperlukan perbandingan antara Return-Cost (R/C).

Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya (R/C) penggunaan CCS dengan nelayan tradisional dianggap dapat memberikan informasi tentang proporsi keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Jika R/C


(45)

ratio > 1 maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan dan layak untuk diusahakan atau dikembangkan. Namun jika R/C ratio < 1 maka usaha tersebut mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan atau dikembangkan.

Dengan diketahuinya biaya( pengeluaran) yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost) pada proses produksi dan

penerimaan yang diperoleh maka dapat diketahui keuntungan yang diperoleh dengan menghitung selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Jika penerimaan lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut memperoleh keuntungan. Sedangkan jika penerimaan lebih kecil daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut mengalami kerugian.

Bagi nelayan yang tidak menggunakan CCS tentu input produksinya lebih rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Namun demikian bukan berarti biaya yang rendah akan berdampak pada keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Hal ini disebabkan keuntungan juga ditentukan oleh harga jual produk, dimana mutu produk perikanan yang tinggi memiliki harga jual yang lebih tinggi.


(46)

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan signifikan antara pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dengan nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS.

Penerimaan Produksi

Pendapatan

Alternatif Kebijakan CCS Biaya Input

Nelayan di Kab.

Serdang Bedagai Nelayan yang Tidak Menggunakan CCS Nelayan yang

Menggunakan CCS


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Pemilihan Lokasi

Dari 17 Kecamatan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki 5 Kecamatan Pesisir dengan 23 Desa Pesisir, salah satu Kecamatan Pesisir adalah Kecamatan Tanjung Beringin yang secara purposive dipilih menjadi lokasi penelitian ini dengan berbagai pertimbangan yang mendukung jalannya penelitian ini antara lain:

- Pelaksanaan kegiatan Cold Chain System (CCS) melalui kegiatan bantuan Pemerintah Kabupaten.

- Sarana kapal nelayan berukuran 5 – 10 GT cukup banyak.

- Sarana alat tangkap nelayan (jaring ikan) cukup banyak dan berpariasi. - Jumlah nelayan cukup banyak

Tabel 1. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Berdagai

No Kecamatan Jumlah Desa

Jumlah Penduduk

Jumlah Nelayan 1 Pantai Cermin 12 42.494 1.834 2 Perbaungan 28 101.052 226 3 Teluk Mengkudu 12 43.015 3.683 4 Tanjung Beringin 8 37.561 2016 5 Bandar Khalifah 5 26.446 1.633

Sumber: BPS Kab. Serdang Bedagai, 2011

Dari lima kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai, maka Kecamatan Tanjung Beringin yang layak dipilih sebagai lokasi sampel.

Kecamatan Tanjung Beringin memiliki delapan desa, dipilih secara purposive sebagai sampel yang terdiri dari : 250 nelayan yang menggunakan CCS dan 1.934 nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS.


(48)

Untuk dapat melihat berapakah jumlah nelayan yang ada di Kecamatan Tanjung Beringin baik nelayan tetap ataupun nelayan sambilan dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin

No Desa

Jumlah Nelayan

Tetap

Jumlah Nelayan Sambilan

Jumlah Nelayan 1 Pkn Tanjung

Beringin

645 478 1123 2 Tebing Tinggi 518 289 807

3 Nagur 529 348 887

4 Bagan Kuala 256 127 383 5 Pematang Cermai 64 47 111 6 Pematang Terang 86 56 142 7 Mangga Dua 44 38 82

8 Suka Jadi 42 36 78

Jumlah/Total 2016 1419 3435

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai.

Pada Tabel 2. dapat kita lihat bahwa jumlah nelayan yang ada di kecamatan Tanjung Beringin berjumlah 3435. Adapun nelayan yang ada di Kecamatan Tanjung Beringin ada nelayan tetap dan nelayan sambilan, nelayan tetap merupakan nelayan yang mata pencaharian sehari-harinya dengan pergi melaut terdiri dari 2016 orang nelayan tetap, dan 1419 nelayan sambilan yang sebahagian waktunya di luangkan untuk melaut.

Dengan demikian jumlah nelayan di Kecamatan Tanjung Beringin tidaklah sama tingkat keadaannya dikarenakan armada yang digunakan nelayan sangatlah bervariasi yang pada dasarnya ukuran kapal serta kapasitas armada kapalnya tidak lah sama, dapat dilihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3. dapat kita lihat jumlah armada kapal yang ada di Kecamatan Tanjung Beringin berjumlah 2184 unit. Jumlah kapal yang ada sangatlah


(49)

bervariasi dari kapal tanpa motor berjumlah 246 unit, sedangkan 0 – 4 GT berjumlah 504 unit, 5-10 GT berjumlah 1245 unit, dan 11-15 GT berjumlah 161 unit, dan 15 GT keatas berjumlah 28 unit.

Tabel 3. Jumlah Armada Kapal Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin

No Desa

Kapal Tanpa Motor

Kapal Motor (Unit)

Total 0 – 4

GT

5 – 10 GT

11 – 15 GT

15 > GT 1 Pkn Tanjung

Beringin

60 108 416 53 16 653 2 Tebing Tinggi 79 122 264 47 6 518 3 Nagur 29 128 307 61 4 529 4 Bagan Kuala 22 51 183 - 2 258 5 Pematang Cermai 12 24 28 - - 64 6 Pematang Terang 18 36 22 - - 76 7 Mangga Dua 14 18 12 - - 44 8 Suka Jadi 12 17 13 - - 42 Jumlah/Total 246 504 1245 161 28 2184

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai

Dari data produksi ikan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai 5 tahun sebelumnya dapat dilihat adanya kenaikan produksi ± 1,2 % setiap tahunnya.

Produksi tersebut dari segi jenis ikan bahwa jenis ikan gembung kuring , kedah yang lebih dominan atau lebih banyak produksinya jenis ini adalah ikan yang sangat mudah membusuk, maka perlu dilakukan penanganan supaya tetap segar sampai ke Tempat Pendaratan Ikan (TPI), sehingga harga jualnya lebih tinggi.


(50)

Tabel 4. Data Produksi Ikan di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

No Jenis Ikan Thn 2006

(Ton) Thn 2007 (Ton) Thn 2008 (Ton) Thn 2009 (Ton) Thn 2010 (Ton)

1 Gembung Kuring 943 1067 1218 1386 1402

2 Gembung Kedah 974 1052 1106 1168 1206

3 Tenggiri 286 298 314 376 392

4 Tongkol 526 569 597 618 634

5 Tuna Mata Besar 58 65 74 68 62

6 Mahyung 67 64 66 75 81

7 Pari 73 71 98 96 104

8 Kerapu 70 69 73 69 64

9 Kakap Putih 46 52 56 54 55

10 Kakap Merah 52 49 54 51 46

11 Gulamah 118 132 152 156 186

12 Kurisi 91 115 132 125 147

13 Ikan Campur 1498 1682 1788 1985 2015

14 Cumi-Cumi 106 114 132 128 125

15 Sotong 147 158 161 165 176

16 Udang Putih 29 42 49 55 62

17 Udang Dogol 44 56 76 85 75

18 Udang Lainnya 78 85 94 102 106

Jumlah/ Total 5206 5740 6240 6762 6938

Sumber: TPI Kecamatan Tanjung Beringin

Dari jumlah kapal nelayan penangkap ikan di Kecamatan Tanjung Beringin maka ada 3 desa yang populasinya cukup tinggi yaitu :

- Desa Pekan Tanjung Beringin 645 Kapal. - Desa Tebing Tinggi 518 Kapal.

- Desa Nagur 529 Kapal.

Sehubungan dengan tingginya Populasi tersebut maka program CCS ini dilakukan di 3 desa tersebut dengan jumlah 250 armada, dan setiap tahunnya ada peningkatan penggunaan CCS. Adapun data nelayan yang menggunakan CCS dan yang tidak menggunakan CCS dapat dilihat pada Tabel 5.


(51)

Tabel 5. Jumlah Armada Kapal menurut CCS dan Non CCS/Desa di Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai.

No Desa Jumlah

Kapal CCS Non CCS 1 Pkn Tanjung Beringin 645 141 504 2 Tebing Tinggi 518 65 453

3 Nagur 529 44 485

4 Bagan Kuala 256 - 256 5 Pematang Cermai 64 - 64 6 Pematang Terang 86 - 86

7 Mangga Dua 44 - 44

8 Suka Jadi 42 - 42

Jumlah/Total 2184 250 1934

Sumber: BPS Kab. Serdang Bedagai, 2011

3.2. Metode Penentuan Sampel

Penelitian ini menggunakan metode stratified random sampling. Populasi

terlebih dahulu di strata menjadi dua stratum, yaitu stratum 1 adalah nelayan yang menggunakan sistim rantai dingin atau CCS dengan populasi 250 nelayan dan stratum II adalah nelayan yang tidak menggunakan sistem rantai dingin atau CCS dengan populasi 2184 nelayan.

Jumlah sampel yang diambil adalah jumlah sampel berimbang yaitu sebanyak 30 sampel nelayan untuk Stratum I dan 30 nelayan sampel untuk Stratum II. Dengan demikian jumlah sampel keseluruhan adalah sebanyak 60 sampel nelayan.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari data hasil wawancara langsung antara peneliti dan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner)


(52)

yang telah disiapkan sedangkan data sekunder merupakan data yang diproleh dari lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini.

3.4. Metode Analisa Data

Setelah dikumpulkan, kemudian data yang telah diperoleh ditabulasikan dan selanjutnya dianalisis. Untuk menganalisis tujuan 1 digunakan analisis deskriptif. Pada analisis ini akan didiskripsikan bagaimana penggunaan sistim rantai dingin atau CCS oleh nelayan sampel yang menggunakan CCS.

Untuk menganalisis tujuan 2 digunakan analisis cost-benefit, dengan

rumus sebagai berikut:

a. Biaya Produksi (Cost) Nelayan

TC = FC + VC dimana:

TC = Total Biaya (Rp) FC = Biaya Tetap (Rp) VC = Biaya Variabel (Rp)

b. Penerimaan (Benefit) Nelayan:

TRi = Yi . Pyi dimana:

Tri = Total Penerimaan

Yi = Produksi yang diperoleh dalam suatu usaha nelayan Pyi = Harga Y


(53)

c. Pendapatan Nelayan

Pd = TR – TC dimana:

Pd = Pendapatan Usaha Nelayan TR = Total Penerimaan

TC = Total Biaya.

Tujuan 3 yaitu menganalisis perbedaan tingkat pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dengan nelayan Tradisional Non CCS, digunakan analisis uji beda rata-rata untuk sampel heterogen atau dengan analisis ttest dengan software

SPSS.

3.5. Definisi dan Batasan Operasional 3.5.1. Definisi

1. Populasi adalah jumlah nelayan yang menggunakan CCS dan yang tidak menggunakan CCS dengan ukuran kapal 5-10 GT dan sampel diambil 10% dari populasi (jiwa) tersebut.

2. Nelayan sampel adalah individu yang tergabung dalam kelompok nelayan yang bermata pencaharian sebagai nelayan (jiwa).

3. Nelayan tradisional adalah nelayan yang tidak menggunakan CCS (jiwa). 4. CCS adalah Cold Chain System (sistem rantai dingin).

5. Total biaya (Rp) adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan yang menggunakan CCS dan tidak menggunakan CCS. 6. Hasil tangkapan adalah semua hasil yang didapat dalam melaut dan semua


(54)

7. Pasca panen adalah upaya atau perlakuan penanganan terhadap hasil tangkapan sampai pada pemasaran.

8. Total pendapatan adalah semua pendapatan (Rp) yang diterima dari hasil tangkapan.

3.5.2. Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Sampel dalam penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan CCS dan yang tidak menggunakan CCS dengan ukuran kapal 5-9 GT di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai.


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang dimana efektif pemerintahannya berjalan sejak Januari 2004. Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai Luas Wilayah ± 1.900,22 km² dengan ketinggian 0-500 m di atas permukaan Laut yang terdiri dari 17 Kecamatan, 243 Kelurahan/ Desa dengan kepadatan Penduduk ± 332 jiwa/ km² (data tahun 2009) dan jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai 630.728 jiwa dengan komposisi laki-laki 316.745, perempuan 313.983 jiwa dengan 149.702 RT.

Salah satu kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai, yang merupakan lokasi penelitian adalah Kecamatan Tanjung Beringin. Kecamatan Tanjung Beringin memiliki luas wilayah 74,170 Km2 sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Tanjung Beringin ± 37.561 Jiwa, dengan batas – batas wilayah Kecamatan Tanjung beringin sebagai berikut :

- Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

- Selatan berbatasan dengan kecamatan Sei Rampah. - Barat berbatasan dengan Kecamatan teluk Mengkudu. - Timur berbatasan dengan Kecamatan Bandar Khalipah

4.2. Karakteristik Nelayan Sampel

Nelayan sampel pada penelitian ini terdiri dari nelayan penangkap ikan di laut yang dalam proses produksinya menggunakan Cold Chain System (CCS) atau


(56)

atau Non CCS. Karekteristik kedua nelayan sampel ini memiliki perbedaan seperti yang dijelaskan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karekteristik Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS No Karekteristik Nelayan CCS Non CCS

1 Tanggungan Keluarga 5 orang 4 orang

2 Pendidikan SMP SD

3 Pengalaman Melaut 14 tahun 18 tahun 4 Lama Penggunaan CCs 2 tahun -

5 Jumlah Trip/Bulan 12 kali 12 6 Lama di Laut/Trip 8 jam 7 jam 7 Ukuran Kapal 6 GT 6 GT

Sumber: Data Primer, 2011 (diolah)

Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel nelayan yang menggunakan CCS memiliki rata-rata 5 orang tanggungan keluarga, sedangkan yang non CCS memiliki rata-rata 4 orang tanggungan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan sampel nelayan ini tergolong tinggi baik yang CCS maupun non CCS.Namun demikian kebanyakan nelayan sampel menggunakan tenaga kerja dalam keluarga untuk membantu kepala keluarga menangkap ikan di laut. Berdasarkan hasil wawancara dijumpai bahwa semakin besar jumlah tanggungan keluarga maka semakin dominan tenga kerja yang digunakan bersumber dari dalam keluarga.

Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam adopsi teknologi. Penggunaan CCS lebih mudah disosialisasikan bagi nelayan yang memiliki tingkat berpendidikan Sekolah Menengah. Tabel 5. menunjukkan bahwa sampel nelayan yang menggunakan CCS memiliki rata-rata tingkat Sekolah Menengah Pertama. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sampel nelayan CCS


(57)

sudah baik apabila di bandingkan dengan yang non CCS yang rata-rat tamat Sekolah Dasar. Tingginya tingkat pendidikan ini merupakan salah satu penunjang keberhasilan sampel nelayan dalam mengembangkan pola pemikiran bernelayan. Sehingga kebiasaan melaut yang turun temurun dilakukan oleh keluarga mengalami perubahan prilaku seiring dengan tingkat pendidikan nelayan

Selain faktor pendidikan, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengalaman melaut bukanlah menjadi penentu nelayan untuk menggunakan CCS dalam proses produksi. Pengalaman melaut sampel nelayan yang menggunakan CCS memiliki rata-rata 14 tahun, sedangkan yang non CCS memiliki rata-rata 18 tahun. Hal ini memberi makna bahwa pengalaman melaut yang lebih lama justru sulit untuk mensosialisasikan sistem rantai dingin (CCS).

Konsep CCS bukanlah produk yang sudah lama dikenal oleh nelayan. Konsep CCS diperkenalkan dan disosialisasikan pada nelayan berkisar 4 tahun yang lalu melalui dinas prikanan dan kelautan kabupaten Serdang Bedagai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama penggunaan CCS untuk sampel nelayan CCS rata-rata 2 tahun, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan CCS ini masih belum optimal disosialisasikan bagi nelayan, khususnya nelayan yang berpendidikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak setiap hari nelayan di daerah penelitian melaukan penangkapan ikan di laut. Walaupun nelayan dengan kapal 6 GT dapat pulang hari setiap pergi melaut, namun rata-rata trip nelayan kelaut hanya 12 kali dalam sebulan. Jumlah trip sebanyak 12 kali dalam sebulan merupakan jumlah trip yang maksimal dapat dilakukan nelayan selama 1 bulan. Biasanya kendala nelayan untuk kelaut adalah persoalan kondisi cuaca yang


(58)

sering tidak memungkinkan mereka untuk menangkap ikan. Selain dari pada itu, jumlah tangkapan nelayan dalam 1 trip sudah dianggap maksimal untuk mencukupi kebutuhan keluarga dalam satu bulan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, setiap trip nelayan menangkap ikan dilaut, rata-rata waktu melaut nelayan adalah sebanyak 8 jam/trip untuk nelayan pengguna CCS , sedangkan yang non CCS memiliki rata-rata 7 jam/trip. Sedangkan ukuran kapal sampel nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS adalah rata-rata 6 GT.

4.3. Hasil Analisis dan Pembahasan

4.3.1. Penggunaan Cold Chain System (CCS)

Penggunaan Cold Chain System (CCS) di daerah penelitian dilakukan oleh

nelayan yang menggunakan kapal berukuran 6 GT (Gross Ton). Pada dasarnya model pengembangan CCS dapat dilakukan di 6 (enam) tahap penanganan ikan, mulai dari penangkapan/pemanenan ikan hingga pemasaran/distribusinya, yakni 1) di Atas Kapal, 2) Tambak/Kolam Ikan, 3) TPI/PPI, 4) UPI SKM, 5) Distribusi/Transportasi, dan 6) Pasar Tradisional/Pasar Ikan Higienis. Pada setiap tahapan, suhu ikan hasil tangkapan/panen diupayakan selalu tetap rendah agar terjaga kesegarannya, yakni dengan mengoptimalkan penggunaan es dalam penyimpanannya.

Namun demikian, di daerah penelitian nelayan hanya menggunakan CCS di atas kapal dan di TPI. Penanganan ikan sesudah ditangkap akan ditentukan antara lain oleh jenis ikan, ukuran ikan, bentuk penyaluran (disposisi), serta permintaan pasar. Keberhasilan penanganan ikan diatas kapal sangat ditentukan beberapa faktor yakni kesadaran dan pengetahuan semua ABK untuk menerapkan teknik penanganan ikan dengan es secara benar; kecukupan jumlah es yang


(59)

dibawa saat berangkat menangkap ikan di laut; serta kelengkapan sarana penyimpanan diatas kapal yang memadai, seperti cool box.

Untuk menyimpan dan mempertahankan kesegaran ikan yang telah ditangkap agar suhunya tetap rendah diperlukan suatu wadah yang umum pendinginan ikan yang berupa peti pendingin (cool box) yang berinsulasi. Dengan

pengesan dalam wadah ini suhu ikan dipertahankan sekitar Oo C sehingga proses

kemunduran mutu terhambat dan mutu ikan dapat dipertahankan tetap segar.

4.3.1.1. CCS di atas Kapal

Hasil wawancara dengan nelayan pengguna CCS menunjukkan bahwa, untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhunya tetap rendah diperlukan suatu wadah yang umum untuk pendinginan ikan yang berupa peti pendingin (cool box) yang berinsulasi. Wadah tanpa penahan (insulator) panas

menyebabkan panas dari luar merembet dengan cepat untuk mencairkan es yang berakibat suhu ikan naik dan akhirnya memacu proses pembusukan.

Peti berinsulasi dimaksudkan sebagai wadah penyimpanan ikan segar yang didinginkan agar suhunya tetap rendah sehingga mutunya dapat dipertahankan sebaik mungkin. Dengan kemampuannya menahan panas dari luar maka pemakaian es dalam peti berinsulasi lebih hemat daripada peti yang tidak berinsulasi.

Dalam penggunaannya peti berinsulasi sangat penting dalam kegiatan penangkapan, transportasi/distribusi dan pemasaran ikan segar sebagai rangkaian sistem rantai dingin. Dengan menerapkan sistem rantai dingin diharapkan terjadi peningkatan mutu ikan segar baik untuk tujuan konsumsi maupun pengolahan lebih lanjut.


(60)

Berdasarkan hasil wawancara dengan para nakhoda kapal bahwa secara umum penangana ikan di atas kapal dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Di atas dek

Penanganan dimulai segera setelah ikan diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rendah Cold Chain System (CCS) dan memperhatikan

Faktor Kebersihan dan Kesehatan (Sanitasi dan Hygiene). Sedapat mungkin

diusahakan oleh nelayan agar ikan tidak ada yang terluka atau harus dapat mencegah kerusakan fisik. Ikan seyogianya dilindungi dari sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu ikan yang menyebabkan mikroorganisme dapat berkembang. Dalam kaitan dengan hal tersebut nelayan Serdang Bedagai biasanya memasang tenda atau atap yang melindungi tempat kerja/palka.

Gambar 5. Kapal Nelayan 5 GT b. Penyiangan ikan besar

Khusus untuk ikan besar yang tertangkap seperti Ikan Besar (Tuna) maka perlu dilakukan pembuangan isi perut dan insang karena bagian tersebut adalah


(61)

yang paling cepat mendapat serangan dari mikroorganisme. Penyiangan isi perut dan insang dilakukan dengan hati-hati sehingga ikan dapat terhindar dari luka. Demikian juga biasanya untuk ikan kecil dan ikan besar dilakukan pemisahan sehingga penangnan dapat lebih efisien.

Gambar 6. Penyimpanan Ikan di dek Kapal Nelayan 5 GT

c. Pendinginan/pembekuan

Pembekuan dilakukan dengan memperhitungkan waktu pembekuan, fluktuasi suhu dan kebersihan. Waktu pembekuan dilakukan setelah ikan disiangi sehingga belum terjadi penurunan mutu ikan.

d. Penyimpanan

Hasil tangkapan diberi tanda dalam pengumpulan atau penyimpanan dan pewadahan berdasarkan perbedaan hari penangkapan.


(62)

e. Pembongkaran

Dalam membongkar muatan biasanya dipisahkan hasil tangkapan yang berbeda hari atau waktu penangkapannya. Biasanya ikan yang tertangkap lebih dulu dibongkar juga lebih awal. Peralatan yang digunakan di Serdang Bedagai adalah secara manual dan untuk mencegah ikan terluka dari alat-alat yang keras dan nelayan umumnya menggunakan sarung tangan.

f. Distribusi

Setelah ikan di bongkar maka selanjutnya adalah pengangkutan untuk distribusikan. Dalam distribusi tersebut suhu ikan harus senantiasa rendah,alas wadah harus dilapisi es halus, kemudian lapisan ikan yang ditaburi es disusun diatasnya. Es tabur secara berlapis sehingga ikan mendapatkan suhu ikan secara merata.


(1)

Lampiran 8.b. Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Nelayan Non CCS

1. Jumlah Produksi (Kg) 85 - 10 15 25 135 Nilai Produksi (Rp) 1.275.000 - 140.000 195.000 125.000 1.735.000 2. Jumlah Produksi (Kg) 88 5 20 - 25 138 Nilai Produksi (Rp) 1.320.000 65.000 280.000 - 125.000 1.790.000 3. Jumlah Produksi (Kg) 80 25 10 - 35 150 Nilai Produksi (Rp) 1.200.000 325.000 140.000 - 175.000 1.840.000 4. Jumlah Produksi (Kg) 70 10 12 5 30 127 Nilai Produksi (Rp) 1.050.000 130.000 168.000 65.000 150.000 1.563.000 5. Jumlah Produksi (Kg) 70 12 10 8 25 125 Nilai Produksi (Rp) 1.050.000 156.000 140.000 104.000 125.000 1.575.000 6. Jumlah Produksi (Kg) 65 15 12 10 20 122 Nilai Produksi (Rp) 975.000 195.000 168.000 130.000 100.000 1.568.000 7. Jumlah Produksi (Kg) 90 15 - 18 35 158 Nilai Produksi (Rp) 1.350.000 195.000 - 234.000 175.000 1.954.000 8. Jumlah Produksi (Kg) 85 - 15 12 35 147 Nilai Produksi (Rp) 1.275.000 - 210.000 156.000 175.000 1.816.000 9. Jumlah Produksi (Kg) 92 - 15 10 25

Nilai Produksi (Rp) 1.380.000 - 210.000 130.000 125.000 1.845.000 10. Jumlah Produksi (Kg) 84 12 5 16 35 152 Nilai Produksi (Rp) 1.260.000 156.000 70.000 208.000 175.000 1.869.000 No.

Sampel

Total Produksi dan Nilai-Nilai Produksi/Masin-Masing

Sampel Ikan Gembung Ikan Tongkol Ikan Tenggiri

Ikan Gembung

Selar Ikan Campur Jenis Produksi


(2)

Lampiran 8.b. Sambungan

11. Jumlah Produksi (Kg) 80 10 5 20 25 140 Nilai Produksi (Rp) 1.200.000 130.000 70.000 260.000 125.000 1.785.000 12. Jumlah Produksi (Kg) 80 16 6 12 20 134 Nilai Produksi (Rp) 1.200.000 208.000 84.000 156.000 100.000 1.748.000 13. Jumlah Produksi (Kg) 105 - 12 15 20 142 Nilai Produksi (Rp) 1.575.000 - 168.000 195.000 100.000 2.038.000 14. Jumlah Produksi (Kg) 90 10 15 25 15 155 Nilai Produksi (Rp) 1.350.000 130.000 210.000 125.000 195.000 2.010.000 15. Jumlah Produksi (Kg) 105 5 10 15 30 165 Nilai Produksi (Rp) 1.575.000 65.000 140.000 195.000 150.000 2.125.000 16. Jumlah Produksi (Kg) 90 25 10 15 35 175 Nilai Produksi (Rp) 1.350.000 225.000 140.000 195.000 175.000 2.085.000 17. Jumlah Produksi (Kg) 95 10 8 8 40 161 Nilai Produksi (Rp) 1.425.000 150.000 168.000 104.000 200.000 2.047.000 18. Jumlah Produksi (Kg) 85 18 15 15 25 158 Nilai Produksi (Rp) 1.275.000 270.000 210.000 195.000 125.000 2.075.000 19. Jumlah Produksi (Kg) 95 20 16 18 25 174 Nilai Produksi (Rp) 1.425.000 260.000 224.000 234.000 125.000 2.268.000 20. Jumlah Produksi (Kg) 105 14 15 12 40 186 Nilai Produksi (Rp) 1.575.000 182.000 210.000 156.000 200.000 2.323.000 No.

Sampel

Total Produksi dan Nilai-Nilai Produksi/Masin-Masing

Sampel

Jenis Produksi

Total Ikan Gembung Ikan Tongkol Ikan Tenggiri Ikan Gembung


(3)

Lampiran 8.b. Sambungan

21. Jumlah Produksi (Kg) 115 10 16 14 50 205 Nilai Produksi (Rp) 1.725.000 130.000 224.000 182.000 250.000 2.511.000 22. Jumlah Produksi (Kg) 110 18 13 15 35 191 Nilai Produksi (Rp) 1.650.000 234.000 182.000 195.000 175.000 2.436.000 23. Jumlah Produksi (Kg) 105 15 20 16 30 186 Nilai Produksi (Rp) 1.575.000 195.000 280.000 208.000 150.000 2.408.000 24. Jumlah Produksi (Kg) 110 14 22 15 35 196 Nilai Produksi (Rp) 1.650.000 182.000 308.000 195.000 175.000 2.510.000 25. Jumlah Produksi (Kg) 125 12 16 20 45 218 Nilai Produksi (Rp) 1.875.000 156.000 224.000 360.000 225.000 2.840.000 26. Jumlah Produksi (Kg) 118 26 14 20 35 213 Nilai Produksi (Rp) 1.770.000 338.000 196.000 360.000 175.000 2.839.000 27. Jumlah Produksi (Kg) 135 10 16 20 35 216 Nilai Produksi (Rp) 2.025.000 130.000 224.000 260.000 175.000 2.814.000 28. Jumlah Produksi (Kg) 145 20 18 12 30 225 Nilai Produksi (Rp) 2.175.000 360.000 252.000 156.000 150.000 3.093.000 29. Jumlah Produksi (Kg) 140 10 15 12 55 232 Nilai Produksi (Rp) 2.100.000 130.000 210.000 156.000 275.000 2.871.000 30. Jumlah Produksi (Kg) 145 10 13 11 57 236 Nilai Produksi (Rp) 2.175.000 130.000 182.000 143.000 285.000 2.915.000 No.

Sampel

Total Produksi dan Nilai-Nilai Produksi/Masin-Masing

Sampel

Jenis Produksi

Total Ikan Gembung Ikan Tongkol Ikan Tenggiri Ikan Gembung


(4)

Lampiran 9. Uji Beda Rata-rata Pendapatan Nelayan

Notes

Output Created

01-Aug-2011 22:55:17

Comments

Input

Active Dataset

DataSet0

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File

30

Missing Value Handling

Definition of Missing

User defined missing values are treated as missing.

Cases Used

Statistics for each analysis are based on the cases

with no missing or out-of-range data for any variable

in the analysis.


(5)

Syntax

T-TEST PAIRS=PEND.CCS WITH PEND.NON.CCS

(PAIRED)

/CRITERIA=CI(.9500)

/MISSING=ANALYSIS.

Resources

Processor Time

0:00:00.015

Elapsed Time

0:00:00.048

Paired Samples Statistics

Mean

N

Std. Deviation

Std. Error Mean

Pair 1 PEND.CCS

516520.7333

30

82295.87379

15025.10215

PEND.NON.CCS

277283.4333

30

76928.19179

14045.10198

Paired Samples Correlations

N

Correlation

Sig.

Pair 1 PEND.CCS &

PEND.NON.CCS


(6)

Paired Samples Test

Paired Differences

t

df

Sig. (2-tailed)

Mean

Std. Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower

Upper

Pair 1 PEND.CCS -

PEND.NON.CCS

2.39237E5 69849.52612 12752.7203

6

2.13155E5 2.65320E5 18.760

29

.000


Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Pendapatan Petani Sistem Tanam SRI (System of Rice Intensification) Dengan Petani Sistem Tanaman Legowo (Studi Kasus: Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai)

2 84 123

Analisis Pendapatan Nelayan Tradisional Dibandingkan Dengan Upah Minimum Regional di Kecamatan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat

3 77 76

Analisis Pendapatan dan Pola Konsumsi Nelayan Buruh ditinjau dari Garis Kemiskinan di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus: Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang )

2 45 92

Analisis Pendapatan Warga Transmigrasi Ditinjau Dari Garis Kemiskinan Di Kabupaten Tapanuli Tengah (studi Kasus : Desa U PT Rawa Kolang 10, Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara)

0 42 102

Analisis Pendapatan Petani Nilam Ditinjau Dari Garis Kemiskinan (Studi Kasus : Desa Sumbari dan Bakkal Gajah, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi)

4 73 83

Peranan Pelelangan Ikan Terhadap Peningkatan Pendapatan Nelayan Dan Kaitannya Dengan Pengembangan Wilayah (Studi Perbandingan Aktivitas TPI Percut Dan TPI Pekalongan)

22 266 107

Analisis Masalah Kemiskinan Nelayan Tradisional Di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

4 53 173

Analisis Masalah Kemiskinan Dan Tingkat Pendapatan Nelayan Tradisional Di Kelurahan Nelayan Indah...

0 60 4

Evaluasi Rancangan Bendung Daerah Irigasi Belutu Kabupaten Serdang Berdagai

29 164 148

Pemetaan Konflik Nelayan Tradisional Dengan Nelayan Pukat Tarik Menggunakan Model SIPABIO (Kajian pada konflik masyarakat nelayan di desa Bagan Asahan, Kec. Tanjung Balai, Kab. Asahan Tahun 2011-2013)

17 213 111